Jumat, 06 Desember 2019

Mengapa surat At-Taubah tanpa Basmallah?

Mengapa surat At-Taubah tidak diawali dengan bacaan basmalah.

Pertama, tidak adanya basmalah di awal surat at-Taubah adalah ijtihad sahabat terkait urutan al-Quran yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat menyimpulkan dari beliau, yang kemudian menjadi acuan penulisan dalam mushaf Utsmani.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menanyakan hal ini kepada Utsman radhiyallahu ‘anhu,

مَا حَمَلَكُمْ أَنْ عَمَدْتُمْ إِلَى الأَنْفَالِ وَهِىَ مِنَ الْمَثَانِى وَإِلَى بَرَاءَةَ وَهِىَ مِنَ الْمِئِينَ فَقَرَنْتُمْ بَيْنَهُمَا وَلَمْ تَكْتُبُوا بَيْنَهُمَا سَطْرَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَوَضَعْتُمُوهُمَا فِى السَّبْعِ الطُّوَلِ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى ذَلِكَ

Apa yang menyebabkan anda memposisikan surat al-Anfal disambung dengan surat at-Taubah, sementara anda tidak menuliskan kalimat basmalah diantara keduanya. Dan anda letakkan di 7 deret surat yang panjang. Apa alasan anda?

Jawab Utsman,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِمَّا يَأْتِى عَلَيْهِ الزَّمَانُ وَهُوَ تَنْزِلُ عَلَيْهِ السُّوَرُ ذَوَاتُ الْعَدَدِ فَكَانَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الشَّىْءُ دَعَا بَعْضَ مَنْ كَانَ يَكْتُبُ فَيَقُولُ ضَعُوا هَؤُلاَءِ الآيَاتِ فِى السُّورَةِ الَّتِى يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا وَكَذَا وَإِذَا نَزَلَتْ عَلَيْهِ الآيَةُ فَيَقُولُ ضَعُوا هَذِهِ الآيَةَ فِى السُّورَةِ الَّتِى يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا وَكَذَا

Selama masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan wahyu, turun surat-surat yang ayatnya banyak. Ketika turun kepada beliau sebagian ayat, maka beliau akan memanggil sahabat pencatat al-Quran, lalu beliau perintahkan, “Letakkan ayat-ayat ini di surat ini.” Ketika turun ayat lain lagi, beliau perintahkan, “Letakkan ayat ini di surat ini.”

Utsman melanjutkan,

وَكَانَتِ الأَنْفَالُ مِنْ أَوَائِلِ مَا أُنْزِلَتْ بِالْمَدِينَةِ وَكَانَتْ بَرَاءَةُ مِنْ آخِرِ الْقُرْآنِ وَكَانَتْ قِصَّتُهَا شَبِيهَةً بِقِصَّتِهَا فَظَنَنْتُ أَنَّهَا مِنْهَا فَقُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلَمْ يُبَيِّنْ لَنَا أَنَّهَا مِنْهَا

Sementara surat al-Anfal termasuk surat yang pertama turun di Madinah. Sedangkan surat at-Taubah, turun di akhir masa. Padahal isi at-Taubah mirip dengan surat al-Anfal. Sehingga kami (para sahabat) menduga bahwa surat at-Taubah adalah bagian dari surat al-Anfal. Hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau tidak menjelaskan kepada kami, bahwa at-Taubah itu bagian dari al-Anfal.

Lalu Utsman menegaskan,

فَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ قَرَنْتُ بَيْنَهُمَا وَلَمْ أَكْتُبْ بَيْنَهُمَا سَطْرَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَوَضَعْتُهَا فِى السَّبْعِ الطُّوَلِ

Karena alasan ini, saya urutkan al-Taubah setelah al-Anfal, dan tidak kami beri pemisah dengan tulisan bismillahirrahmanirrahim, dan aku posisikan di tujuh surat yang panjang. (HR. Ahmad 407, Turmudzi 3366, Abu Daud 786, dan dihasankan at-Turmudzi dan ad-Dzahabi)

Alasan sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ini, seolah menjelaskan latar belakang, mengapa di awal surat at-Taubah tidak tertulis basmalah. Yang sejatinya, ini merupakan hasil pemahaman sahabat terhadap al-Quran yang mereka dapatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, tidak adanya basamalah di awal at-Taubah, karena beda konten basmalah dengan at-Taubah.

Basmalah menggambarkan keamanan, dan kasih sayang Allah, sementara at-Taubah mennyebutkan tentang permusuhan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada orang musyrikin dan orang munafik.

Ibnu Abbas pernah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

لِـمَ لَمْ تَكْتُبْ فِي بَرَاءَة بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم ؟

Mengapa anda tidak menulis bismillahirrahmanirrahim di awal surat at-Taubah?

Jawab Ali bin Abi Thalib,

لِأَنَّ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم أَمَانٌ ، وَبَرَاءَة نَزَلَت بِالسَّيْفِ ، لَيْسَ فِيهَا أَمَانٌ

Karena bismillahirrahmanirrahim isinya damai, sementara surat at-Taubah turun dengan membawa syariat perang, di sana tidak ada damai. (HR. Hakim dalam al-Mustadrak 3273)

Penjelasan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah penjelasan mengenai hikmah tidak adanya basamalah di surat at-Taubah. Beliau menilik makna dari basmalah dan makna dari surat at-Taubah. Basmalah, kalimat yang berisi rahmat Allah, memberikan kedamaian, keamanan. Sementara surat at-Taubah merupakan pengumuman bagi orang musyrikin, bahwa Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam memusuhi mereka dan menantang perang mereka.

Allahu a’lam.

Kamis, 05 Desember 2019

Bolehkah memperlama sujud?

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa shalat sunah malam adalah shalat sunah yang memang dilakukan pada malam hari, seperti tarawih dan tahajud. Sedangkan mengenai persoalan perbedaan para ulama mengenai memanjangkan berdiri atau sujud dalam shalat malam, maka sepanjang yang kami ketahui memang ada perbedaan para ulama. Setidaknya ada tiga pandangan yang bisa diketengahkan. Hal ini mengacu pada keterangan yang dikemukakan Muhyiddin Syarf An-Nawawi Syarah Shahih Muslim-nya. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Kondisi paling dekatnya seorang hamba dengan Rabb-nya adalah pada saat ia sujud. Karenanya, perbanyaklah doa.” Pesan penting yang terkandung hadits ini adalah bahwa saat sujud merupakan kondisi paling dekatnya seorang hamba dengan rahmat dan karunia Allah SWT. Oleh karena itu hadits tersebut dijadikan salah satu dalil oleh para ulama yang menyatakan bahwa sujud itu lebih utama dibanding berdiri dan dari semua rukun shalat lainnya. قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ( اَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ ) مَعْنَاهُ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ وَفَضْلِهِ وَفِيهِ اَلْحَثُّ عَلَى الدُّعَاءِ فِي السُّجُودِ وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَنْ يَقُولُ أَنَّ السُّجُودَ أَفْضَلُ مِنَ الْقِيَامِ وَسَائِرِ أَركْاَنِ الصَّلَاةِ Artinya, “Sabda Nabi SAW, ‘Kondisi paling dekatnya seorang hamba dengan Rabb-nya adalah pada saat ia sujud. Karenanya perbanyaklah doa.’ Maksud sabda Nabi ini adalah saat paling dekatnya seorang hamba dengan rahmat dan karunia-Nya. Sabda ini memuat pesan anjuran penting untuk berdoa ketika sujud. Di samping itu juga merupakan dalil yang digunakan oleh para ulama yang menyatakan bahwa sujud itu lebih utama dibanding berdiri dan semua rukun shalat,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim Ibnil Hajjaj, Beirut, Daru Ihya`it Turatsil Arabi, cet kedua, 1392 H, juz IV, halaman 200). Menurut An-Nawawi, ternyata dalam masalah ini terdapat tiga pandangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa memperpanjang sujud dan memperbanyak rukuk dengan memperbanyak jumlah rakaat itu lebih utama. Demikian sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi, Al-Baghawi dari sekelompok para ulama. Di antara mereka yang berpandangan demikian adalah Ibnu Umar RA. وَفِي هَذِهَ الْمَسْأَلَةِ ثَلَاثَةُ مَذَاهِبَ أَحَدُهَا أَنَّ تَطْوِيلَ السُّجُودَ وَتَكْثِيرَ الرُّكُوعَ أَفْضَلُ حَكَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالْبَغَوِيُّ عَنْ جَمَاعَةٍ وَمِمَّنْ قَالَ بِتَفْضِيلِ تَطْوِيلِ السُّجُودِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا Artinya, “Dalam masalah ini terdapat tiga pandangan. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa mempanjang sujud dan memperbanyak ruku itu lebih utama. Demikian sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Al-Baghawi serta sekelompok para ulama. Di antara mereka yang berpandangan lebih utama memanjangkan sujud adalah Ibnu Umar RA,” (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200). Pandangan kedua menyatakan bahwa memperpanjang berdiri lebih utama karena didasarkan pada hadits riwayat Jabir yang terdapat dalam Shahih Muslim, yang menyatakan bahwa Nabi SAW, “Shalat yang paling utama adalah yang panjang qunutnya.” Apa yang dimaksud “qunut” dalam hadits ini adalah berdiri. Pandangan ini dianut oleh Madzhab Syafi‘i dan sekelompok ulama. Argumentasi rasional yang diajukan untuk mendukung pandangan ini adalah karena zikir dalam berdiri adalah membaca ayat, dan dalam sujud adalah membaca tasbih. Sedangkan membaca ayat tentunya lebih utama karena mengacu pada praktik (al-manqul) Rasulullah SAW, yaitu beliau lebih memperpanjang durasi berdiri daripada memperlama sujud. وَالْمَذْهَبُ الثَّانِيُّ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رضي الله عنه وَجَمَاعَةٌ أَنَّ تَطْوِيلِ الْقِيَامِ أَفْضَلُ لِحَدِيثِ جَابِرٍ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ طُولُ الْقُنًوتِ وَالْمُرَادُ بِالْقُنُوتِ اَلْقِيَامُ وَلِأَنَّ ذِكْرَ الْقِيَامِ اَلْقِرَاءَةُ وَذِكْرُ السُّجُودِ التَّسْبِيحُ وَالْقِرَاءَةُ أَفْضَلُ لِأَنَّ الْمَنْقُولَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يُطَوِّلُ الْقِيَامَ أَكْثَرَ مِنْ تَطْوِيلِ السُّجُودِ Artinya, “Kedua, pandangan dari Madzhab Syafi‘i dan sekelompok para ulama yang menyatakan bahwa memanjangkan berdiri itu lebih utama karena didasarkan pada hadits riwayat Jabir RA dalam Shahih Muslim yang menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Shalat yang paling utama adalah yang panjang qunutnya.’ Yang dimaksud ‘qunut’ dalam konteks ini adalah berdiri. Zikir dalam berdiri adalah membaca ayat, dan dalam sujud adalah membaca tasbih. Sedangkan membaca ayat itu lebih utama karena sesuai dengan yang diriwayatkan (al-manqul) dari Nabi SAW di mana beliau memperlama berdiri lebih banyak daripada sujud,” (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200). Pandangan ketiga lebih memilih untuk menyamakan sujud dan berdiri. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal bersikap abstain (tawaqquf) dan tidak memberikan memberikan komentar dalam masalah ini. Demikian sebagaimana keterangan yang dikemukakan An-Nawawi. وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ أَنَّهُمَا سَوَاءٌ وَتَوَقَّفَ أَحْمَدُ بنُ حَنْبَلَ رضي الله عنه فِي الْمَسْأَلَةِ وَلَمْ يَقْضِ فِيهَا بِشَيْءٍ Artinya, “Pendapat ketiga menyatakan bahwa keduanya (berdiri dan sujud) adalah sama. Dalam konteks ini imam Ahmad bin Hanbal tidak memberikan komentar (bersikap tawaqquf) dan tidak mengambil putusan apapun,” (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200). Dari ketiga pandangan tersebut, ternyata ada pandangan berbeda yang diketengahkan An-Nawawi, yaitu pandangan Ibnu Rahawaih. Menurut Ibnu Rahawaih, jika siang hari, maka memperbanyak ruku dan sujud (memperbanyak jumlah rakaat) itu lebih utama. Adapun jika malam hari maka lebih utama memanjangkan berdiri kecuali bagi orang yang memilik wazhifah menyelesaikan satu juz Al-Quran, maka lebih utama baginya memperbanyak rakaat dan cukup menyelesaikan satu juz dibagi ke beberapa rakaat. Karena dengan ini ia bisa memperoleh dua hal sekaligus, yaitu membaca satu juz Al-Quran yang menjadi wazhifahnya sekaligus memperbanyak rakaat. وَقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ أَمَّا فِي النَّهَارِ فَتَكْثِيرُ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ اَفْضَلُ وَأَمَّا فِي اللَّيْلِ فَتَطْوِيلُ الْقِيَامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ جُزْءٌ بِاللَّيْلِ يَأْتِي عَلَيْهِ فَتَكْثِيرُ الرُّكُوع ِوَالسُّجُودِ أَفْضَلُ لِأَنَّهُ يَقْرَأُ جُزْأَهُ وَيَرْبَحُ كَثْرَةَ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ Artinya, “Menurut Ibnu Rahawaih, kalau shalat di siang hari maka memperbanyak ruku dan sujud itu lebih utama. Sedangkan pada malam hari maka memperpanjang berdiri itu lebih utama, kecuali bagi orang yang memiliki beban untuk menyelesaikan satu juz Al-Quran dalam satu malam, maka ia lebih untuk memperbanyak rukuk dan sujud. Sebab, ia membaca juz yang menjadi bagiannya dan memperoleh keuntungan dengan banyaknya ruku dan sujud,” (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200-201). Menurut At-Tirmidzi, pandangan Ibnu Rahawaih itu mengacu pada riwayat yang menggambarkan bahwa sifat shalat malam Rasulullah SAW adalah memanjangkan berdiri. Sedangkan shalat siangnya tidak digambarkan beliau memanjangkan berdiri sebagaimana shalat malamnya. Demikian yang kami pahami dari keterangan berikut ini. وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ إِنَّمَا قَالَ إِسْحَاقُ هَذَا لِأَنَّهُمْ وَصَفُوا صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ باِللَّيْلِ بِطُولِ الْقِيَامِ وَلَمْ يُوصَفْ مِنْ تَطْوِيلِهِ باِلنَّهَارِ مَا وُصِفَ بِاللَّيْلِ وَاللهُ أَعْلَمُ Artinya, “Menurut At-Tirmidzi apa yang dikemukakan Ibnu Rahawaih ini karena mereka menyifati shalat malamnya Nabi SAW dengan panjang berdirinya, berbeda dengan shalat siangnya. Wallahu a‘lam,” (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200). Demikian perbedaan pandangan para ulama mengenai soal memanjangkan berdiri atau sujud dalam shalat malam. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Bolehkah berdoa selain bahasa arab?

Mazhab Hanafiyah menganggap bahwa berdoa dengan selain bahasa Arab, baik ketika shalat maupun di luar shalat, adalah makruh, karena Umar bin Khattab melarang “rathanatal a’ajim” (berbicara dengan selain bahasa arab).

Sementara, dalam Mazhab Malikiyah diharamkan untuk berdoa dengan selain bahasa Arab yang maknanya jelas. Allah berfirman, yang artinya, “Tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun kecuali (mereka berdakwah) dengan bahasa kaumnya.” (Q.S. Ibrahim:4)

Dalam Mazhab Syafi’iyah, masalah ini dirinci. Mereka menjelaskan bahwa berdoa dalam shalat ada dua: doa yang ma’tsur (terdapat dalam Alquran dan hadis) dan doa yang tidak ma’tsur (tidak ada dalam Alquran dan hadis). Doa yang ma’tsur tidak boleh diucapkan dengan bahasa lain, selain bahasa Arab.

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah diperbolehkan berdoa dengan menggunanakan bahasa selain bahasa Arab. Pendapat ini dikuatkan oleh Komite Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa Arab Saudi. Dalam suatu kesempatan, mereka ditanya, “Bolehkah seseorang berdoa dalam shalatnya dengan bahasa apa pun? Apakah ini membatalkan shalat?”

Mereka menjawab, “… Seseorang diperbolehkan berdoa kepada Allah di dalam shalatnya dan di luar shalatnya dengan menggunakan bahasa Arab atau selain bahasa Arab, sesuai dengan keadaan yang paling mudah menurut dia. Ini tidaklah membatalkan shalatnya, ketika dia berdoa dengan selain bahasa Arab. Namun, ketika dia hendak berdoa dalam shalat, selayaknya dia memilih doa yang terdapat dalam hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ….” (Fatwa Lajnah Daimah, volume 24, nomor 5782)

Sementara itu, Syekh Abdul Karim Al-Hudhair menyatakan bahwa seseorang boleh berdoa dengan selain bahasa Arab jika dia tidak mampu berbicara dengan bahasa Arab. Setiap muslim dituntut untuk mempelajari bahasa Arab, sekadar sebagai bekal untuk beribadah dengan sempurna. (Fatwa Syekh Abdul Karim Al-Hudhair, no. 4337)

Bolehkah berdoa saat sujud?

Shalat adalah sebuah kewajiban semua umat muslim yang merupakan kewajiban dasar dan wajib dilakukan setiap hari yakni sebanyak 5 kali dalam sehari. Shalat jauh lebih baik jika ditambah dengan amalan sunnah seperti shalat dhuha dan shalat tahajud yang memiliki begitu banyak manfaat untuk ketenangan hati dan kehidupan di dunia dan di akherat. di setiap shalat seringkali manusia memanjatkan doa untuk pengharapan atau untuk memohon sesuatu dimana memang banyak yang memahami bahwa memanjatkan doa di waktu shalat adalah salah satu yang paling mustajab.

Salah satu yang menjadi kebiasan ialah melakukan atau mengucapkan doa di waktu sujud terakhir setelah membaca bacaan shalat dilanjutkan dengan doa tertentu setelahnya melanjutkan shalat kembali yakni pada bagian akhir dan salam. Islam selama ini telah mengatur waktu dan cara yang terbaik untuk berdoa yang termasuk hubungannya dengan doa pada sujud terakhir. keutamaan berdoa daalam islam memang senantiasa dilakukan oleh umat islam dengan harapan akan mendapat kebikan di dunia dan di akherat.

Lalu bagaimanakah hukumnya? Apakah diperbolehkan dan pernah dicontohkan oleh Rasulullah? untuk lebih memahami persoalan ini maka penulis akan menguraikannya secara lengkap berdasarkan firman Allah dalam Al Qur’an juga dari riwayat hadist hadist yang shahih untuk memberikan pemahaman secara lebih lengkap. yuk simak penjelasan lengkapnya berikut hingga selesai.

Waktu Terbaik Untuk Berdoa

Dalam keseharian , tentu kita memahami adanya waktu terkabulnya doa yakni waktu waktu terbaik untuk berdoa yang diantaranya ada pada masa setelah shalat wajib, pada waktu sepertiga malam terahir, antara adzan dan istiqomah, juga pada waktu sujud, dan sebagainya. Doa di waktu sujud memang merupakan salah satu waktu doa yang terbaik atau yang mustajab dimana pada masa tersebut shalat berada pada posisi kepala di bawah dengan menempelkan dahi hingga hidup ke alas shalat yang menandakan adanya kepasrahan kepada Allah sang pemilik hidup.

Doa di waktu sujud merupakan salah satu waktu terbaik sebab sebagai wujud kepasrahan dan wujud tunduk akan kuasaNya, wujud memohon dengan penuh kesungguhan dalam pengakuan sebagai hamba yang lemah yang tidak memiliki kuasa apapun dan menyatakan kepada Allah telah melakukan usaha yang terbaik semampunya dan kini ia menyerahkan semua hasil atau apa yang didapatnya kepada Allah.

“Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.” (HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah). Dari hadist tersebut dijelaskan bahwa manfaat doa dalam islam memang luar biasa sehingga dianjurkan untuk dilakukan dan pada waktu sujud memang manusia berada pada posisi paling dekat dengan RabbNya yakni Allah SWT yang merupakan pencipta segala isi dunia dan akherat, dan di waktu tersebut dianjurkan untuk memperbanyak doa.

Tidak Wajib Dilakukan Terus Menerus

Seringkali kita melihat atau mungkin diantara kita ada yang melakukannya yakni memperlama waktu sujud untuk berdoa dan hal tersebut dilakukan secara terus menerus di sepanjang shalat baik itu shalat wajib 5 waktu maupun di shalat sunnah yang mustajab seperti shalat tahajud dan shalat dhuha, maka perlukan hal tersebut dilakukan? apakah manfaat sujud juga termasuk memiliki manfaat untuk berdoa? Apakah harus selalu memperlama bagian di waktu sujud saja sementara bagian shalat lain dilakukan sekedarnya atau dilakukan dengan biasa saja dan hanya memberi yang utama di waktu sujud saja?

Seorang ulama Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya, “Apakah diperkenankan memperpanjang sujud terakhir dari rukun shalat lainnya, di dalamnya seseorang memperbanyak do’a dan istighfar? apa sajakah bacaan doa dan dzikir setelah shalat? Apakah shalat menjadi cacat jika seseorang memperlama sujud terakhir?”, Beliau rahimahullah menjawab, “Memperpanjang sujud terakhir ketika shalat bukanlah termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena yang disunnahkan dan dicontohkan oleh beliau ialah seseorang melakukan shalat dengan sama rata yakni antara ruku’, i’tidal, sujud, dan duduk antara dua sujud itu hampir sama lamanya.

Kenapa demikian? Sebab setiap bagian shalat ialah hal yang sama pentingnya, semuanya mengandung doa, tidak hanya pada bagian sujud saja. Jika diantara kita memahami semua si dan makna bacaan shalat, tentunya mengerti bahwa semua bagian shalat memiliki doa yang bermakna untuk ketenangan dan kemuliaan hidup di dunia akherat, sehingga dapat diambil kesimpuan bahwa boleh saja melakukan doa pada sujud terakhir namun tetap mementingkan bagian shalat yang lain, bukan hanya memperlama waktu sujud terakhir dan bagian lain dilakukan sekedarnya.

Hukum Berdoa Ketika Sujud Terakhir

Hukum berdoa ketika sujud terakhir adalah sah sah saja atau diperbolehkan hukumnya dalam islam dengan berbagai ketentuan berikut yang sesuai dengan firman Allah pada ayat Al Qur’an dan hadist Rasulullah SAW.

Teladan dari Rasulullah

Dari riwayat Baro’ bin ‘Azib, ia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendapati bahwa berdiri, ruku’, sujud, duduk beliau sebelum salam dan berpaling, semuanya hampir sama (lamanya). ” Inilah yang benar. Akan tetapi ada tempat do’a selain sujud yaitu setelah tasyahud.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan, beliau bersabda, “Kemudian setelah tasyahud, terserah padamu berdo’a dengan doa apa saja”. Maka berdo’alah ketika itu sedikit atau pun lama setelah tasyahud akhir sebelum salam. (Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 376, side B).

Dari hadist tersebut jelas bahwa diperbolehkan berdoa di waktu sujud namun tidak melewatkan bagian lain, yakni shalat dengan jangka waktu yang sama lamanya diantara semua bagaian shalat seperti ruku’ dan duduk diantara dua sujud sehingga tidak kehilangan doa di bagian bagian istimewa tersebut. sebab seperti yang telah dijealaskna bahwa  semua bagian dari shalat memiliki arti yang sama pentingnya dan sama sama bernilai tinggi di mata Allah jika diucapkan dengan penuh penghayatan.

Doa Waktu Sujud Terakhir Dikabulkan Allah

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Allah. Sedangkan ketika sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, maka doa tersebut pasti dikabulkan untuk kalian.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 479].

Penjelasan dari hadit tersebut ialah Rasulullah menganjurkan umatnya untuk bersunggug sungguh dalam menjalankan bagian shalat manapun, seperti ketika ruku’, Rasululllah menganjurkan agar mengagungkan Allah dengan cara mengucap doa dan bacaan dengan penuh kesungguhan , juga ketika sujud, dianjurkan untuk bersungguh sungguh sebab pada waktu tersebut manusia paling dekat dengan Allah sehingga ketika bersungguh sungguh dalam berdoa akan dikabulkan oleh Allah.

Berdoa yang Bersumber dari Al Qur’an

Sebagai umat islam yang dalam kehidupan sehari hari berdasar pada syariat pada Al Qur’an, tentu ketika berdoa juga wajib untuk mengutamakan mengucap doa yang ada pada Al Qur’an yang lebih mustajab dan juga terkadang merupakan doa dari orang orang shaleh terdahulu yang diabadikan dalam Al Qur’an, doa terbaik yang disarankan ialah yang terdapat dalam Al Qur’an diantaranya sebagai berikut.

“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqarah: 201). Doa tersebut merupakan doa yang luas, yakni tentang mendapat kebaikan di dunia dan di akherat sehingga apapun urusan yang dilakukan akan mendatangkan kebaikan tersebut berupa kebahagiaan di dunia dan di akherat.

Doa Untuk Istiqomah dalam Ibadah

Jangan lupa pula untuk memohon kepada Allah agar diberi rasa istiqomah dalam menjalankan ibadah sehingga akan lebih baik dan lebih rutin dalam menjalankan ibadah sehari hari dalam keadaan apapun entah itu keadaan susah dan senang ataupun di waktu sibuk dan di waktu senggang. “Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 8).

Meluruskan Niat

“Setiap amalan tergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907). Jelas dari hadit tersebut bahwa segala yang dilakukan akan mendapat hasil sesuai niat, jika melakukan doa di sujud terakhir dengan niat semata karena Allah untuk kehidupan akherat bukan hanya tentan duniawi semata maka orang yang berdoa tersebut akan mendapat kebaikan dari Allah.

Seperti yang disampaiakan salah seorang ulama Syafi’iyah, Az-Zarkasyi rahimahullah berkata, “Yang terlarang adalah jika dimaksudkan membaca Al Qur’an (ketika sujud). Namun jika yang dimaksudkan adalah doa dan sanjungan pada Allah maka itu tidaklah mengapa, sebagaimana pula seseorang boleh membaca qunut dengan beberapa ayat Al-Qur’an” (Tuhfah Al-Muhtaj, 6:6, Mawqi’ Al-Islam). Jelas bahwa niat dalam beribadah penting ketika berdoa.

Rabu, 04 Desember 2019

Keutamaan membaca Al-Qur'an

Sebagian orang malas membaca Al Quran padahal di dalam terdapat petunjuk untuk hidup di dunia.

Sebagian orang merasa tidak punya waktu untuk membaca Al Quran padahal di dalamnya terdapat pahala yang besar.

Sebagian orang merasa tidak sanggup belajar Al Quran karena sulit katanya, padahal membacanya sangat mudah dan sangat mendatangkan kebaikan. Mari perhatikan hal-hal berikut:

Membaca Al Quran adalah perdagangan yang tidak pernah merugi

{الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)}

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

قال قتادة رحمه الله: كان مُطَرف، رحمه الله، إذا قرأ هذه الآية يقول: هذه آية القراء

“Qatadah (wafat: 118 H) rahimahullah berkata, “Mutharrif bin Abdullah (Tabi’in, wafat 95H) jika membaca ayat ini beliau berkata: “Ini adalah ayat orang-orang yang suka membaca Al Quran” (Lihat kitab Tafsir Al Quran Al Azhim).

Asy Syaukani (w: 1281H) rahimahullah berkata,

أي: يستمرّون على تلاوته ، ويداومونها

“Maksudnya adalah terus menerus membacanya dan menjadi kebiasaannya”(Lihat kitab Tafsir Fath Al Qadir).

Dari manakah sisi tidak meruginya perdagangan dengan membaca Al Quran?

Satu hurufnya diganjar dengan 1 kebaikan dan dilipatkan menjadi 10 kebaikan. عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ». “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469) عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رضى الله عنه قَالَ : تَعَلَّمُوا هَذَا الْقُرْآنَ ، فَإِنَّكُمْ تُؤْجَرُونَ بِتِلاَوَتِهِ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرَ حَسَنَاتٍ ، أَمَا إِنِّى لاَ أَقُولُ بِ الم وَلَكِنْ بِأَلِفٍ وَلاَمٍ وَمِيمٍ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرُ حَسَنَاتٍ.“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah Al Quran ini, karena sesungguhnya kalian diganjar dengan membacanya setiap hurufnya 10 kebaikan, aku tidak mengatakan itu untuk الم , akan tetapi untuk untuk Alif, Laam, Miim, setiap hurufnya sepuluh kebaikan.” (Atsar riwayat Ad Darimy dan disebutkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 660).
Dan hadits ini sangat menunjukan dengan jelas, bahwa muslim siapapun yang membaca Al Quran baik paham atau tidak paham, maka dia akan mendapatkan ganjaran pahala sebagaimana yang dijanjikan. Dan sesungguhnya kemuliaan Allah Ta’ala itu Maha Luas, meliputi seluruh makhluk, baik orang Arab atau ‘Ajam (yang bukan Arab), baik yang bisa bahasa Arab atau tidak.Kebaikan akan menghapuskan kesalahan.{إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ} [هود: 114]“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114)Setiap kali bertambah kuantitas bacaan, bertambah pula ganjaran pahala dari Allah.عنْ تَمِيمٍ الدَّارِىِّ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ بِمِائَةِ آيَةٍ فِى لَيْلَةٍ كُتِبَ لَهُ قُنُوتُ لَيْلَةٍ»“Tamim Ad Dary radhiyalahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca 100 ayat pada suatu malam dituliskan baginya pahala shalat sepanjang malam.” (HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6468).Bacaan Al Quran akan bertambah agung dan mulia jika terjadi di dalam shalat.عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ أَنْ يَجِدَ فِيهِ ثَلاَثَ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ قُلْنَا نَعَمْ. قَالَ « فَثَلاَثُ آيَاتٍ يَقْرَأُ بِهِنَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثِ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maukah salah seorang dari kalian jika dia kembali ke rumahnya mendapati di dalamnya 3 onta yang hamil, gemuk serta besar?” Kami (para shahabat) menjawab: “Iya”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Salah seorang dari kalian membaca tiga ayat di dalam shalat lebih baik baginya daripada mendapatkan tiga onta yang hamil, gemuk dan besar.” (HR. Muslim).

Membaca Al Quran bagaimanapun akan mendatangkan kebaikan

عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ »

“Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang yang lancar membaca Al Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya bacaan tersebut maka baginya dua pahala” (HR. Muslim).

Membaca Al Quran akan mendatangkan syafa’at

عَنْ أَبي أُمَامَةَ الْبَاهِلِىُّ رضى الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ

“Abu Umamah Al Bahily radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bacalah Al Quran karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya” (HR. Muslim).

Masih banyak lagi keutamaan-keutamaan yang memotivasi seseorang untuk memperbanyak bacaan Al Quran terutama di bulan membaca Al Quran.

Dan pada tulisan kali ini hanya menyebutkan sebagian kecil keutamaan dari membaca Al Quran bukan untuk menyebutkan seluruh keutamaannya.

Dan ternyata generasi yang diridhai Allah itu, adalah mereka orang-orang yang giat dan semangat membaca Al Quran bahkan mereka mempunyai jadwal tersendiri untuk baca Al Quran.

عَنْ أَبِى مُوسَى رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى لأَعْرِفُ أَصْوَاتَ رُفْقَةِ الأَشْعَرِيِّينَ بِالْقُرْآنِ حِينَ يَدْخُلُونَ بِاللَّيْلِ وَأَعْرِفُ مَنَازِلَهُمْ مِنْ أَصْوَاتِهِمْ بِالْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ وَإِنْ كُنْتُ لَمْ أَرَ مَنَازِلَهُمْ حِينَ نَزَلُوا بِالنَّهَارِ…»

“Abu Musa Al Asy’ary radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suara kelompok orang-orang keturunan Asy’ary dengan bacaan Al Quran, jika mereka memasuki waktu malam dan aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara-suara mereka membaca Al Quran pada waktu malam, meskipun sebenarnya aku belum melihat rumah-rumah mereka ketika mereka berdiam (disana) pada siang hari…” (HR. Muslim).

MasyaAllah, coba kita bandingkan dengan diri kita apakah yang kita pegang ketika malam hari, sebagian ada yang memegang remote televisi menonton program-program yang terkadang bukan hanya tidak bermanfaat tetapi mengandung dosa dan maksiat, apalagi di dalam bulan Ramadhan.

Dan jikalau riwayat di bawah ini shahih tentunya juga akan menjadi dalil penguat, bahwa kebiasan generasi yang diridhai Allah yaitu para shahabat radhiyallahu ‘anhum ketika malam hari senantiasa mereka membaca Al Quran. Tetapi riwayat di bawah ini sebagian ulama hadits ada yang melemahkannya.

عَنْ أَبِى صَالِحٍ رحمه الله قَالَ قَالَ كَعْبٌ رضى الله عنه: نَجِدُ مَكْتُوباً : مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ فَظٌّ وَلاَ غَلِيظٌ ، وَلاَ صَخَّابٌ بِالأَسْوَاقِ ، وَلاَ يَجْزِى بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ ، وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَغْفِرُ ، وَأُمَّتُهُ الْحَمَّادُونَ ، يُكَبِّرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى كُلِّ نَجْدٍ ، وَيَحْمَدُونَهُ فِى كُلِّ مَنْزِلَةٍ ، يَتَأَزَّرُونَ عَلَى أَنْصَافِهِمْ ، وَيَتَوَضَّئُونَ عَلَى أَطْرَافِهِمْ ، مُنَادِيهِمْ يُنَادِى فِى جَوِّ السَّمَاءِ ، صَفُّهُمْ فِى الْقِتَالِ وَصَفُّهُمْ فِى الصَّلاَةِ سَوَاءٌ ، لَهُمْ بِاللَّيْلِ دَوِىٌّ كَدَوِىِّ النَّحْلِ ، مَوْلِدُهُ بِمَكَّةَ ، وَمُهَاجِرُهُ بِطَيْبَةَ ، وَمُلْكُهُ بِالشَّامِ

“Abu Shalih berkata: “Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kami dapati tertulis (di dalam kitab suci lain): “Muhammad adalah Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, tidak kasar, tidak pemarah, tidak berteriak di pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan akan tetapi memaafkan dan mengampuni, dan umat (para shahabat)nya adalah orang-orang yang selalu memuji Allah, membesarkan Allah ‘Azza wa Jalla atas setiap perkara, memuji-Nya pada setiap kedudukan, batas pakaian mereka pada setengah betis mereka, berwudhu sampai ujung-ujung anggota tubuh mereka, yang mengumandangkan adzan mengumandangkan di tempat atas, shaf mereka di dalam pertempuran dan di dalam shalat sama (ratanya), mereka memiliki suara dengungan seperti dengungannya lebah pada waktu malam, tempat kelahiran beliau adalah Mekkah, tempat hijranya adalah Thayyibah (Madinah) dan kerajaannya di Syam.”

Maksud dari “mereka memiliki suara dengungan seperti dengungannya lebah pada waktu malam” adalah:

أي صوت خفي بالتسبيح والتهليل وقراءة القرآن كدوي النحل

“Suara yang lirih berupa ucapan tasbih (Subhanallah), tahlil (Laa Ilaaha Illallah), dan bacaan Al Quran seperti dengungannya lebah”. (Lihat kitab Mirqat Al Mafatih Syarh Misykat Al Mashabih).

Salah satu ibadah paling agung adalah membaca Al Quran

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : ضَمِنَ اللَّهُ لِمَنَ اتَّبَعَ الْقُرْآنَ أَنْ لاَ يَضِلَّ فِي الدُّنْيَا ، وَلاَ يَشْقَى فِي الآخِرَةِ ، ثُمَّ تَلاَ {فَمَنَ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى}

“Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Allah telah menjamin bagi siapa yang mengikuti Al Quran, tidak akan sesat di dunia dan tidak akan merugi di akhirat”, kemudian beliau membaca ayat:

{فَمَنَ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى}

“Lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”. (QS. Thaha: 123) (Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah).

عَنْ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ رضى الله عنه أَنَّهُ قَالَ: ” تَقَرَّبْ مَا اسْتَطَعْتَ، وَاعْلَمْ أَنَّكَ لَنْ تَتَقَرَّبَ إِلَى اللهِ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ كَلَامِهِ “

“Khabbab bin Al Arat radhiyallahu ‘anhu berkata: “Beribadah kepada Allah semampumu dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan pernah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang lebih dicintai-Nya dibandingkan (membaca) firman-Nya.” (Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Syu’ab Al Iman, karya Al Baihaqi).

عَنْ عَبْدِ اللهِ بن مسعود رضى الله عنه ، أنه قَالَ: ” مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ فَلْيَنْظُرْ، فَإِنْ كَانَ يُحِبُّ الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ “

“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Siapa yang ingin mengetahui bahwa dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka perhatikanlah jika dia mencintai Al Quran maka sesungguhnya dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” (Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Syu’ab Al Iman, karya Al Baihaqi).

وقال وهيب رحمه الله: “نظرنا في هذه الأحاديث والمواعظ فلم نجد شيئًا أرق للقلوب ولا أشد استجلابًا للحزن من قراءة القرآن وتفهمه وتدبره”

“Berkata Wuhaib rahimahullah: “Kami telah memperhatikan di dalam hadits-hadits dan nasehat ini, maka kami tidak mendapati ada sesuatu yang paling melembutkan hati dan mendatangkan kesedihan dibandingkan bacaan Al Quran, memahami dan mentadabburinya”.


Dikutip dari:  https://muslim.or.id