Sabtu, 12 Oktober 2019

Batalnya Wudhu

Dalam kitab matan al-Ghoyatu wat Taqrib karangan Abi Suja diterangkan bahwa perkara yang dapat membatalkan wudhu ada enam:
1. Sesuatu yang keluar dari kedua jalan (kemaluan depan maupun belakang), 
2.Tidur tidak dalam keadaan duduk, 
3. Hilangnya akal sebab mabuk atau sakit, 
4. Bersentuhan (kulit) pria dan wanita yang bukan mahram tanpa penghalang, 
5. Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan, 
6. Menyentuh lubang dubur manusia.
Dalam keterangannya atas enam hal tersebut Ibnu Qasim al-Ghazi dalam Fathul Qaribul Mujib menerangkan dengan rinci enam hal tersebut. 
Pertama keluarnya sesuatu yang dari kedua jalan kemaluan depan (qubul) maupun belakang (dubur), baik itu sesuatu yang suci seperti cacing dan mani ataupun yang tidak suci seperti darah dan kentut. Hal ini berdasar pada surat al-maidah ayat 6

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ  

Dan sebuah hadits yang diceritakan oleh Abu Hurairoh dan diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim;

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لايقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ فقال رجل من أهل حضر موت ماالحدث ياأباهريرة؟ قال: فساء أو ضراط

Artinya: Abu Hurairoh bercerita bahwa Rasulullah saw bersabda “Allah tidak menerima sholat kamu sekalian apabila (kamu) dalam keadaan hadats hingga kamu berwudhu” kemudian seorang Hadramaut bertanya kepada Abu Hurairoh “apakah hadats itu?” Abu Hurairoh menjawab “kentut (yang tidak bersuara)dan Kentut yang bersuara”    
Kedua tidur dan ketiga hilangnya akal . Tidur dapat membatalkan wudhu kecuali tidur dalam posisi duduk yang menetap (pantat yang rapat) seperti duduknya orang bersila. Sebagai dalilnya dapat diperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan diceritakan oleh sahabat Ali:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : وكاء السه العينان, فمن نام فاليتوضأ

Artinya: Rasulullah saw berkata “pengendali dubur (tempat keluarnya kotoran dari jalan belakang)adalah kedua mata, oleh karena itu barang siapa tidur hendaklah ia berwudh”.
Hadits ini menunjukkan bahwa tidur pada dasarnya membatalkan wudhu, karena seseorang ketika tidur tidak dapat menjaga duburnya, bahkan ia tidak tahu apakah dia telah kentut atau malah kencing. Diqiyaskan dengan tidak adanya kendali ketika tidur adalah hilangnya akal atau kesadaran  . ini juga dapat membatalkan wudhu, karena ketika seseorang tidak sadar, berarti ia tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Baik kesadaran itu hilang karena mabuk, pingsan maupun gila.
KeempatBersentuhan (kulit) pria dan wanita yang bukan mahram tanpa penghalang (untuk keterangan lebih lengkap lihat rubrik syariah yang telah berlalu dengan tema (menyentuh istri membatalkan wudhu)
Kelima menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan. Hal ini didasarkan atas dalil sebagai berikut :

رَوَى اْلخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِىْ ، عَنْ بِسْرَةْ بِنْتِ صَفْوَانْ رَضِيَ الله عَنْها : اَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَا يُصَلِّيَ حَتَّى يَتَوَضَّاءَ .

Artinya : Dalam sebuah hadits yang dishahehkan oleh imam tirmidzi dari bisrah binti shafwan r.a. bahwa nabi s.a.w. bersabda : barang siapa yang memegang dzakarnya janganlah melakukan shalat hingga ia berwudhu.
An-nisa’I meriwayatkan bahwa :

وَيَتَوَضَّاءَ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ

Artinya : dan hendaklah berwudhu oleh karena memegang dzakar kemaluan.
Hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa : menyentuh kemaluan adalah membatalkan wudhu. Baik itu kemaluannya sendiri, maupun kemaluan orang lain.
Juga dalam hadits riwayat dari ibnu majah bahwasanya :

عَنْ اُمِّ حَبِيْبَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّاءُ

Artinya : dari ummi habibah r.a. : barangsiapa yang memegang farj-nya maka hendaklah berwudhu.
Sedangkan hadits ini memberikan penjelasan atas batalnya wudhu sebab menyetuh kemaluan baik kemaluan laki-laki maupun perempuan.
Enam; menyentuh lubang dubur.

Jumat, 11 Oktober 2019

Doa Membasuh Anggota Wudhu

Wudhu merupakan salah satu di antara cara untuk menghilangkan hadats, yakni hadats kecil. Wudhu biasanya dilakukan sebelum ibadah yang mengharuskan adanya kebersihan dan kesucian dari hadats kecil bagi yang akan melakukan ibadah tersebut, seperti contoh shalat.
Perintah melaksanakan wudhu sebelum shalat terdapat dalam Surat Al-Maidah ayat 6:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.”
Dengan adanya ayat tersebut, Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib-nya mengatakan bahwa perintah shalat sangat berkaitan erat dengan wudhu. Salah satu pendapat yang dikutip Ar-Razy mengatakan bahwa wajib bersuci (dengan wudhu) saat akan melaksanakan shalat. Jika tidak ada air maka boleh dilaksanakan dengan tayamum, yakni dengan debu.
Jika Ar-Razy mengatakan bahwa inti dari ayat tersebut adalah thaharah qabla shalat (bersuci sebelum shalat) maka sah-sah saja. Karena bertemu, menghadap dan beribadah kepada Allah, Dzat Yang Suci dan mencintai kesucian dan kebersihan tidak bisa dilaksanakan tanpa bersuci. Tentu sangat tidak pantas sekali.
Hal ini senada dengan arti dari kata wudhu sendiri yang berasal dari kata wadha’ah yang berarti hasan (bagus) dan bahjah (indah atau elok). Sedangkan menurut syara’, sebagaimana diungkapkan dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ala Madzhabis Syafi’i:
اسم لفعل الذي هو استعمال الماء في أعضاء معينة مع النية
Artinya, “Sebuah nama untuk menunjukan perkerjaan yang berupa menggunakan air pada anggota-anggota badan tertentu disertai dengan niat.”
Adapun jika wawu-nya difathah (wadhu’) maka artinya berbeda dengan wudhu. Wadhu adalah nama untuk menyebut alat yang digunakan untuk berwudhu, yakni air.
Wudhu juga tidak selamanya berarti sebuah ritual bersuci sebelum shalat atau beribadah yang lain.
Dalam hadits disebutkan:
تَوَضَّؤُوا مِمَّا غَيَّرَتِ النارُ
Wudhu dalam konteks di atas berarti membasuh tangan dan mulut setelah makan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Lisanul Arab;
أَراد بِهِ غَسْلَ الأَيدِي والأَفْواهِ مِنَ الزُّهُومة
Artinya, “Yang dimaksud kata ‘berwudhulah’ dalam hadits di atas adalah membasuh tangan dan mulut agar terbebas dari bau.”
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
Pengertian Wudhu menurut bahasa, Wudhu artinya Bersih dan Indah. Sedangkan menurut istilah (syariah islam) artinya menggunakan air pada anggota badan tertentu dengan cara tertentu yang dimulai dengan niat guna menghilangkan hadast kecil. Wudhu merupakan salah satu syarat sahnya sholat (orang yang akan sholat, diwajibkan berwudhu lebih dulu, tanpa wudhu shalatnya tidak sah.
Hukum berwudhu adalah wajib dilakukan dalam mengerjakan shalat seperti dalam sabda Nabi Muhammad: .
“Tidak diterima sholatmu tanpa Bersuci atau Wudhu (HR. Muslim). dan “Bersuci atau Berwudhu adalah sebagian dari iman (HR. Muslim).
Berwudhu memiliki banyak keutamaan dan manfaat dalam berwudhu yang telah banyak diterangkan dari Sabda Nabi Muhammad SAW:
“Barang siapa yang berwudhu secara sempurna, maka dosa-dosanya akan gugur atau hilang di jasad-nya hingga keluar juga dari bawah kuku-kuku’nya" (HR. Muslim). dan “Sesungguh Umatku kelak akan datang pada hari kiamat dalam keadaan muka dan kedua tangannya kemilau bercahaya karena bekas Berwudhu”.

2. Doa Sebelum dan Sesudah Wudhu

Seperti yang kita ketahui didalam setiap gerakan wudhu, mempunyai bacaan doa-doa tersendiri, dari doa ketika melihat air, doa ketika berkumur, doa ketika membersihkan lubang hidung, doa ketika membasuh wajah, doa ketika membasuh tangan kanan dan kiri, sampai doa pada saat membasuh kaki kanan dan kiri.
Didalam Hadist Muslim dan Bukhari juga di riwayatkan bahwa Rasulullah Saw, pada saat berwudhu beliau juga membaca doa di setiap gerakan wudhu, dengan membaguskan di setiap gerakan wudhu.
Berikut ini adalah bunyi hadist tersebut.
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسِنُ الوُضُوْءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجُ مِنْ تَحْتَ أَظْفَارَهَ
Artinya:
Rasulullah bersabda, "Barangsiapa berwudhu dengan membaguskan wudhu'nya, maka keluarlah dosa-dosanya dari kulitnya sampai  kuku jari-jemarinya". (HR. Muslim)

Didalam hadist diatas Rasullulah Saw, berwudhu dengan membaguskan wudhunya supaya dosa-dosa keluar dari kulit sampai kuku jari jemarinya.

Berikut ini adalah doa-doa yang dibaca saat membasuh anggota-anggota wudhu pada saat wudhu dalam bahasa Arab latin Dan terjemahnya.


1. Doa Ketika Melihat Air

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي جَعَلَ اْلمَاءَ طَهُوْرًا

Al-hamdu lillahilladzi ja'alal-ma'a tahuran
Artinya :
"Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menjadikan Air suci lagi mensucikan"

2. Doa Ketika Membasuh Telapak Tangan

اَللّٰهُمَّ احْفَظْ يَدَيَّ مِنْ مَعَاصِكَ كُلِّهَا
Allohummahfadz Yadayya Min Ma'asyika Kulliha
Artinya :
"Ya Allah peliharalah kedua tanganku dari semua perbuatan maksiat pada-Mu"


3. Doa Saat Berkumur

اَللّٰهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Allohumma a'inni 'Ala Dzikrika wa Syukrika wahusni 'Ibadatika
Artinya:
"Ya Allah bantulah aku untuk selalu berdzikir kepadamu dan selalu memperbaiki ibadah kepadamu"


4. Doa Ketika Menghirup Air Ke Hidung

اَللّٰهُمَّ أَرِحْنِي رَائِحَةَ الجَـنَّةِ وَاَنْتَ عَنِّي رَاضٍ
Allohumma Arihni Roihatal Jannati wa anta annii rodliin
Artinya:
"Ya Allah berikan aku penciuman wewangian syurga dan keadaan Engkau terhadap diriku yang selalu meridhoi"
Niat Berwudhu

نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَصْغَرِ فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitul whudu-a lirof'il hadatsii ashghori fardhon lillaahi ta'aalaa
Artinya :
"Saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadast kecil fardu (wajib) karena Allah ta'ala"
5. Doa Ketika Membasuh Muka
(Setelah membaca niat wudhu dalam hati)

اَللّٰهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِى يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ

Allohumma bayyid wajhiy yauma tabyadu wujuuh wa taswaddu wujuuh
Artinya:
"Ya Allah putihkan wajahku pada hari menjadi putih berseri wajah-wajah kaum muslimin dan menjadi hitam legam wajah-wajah orang kafir"



6. Doa Ketika Membasuh Tangan Kanan

اَللّٰهُمَّ اَعْطِنِى كِتاَبِى بِيَمِيْنِى وَحَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيْرًا
Allohumma A'thini kitabi biyamini wa hasibni hisaban yasiro
Artinya:
"Ya Allah berikanlah kepadaku kitab amalku dari dari tangan kananku dan hisablah aku dengan penghisaban yang ringan"


7. Doa Ketika Membasuh Tangan Kiri

اَللّٰهُمَّ لاَ تُعْطِنِى كِتاَبِى بِشِمَالِى وَلاَمِنْ وَرَاءِ ظَهْرِىْ
Allohumma Laa Ta'thini Kitabi bisyimali walaa min waro'i dzohri
Artinya:
"Ya Allah jangan Engkau berikan kepadaku kitab amal dari tangan kiriku atau pada belakang punggungku"


8. Doa Ketika Mengusap Rambut Kepala

اَللّٰهُمَّ حَرِّمْ شَعْرِيْ وَبَشَرِيْ عَلَى النَّارِ

Allohumma harrim sya'ri wabasyari 'Alannari
Artinya:
"Ya Allah haramkan rambutku dan kulitku atas api neraka"


9. Doa Ketika Membasuh Kedua Telinga

اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ اْلقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ
Allohummaj'Alni minalladzina yastami'unal Qoula fayattabi'una ahsanahu
Artinya:
"Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikuti sesuatu yang terbaik"

10. Doa ketika Membasuh Kaki Kanan

 
اَللّٰهُمَّ ثَبِّتْ قدَمَيَّ عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ تُثَبِّتُ فِيْهِ اَقْدَامَ عِبَادِكَ الصَالِحِينَ
Allohumma Tsabbit Qodamayya 'Alaas Syirothi yauma tutsabbitu fiihi Aqdama 'ibaadikas shoolihiin
Artinya:
"Ya Allah, mantapkan kedua kakiku di atas titian (shirothol mustaqim) pada hari dimana banyak kaki-kaki yang tergelincir"

11. Doa Ketika Membasuh Kaki Kiri

اَللّٰهُمَّ لَاتَزِلُّ قدَمَيَّ عَلَى الصِّرَاطِ فِي النَّارِ يَوْمَ تَزِلُّ فِيْهِ اَقْدَامُ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْمُشْرِكِينَ
Allohumma laa tazillu Qodamayya 'Alaa Syirothi fin naar yauma tazillu fiihi Aqdamul munaafiqiina wal musyrikiina
Artinya:
"Ya Allah jangan kau gelincirkan langkah (pendirianku) pada jalan neraka pada hari digelincirkannya langkah (pendirian) orang-orang munafik dan orang-orang musyrik"


12. Doa Setelah Berwudhu

اَشْهَدُ اَنْ لاَّاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنِىْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِىْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Asyhadu allaa ilaaha illalloohu wahdahuu laa syariika lahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuuwa rosuuluhuu, alloohummaj’alnii minat tawwaabiina waj’alnii minal mutathohhiriina
Artinya:
"Aku bersaksi, tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku mengaku bahwa Nabi Muhammad itu adalah hamba dan Utusan Allah. Ya Allah, jadikanlah aku dari golongan orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku dari golongan orang-orang yang bersuci"


Senin, 07 Oktober 2019

Syarat Sah Wudhu

SYARAT SYAH WUDHU

Syarat Syarat wudhu dan Penjelasannya :

1. Islam
Maka tidak syah wudhunya orang kafir atau orang murtad.

2. Tamiyiz
Yang dimaksud dengan tamiyiz adalah seseorang yang memahami dari pada percakapan atau bisa makan sendiri, minum sendiri dan membersihkan buang hajat sendiri atau bisa membedakan antara kanan dan kiri atau juga bisa membedakan antara kurma dan bara api.

3. Bersih dari haid dan nifas
Haid adalah darah yang keluar pada waktu tertentu bagi setiap wanita yang sudah dewasa. sedangkan nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan.

4. Tidak adanya sesuatupun yang mencegah sampainya air ke kulit anggota wudhu
Yaitu bersihnya kulit anggota wudhu dari semisal cat atau kotoran kotoran lain yang menempel di kulit sehingga air tidak bisa masuk.

5. Tidak ada sesuatupun di anggota wudhu yang bisa merubah air
Yaitu bersihnya anggota tubuh yang bisa merubah air dan mencabut nama air tersebut. contohnya seperti tinta dan jakfaron yang banyak.

6. Mengetahui kefardhuan/kewajiban dari pada wudhu
Seorang yang wudhu harus mengetahui bahwasannya hukum dari pada wudhu adalah fardhu. jia dia meyakini bahwa wudhu hukumnya adalah sunnah maka tidak syah wudhunya.

7. Tidak meyakini kefardhuan/kewajiban dari pada rukun rukun wudhu adalah sunnah
Seseorang yang wudhu tidak boleh meyakini rukun rukun wudhu memiliki hukum sunnah semisal dia meyakini bahwasannya membasuh kedua tangan sampai siku siku adalah sunnah.

8. Memakai air yang suci dan mensucikan
Yaitu air yang digunakan adalah air yang bersih dari najis dan juga bukan air musta'mal. air musta'mal adalah air yang digunakan pertama kali dalam bersuci (basuhan wajib).

9. Masuknya waktu
Seseorang yang terus menerus mengeluarkan najis (anyang anyangan-beser) maka wudhunya harus masuk waktu sholat. diluar waktu sholat tidak syah.

10. Muwalah
Yaitu tanpa adanya jeda waktu antara setiap basuhan wudhu dan sholat bagi yang selalu hadas. jadi setelah melaksanakan wudhu diharuskan langsung melaksanakan sholat.

NB : syarat nomer 9 dan 10 berlaku bagi yang selalu mengeluarkan hadast secara terus menerus ( anyang-anyangan).

FARDHU WUDHU

 Syekh Salim bin Sumair Al-Hadhrami dalam kitabnya Safinatun Najâ mengungkapkan:

فروض الوضوء ستة: الأول النية الثاني غسل الوجه الثالث غسل اليدين مع المرفقين الرابع مسح شيئ من الرأس الخامس غسل الرجلين مع الكعبين السادس الترتيب


Fardhu wudhu ada enam:

1. Niat,

Berikut ini adalah bacaa niat ketika hendak melakukan wudhu ;

Niat Berwudhu

نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَصْغَرِ فَرْضًا الِلَهِ تعَالَى

Nawaitul whudu-a lirof'il hadatsil ashghori fardhol lillaahi ta'aalaa


Artinya :
"Saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadast kecil fardu (wajib) karena Allah ta'ala"


2. Membasuh muka,

3. Membasuh kedua tangan beserta kedua siku,

4. Mengusap sebagian kepala,

5. Membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki, dan

6. Tertib,



Keenam rukun tersebut dijelaskan oleh Syekh Nawawi Banten sebagai berikut.

1. Niat wudhu dilakukan secara berbarengan pada saat pertama kali membasuh bagian muka, baik yang pertama kali dibasuh itu bagian atas, tengah maupun bawah.
Bila orang yang berwudhu tidak memiliki suatu penyakit maka ia bisa berniat dengan salah satu dari tiga niat berikut:
   a. Berniat menghilangkan hadats, bersuci dari hadats, atau bersuci untuk melakukan shalat.
   b. Berniat untuk diperbolehkannya melakukan shalat atau ibadah lain yang tidak bisa dilakukan kecuali dalam keadaan suci.
   c. Berniat melakukan fardhu wudhu, melakukan wudhu atau wudhu saja, meskipun yang berwudhu seorang anak kecil atau orang yang memperbarui wudhunya.

Orang yang dalam keadaan darurat seperti memiliki penyakit ayang-ayangen atau beser baginya tidak cukup berwudhu dengan niat menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats. Baginya wudhu yang ia lakukan berfungsi untuk membolehkan dilakukannya shalat, bukan berfungsi untuk menghilangkan hadats.

Sedangkan orang yang memperbarui wudhunya tidak diperkenankan berwudhu dengan niat menghilangkan hadats, diperbolehkan melakukan shalat, atau bersuci dari hadats.

2. Membasuh muka
Sebagai batasan muka, panjangnya adalah antara tempat tumbuhnya rambut sampai dengan di bawah ujung kedua rahangnya. Sedangkan lebarnya adalah antara kedua telinganya. Termasuk muka adalah berbagai rambut yang tumbuh di dalamnya seperti alis, bulu mata, kumis, jenggot, dan godek. Rambut-rambut tersebut wajib dibasuh bagian luar dan dalamnya beserta kulit yang berada di bawahnya meskipun rambut tersebut tebal, karena termasuk bagian dari wajah. tetapi tidak wajib membasuh bagian dalam rambut yang tebal bila rambut tersebut keluar dari wilayah muka.

3. Membasuh kedua tangan beserta kedua sikunya.
Dianggap sebagai siku bila wujudnya ada meskipun di tempat yang tidak biasanya seperti bila tempat kedua siku tersebut bersambung dengan pundak.

4. Mengusap sebagian kecil kepala
Mengusap sebagian kecil kepala ini bisa hanya dengan sekadar mengusap sebagian rambut saja, dengan catatan rambut yang diusap tidak melebihi batas anggota badan yang disebut kepala. Seumpama seorang perempuan yang rambut belakangnya panjang sampai sepunggung tidak bisa hanya mengusap ujung rambut tersebut karena sudah berada di luar batas wilayah kepala. Dianggap cukup bila dalam mengusap kepala ini dengan cara membasuhnya, meneteskan air, atau meletakkan tangan yang basah di atas kepala tanpa menjalankannya.

5. Membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki
Dalam hal ini yang dibasuh adalah bagian telapak kaki beserta kedua mata kakinya. Tidak harus membasuh sampai ke betis atau lutut. Diwajibkan pula membasuh apa-apa yang ada pada anggota badan ini seperti rambut dan lainnya. Orang yang dipotong telapak kakinya maka wajib membasuh bagian yang tersisa. Sedangkan bila bagian yang dipotong di atas mata kaki maka tidak ada kewajiban membasuh baginya namun disunahkan membasuh anggota badan yang tersisa.

6. Tertib
Yang dimaksud dengan tertib di sini adalah melakukan kegiatan wudhu tersebut secara berurutan sebagaimana disebut di atas, yakni dimulai dengan membasuh muka, membasuh kedua tangan beserta kedua siku, mengusap sebagian kecil kepala, dan diakhiri dengan membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki.

SUNNAH SUNNAH WUDHU

Syekh Abu Syuja’ Al-Asfahani menyebutkan ada sepuluh perkara-perkara yang sunah dilakukan dalam berwudhu. Dalam kitabnya Matn Ghayah At-Taqrib beliau mengatakan:

وسننه عشرة أشياء: التسمية وغسل الكفين قبل إدخالهما الإناء والمضمضة والاستنشاق ومسح الأذنين ظاهرهما وباطنهما بماء جديد وتخليل اللحية الكثة وتخليل أصابع اليدين والرجلين وتقديم اليمنى على اليسرى والطهارة ثلاثا ثلاثا والموالاة

Artinya: “Ada sepuluh sunah dalam berwudhu, yaitu membaca basmalah, membasuk kedua telapak tangan sebelum memasukannya ke dalam tempat air, berkumur, menghirup air ke dalam hidung, mengusap bagian luar dan dalam telinga dengan air yang baru, menyela-nyela rambut jenggot yang tebal, menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki, mendahulukan anggota badan yang kanan dari yang kiri, tiga kali basuhan, dan berturut-turut.”

Kesepuluh hal tersebut dijelaskan secara singkat oleh Sykeh Ibnu Qasim Al-Ghazi sebagai berikut:

1. Membaca basmalah dilakukan pada awal pertama kali akan melakukan wudhu dengan kalimat “bismillah” untuk ringkasnya atau “bismillahirrahmanirrahim” untuk sempurnanya. Bila di awal berwudhu belum membaca basmalah maka bisa disusulkan di pertengahan wudhu. Namun bila sampai selesai berwudhu belum juga membacanya maka tak perlu dilakukan.

2. Membasuh kedua telapak tangan sampai dengan pergelangan tangan dilakukan sebelum berkumur. Bila air yang digunakan untuk berwudhu berada pada bejana dan vulomenya kurang dari dua qullah maka sebelum kedua telapak tangan dimasukkan ke bejana tersebut dibasuh tiga kali terlebih dahulu bila diragukan kesucian kedua telapak tangan tersebut. Adalah makruh memasukkan keduanya ke dalam bejana sebelum membasuhnya terlebih dahulu. Namun bila yakin bahwa kedua telapak tangannya dalam keadaan suci maka tidak mengapa memasukkannya tanpa membasuhnya terlebih dahulu.

3. Berkumur dilakukan setelah membasuh kedua telapak tangan. Kesunahan berkumur ini bisa didapatkan dengan cara memasukkan air ke dalam mulut, baik air tersebut digerakkan di dalamnya dan kemudian dimuntahkan ataupun tidak. Yang lebih sempurna adalah memuntahkannya.

4. Menghirup air kedalam hidung dilakukan setelah berkumur. Kesunahannya bisa didapatkan dengan cara memasukkan air ke dalam hidungdengan cara menghisapnya hingga sampai di pangkal hidung dan kemudian menyemprotkannya ataupun tidak. Yang lebih sempurna adalah menyemprotkannya.

Orang yang berkumur dan menghirup air ke dalam hidung saat berwudhu dituntut untuk melakukannya secara kuat. Lebih utama lagi bila kedua kesunahan itu dilakukan dengan tiga kali cidukan di mana masing-masing cidukan digunakan untuk berkumur kemudian dihirup ke dalam hidung. Ini lebih utama dari pada memisah keduanya dengan cidukan sendiri-sendiri.

5. Membasuh seluruh kepala, tidak hanya sekedar mengusapnya saja. Sebagaimana diketahui bahwa mengusap sebagian kepala adalah merupakan rukun wudhu yang hukumnya wajib. Sedangkan membasuh keseluruhan kepala adalah sunah hukumnya.

Sebagai catatan, sunah membasuh kepala ini tidak disebutkan dalam salah satu dari sepuluh sunah wudhu yang disebutkan oleh Syekh Abu Syuja’ dalam kitab Taqribnya. Namun demikian Syekh Ibnu Qasim menyebutkannya dalam menjelaskan tulisan Abu Syuja’ sehingga pada akhirnya sunah wudhu yang disebutkan di sini ada sebelas, bukan sepuluh sebagaimana tersebut di atas.

6. Mengusap seluruh bagian luar dan dalam kedua telinga dengan menggunakan air yang baru, bukan dengan menggunakan basahnya air yang digunakan untuk membasuh kepala. Dalam melakukan ini sunahnya dengan cara memasukkan kedua jari telunjuk tangan ke dalam lubang telinga dan melakukannya pada lekukan-lekukan telinga, sedangkan ibu jari dijalankan pada bagian luar telinga. Setelah itu kedua telapak tangan yang dalam keadaan basah dilekatkan pada kedua telinga.

7. Menyela-nyela rambut jenggot yang tebal adalah sunah hukumnya. Sedangkan menyela-nyela jenggot yang tipis adalah wajib. Ini dilakukan dengan cara memasukkan jari-jari ke bagian bawah janggut.

8. Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki hukumnya sunah meskipun air wudhu bisa sampai tanpa menyela-nyela. Namun bila dengan tidak menyela-nyela air tidak bisa sampai ke sela-sela jari maka wajib hukumnya untuk menyela-nyela.

9. Mendahulukan anggota badan yang kanan dari yang kiri untuk kedua tangan dan kedua kaki. Adapun untuk dua anggota badan yang bisa dengan mudah dibasuh dengan sekali basuhan seperti kedua pipi maka cukup dibasuh dengan sekali basuhan secara bersamaan tanpa harus mendahulukan yang kanan dari yang kiri.

10. Menigakalikan basuhan. Yakni setiap anggota badan yang dibasuh pada saat berwudhu dibasuh atau diusap sebanyak masing-masing tiga kali.

11. Berturut-turut. Artinya tidak ada jeda yang lama di antara basuhan dua anggota badan. Setiap anggota badan dibasuh segera setelah anggota sebelumnya selesai dibasuh dan belum mengering. Berturut- turut ini dihukumi sunah bagi orang yang tidak dalam kondisi darurat. Adapun bagi orang yang dalam kondisi darurat, seperti berpenyakit beser, selalu buang air, atau terkena istihadlah, maka hukum berturut-turut dalam berwudhu menjadi wajib.

Minggu, 06 Oktober 2019

Sunnah menjawab adzan

Pernah mendengar Adzan? Apa yang kamu lakukan saat mendengar Adzan? Bermain? Atau hal lain? Saya akan berbagi sedikit ilmu tentang Cara Menjawab dan Doa Setelah Adzan.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang membaca do’a ketika mendengar azan:

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺭَﺏَّ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ ﺍﻟﺘَّﺎﻣَّﺔ ﻭَﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﺍﻟْﻘَﺎﺋِﻤَﺔِ ﺁﺕِ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﺍﻟْﻮَﺳِﻴﻠَﺔَ ﻭَﺍﻟْﻔَﻀِﻴﻠَﺔَ ﻭَﺍﺑْﻌَﺜْﻪُ ﻣَﻘَﺎﻣًﺎ ﻣَﺤْﻤُﻮﺩًﺍ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻭَﻋَﺪْﺗَ

Latin ;

“Allahumma Robba haadzihid da’watit taammati wash-sholaatill qooimah, Aati Muhammadanil wasiilata wal fadhiilah, wab’atshu maqoomam mahmuuda-nillladzi wa’adtahu.”

Artinya ;
“Ya Allah, Pemilik seruan yang sempurna ini dan sholat yang ditegakkan, anugerahkanlah kepada Nabi Muhammad; wasilah (kedudukan yang tinggi di surga) dan keutamaan (melebihi seluruh makhluk), dan bangkitkanlah beliau dalam kedudukan terpuji yang telah Engkau janjikan.”


Maka ia (yang membacanya) berhak mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat.” [HR. Al-Bukhari No.614]


Dan inilah cara menjawab Adzan dan Iqamah yang baik.
Cara menjawab adzan adalah dengan jawaban yang sama seperti apa yang tersebut dalam kalimat bacaan adzan kecuali pada bacaan adzan yang bunyinya
“ Hayya ‘alash shalaah ” dan “Hayya ‘alal falah”,
maka cara menjawabnya adalah dengan bacaan:
لاحول ولاقوّة الاّ بالله

Latin ;

“laa haula walaa quwwata illa billahi”

Artinya :
tidak ada daya upaya dan kekuatan, kecuali dengan pertolongan Allah”

Namun, ketika kita mendengat suara adzan subuh, maka cara menjawab adzan subuh pada saat muadzin mengucapkan bacaan kalimat :
الصّلاة خير من النّوم

Latin ;

“As shalaatu khairum minan naumi [dua kali]

Maka, kita yang mendengarnya, menjawab dengan bacaan :
صدقت وبررت وانا على ذلك من الشّاهدين

Latin ;

“Shadaqta wabararta wa anaa ‘alaa dzaalika minasy syaahidiina”

Artinya :
benar dan baguslah ucapanmu itu dan akupun atas yang demikian termasuk orang-orang yang menyaksikan.

Ketika dikumandangkan suara iqamah oleh muadzin, maka sunnah bagi kita menjawab iqamah dengan cara ; kalimat-kalimat yang terdengar dijawab sama persis seperti yang diucapkan oleh muadzin, kecuali pada kalimat : “Qad Qaamatish Shalaah”, maka di jawab dengan lafadz atau bacaan sebagai berikut :
أقامها الله وادامها وجعلني من صالحى أهلها

Latin ;

“Aqaamahallahu wa adaamahaa waja’alani min shaalihi ahliha”

Artinya :
Semoga Allah mendirikan shalat itu dengan kekalnya, dan semoga Allah menjadikan aku ini, dari golongan orang-orang yang sebaik-baiknya ahli shalat”

Dan setelah mendengar suara iqamah, kita menjawabnya dengan membaca doa setelah iqamah yaitu sebagai berikut :
الّلهمّ ربّ هذه الدّعوة التّامّة والصّلاة القائمة صلّ وسلّم على سيّدنا محمّد واته سؤله يوم القيامة

Latin ;

“Allaahumma rabba hadzihid da’watit taammati wash-shalaatil qaa-imati, shalli wasallim ‘alaa sayyidinaa muhammadin, wa aatihi su’lahu yaumal qiyaamati”

Artinya :
Ya allah Tuhan yang memiliki panggilan yang sempurna, dan memiliki shalat yang ditegakkan, curahkan rahmat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad, dan berilah/kabulkan segala permohonannya pada hari kiamat.

Demikian Cara Menjawab Adzan dan Doa Setelah Adzan yang telah saya bagikan. Semoga Bermanfaat.

Minggu, 15 September 2019

HUKUM PERKREDITAN

Macam-Macam Praktek Perkreditan

Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual-beli dengan cara kredit.

Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan.

Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda.

Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan kandungannya.

Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah transaksi perkreditan.

Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga.

Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda:

Pihak kedua: Pemilik barang.

Pihak ketiga: Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.

Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini.

Hukum Perkreditan Langsung

Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:

Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)

Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.

Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.

اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.

Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.

Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).

Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).

Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:

من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه

“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره

“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.

Hukum Perkreditan Segitiga

Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:

Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka. Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.

Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.

Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.

Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?

Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.

Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.

Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.

Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:

Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:

عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم

Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (HR. Muslim)

Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.

عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه

“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berikut:

عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا، فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله e نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم. رواه أبو داود والحاكم

“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)

Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:

قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ

Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”

Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”

Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.

Solusi

Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang. Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.

Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7

“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)

Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh dengan keberkahan.

ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب

“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)

Dahulu dinyatakan oleh para ulama:

من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه

“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”

Wallahu Ta’ala a’alam bisshowab.



Dikutip dari https://konsultasisyariah.com