Kamis, 14 Maret 2019

Larangan meniup makanan



Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan larangan meniup makanan atau minuman. Diantaranya,

1. Hadis dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ، وَإِذَا أَتَى الخَلاَءَ فَلاَ يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ…

Apabila kalian minum, janganlah bernafas di dalam gelas, dan ketika buang hajat, janganlah menyentuh kemaluan dengan tangan kanan… (HR. Bukhari 153).

2. Hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي الإِنَاءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bernafas di dalam gelas atau meniup isi gelas. (HR. Ahmad 1907, Turmudzi 1888, dan dishahihkan Syuaib Al-Arnauth).

Mengapa dilarang ditiup?

An-Nawawi mengatakan,

والنهي عن التنفس في الإناء هو من طريق الأدب مخافة من تقذيره ونتنه وسقوط شئ من الفم والأنف فيه ونحو ذلك

Larangan bernafas di dalam gelas ketika minum termasuk adab. Karena dikhawatirkan akan mengotori air minum atau ada sesuatu yang jatuh dari mulut atau dari hidung atau semacamnya. (Syarh Shahih Muslim, 3/160)

Hal yang sama juga disampaikan Ibnul Qoyim,

وأما النفخ في الشراب فإنه يكسبه من فم النافخ رائحة كريهة يعاف لأجلها ولا سيما إن كان متغير الفم وبالجملة : فأنفاس النافخ تخالطه ولهذا جمع رسول الله صلى الله عليه و سلم بين النهي عن التنفس في الإناء والنفخ فيه

Meniup minuman bisa menyebabkan air itu terkena bau yang tidak sedap dari mulup orang yang meniup. Sehingga membuat air itu menjijikkan untuk diminum. Terutama ketika terjadi bau mulut. Kesimpulannya, nafas orang yang meniup akan bercampur dengan minuman itu. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan larangan bernafas di dalam gelas dengan meniup isi gelas. (Zadul Ma’ad, 4/215).

Bolehkah Menggunakan Kipas Angin?

Memperhatikan alasan yang disampaikan oleh An-Nawawi dan Ibnul Qoyim tentang mengapa kita dilarang meniup makanan, bisa kita simpulkan bahwa menggunakan kipas dalam hal ini dibolehkan. Dengan syarat, kipas yang digunakan bukan kipas yang berdebu, yang kotor, sehingga justru menyebarkan penyakit pada makanan atau minuman.

Allahu a’lam



Dikutip dari https://konsultasisyariah.com

Rabu, 13 Maret 2019

Adab Makan menurut Islam

Menyoal etika makan, dapat dipastikan banyak dari kaum muslimin belum mempraktekkannya. Bukti konkrit, kerap kali kita saksikan di berbagai lokasi dan kesempatan. Misal, seorang muslim makan sambil berjalan, atau makan dengan tangan kirinya tanpa ada beban kekeliruan. Beragam jamuan makan ala barat, semisal standing party banyak digandrungi orang. Banyak faktor yang menjadi latar belakang. Ketidaktahuan, mungkin satu sebab diantaranya. Ironisnya, mereka yang telah mengetahui etika Islam justru meremehkan dan menganggapnya bukanlah satu hal urgent dan mendasar. Celaka lagi bila mereka meninggalkannya karena tertarik etika barat, dengan asumsi etika mereka lebih beradab dan lebih moderen. Wal ‘iyadzu billah.

Padahal, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama, salah satu pembatal keislaman seseorang, ialah apabila ia meyakini ada petunjuk yang lebih baik dan lebih sempurna dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Seyogyanya setiap muslim senantiasa berupaya mengejewantahkan nilai-nilai islami, termasuk adab makan ini. Karena adab-adab tersebut merupakan bagian dari risalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berikut ini kami kemukakan point-point yang berkaitan dengan adab makan:

• Membaca basmalah, demi mengharap keberkahan dan mencegah syaithan ikut makan bersama kita.

Abu Hafs Umar bin Abi Salamah Radhiyallahu ‘anhu menuturkan,

كُنْتُ غُلَامًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ

Ketika aku berada dalam bimbingan Rasulullah, pernah suatu kali tanganku bergerak di atas piring ke segala arah, hingga Rasulullah pun berkata kepadaku,”Wahai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah dari apa yang dekat denganmu.” Maka demikianlah cara makanku sejak saat itu.

Dari Ummul mu’minin A’isyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

Jika salah seorang kalian makan, maka sebutlah nama Allah. Jika ia lupa untuk menyebutnya di awal, hendaklah ia membaca : بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ (dengan menyebut nama Allah pada awal dan akhirnya).

Berkenaan dengan hadits di atas, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali mengemukakan, tasmiyyah ialah membaca lafadz bismillah. Adapun pendapat yang mengatakan tasmiyyah dengan membaca bismillahir rahman nir rahim, merupakan pendapat yang tidak memiliki hujjah. Demikian juga pendapat yang mengatakan tasmiyyah dibaca pada setiap suapan, adalah pendapat yang batil. Karena tasmiyyah ini hanya dibaca pada awal makan.

Adapun doa yang disunnahkan setelah selesai makan, ialah sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits berikut.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَعَ مَائِدَتَهُ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًافِيهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مُوَدَّعٍ وَلَا مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبَّنَا

Dari Abu Umamah, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika Beliau selesai makan Beliau berdoa,“Segala puji bagi Allah (aku memujinya) dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah, yang senantiasa dibutuhkan, diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, ya Rabb kami.

عَنْ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَكَلَ طَعَامًا ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ

Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa makan kemudian ia berdoa,’Segala puji bagi Allah Yang telah memberi makanan ini kepadaku dan memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku,’ niscaya diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.

• Wajib makan dengan tangan kanan, berdasarkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عن سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِينِكَ قَالَ لَا أَسْتَطِيعُ قَالَ لَا اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ

Dari Salamah bin Al Akwa’, bahwa pernah seorang laki-laki makan dengan tangan kirinya di sisi Rasulullah, maka Beliau berkata,”Makanlah dengan tangan kananmu.” Laki-laki itu menjawab,”Aku tidak bisa.” Beliau pun berkata,”Engkau tidak bisa, tidak ada yang mencegahmu melakukannya melainkan kesombonganmu.” Akhirnya ia benar-benar tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya.

Ucapan Rasulullah pada hadits di atas (لَا اسْتَطَعْتَ ) merupakan doa Beliau atas laki-laki tadi, karena kesombongannya enggan mengukuti sunnah.

• Disunnahkan makan dengan tiga jari dan menjilatinya selesai makan serta mengambil suapan yang jatuh

عَنْ كَعْب قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ فَإِذَا فَرَغَ لَعِقَهَا

Dari Ka’ab bin Malik ia berkata,”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan tiga jarinya dan setelah selesai Beliau menjilatinya.”

عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ وَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ

Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Jika jatuh suapan salah seorang diantara kalian, hendaklah ia mengambilnya. Kemudian membersihkan kotoron yang mungkin menempel dan memakannya. Janganlah ia tinggalkan suapan itu untuk syaithan, dan janganlah ia mengusap tangannya dengan sapu tangan sampai ia menjilatinya. Karena ia tidak tahu, di bagian mana berkah dari makannya.”

• Tidak boleh makan dengan bersandar

عَنْ أبي جُحَيْفَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا آكُلُ مُتَّكِئًا

Dari Abu Juhaifah, ia berkata, Rasulullah bersabda,”Tidaklah aku makan dengan bersandar.”

• Tidak boleh mencela makanan halal

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

Dari Abi Hurairah, ia berkata,”Nabi tidak pernah mencela makanan sedikitpun. Jika Beliau suka, Beliau memakannya. Dan bila tidak suka, Beliau meninggalkannya.”

• Disunnahkan untuk bercakap-cakap ketika makan dan memuji makanan meskipun sedikit.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ

Dari Jabir bin Abdillah, bahwasanya Nabi bertanya kepada keluarganya tentang lauk. Mereka menjawab,”Kita tidak memiliki lauk, kecuali cuka.” Maka Beliaupun minta untuk dibawakan. Kemudian Beliau makan dengan cuka tadi dan berkata,”Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.”

• Mendahulukan orang tua ketika makan

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ كُنَّا إِذَا حَضَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا لَمْ نَضَعْ أَيْدِيَنَا حَتَّى يَبْدَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعَ يَدَهُ

Dari Hudzaifah ia berkata,” Jika kami menghadiri jamuan makan bersama Rasulullah, tidaklah kami menjulurkan tangan kami ke makanan sampai Rasulullah n memulainya”

• Kita boleh makan dengan sendiri ataupun dengan berjamaah, berdasarkan firmanNya Subhanahu wa Ta’ala :

لَّيْسَ عَلَى اْلأَعْمَى حَرَجٌ وَلاَعَلَى اْلأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى أَنفُسِكُمْ أَن تَأْكُلُوا مِن بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ ءَابَآئِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالاَتِكُمْ أَوْ مَامَلَكْتُم مَّفَاتِيحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُم بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu.Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkati lagi baik.Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. [An-Nuur/24:61]

Namun ada anjuran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk makan berjamaah seperti yang diriwayatkan dalam satu hadits, para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” Wahai Rasulullah sesungguhnya kami sudah makan namun mengapakah kami tidak merasa kenyang? Beliau berkata,” Mungkin kalian makan dengan terpisah” Mereka menjawab,”Ya” Maka beliau pun bersabda,

فَجْتَمِعُوا على طَعَامٍكُم واذّْكُرُوا اسْمَ اللهِ يُبَرِكْ لَكُمْ

“Berkumpullah kalian ketika makan serta sebutlah nama Allah niscaya Allah akan memberikan keberkahan kepada kalian “

• Jika diundang dalam jamuan makan, selayaknya kita memperhatikan adab-adab berikut:

1. Wajib memenuhi undangan sekalipun sedang berpuasa. Bagi yang berpuasa sunnah ia boleh berbuka dan tidak wajib mengqadhanya, berdasarkan hadis Nabi berikut:

الصَائِمُ المُتَطَوعُ أَمِرُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ وَ إِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Orang berpuasa sunnah adalah amir bagi dirinya sendiri, jika mau ia boleh berpuasa dan jika mau ia boleh berbuka”

2. Disunnahkan untuk mendoakan yang mengundang.
Abdullah bin Bisr mengisahkan, ayahnya pernah membuat makanan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengundang beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang. Selesai makan beliau berdoa:

اللهم بَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُم واغْفِرْ لَهُمْ وارْحَمْهُم

“Ya Allah berikanlah mereka keberkahan pada apa yang Kau rizqikan kepada mereka, ampunillah mereka serta sayangilah mereka”

Kemudian sabda beliau yang lain:

أَكَلَ طَعَامَكُم الأبْرَار و صَلَّتْ عَلَيْكُم الملائكةُ و أَفْطَرَ عِنْدَكُم الصَائِمُون

“Semoga orang-orang baik memakan makanan kalian, para malaikat mendoakan kalian dan orang-orang yang berpuasa berbuka di rumah kalian”

3. Tidak wajib menghadiri undangan yang di dalamnya terdapat maksiat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله و اليَوْمِ الآخِرِ قَلاَ يَقْعُدَنَّ على مَائِدَةٍ تُدَارُ عَلَيْهَا بِالخَمْرِ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah ia sekali-kali duduk di meja hidangan yang di situ dihidangkan minuman keras”

4. Disunnahkan untuk memulai makan dari tepi wadah dan bukan dari tengah
Dari Abdullah bin Bisr ia berkata,”Nabi memiliki mangkuk besar yang dinamai Al Gharra’ yang diangkat oleh empat orang lelaki, tatkala para sahabat selesai shalat duha, mangkuk tersebut dihidangkan penuh berisi kuah dan roti, para sahabat berkerumun mengelilinginya. Ketika jumlah sahabat yang datang semakin banyak, Nabi duduk berlutut dengan menduduki punggung telapak kaki beliau. Seorang lelaki badui bertanya,”Duduk macam apakah ini? Rasulullah menjawab,”Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai hamba yang mulia dan tidaklah Ia menjadikanku seorang yang sombong lagi durhaka”Kemudian beliau bersabda,”Makanlah dari sisi-sisinya dan tinggalkanah puncaknya niscaya Allah memberikan berkah pada makanan ini

5. Tidak boleh bagi orang yang tidak diundang untuk ikut makn kecuali dengan seizin tuan rumah.
Abu Mas’ud Al Badri bercerita,”Seorang laki-laki mengundang Nabi ke rumahnya untuk mencicipi makanan buatannya. Lalu ada seorang lelaki yang mengikuti beliau. Ketika sampai beliau berkata,”Lelaki ini mengikuti saya, engkau boleh mengizinkannya masuk atau jika tidak ia akan pulang” Pemilik rumah menjawab,”Saya mengizinkannya wahai Rasulullah”

6. Tidak seyogyanya bagi tuan rumah mengkhususkan hanya mengundang orang-orang kaya dan terpandang saja tanpa menyertakan orang-orang miskin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

شَرُّ الطَّعَامُ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى إِلَيْهِ الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِينُ فَمَنْ لَمْ يَأْتِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang diundang untuk menghadirinya hanya golongan kaya saja sedangkan orang-orang miskin dilarang”

Wallahu a’lamu bish shawab



Dikutip dari https://almanhaj.or.id

Selasa, 12 Maret 2019

Penghalang terkabulnya doa

Banyak orang yang berdoa melakukan perbuatan yang menyebabkan doa mereka ditolak dan tidak dikabulkan, karena kebodohan mereka tentang syarat-syarat doa, padahal apabila tidak terpenuhi salah satu syarat tersebut, maka doa tersebut tidak dikabulkan.

Adapun syarat-syarat yang terpenting antara lain.

[1]. Ikhlas

Sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya”. [Ghafir : 14]

Ibnu Katsir mengatakan bahwa setiap orang yang beribadah dan berdoa hendaknya dengan ikhlas serta menyelisihi orang-orang musyrik dalam cara dan madzhab mereka.[Tafsir Ibnu Katsir 4/73]

Dari Abdurrahman bin Yazid bahwa dia berkata bahwasanya Ar-Rabii’ datang kepada ‘Alqamah pada hari Jum’at dan jika saya tidak ada dia memberikan kabar kepada saya, lalu ‘Alqamah bertemu dengan saya dan berkata : Bagaimana pendapatmu tentang apa yang dibawa oleh Rabii’.? Dia menjawab : “Berapa banyak orang yang berdoa tetapi tidak dikabulkan ? Karena Allah tidak menerima doa kecuali yang ikhlas”. Saya berkata : Bukankah itu telah dikatakannya ? Dia berkata : Abdullah mengatakan bahwa Allah tidak mendengar doa seseorang yang berdoa karena sum’ah, riya’ dan main-main tetapi Allah menerima orang yang berdoa dengan ikhlas dari lubuk hatinya”. [Imam Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 2/65 No. 606. Dishahihkan sanadnya oleh Al-Albani dalam Shahih Adabul Mufrad No. 473. Nakhilah maksudnya adalah iikhlas, Masma’ adalah orang yang beramal untuk dipuji atau tenar].

Termasuk syarat terkabulnya doa adalah tidak beribadah dan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Jika seseorang menujukan sebagian ibadah kepada selain Allah baik kepada para Nabi atau para wali seperti mengajukan permohonan kepada mereka, maka doanya tidak terkabulkan dan nanti di akhirat termasuk orang-orang yang merugi serta kekal di dalam Neraka Jahim bila dia meninggal sebelum bertaubat.

[2] & [3]. Tidak Berdoa Untuk Sesuatu Dosa Atau Memutuskan Silaturrahmi

Dari Abu Said bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila seorang muslim berdoa dan tidak memohon suatu yang berdosa atau pemutusan kerabat kecuali akan diakabulkan oleh Allah salah satu dari tiga ; Akan dikabulkan doanya atau ditunda untuk simpanan di akhirat atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya”.[Musnad Ahmad 3/18. Imam Al-Mundziri mengatakannya Jayyid (bagus) Targhib 2/478].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud “tidak berdoa untuk suatu yang berdosa” artinya berdoa untuk kemaksiatan suatu contoh : “Ya Allah takdirkan aku untuk bisa membunuh si fulan”, sementara si fulan itu tidak berhak dibunuh atau “Ya Allah berilah aku rizki untuk bisa minum khamer” atau “Ya Allah pertemukanlah aku dengan seorang wanita untuk berzina”. Atau berdoa untuk memutuskan silaturrahmi suatu contoh : “Ya Allah jauhkanlah aku dari bapak dan ibuku serta saudaraku” atau doa semisalnya. Doa tersebut pengkhususan terhadap yang umum. Imam Al-Jazri berkata bahwa memutuskan silaturahmi bisa berupa tidak saling menyapa, saling menghalangi dan tidak berbuat baik dengan semua kerabat dan keluarga.

[4]. Hendaknya Makanan Dan Pakaian Dari Yang Halal Dan Bagus

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan :

“Artinya : Seorang laki-laki yang lusuh lagi kumal karena lama bepergian mengangkat kedua tanganya ke langit tinggi-tinggi dan berdoa : Ya Rabbi, ya Rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dagingnya tumbuh dari yang haram, maka bagaimana doanya bisa terkabulkan.?” [Shahih Muslim, kitab Zakat bab Qabulus Sadaqah 3/85-86].

Imam An-Nawawi berkata bahwa yang dimaksud lama bepergian dalam rangka beribadah kepada Allah seperti haji, ziarah, bersilaturrahmi dan yang lainnya.

Pada zaman sekarang ini berapa banyak orang yang mengkonsumsi makanan, minuman dan pakaian yang haram baik dari harta riba, perjudian atau harta suap yang yang lainnya. [Syarh Shahih Muslim 7/100].

Ahli Syair berkata.

“Kita berdoa dan menyangka doa terangkat padahal dosa menghadangnya lalu doa tersebut kembali. Bagaimana doa kita bisa sampai sementara dosa kita menghadang di jalannya”. [Al-Azhiyah dalam Ahkamil Ad’iyah hal. 141].

[5]. Tidak Tergesa-gesa Dalam Menunggu Terkabulnya Doa

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda.

“Artinya : Akan dikabulkan permintaan seseorang di antara kamu, selagi tidak tergesa-gesa, yaitu mengatakan : Saya telah berdoa tetapi belum dikabulkan”. [Shahih Al-Bukhari, kitab Da’awaat 7/153. Shahih Muslim, kitab Do’a wa Dzikir
8/87]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : Yang dimaksud dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Saya berdoa tetapi tidak dikabulkan”, Ibnu Baththaal berkata bahwa seseorang bosan berdoa lalu meninggalkannya, seakan-akan mengungkit-ungkit dalam doanya atau mungkin dia berdoa dengan baik sesuai dengan syaratnya, tetapi bersikap bakhil dalam doanya dan menyangka Alllah tidak mampu mengabulkan doanya, padahal Dia dzat Yang Maha Mengabulkan doa dan tidak pernah habis pemberian-Nya. [Fathul Bari 11/145].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa Imam Al-Madzhari berkata : Barangsiapa yang bosan dalam berdoa, maka doanya tidak terkabulkan sebab doa adalah ibadah baik dikabulkan atau tidak, seharusnya seseorang tidak boleh bosan beribadah. Tertundanya permohonan boleh jadi belum waktunya doa tersebut dikabulkan karena segala sesuatu telah ditetapkan waktu terjadinya, sehingga segala sesuatu yang belum waktunya tidak akan mungkin terjadi, atau boleh jadi permohonan tersebut tidak terkabulkan dengan tujuan Allah mengganti doa tersebut dengan pahala, atau boleh jadi doa tersebut tertunda pengabulannya agar orang tersebut rajin berdoa sebab Allah sangat senang terhadap orang yang rajin berdoa karena doa memperlihatkan sikap rendah diri, menyerah dan merasa membutuhkan Allah. Orang sering mengetuk pintu akan segera dibukakan pintu dan begitu pula orang yang sering berdoa akan segera dikabulkan doanya. Maka seharusnya setiap kaum Muslimin tidak boleh meninggalkan berdoa. [Mir’atul Mafatih 7/349].

Syubhat.

Allah berfirman.

“Artinya : Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. (Ghafir : 60).

Banyak orang yang berdoa tetapi tidak dikabulkan, kalau seandainya ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya pasti tidak mungkin doa tersebut ditolak.

Hafizh Ibnu Hajar menjawab bahwa setiap orang yang berdoa pasti terkabulkan tetapi dengan bentuk pengkabulan yang berbeda-beda, terkadang apa yang diminta terkabulkan, atau terkadang diganti dengan sesuatu pemberian lain, sebagaimana hadits dari ‘Ubadah bin Shamit bahwasanya NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidak ada seorang muslim di dunia berdoa memohon suatu permohonan melainkan Allah pasti mengabulkannya atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya”. [Fathul Bari 11/98].

[6] &[ 7] Hendaknya Berdoa Dengan Hati Yang Khusyu’ Dan Yakin Bahwa Doanya Pasti Akan Dikabulkan

Dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Hati itu laksana wadah dan sebahagian wadah ada yang lebih besar dari yang lainnya, maka apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah kepada-Nya sedangkan kamu merasa yakin akan dikabulkan karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai”. [Musnad Ahmad 2/177, Mundziri dalam kitab Targhib 2/478, Al-Haitsami dalam Majma Zawaid 10/148]

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi : ” dan kalian yakin akan dikabulkan”, adalah pengharusan artinya berdoalah sementara kalian bersikap dengan sifat yang menjadi penyebab terkabulnya doa. Imam Al-Madzhari berkata bahwa hendaknya orang yang bedoa merasa yakin bahwa Allah akan mengabulkan doanya sebab sebuah doa tertolak mungkin disebabkan yang diminta tidak mampu mengabulkan atau tidak ada sifat dermawan atau tidak mendengar terhadap doa tersebut, sementara kesemuanya sangat tidak layak menjadi sifat Allah. Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah, Maha Tahu dan Maha Kuasa yang tidak menghalangi doa hamba-Nya. Jika seorang hamba tahu bahwa Allah tidak mungkin menghalangi doa hamba-Nya, maka seharusnya kita berdoa kepada Allah dan merasa yakin bahwa doanya akan dikabulkan oleh Allah.

Seandainya ada orang yang mengatakan bahwa kita dianjurkan agar kita selalu yakin bahwa doa kita akan terkabulkan dan keyakinan itu akan muncul jika doa pasti dikabulkan, sementara kita melihat sebagian orang terkabul doanya dan sebagian yang lainnya tidak terkabulkan, bagaimana kita bisa yakin ?

Orang yang berdoa pasti terkabulkan dan pemintaannya pasti diberikan kecuali bila dalam catatan azali Allah doa tersebut tidak mungkin dikabulkan akan tetapi dia akan dihindarkan oleh Allah dari musibah semisalnya dengan permohonan yang dia minta sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits. Atau diberi ganti yang berupa pahala dan derajat di akhirat. Karena doa adalah ibadah dan barangsiapa yang beribadah dengan baik, maka tidak mungkin akan dihalangi dari pahala.

Yang dimaksud dengan sabda Nabi : “dari hati yang lalai” adalah hati yang berpaling dari Allah atau berpaling dari yang dimintanya. [Mir’atul Mafatih 7/360-361].



Dikutip dari https://almanhaj.or.id

Senin, 11 Maret 2019

Harapan dalam islam

Sering kita mendengar dari pembicaraan orang orang seperti ” Sandainya tidak ada saya pasti kamu sudah begini dan begitu…, atau “ Andaikata dulu saya begini pasti saya…., larangan mengucapkan “andaikata” maupun “seandainya” telah termaktub di Al qur’an dan Hadits, mari simak fatwa ulama berikut ini:

Firman Allah Subhanahu wata’ala :

يقولون لو كان لنا من الأمر شيء ما قتلنا ههنا قل لو كنتم في بيوتكم لبرز الذين كتب عليهم القتل إلى مضاجعهم وليبتلي الله ما في صدوركم وليمحص ما في قلوبكم والله عليم بذات الصدور

“Mereka (orang-orang munafik) mengatakan :seandainya kita memiliki sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya (kita tak akan terkalahkan) dan tidak ada yang terbunuh diantara kita di sini (perang uhud). Katakanlah : ‘Kalaupun kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji (keimanan) yang ada dalam dadamu, dan membuktikan (niat) yang ada dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui isi segala hati.” (QS. Ali Imran, 154).

الذين قالوا لإخوانهم وقعدوا لو أطاعونا ما قتلوا قل فادرءوا عن أنفسكم الموت إن كنتم صادقين

“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka takut pergi berperang :seandainya mereka mengikuti kita tentulah mereka sudah terbunuh. Katakanlah : Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Ali Imran, 168).

Diriwayatkan dalam shoheh Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجزن، وإن أصابك شيء فلا تقل : لو أني فعلت لكان كذا وكذا، ولكن قل : قدر الله وما شاء فعل، فإن ” لو ” تفتح عمل الشيطان

“Bersungguh-sungguhlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), dan janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah, dan jika kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu mengatakan : “seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’“, tetapi katakanlah : “ini telah ditentukan oleh Allah, dan Allah akan melakukan apa yang Ia kehendaki”, karena kata “seandainya” itu akan membuka pintu perbuatan syetan.”

Kandungan bab ini :

Penjelasan tentang ayat dalam surat Ali Imran ([1]).

Larangan mengucapkan kata “andaikata” atau “seandainya” apabila mendapat suatu musibah atau kegagalan.

Alasannya, karena kata tersebut (seandainya/andaikata) akan membuka pintu perbuatan syetan.

Petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam [ketika menjumpai suatu kegagalan atau mendapat suatu musibah] supaya mengucapkan ucapan ucapan yang baik [dan bersabar serta mengimani bahwa apa yang terjadi adalah takdir Allah].

Perintah untuk bersungguh-sungguh dalam mencari segala yang bermanfaat [untuk di dunia dan di akhirat] dengan senantiasa memohon pertolongan Allah.

Larangan bersikap sebaliknya, yaitu bersikap lemah.

(1)Kedua ayat di atas menunjukkan adanya larangan untuk mengucapkan kata “seandainya” atau “andaikata” dalam hal-hal yang telah ditakdirkan oleh Allah terjadi, dan ucapan demikian termasuk sifat-sifat orang munafik, juga menunjukkan bahwa konsekwensi iman ialah pasrah dan ridho kepada takdir Allah, serta rasa khawatir seseorang tidak akan dapat menyelamatkan dirinya dari takdir tersebut.

Minggu, 10 Maret 2019

Adzan dan iqomah

Di dalam Islam, shalat merupakan ibadah badaniyah yang penting dan telah ditetapkan waktu pelaksanaannya. Allah berfirman, artinya : Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). (An Nisa`:103). Sesungguhnya kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman … [An Nisa` : 104].

Untuk mengetahui waktu shalat, Allah telah mensyariatkan adzan sebagai tanda masuk waktu shalat, berikut tata cara adzan dan hukum Islam berkenaan dengan adzan tersebut. Yang semuai ini, sangat penting untuk diketahui oleh kaum muslimin.

PENGERTIAN ADZAN DAN IQAMAH
Kata Adzan berasal dari bahasa Arab yang bermakna pemberitahuan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al Baqarah:279].

وَأَذَانٌ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الحَجِّ اْلأَكْبَرِ أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {3}

Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan RasulNya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakan kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat ) siksa yang pedih. [At Taubah : 3].

Adapun menurut syariat, adzan adalah beribadah kepada Allah dengan pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan dzikir tertentu. Inilah yang dirajihkan Ibnu ‘Utsaimin, sebagaimana pernyataan beliau: “Ini lebih tepat dari hanya (sekedar) pengertian bahwa adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat, sebab adzan itu ikut shalat. Oleh karena itu, jika diysariatkan ibrad dalam shalat Dhuhur (memperlambat shalat Dhuhur sampai agak dingin), maka disyariatkan mengakhirkan adzan”.

Adapun iqamah, menurut kaidah bahasa Arab berasal dari kata aqama yang maknanya, menjadikannya lurus atau menegakkan. Sedangkan menurut istilah syariat, iqamah ialah, ibadah kepada Allah untuk menegakkan shalat dengan dzikir tertentu.

PERBEDAAN ADZAN DAN IQAMAH
Dari pengertian adzan dan iqamah di atas, maka dapat diketahui perbedaan antara adzan dan iqamah ialah:

1. Adzan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat agar bersiap-siap menunaikannya, dan iqamah untuk masuk dan memulai shalat.
2. Lafadz (dzikir) yang dikumandangkan, dan masing-masing (antara adzan dan iqamah) juga berbeda, sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.

SIFAT DAN LAFADZ ADZAN DAN IQAMAH
Lafadz adzan yang ada dan digunakan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkenal dalam madzhab para Ulama terdapat adalah tiga macam :

1. Lafadz adzan dengan 15 kalimat, yaitu : 4 takbir, 2 syahadat Lailaha illa Allah, 2 syahadat Rasulullah, 2 hayya ‘ala as shalat, 2 hayya ‘alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid.

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ . حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ . حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ .اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ”

Inilah yang dipakai madzhab Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah. Dasarnya ialah hadits Abdullah bin Zaid yang berbunyi:

لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاقُوسِ يُعْمَلُ لِيُضْرَبَ بِهِ لِلنَّاسِ لِجَمْعِ الصَّلَاةِ طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوسًا فِي يَدِهِ فَقُلْتُ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَتَبِيعُ النَّاقُوسَ قَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهِ فَقُلْتُ نَدْعُو بِهِ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ أَفَلَا أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ فَقُلْتُ لَهُ بَلَى قَالَ فَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
قَالَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّي غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ قَالَ وَتَقُولُ إِذَا أَقَمْتَ الصَّلَاةَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا رَأَيْتُ فَقَالَ إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ فَقُمْتُ مَعَ بِلَالٍ فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ وَيُؤَذِّنُ بِهِ قَالَ فَسَمِعَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ وَيَقُولُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ مَا رَأَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Ketika Rasulullah memerintahkan penggunaan lonceng untuk memanggil orang berkumpul untuk shalat, maka dalam tidurku, aku bermimpi ada seseorang yang mengelilingiku dengan memanggul lonceng di tangannya, lalu aku berkata kepadanya: “Wahai, hamba Allah. Apakah kamu menjual lonceng itu?” Maka ia menjawab: “Hendak engkau apakan ia?” Maka aku menjawb: “Memanggil orang shalat dengannya”. Lalu orang tersebut menyatakan: “Maukah engkau, aku tunjukkan yang lebih baik dari itu?” Aku menjawab: “Ya, mau”. Maka ia mengatakan : “Katakanlah:

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ”

Ia berkata: “Kemudian orang tersebut muncul tidak jauh dariku,” kemudian menyatakan: Dan jika engkau melakukan iqamah, (maka) katakanlah:

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ”

Ketika subuh, aku menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan mimpiku tersebut. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: “Sungguh, itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Maka pergilah ke Bilal dan ajarkanlah apa yang engkau lihat, lalu hendaklah Bilal mengumandangkan adzan dengannya, karena ia lebih keras suaranya darimu.” Lalu aku menemui Bilal dan mengajarkan kepadanya, dan iapun adzan dengannya. Lalu Umar bin Khaththab mendengar hal itu di dalam rumahnya, lalu ia keluar menyeret selendangnya dan menyatakan: “Demi Dzat yang mengutus engkau dengan benar, wahai Rasulullah, sungguh akupun melihat apa yang ia lihat dalam mimpi”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan : “Alhamdulillah”.

2. Lafadz adzan sejumlah 17 kalimat, yaitu 2 takbir, 2 syahadatain diulang dua kali = 8 kalimat, 2 hayya ‘ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid. Inilah adzan menurut Imam Malik, dan dasarnya ialah hadits Abu Mahdzurah:

عَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ عَلَّمَهُ هَذَا الْأَذَانَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ يَعُودُ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ مَرَّتَيْنِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ مَرَّتَيْنِ زَادَ إِسْحَقُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan dengan:

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ”

Kemudian mengulang, lalu membaca:

” أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ”
” حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ” (dua kali)

Dan (membaca) حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ dua kali.

Ishaq menambahkan bacaan:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

3. Lafadznya 19 kalimat, yaitu 4 takbir, 2 syahadatain dengan tarji’ (diulang dua kali = 8 kalimat), 2 hayya ‘ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid. Inilah yang dijadikan pedoman dalam madzhab Syafi’i. Dalilnya ialah hadits Abu Mahdzurah :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَهُ الْأَذَانَ تِسْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً وَالْإِقَامَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan 19 kalimat dan iqamah 17 kalimat.

Hal ini dijelaskan dalam riwayat lain dari Abu Mahdzurah, ia berkata:

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي سُنَّةَ الْأَذَانِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِي وَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ تَرْفَعُ بِهَا صَوْتَكَ ثُمَّ تَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ تَخْفِضُ بِهَا صَوْتَكَ ثُمَّ تَرْفَعُ صَوْتَكَ بِالشَّهَادَةِ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ فَإِنْ كَانَ صَلَاةُ الصُّبْحِ قُلْتَ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Aku berkata: “Wahai Rasulullah. Ajarilah aku sunnah adzan.” Lalu Beliau memegang bagian depan kepalaku dan berkata: “Ucapkanlah dengan suara perlahan

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ”

Kemudian keraskanlah suaramu dalam membaca syahadat:

” أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ .
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ .حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ. حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ”

Jika shalat Subuh, katakanlah :

” الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ ”

Lalu :

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّه ”

Ibnu Abdil Bar mengatakan: “Ahmad, Ishaq, Dawud dan Ibnu Jarir berpendapat, ini termasuk khilaf yang mubah, karena takbir yang empat pertama atau dibuat dua kali, atau dengan tarji’ dalam syahadat atau tidak, iqamah dibuat dua-dua atau satu-satu semuanya kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ . semuanya boleh.

Dalam permasalahan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memberikan tarjih sebagaimana pernyataan beliau: Semua yang ada dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari lafadz adzan, maka diperbolehkan, bahkan semestinya, terkadang menggunakan yang ini dan terkadang yang itu, jika tidak menimbulkan keresahan dan fitnah. Ada kaidah yang menyatakan, ibadah-ibadah yang diajarkan dalam sisi yang berbeda-beda, hendaknya dilakukan atas sisi-sisi tersebut semuanya. Hal ini memiliki beberapa faidah (manfaat):
a). Menjaga Sunnah dalam berbagai sisinya.
b). Mempermudah para mukallaf.
c). Kehadiran hati (membuat khusyu`) dan tidak bosan.
d). Menjaga dan memelihara syariat.

Kemudian ada riwayat lain yang menjelaskan bahwa adzan dilakukan dua-dua, dan iqamah satu-satu, sebagaimana disebtukan dalam hadits Ibnu Umar :

كَانَ الأّذَانُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيْ مَثْنَى مَثْنَى وَ الإِقَامَةُ وَاحِدَةٌ غَيْرُ أَنَّهُ إِذَا قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ ثَنَى بِهَا

Adzan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dua-dua, dan iqamah satu-satu, kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ dua kali.

Sedangkan lafadz iqamah ada tiga juga, yaitu:
a). Iqamah 11 kalimat, yaitu :

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Inilah iqamah menurut pendapat Syafi’i, Ahmad dan kebanyakan ulama, dengan dasar hadits Abdullah bin Zaid di atas.

b). Iqamah seperti di atas dengan dikurangi قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ menjadi satu sehingga jumlahnya 10 kalimat. Demikian ini iqamah menurut madzhab Malikiyah.

c). Iqamah berjumlah 17 kalimat, yaitu :

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Inilah iqamah menurut madzhab Abu Hanifah, dengan dasar hadits Abu Mahdzurah yang menyatakan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَهُ الْأَذَانَ تِسْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً وَالْإِقَامَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan 19 kalimat dan iqamah 17 kalimat.

Abu Isa Al Tirmidzi menyatakan : “Ini hadits hasan shahih”.

4). Iqamah dengan 9 kalimat, dengan satu-satu kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ dua kali, dasarnya ialah hadits Ibnu Umar di atas.

Imam Bukhari juga menulis masalah ini dalam bab Al Iqamatu Wahidah Illa Qaulahu قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ , yang didukung disepakati Al Hafizh Ibnu Hajar dalam pensyariatannya.

Semua lafadz adzan di atas boleh dipergunakan, dan lebih baik bila digunakan seluruhnya, kecuali jika menimbulkan fitnah di masyarakat, sebagaimana telah disampaikan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas.

KANDUNGAN LAFADZ ADZAN
Lafazd adzan dan iqamah mencakup kandungan aqidah seorang muslim, sehingga Imam Al Qadhi Iyadh berpendapat: “Ketahuilah, bahwa adzan adalah kalimat yang berisi aqidah iman yang mencakup jenis-jenisnya. Yang pertama, menetapkan Dzat dan yang seharusnya dimiliki Dzat Allah dari kesempurnaan dan pensucian dari lawan kesempurnaan. Dan itu terkandung pada ucapan “Allahu Akbar”. Lafadz ini, walaupun sangat ringkas, namun sudah menjelaskan apa yang telah kami sebutkan di atas. Kemudian (yang kedua), menegaskan keesaan Allah dan penolakan sekutu yang mustahil ada bagiNya. Ini merupakan dasar dan tonggak iman, dan tauhid yang didahulukan ada di atas segala tugas agama lainnya. Kemudian menegaskan penetapan kenabian dan persakisan akan kebenaran risalah (kerasulan) bagi Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini merupakan kaidah agung setelah syahadat tentang keesaaan Allah. Kemudian mengajak kepada ibadah yang diperintahkan. Mengajak untuk shalat dan menjadikannya setelah penetapan kenabian, karena kewajibannya diketahui melalui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan melalui akal. Kemudian mengajak kapada kemenangan, yaitu kekal di dalam kenikmatan yang abadi. Disini terdapat isyarat untuk perkara-perkara akhirat dalam hal kebangkitan dan pembalasan yang merupakan akhir masalah aqidah Islam. Lalu hal itu diulang-ulang dengan iqamat shalat untuk memberitahu mulainya. Hal ini mengandung penegasan iman dan pengulangan penjelasan iman ketika memulai suatu ibadah dengan hati dan lisan, dan agar orang yang shalat senantiasa berada di atas kejelasan amalannya dan ilmu tentang imannya, serta merasakan keagungan shalat dan keagungan Dzat yang disembah serta pahala yang besar”.

Imam Al Qurthubi juga menyatakan: “Adzan, walaupun lafadznya sangat ringkas, namun mengandung banyak masalah aqidah; karena adzan dimulai dengan takbir yang mengandung penetapan keberadaan dan kesempurnaan Allah. Kemudian diikuti dengan penetapan tauhid dan menafikan syirik. Lalu penetapan risalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ajakan untuk mentaati Beliau secara khusus setelah syahadat (persaksian) tentang risalah (kerasulan), karena tidak diketahui ibadah shalat tersebut kecuali dari jalan rasul. Kemudian ajakan kepada kemenangan, yaitu kekekalan dan berisi isyarat tentang hari pembalasan, lalu diulang-ulang sebagai penegasan. Sehingga dari adzan didapatkanlah pemberitahuan tentang masuk waktu shalat, ajakan berjamaah dan menampakkan syiar Islam”.



Dikutip dari https://almanhaj.or.id