Rabu, 16 Oktober 2019

Thoharoh

1. Pengertian Thoharoh
Thoharoh dengan harokat fathah pada huruf tho’ menurut bahasa adalah bersih. Sedangkan  menurut syara’, maka didalamnya terdapat banyak penafsiran. Diantaranya adalah ungkapan ulama’ “Melakukan sesuatu yang dengannya sholat diperbolehkan” yaitu berupa wudlu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis. Sedangkan “thuharoh” dengan harokat dlomah (pada huruf tho’) adalah sebutan bagi sisa air.
2. Macam Macam Air
Air-air yang boleh, maksudnya sah digunakan bersuci dengannya ada tujuh macam air.
1. Air langit maksudnya yang turun dari langit, yaitu hujan,
2. Air laut maksudnya air asin
3. Air sungai yaitu air tawar
4. Air sumur,
5. Air sumber air,
6. Air tsalju dan
7. Air dingin (air embun).
3. Pembagian Air
Air dibagi menjadi 4 bagian, yaitu :
Pertama ; air suci dan mensucikan atau air mutlaq, Air yang suci dzatnya menyucikan terhadap selainnya dan tidak makruh digunakan. Yaitu Air yang terbebas dari identitas yang mengikat. Maka keberadaan identitas yang tidak mengikat itu tidak membahayakan terhadap kemutlakan air.
Kedua adalah air suci menyucikan namun makruh  digunakan pada tubuh, tidak makruh pada pakaian, yaitu air Musyammas. Ialah air yang dipanaskan dengan mengandalkan pengaruh sengatan matahari padanya. Air tersebut secara  syara’ dimakruhkan penggunaanya hanya di daerah yang bercuaca panas dan air berada di wadah yang terbuat dari logam selain wadah dari dua logam mulia /emas dan perak,  sebab kejernihan elemen keduanya. Jika air tersebut telah dingin maka hilanglah hukum makruh menggunakannya. Tetapi imam An-Nawawi memilih pendapat yang menyatakan tidak makruh secara mutlak. (Selain makuh menggunakan air musyammas) dimakruhkan juga menggunakan air yang sangat panas dan sangat dingin.
Syarat dimakruhkannya air musyammas sebagai berikut:
1.Berada di daerah bercuaca panas seperti Mekah dsb. Sehingga tidak makruh jika digunakan dalam daerah yang bercuaca sedang seperti negara Mesir atau daerah Jawa dan daerah dingin seperti Syiria dsb.
2.Sengatan matahari merubah kondisi air sekira pada air muncul zat yang berasal dari karat logam.
3.Air berada pada wadah yang terbuat dari logam selain emas perak. Seperti wadah yang terbuat dari logam besi, tembaga dsb.
4.Digunakan saat suhu air sedang panas.
5.Digunakan pada kulit badan. Meskipun pada badan orang yang terkena penyakit kusta, orang mati dan hewan.
6.Dipanaskan saat cuaca panas.
7.Masih ada air selain musyammas yang dapat dipergunakan.
8.Waktu sholat masih longgar sehingga masih ada waktu untuk mencari air yang lain.
9.Tidak mendapat bahaya secara nyata atau dalam dugaan kuatnya. Jika meyakini atau menduga akan muncul bahaya maka haram hukumnya.
Bila tidak memenuhi sembilan syarat ini maka hukum menggunakannya tidak lagi makruh. Nihayat az-Zain, Darul Kutub Al-Ilmiyah, hal. 17
Ketiga adalah:
1. Air suci dalam dzatnya tidak menyucikan terhadap selainnya. Ialah air musta’mal / yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats atau najis. (Dihukumi musta’mal dengan syarat) air tidak berubah dan setelah terpisah (dari benda yang dibasuh) volume air tidak bertambah dari semula dengan mengira-ngirakan bagian air yang terserap oleh benda yang dibasuh.
2. Air yang berubah. Maksudnya yang termasuk dalam bagian ketiga ini adalah air yang berubah salah satu sifat-sifatnya disebabkan oleh sesuatu; yaitu salah satu dari benda-benda suci yang bercampur dengan air, dengan taraf perubahan yang dapat menghalangi sebutan nama air (murni) padanya*. Maka air yang seperti ini hukumnya adalah suci dalam dirinya namun tidak menyucikan. Baik perubahan itu nampak oleh panca indra atau hanya dalam perkiraan, seperti ketika air tercampur oleh benda yang sesuai (dengan air) dalam sifat-sifatnya, misal air bunga mawar yang telah hilang baunya (dicampur dengan air mutlak) dan seperti air musta’mal (dicampur dengan air mutlak).
Sehingga bila saja perubahan itu tidak mencegah penisbatan nama air mutlak padanya, dengan sekira perubahan air yang disebabkan oleh benda suci itu hanya sedikit, atau dengan sesuatu yang cocok terhadap air dalam sifatnya dan dianggap berbeda dengan air namun tidak sampai membuatnya berubah (dari kemurnian air) maka perubahan itu tidak menghilangkan sifat suci mensucikannya air. Sehingga air (yang dijelaskan terakhir ini) masih dapat mensucikan terhadap selainnya.
Al-Syaikh Al-Imam Al-’Alim Al-’Allamah Syams Ad-Din Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Qosim As-Syafi’I dalam kitab fathul qorib mengungkapkan mushonif kitab Taqrib mengecualikan dengan ungkapannya “خَالَطَهُ” dari benda yang suci yang hanya mukholith/ tidak larut pada air maka air tersebut masih berada pada status suci mensucikan meskipun perubahan air sangat nampak. Begitu pula (seperti air yang bersinggungan dengan benda suci yang dihukumi masih mensucikan) air yang berubah sebab tercampur dengan benda yang larut namun air tidak terlepas dari persinggungan dengannya. Seperti lumpur, lumut, benda-benda yang berada di tempat berdiamnya air atau di tempat mengalirnya air, dan air yang berubah disebabkan lamanya diam (tanpa gerak). Maka air-air ini (secara hukum) adalah suci mensucikan.
Keempat adalah air najis, maksudnya mutanajis. Air ini ada dua bagian:
Yang pertama adalah yang volumenya sedikit; yaitu air yang didalamnya terdapat najis baik air mengalami perubahan atau tidak dan air tersebut; maksudnya kondisi air tersebut adalah air yang kurang dari dua qullah.
Dari bagian ini dikecualikan (air kemasukan) bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang dapat mengalir saat dibunuh atau dirobek bagian tubuhnya - seperti lalat- jika (masuknya bangkai tersebut ke dalam air itu ) tidak (ada kesengajaan) memasukkannya. Begitu juga najis yang tidak terlihat oleh mata. Maka kedua najis tersebut tidak menajiskan benda cair. Juga dikecualikan beberapa kasus yang disebutkan dalam kitab-kitab besar.
Kedua : air yang mencapai 2 Qullah atau lebih. Air ini tidak najis bila terkena sesuatu yang najis, selama ia tidak berubah warna, rasa, dan bau air tersebut. Apabila ia berubah, maka air tersebut berubah menjadi najis. Adapun dalilnya adalah ijma’ ulama atas hal ini. Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata : Ibn Mundzir berkata : para ulama bersepakat bahwa air sedikit atau pun air banyak bila terkena najis kemudian berubah warna, bau dan rasanya maka air tersebut najis.

Dua qullah adalah takaran 500 Rithl Baghdad dengan mengira-ngirakannya menurut pendapat Ashah (pendapat yang lebih shohih/benar dibanding pendapat yang lain) dalam dua kriteria tersebut; (yakni takaran 500 rithl dan dengan mengira-ngirakannya). Rithl Baghdad menurut An-Nawawy adalah 128 4/7 dirham.
Namun ada lagi bagian ke lima yaitu air yang menyucikan namun haram menggunakannya. Seperti wudlu menggunakan air ghosob atau menggunakaan air yang disediakan untuk minum

Kitab Rujukan Fathul Qorib Karya Al-Syaikh Al-Imam Al-’Alim Al-’Allamah Syams Ad-Din Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Qosim As-Syafi’I

كِتَابُ أَحْكَامِ الطَّهَارَةِ

وَالْكِتَابُ لُغَةً مَصْدَرٌ بِمَعْنَى الضَّمِّ وَالجَمْعِ. وَاصْطِلَاحاً اسْمٌ لِجِنْسٍ مِنَ الأَحْكَامِ. أَمَّا الْبَابُ فَاسْمٌ لِنَوْعٍ مِمَّا دَخَلَ تَحْتَ ذَلِكَ الْجِنْسِ.
وَالطَّهَارَةُ بِفَتْحِ الظَّاءِ لُغَةً النَّظَافَةُ. وَأَمَّا شَرْعاً فَفِيْهَا تَفَاسِيْرُ كَثِيْرَةٌ. مِنْهَا قَوْلُهُمْ فِعْلُ مَا تُسْتَبَاحُ بِهِ الصَّلَاة أَيْ مِنْ وُضُوْءٍ وَغَسْلٍ وَتَيَمُّمٍ وَإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ. أَمَّا الطُّهَارَةُ بِالضَّمِّ فَاسْمٌ لِبَقِيَّةِ المَاءِ.
وَلَمَّا كَانَ المَاءُ آلَةً لِلطَّهَارَةِ اسْتَطْرَدَ المُصَنِّفُ لِأَنْوَاعِ المِيَاهِ فَقَالَ:(المِيَاهُ الَّتِيْ يَجُوْزُ) أَيْ يَصِحُّ (التَّطْهِيْرُ بِهَا سَبْعُ مِيَاهٍ مَاءُ السَّمَاءِ) أي النَّازِلُ مِنْهَا وَهُوَ المَطَرُ (وَمَاءُ البَحْرِ) أيْ المِلْحِ (وَمَاءُ النَّهَرِ) أي الحُلْوِ (وَمَاءُ البِئْرِ وَمَاءُ العَيْنِ وَمَاء الثَّلْجِ وَمَاء البَرَدِ) وَيَجْمَعُ هَذِهِ السَّبْعَةِ قَوْلُكَ: مَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ أَوْ نَبَعَ مِنَ الأَرْضِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ مِنْ أَصْلِ الخِلْقَةِ(ثُمَّ المِيَاهُ) تَنْقَسِمُ (عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ) أَحَدُهَا (طَاهِرٌ) فِيْ نَفْسِهِ (مُطَهِّرٌ) لِغَيْرِهِ (غَيْرُ مَكْرُوْهٍ اسْتِعْمَالُهُ. وَهُوَ المَاءُ المُطْلَقُ) عَنْ قَيِّدٍ لَازِمٍ فَلَا يَضُرُّ القَيِّدُ المُنْفَكُّ كَمَاءِ البِئْرِ فِي كَوْنِهِ مُطْلَقاً (وَ) الثَّانِي (طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ اسْتِعْمَالُهُ) فِي البَدَنِ لَا فِي الثَّوْبِ (وَهُوَ المَاءُ المُشَمَّسُ) أي المُسَخَّنُ بِتَأْثِيْرِ الشَّمْسِ فِيْهِ. وَإِنَّمَا يُكْرَهُ شَرْعاً بِقَطْرٍ حَارٍ فِي إِنَاءٍ مُنْطَبَعٍ إِلَّا إِنَاءَ النَّقْدَيْنِ لِصَفَاءِ جَوْهَرِهِمَا. وَإِذَا بَرَدَ زَالَتْ الكَرَاهَةُ. وَاخْتَارَ النَّوَوِيُّ عَدَمَ الْكَرَاهَةِ مُطْلَقاً. وَيُكْرَهُ أَيْضاً شَدِيْدُ السُّخُوْنَةِ وَالبُرُوْدَةِ (وَ) القِسْمُ الثَّالِثُ (طَاهِرٌ) فِي نَفْسِهِ (غَيْرُ مُطَهِّرٍ) لِغَيْرِهِ (وَهُوَ المَاءُ المُسْتَعْمَلُ) فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوْ إِزَالَة نَجْسٍ إِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ وَلَمْ يَزِدْ وَزْنُهُ بَعْدَ انْفِصَالِهِ عَمَّا كَانَ بَعْدَ اعْتِبَارِ مَا يَتَشَرَّبُهُ المَغْسُوْلُ مِنَ المَاءِ. (وَالمُتَغَيِّرُ) أَيْ وَمِنْ هَذَا القِسْمِ المَاءُ المُتَغَيِّرُ أَحَدُ أَوْصَافِهِ (بِمَا) أَيْ بِشَيْءٍ (خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ) تَغَيُّراً يَمْنَعُ إِطْلَاقَ اسْمِ المَاءِ عَلَيْهِ. فَإِنَّهُ طَاهِرٌ غَيْرُ طَهُوْرٍ حِسِّيًّا كَانَ التَّغَيُّرُ أَوْ تَقْدِيْرِيًّا. كَأَنْ اخْتَلَطَ بِالمَاءِ مَا يُوَافِقُهُ فِي صِفَاتِهِ كَمَاءِ الوَرْدِ المُنْقَطِعِ الرَّائِحَةِ وَالمَاءِ المُسْتَعْمَلِ فَإِنْ لَمْ يَمْنَعْ إِطْلَاقَ اسْمِ المَاءِ عَلَيْهِ بِأَنْ كَانَ تَغَيُّرُهُ بِالطَّاهِرِ يَسِيْراً أَوْ بِمَا يُوَافِقِ المَاءَ فِي صِفَاتِهِ وَقُدِّرَ مُخَالِفاً وَلَمْ يُغَيِّرْهُ فَلَا يَسْلُبُ طَهُوْرِيَّتَهُ. فَهُوَ مُطَهِّرٌ لِغَيْرِهِ.وَاحْتَرَزَ بِقَوْلِهِ خَالَطَهُ عَنِ الطَّاهِرِ المُجَاوِرِ لَهُ. فَإِنَّهُ بَاقٍ عَلَى طَهُوْرِيَّتِهِ. وَلَوْ كَانَ التَّغَيُّرُ كَثِيْراً وَكَذَا المُتَغَيِّرُ بِمُخَالِطٍ. لَا يَسْتَغْنِي المَاءُ عَنْهُ كَطِيْنٍ وَطُحْلَبٍ. وَمَا فِي مَقَرِّهِ وَمَمَرِّهِ. وَالمُتَغَيِّرُ بِطُوْلِ المُكْثِ فَإِنَّهُ طَهُوْرٌ. (و) القِسْمُ الرَّابِعُ (مَاءُ نَجْسٍ) أي مُتَنَجِّسٌ وَهُوَ قِسْمَانِ أَحَدُهُمَا قَلِيْلٌ (وَهُوَ الَّذِيْ حَلَّتْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ) تَغَيَّرَ أَمْ لَا (وَهُوَ) أَيْ وَالحَالُ أَنَّهُ مَاءٌ (دُوْنَ القُلَّتَيْنِ) وَيُسْتَثْنَى مِنْ هَذَا القِسْمُ المَيْتَةُ الَّتِيْ لَا دَمَ لَهَا سَائِلٌ عِنْدَ قَتْلِهَا أَوْ شَقِّ عُضْوٍ مِنْهَا كَالذُّبَابِ إِنْ لَمْ تُطْرَحْ فِيْهِ وَلَمْ تُغَيِّرْهُ. وَكَذَا النَّجَاسَةُ الَّتِيْ لَا يُدْرِكُهَا الطَّرْفُ. فَكُلٌّ مِنْهُمَا لَا يُنْجِسُ المَائِعَ وَيُسْتَثْنَى أَيْضاً صُوَرٌ مَذْكُوْرَةٌ فِي المَبْسُوْطَاتِ. وَأَشَارَ لِلْقِسْمِ الثَّانِي مِنَ القِسْمِ الرَّابِعِ بِقَوْلِهِ (أَوْ كَانَ) كَثِيْراً (قُلَّتَيْنِ) فَأَكْثَرَ (فَتَغَيَّرَ) يَسِيْراً أَوْ كَثِيْراً. (وَالْقُلَّتَانِ خَمْسُمِائَةِ رِطْلٍ بَغْدَادِيٍّ تَقْرِيْباً فِي الأَصَحِّ) فِيْهِمَا وَالرِّطْلُ البَغْدَادِيُّ عِنْدَ النَّوَوِيِّ مِائْةٌ وَثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُوْنَ دِرْهَماً وَأَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ. وَتَرَكَ المُصَ
نِّفُ قِسْماً خَامِساً وَهُوَ المَاءُ المُطَهِّرُ الحَرَامُ كَالوُضُوْءِ بِمَاءٍ مَغْصُوْبٍ أَوْ مُسَبَّلٍ لِلشُّرْبِ

Wallohu A'lam

Hukum Islam


Hukum Islam adalah suatu aturan yang ditetapkan dan berkaitan dengan amal perbuatan seorang mukallaf, baik perintah itu mengandung sebuah tuntutan, larangan, ataupun perbolehan terhadap suatu hal. Hukum Islam ini berlaku untuk seorang yang telah baligh.
Ukuran baligh bagi seorang perempuan adalah berumur 9 tahun, sudah menstruasi (haid), mulai muncul tanda pubertas seperti membesarnya payudara dll. Bila bagi seorang laki-laki adalah berumur 15 tahun dan dia sudah mulai bisa mengeluarkan sperma, mimpi basah, keluar tanda kedewasaan seperti tumbuhnya rambut pada ketiak, alat kelamin dll.
Tiga Tanda Seorang Anak Dikatakan Baligh
Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Najah menyebutkan ada 3 (tiga) hal yang menandai bahwa seorang anak telah menginjak akil baligh.
تمام خمس عشرة سنة في الذكر والأنثى والاحتلام في الذكر والأنثى لتسع سنين والحيض في الأنثى لتسع سنين

“Ketiga tanda baligh tersebut adalah sempurnanya umur lima belas tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, keluarnya sperma setelah berumur sembilan tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, dan menstruasi atau haid setelah berumur sembilan tahun bagi anak perempuan”.(lihat Salim bin Sumair Al-Hadlrami, Safiinatun Najah, (Beirut: Darul Minhaj: 2009), hal. 17).
Dalam kitab Kasyifatus Saja, Syaikh Nawawi Al-Bantani secara singkat padat memaparkan penjelasan ketiga tanda tersebut sebagai berikut:
1. Sempurnanya umur lima belas tahun berlaku bagi anak laki-laki dan perempuan dengan menggunakan perhitungan kalender hijriah atau qamariyah. Seorang anak—baik laki-laki maupun perempuan—yang telah mencapai umur lima belas tahun ia telah dianggap baligh meskipun sebelumnya tidak mengalami tanda-tanda baligh yang lain.
2. Tanda baligh kedua adalah keluarnya sperma (ihtilaam) setelah usia sembilan tahun secara pasti menurut kalender hijriyah meskipun tidak benar-benar mengeluarkan sperma, seperti merasa akan keluar sperma namun kemudian ia tahan sehingga tidak jadi keluar. Keluarnya sperma ini menjadi tanda baligh baik bagi seorang anak laki-laki maupun perempuan, baik keluar pada waktu tidur ataupun terjaga, keluar dengan cara bersetubuh (jima’) atau lainnya, melalui jalannya yang biasa ataupun jalan lainnya karena tersumbatnya jalan yang biasa.
3. Adapun haid atau menstruasi menjadi tanda baligh hanya bagi seorang perempuan, tidak bagi seorang laki-laki. Ini terjadi bila umur anak perempuan tersebut telah mencapai usia sembilan tahun secara perkiraan, bukan secara pasti, dimana kekurangan umur sembilan tahunnya kurang dari enam belas hari menurut kalender hijriyah. Bila ada seorang anak yang hamil pada usia tersebut, maka tanda balighnya bukan dari kehamilannya tetapi dari keluarnya sperma sebelum hamil (lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kaasyifatus Sajaa, (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2008), hal. 31).
Artinya, anak laki-laki maupun perempuan secara otomatis dikatakan baligh tanpa syarat setelah memasuki umur 15 tahun.
Sedangkan yang disebut mukallaf adalah orang muslim yang sudah dewasa dan sehat, tidak gangguan jiwa atau akal (akal sehat) yang mana diberi sebuah kewajiban atau perintah dan sebuah larangan oleh Agama Islam, serta mendapat seruan agama.
Pengertian Mumayyiz,Sebenarnya, selain akil baligh dan mukallaf, ada istilah lain yang biasa digunakan dalam pembahasan fiqih, yaitu tamyiz atau mumayyiz..
Mumayyiz adalah istilah yang digunakan untuk seorang anak yang telah mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Dalam artian membedakan sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya dan sesuatu yang membahayakan untuk dirinya. Dengan kata lain, mumayyiz artinya seorang anak yang telah mampu melakukan beberapa hal secara mandiri seperti makan, minum, mandi atau yang lainnya.
Fase mumayyiz ini dimulai pada usia kra-kira tujuh tahun sampai memasuki masa baligh. Pada fase mumayyiz ini seorang anak diperbolehkan melakukan suatu tindakan yang berhubungan dengan orang lain, misalnya jual beli.
Meskipun begitu, segala tindakan yang dilakukannya masih tetap membutuhkan pengawasan dari orang tua. Sebab yang dilakukan anak usia mumayyiz ini adalah masih dalam masa perkembangan, yang mana perkembangan fisik dan otaknya belum sempurna.
Dari keterangan diatas, arti mumayyiz dapat disimpulkan sebagai berikut:
Mumayyiz adalah seorang anak yang telah memasuki perkembangan otak dan fisik dalam tahap sempurna, namun belum dalam keadaan yang benar-benar sempurna.
Seoarang anak yang telah mumayyiz belum mengalami perubahan fisik seperti halnya ihtilam (mimpi basah) atau haid.
Batas perkiraan usia mumayyiz adalah tujuh tahun hingga menjelang baligh.
Segala tindakan yang menyangkut dengan orang lain masih tetap dalam pengawasan orang tua.
Seorang anak yang telah memasuki usia mumayyiz belum dibebani dengan hukum syariat, namun orang tua berkewajiban mulai mengajarkan dan menganjurkannya.

HUKUM HUKUM ISLAM


1. Wajib, kadang disebut Fardlu. Keduanya sinonim. Yakni sebuah tuntutan yang pasti (thalab jazm) untuk mengerjakan perbutan, apabila dikerjakan mendapatkan pahala, sedangkan bila ditinggalkan maka berdosa (mendapatkan siksa). Contohnya, shalat fardlu, bila mengerjakannya maka mendapatkan pahala, bila ditinggalkan akan diadzab di neraka, demikian juga dengan kewajiban-kewajiban yang lainnya.

Wajib terbagi menjadi dua yakni :
Pertama, wajib ‘Ainiy : kewajiban bagi setiap individu.
Kedua, wajib Kifayah : kewajiban yang apabila sudah ada yang mengerjakannya maka yang lainnya gugur (tidak mendapatkan dosa), contohnya seperti shalat jenazah, tajhiz jenazah (mengurus jenazah), menjawab salam dan sebagainya.

Istilah Wajib juga ada yang mensinonimkan dengan Lazim. Sebagian ulama ada yang membedakan antara Fardlu dan Wajib hanya pada beberapa permasalahan di Bab Haji.

Ada juga yang membedakan antara Fardlu dan Wajib, seperti Hanafiyah. Menurut mereka, Fardlu adalah sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil syar’i (maqthu’ bih) dan tidak ada keraguan didalamnya, seperti shalat 5 waktu, zakat, puasa, haji, iman kepada Allah. Hukum Fardlu adalah lazim (wajib) baik secara keyakinan maupun perbuatan sehingga apabila mengingkari (secara keyakinan) pada salah satu kefardluan itu maka kafir, namun bila meninggalkan saja (tidak mengerjakannya, seperti shalat 5 waktu dan semacamnya) maka fasiq. Sedangkan Wajib adalah kewajiban yang ghairul fardl (selain fardlu), sesuatu yang ditetapkan dengan dalil namun masih ada kemungkinan ketidak pastian (hasil ijtihad), hukumnya lazim secara perbuatan saja, tidak secara keyakinan. Apabila mengingkarinya, tidak sampai kafir namun terjatuh dalam syubhat. Sedangkan bila meninggalkannya maka berdosa dengan dosa yang kadarnya lebih sedikit daripada meninggalkan perbuatan yang sifatnya Fardlu, sebab kalau meninggalkan yang bersifat Fardlu maka disiksa dineraka, sedangkan meninggalkan yang sifatnya Wajib, tidak disiksa di neraka, namun ia terhalang dari syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam.

Jumhur ulama tidak membedakan antara Fardlu dan Wajib, bahkan ada yang menyatakan bahwa pembedaan seperti itu tidak tepat dan tidak berarti apa-apa.
2. Sunnah, disebut juga Mandub, Mustahabb, Tathawwu, Al-Nafl, Hasan dan Muragghab fih. Semuanya bersinonim. Yakni sebuah anjuran mengerjakan yang sifatnya tidak jazm (pasti), apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah dari sisi tuntutannya, terbagi menjadi 2 yakni :
sunnah Muakkad (sunnah yang sangat ditekankan) dan,
sunnah ghairu Muakkad (anjuran tidak terlalu ditekankan).
Sedangkan menurut Hanafiyah, ada perbedaan terkait sunnah Muakkad. Menurut mereka, sunnah Muakkad, bentuknya kewajiban yang sempurna, jika meninggalkannya maka tetap berdosa, namun dosanya lebih sedikit daripada meninggalkan Fardlu (dibawah tingkatan Fardlu). Sedangkan sunnah ghairu Muakkad, menurut mereka adalah sejajar dengan Mandub dan Mustahab.
Sunnah juga terbagi menjadi 2, yaitu : Pertama, sunnah ‘Ain : sesuatu yang disunnahkan pada setiap orang (individu) yang mukallaf, seperti shalat-shalat sunnah ratibah dan lainnya. Kedua, sunnah Kifayah : sesuatu yang disunnahkan, apabila ada sebagian yang telah mengerjakannya, maka yang lain gugur, seperti seseorang memulai salam ketika bersama jama’ah (memulai bukan menjawab, penj), dan lain sebagainya. Sehingga bila sudah ada yang mengerjakannya, maka hilang (gugur) tuntutan terhadap yang lainnya, namun pahalanya bagi yang mengerjakan saja.
Sebagian ulama seperti Malikiyah membedakan antara istilah sunnah dan mandub. Sunnah menurut mereka adalah sebuah tuntutan syara’, bentuk perintahnya sangat ditekankan, namun tidak ada dalil yang mewajibkannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak disiksa, seperti shalat witir dan shalat hari raya. Sedangkan mandub adalah sebuah tuntutan syara’ yang tidak jazm (tidak pasti), bentuk perintahnya tidak terlalu ditekankan, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun bila tidak dikerjakan tidak disiksa, contohnya didalam Malikiyah adalah shalat sunnah 4 raka’at sebelum dzuhur.
3. Mubah, bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa, tidak mendapatkan pahala atau pun disiksa (sebuah pilihan antara mengerjakan atau tidak). Misalnya, memilih menu makanan dan sebagainya.
4. Makruh, yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti (tidak jazm) untuk meninggalkan perbuatan tertentu (larangan mengerjakan yang sifatnya tidak pasti), apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun bila ditinggalkan akan mendapatkan pahala dan dipuji.
Menurut sebagian ulama, istilah Makruh ini ada yang menyatakan dengan Khilaful Aula (menyelisihi yang lebih utama).
5. Haram, yakni tututan yang pasti untuk meninggalkan sesuatu, apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka mendapatkan dosa, namun bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Contohnya seperti minum khamr, berzina dan lain sebagainya. Istilah haram juga kadang menggunakan istilah Mahdzur (terlarang), Maksiat dan al-danb (berdosa).
Menurut Hanafiyah, istilah Haram adalah antonim dari Fardlu (mereka membedakan antara Fardlu dan Wajib). Ada juga istilah makruh Tahrim dan makruh Tanzih. Makruh Tahrim adalah sebuah istilah yang lebih dekat dengan Haram, serta merupakan kebalikan dari Wajib dan Sunnah Mu’akkad. Sedangkan istilah makruh Tanzih, tidak disiksa bila mengerjakannya dan mendapatkan pahala bila meninggalkannya. Istilah makruh Tanzih menurut Hanafiyah adalah kebalikan dari sunnah ghairu Muakkad.
Ulama juga ada yang kadang menyatakan dengan istilah Halal, itu adalah kebalikan dari Haram, namun masih ambigu, yaitu bisa hukum wajib, hukum mandub dan makruh. Bila meninggalkan perbuatan yang hukum wajib, maka berdosa. Adapun yang lainnya (mandub dan makruh) bila ditinggalkan ataupun dikerjakan tidaklah berdosa.

Pengertian Syarat, Rukun, Sah dan Batal


Dalam mengerjakan suatu amal ibadah yang baik dan benar, tentunya dibutuhkan aturan yang mengatur bagaimana amalan tersebut dilakukan sehingga didapatkan ibadah yang baik dan benar. Dalam Islam terdapat beberapa istilah dalam meberikan aturan yang jelas tentang bagaimana amal ibadah seseorang dikatakan baik dan benar.
Syarat
Adalah ketentuan atau perbuatan yang harus dipenuhi sebelum melakukan suatu pekerjaan atau ibadah. Tanpa memenuhi ketentuan/perbuatan tersebut, suatu pekerjaan dianggap tidak sah. Misal menutup aurat sebelum dan selama mengerjakan shalat, dsb.
Rukun
Adalah ketentuan yang harus dipenuhi, dalam melakukan suatu pekerjaan/ibadah. Bila tidak terpenuhi maka ibadah/pekerjaan tersebut tidak sah. Misalkan membaca surah Al-Fatihah dalam shalat, dsb.
Sah
Sah artinya syarat dan rukunnya telah terpenuhi secara benar dalam melakukan suatu ibadah/pekerjaan.
Batal
Artinya syarat dan rukunnya belum terpenuhi seluruhnya, atau terpenuhi namun tidak dilakukan secara benar.

Tayamum

Muzah disini adalah sepatu dari kulit (tidak tembus air) yang sampai menutup mata kaki dan kuat untuk digunakan berjalan. Mengusap muzah adalah sebagai pengganti membasuh kaki ketika wudlu. Namun sebelum memakainya harus sudah wudlu, baru wudlu berikutnya bisa dengan mengusap muzah.
Mengusap khuf/muzah itu boleh dengan 3 (tiga) syarat:
1. Memakai khuf/muzah setelah suci dari hadats kecil dan hadats besar.
2. Khuf/muzah menutupi mata kaki .
3. Dapat dipakai untuk berjalan lama.
4. Jangan ada di dalam khuf/muzah itu najis atau kotoran
Orang mukim dapat memakai khuf selama satu hari satu malam (24 jam). Sedangkan musafir selama 3 (tiga) hari 3 malam.
Masanya dihitung dari saat hadats (kecil) setelah memakai khuf. Apabila memakai khuf di rumah kemudian bepergian atau mengusap khuf di perjalanan kemudian mukim maka dianggap mengusap khuf untuk mukim.
Mengusap khuf batal oleh 3 (tiga) hal:
1) Melapasnya,
2) Habisnya masa,
3) Hadats besar.
Tambahan :
Tata cara Mengusap Khuf
Mengusap khuf dilakukan sebagai ganti dari membasuh kaki saat berwudhu karena itu waktu pengusapan adalah saat giliran membasuh kaki saat wudhu.
Caranya adalah mengusapkan air (tanpa mengalirkan) ke bagian atas khuf atau punggung kaki (kebalikan telapak kaki).
Menyapu dua sepatu hanya boleh untuk berwudlu', tetapi tidak boleh untuk mandi, atau untuk menghilangkan najis. Menyapu dua sepatu tidak boleh bila salah satu syarat tidak cukup. Misalnya salah satu dua sepatu itu robek, atau salah satu kakinya tidak dapat menggunakan sepatu karena luka. Keringanan ini diberikan bagi yang musafir selama tiga hari tiga malam sedang yang bermukim boleh menyapu sepatunya hanya untuk sehari semalam.

Selasa, 15 Oktober 2019

Tayamum

Setiap hadats yang membatalkan wudhu, maka itu juga yang menjadi pembatal tayamum. Hal ini tidak ada khilaf (perselisihan) di antara para ulama. (Al Muhalla, 2: 122)
Mendapati Air Sebelum Shalat
Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa siapa saja yang bertayamum setelah berusaha mencari air, namun tidak mendapatinya, kemudian ia mendapati air sebelum masuk waktu shalat, tayamumnya ketika itu menjadi batal. Ketika itu, tayamumnya tidak bisa mencukupi untuk shalat. Keadaannya menjadi kembali seperti keadaan sebelum tayamum. Dan para ulama berselisih pendapat jika ia mendapati air setelah masuk waktu shalat.” (Al Istidzkar, 1: 314)
Mengetahui Adanya Air di Tengah Shalat
Jika seseorang sudah bertayamum karena tidak mungkin menggunakan air, lalu ia shalat, kemudian ada info telah ada air sedangkan ketika itu ia berada dalam shalat, apakah shalatnya mesti diputus atau disempurnakan?
Dalam masalah ini ada perselisihan. Pendapat lebih tepat adalah ia tetap melanjutkan atau menyempurnakan shalatnya karena tidak adanya dalil yang mengharuskan shalatnya mesti diputus. Sebagaimana orang yang berpuasa dengan niatan menunaikan kafaroh, lalu ia temukan adanya budak di tengah ia berpuasa, puasanya tidak jadi sia-sia. (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 204-205)
Menemukan Air di Waktu Shalat Setelah Sebelumnya Shalat dengan Tayamum
Dalam kondisi seperti ini, apakah perlu shalat pertama yang dilakukan dengan tayamum diulang?
Pendapat yang tepat dalam masalah ini, shalatnya tidak perlu diulang. Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al Khudri berikut.
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ خَرَجَ رَجُلاَنِ فِى سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِى الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلاَةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِى لَمْ يُعِدْ « أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلاَتُكَ ». وَقَالَ لِلَّذِى تَوَضَّأَ وَأَعَادَ « لَكَ الأَجْرُ مَرَّتَيْنِ »
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata, “Ada dua orang pria keluar melakukan safar, lalu datang waktu shalat. Ketika itu keduanya tidak mendapati air. Akhirnya mereka bertayamum dengan tanah yang suci, kemudian mereka shalat. Masih di waktu shalat, mereka pun mendapati air. Salah satu dari mereka mengulangi shalat dengan berwudhu. Yang lainnya tidak mengulangi shalatnya. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian mereka pada beliau. Lantas beliau bersabda pada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah menjalani sunnah dan shalatmu sah.” Lalu beliau bersabda pula pada orang yang mengulangi shalatnya, “Engkau mendapatkan dua pahala.” (HR. Abu Daud no. 338 dan An Nasai no. 433. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits tersebut) (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 205-206)

Apa maksud mencari air?

Seseorang yang ingin bertayammum kerana ketiadaan air, wajib ia berusaha mencari air terlebih dahulu di kawasan sekitarnya. Jika air tiada di rumah, hendaklah ia pergi ke masjid umpamanya atau ke rumah berdekatan moga-moga menemui air. Jangan semata-mata tiada air di rumah, lalu ia pun bertayammum. Setelah pasti benar-benar tidak ada air, barulah bertayammum. Mencari air itu wajib diulangi setiap kali hendak bertayammum.[6] Tidak cukup dengan pencarian ketika kali pertama bertayammum saja.

Bagaimana jika ada air, namun tidak mencukupi untuk bersuci, adakah digunakan air baru tayammum atau terus tayammum?

Ada dua pandangan ulama bagi masalah ini;

Pandangan pertama;
wajib digunakan air yang ada itu, kemudian barulah bertayammum bagi anggota yang tidak dapat dicuci dengan air. Pandangan ini merupakan mazhab Imam Ahmad dan Imam Syafi’ie (dalam qaul jadidnya).

Pandangan kedua;
hendaklah terus bertayammum dan tinggalkan air itu. Pandanagn ini adalah pandangan jumhur ulamak yang terdiri dari al-Hasan, az-Zuhri, Hammad, Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’ie (dalam qaul qadimnya), Ibnu al-Munzir dan al-Muzanie (murid Imam Syafi’ie).

Kalau seseorang itu lupa bahawa dalam kenderaannya ada air atau ia lupa ada menyimpan air di satu tempat, lalu ia pun bertayammum dan mengerjakan solat; bagaimana hukumnya?

Ada dua pandangan ulamak bagi masalah ini;

Pertama;
menurut Imam Syafi’ie dan Imam Ahmad; tidak dipakai tayammum itu, yakni solatnya wajib diulangi semua setelah mengambil wudhuk dengan air tersebut. Hujjah mereka ialah; thoharah dengan air adalah perintah yang wajib. Ia tidak gugur semata-mata kerana lupa.

Kedua;
menurut Imam Abu Hanifah; dipakai tayammum itu, yakni solatnya sah kerana lupa adanya air membawa ia kepada tidak dapat menggunakan air, maka halnya sama seperti orang yang ketiadaan air.

Adakah tayammum hanya harus dengan tanah saja? Bolehkah bertayammum dengan selain tanah?

Ada beberapa pandangan ulamak dalam masalah bahan yang harus digunakan untuk bertayammum;

Pertama; jumhur ulamak (mazhab Imam Syafi’ie, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf dan Daud az-Dzahiri) mensyaratkan tayammum hendaklah dengan tanah, tidak harus dengan pasir, batu, kapur dan sebagainya yang tidak dikategorikan sebagai tanah. Dan disyaratkan tanah itu pula hendaklah berdebu (yakni dapat melekat pada tangan bila ditepuk) dan bersih.

Kedua; Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pula berpendapat; tidak khusus kepada tanah sahaja. Harus tayammum dengan segala yang ada di atas permukaan bumi; tidak hanya tanah, tetapi juga pasir, kapur, batu dan seumpamanya. Malah menurut Imam Malik; harus tayammum dengan salji dan setiap yang melapisi permukaan bumi. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan bahan-bahan untuk bertayammum itu berdebu. Oleh itu, pada pandangan mereka; harus bertayammum di atas batu yang tidak ada debu atau di atas tanah licin yang tidak ada debu yang melekat di tangan apabila ditepuk di atasnya.

Adakah harus bertayammum dengan menepuk di dinding, di atas permaidani, di pakaian, di belakang binatang kendaraan atau sebagainya?

Ada dua pandangan ulama;

Pertama; mengikut pandangan mazhab Syafi’ie dan Ahmad; harus jika di atas tempat-tempat yang ditepuk itu ada terdapat debu yang dapat melekat di tangan sebagaimana yang disyaratkan tadi. Jika tidak terdapat debu padanya, tidak harus tayammum.

Kedua; mengikut Imam Malik; tidak harus melakukan tayammum dengan menepuk ke atas debu yang terdapat di atas pakaian, permaidani dan sebagainya itu. Menurut beliau, tayammum hendaklah dengan menepuk terus ke atas bumi.

Adakah disyaratkan masuk waktu sahnya tayammum?

Ada dua pandangan ulama;

Pertama;
jumhur ulamak (terdiri dari mazhab Imam Malik, Syafi’ie, Ahmad dan lain-lain) berpandangan; tidak sah tayammum melainkan setelah masuk waktu solat sama ada tayammum kerana keputusan air atau kerana tidak mampu menggunakan air. Maksud ‘masuk waktu’ ialah tiba waktu yang mengharuskan suatu solat itu dilakukan. Disyaratkan masuk waktu kerana tayammum adalah toharah darurat seperti mana toharah wanita yang istihadhah di mana kedua-duanya tidak menghilangkan hadas, akan tetapi dilakukan hanya untuk mengharuskan solat sahaja. Maka sebagaimana wanita yang istihadhah tidak harus mengambil wudhuk melainkan setelah masuk waktu, begitu juga orang yang ingin melakukan tayammum juga tidak harus melakukannya melainkan setelah masuk waktu solat.

Kedua;
Imam Abu Hanifah berpandangan; tayammum tidak terikat dengan waktu, yakni harus melakukan tayammum sekalipun belum masuk waktu. Beliau mengkiaskannya dengan wudhuk dan toharah-toharah yang lain (mandi, menyapu khuf, menghilangkan najis). Sebagaimana wudhuk harus dilakukan sebelum masuk waktu solat, maka tayammum juga sedemikian kerana ia disyariatkan sebagai ganti kepada kedua-duanya.[10]

Apakah syarat tayammum bagi orang sakit atau luka?

Tidak semua jenis sakit atau luka mengharuskan tayammum. Sakit atau luka yang mengharuskan tayammum ialah sakit atau luka yang penggunaan air ditakuti akan menyebabkan at-talaf (kematian atau kemusnahan anggota) atau mendatangkan mudarat pada badan. Ia merangkumi;
  1. Akan menyebabkan kematian atau kerosakan pada aggota (التلف); lumpuh dan sebagainya.
  2. Penggunaan air menimbulkan penyakit yang membawa kematian atau kerosakan anggota.
  3. Menyebabkan sakit bertambah teruk atau penyakit semakin melarat.
  4. Menyebabkan lambat sembuh
  5. Menyebabkan kesakitan yang tidak tertanggung.
  6. Menimbulkan kecacatan dan kejelikan yang ketara pada badan; seperti kulit menjadi hitam atau sebagainya.
Kesan-kesan yang dibimbangi tersebut dari penggunaan air hendaklah disahkan oleh pengalaman sendiri atau berdasarkan makluman dari doktor yang mahir. Menurut mazhab Syafi’ie; doctor itu hendaklah muslim dan adil (tidak fasiq). Tidak diterima pengakuan atau pengesahan dari doctor kafir atau fasiq. Namun menurut mazhab Imam Malik; harus memakai pandangan atau makluman dari doktor kafir jika tidak ada doktor muslim.

Sejauh manakah ibadah yang harus dilakukan dengan tayammum?

Tayammum mengharuskan apa yang diharuskan dengan wudhuk dan mandi. Seorang yang bertayammum harus mengerjakan solat fardhu, solat sunat, sujud tilawah, sujud syukur, membawa mushaf, membaca al-Quran dan beriktikaf. Hukum ini telah disepakati oleh ulamak.

Namun para Fuqahak berikhtilaf dalam menentukan bilangan solat fardhu yang harus dikerjakan dinisbahkan kepada satu tayammum yang dilakukan. Di sana ada tiga pandangan;

Pandangan pertama; tayammum sama seperti wudhuk iaitu tidak terikat dengan bilangan solat. Selagi tayammum tidak batal –iaitu dengan menjumpai air atau dengan berlakunya hadas-, maka harus untuk melakukan dengan tayammum itu seberapa banyak solat yang dikehendaki sama ada fardhu atau sunat dan tanpa mengira waktu. Pandangan ini merupakan pendapat Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan, az-Zuhri, as-Tsauri, Imam Abu Hanifah, al-Muzani dan ar-Ruyani.

Pandangan kedua; Jumhur ulamak yang terdiri dari Saidina ‘Ali, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas, as-Sya’bi, an-Nakha’ie, Qatadah, Yahya al-Ansari, Rabi’ah, Malik, Syafi’ie, al-Laits, Ishaq dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat; satu tayammum hanya untuk satu solat fardhu atau satu ibadah wajib sahaja. Oleh demikian, tidak harus menjamakkan dua solat dengan satu tayammum atau melakukan dua tawaf atau melakukan satu solat fardhu dengan satu tawaf fardhu, menghimpunkan dua solat nazar atau antara satu solat fardhu dengan satu solat nazar. Hendaklah diperbaharui tayammum untuk setiap solat fardhu yang hendak dilakukan setelah dipastikan tidak air terlebih dahulu. Adapun solat sunat, harus dilakukan seberapa banyak yang dikehendaki.

Pandangan ketiga; Imam Abu Tsur dan fuqahak mazhab Hanbali. Mereka berpandangan; Tayammum terikat dengan waktu di mana satu tayammum hanya bagi satu waktu solat fardhu sahaja. Seorang yang bertayammum boleh melakukan apa sahaja solat yang dikehendaki sama ada solat fardhu dalam waktu, solat fardhu yang luput, menjamakkan dua solat dan seberapa banyak solat sunat yang diingini selama belum masuk waktu lain. Apabila masuk waktu lain, batallah tayammum dan wajib diulangi semula tayammum bagi mengharuskan solat kembali. Kedaaannya menyamai seorang wanita istihadhah atau orang-orang lainnya yang melakukan toharah darurat.

Apakah anggota-anggota tayammum?

Berdasarkan ayat al-Quran tadi dan hadis-hadis Nabi s.a.w. (sebahagiannya telah kita sebutkan tadi), anggota tayammum hanya dua sahaja (sama ada tayammum bagi menggantikan wudhuk atau bagi menggantikan mandi) yaitu;
  1. Muka
  2. Dua tangan
    Mengenai muka tidak ada khilaf di kalangan ulamak bahawa keseluruhan kawasan muka yang wajib dibasuh ketika mengambil wudhuk, maka ketika tayammum kawasan muka tersebut wajib diratai dengan debu. Adapun tangan, maka para ulamak berbeza pandangan tentang kawasan yang wajib disapui debu;

    Pertama; mengikut jumhur atau majoriti ulamak iaitu Saidina ‘Ali, Ibnu ‘Umar, al-Hasan al-Basri, as-Sya’bi, Salim bin Abdullah, Imam Malik, al-Laits, Imam Abu Hanifah dan Syafi’ie; kawasan tangan yang wajib disapui debu adalah sama sebagaimana yang wajib dibasuh ketika mengambil wudhuk iaitu bermula dari hujung jari hinggalah ke siku.[20] Mereka berdalilkan –antaranya- sabda Nabi s.a.w.; “Tayammum itu dua kali tepukan, sekali untuk disapu ke muka dan sekali untuk di sapu ke kedua tangan hingga ke siku”.[21]

    Kedua; sekumpulan ulamak yang terdiri dari ‘Atho, Makhul, al-Auza’ie, Imam Ahmad, Ishaq, Imam Syafi’ie (mengikut qaul qadimnya sebagaimana diceritakan oleh Abu Tsur)[22] dan disokong oleh Ibnu al-Munzir berpandangan; kawasan tangan yang wajib disapui debu ketika tayammum hanyalah sampai ke pergelangan tangan sahaja.[23] Mereka berdalilkan hadis kisah ‘Ammar (yang telah kita kemukakan tadi) di mana Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya; “Sesungguhnya memadai kamu menepuk dua tapak tangan kamu ke tanah, kemudian kamu hembusnya (untuk menipiskan sedikit debu di tapak tangan itu) dan seterusnya kamu sapukan debu ke muka dan ke dua tangan kamu (hingga pergelangannya)”.[24] Adapun hadis yang dijadikan hujjah oleh jumhur tadi ia adalah dhaif. Sebenarnya ia hanyalah pandangan Ibnu Umar, bukan sabda Nabi s.a.w..

    Menurut Imam Nawawi; pandangan kedua di atas adalah kuat dari segi dalilnya dan lebih hampir kepada kehendak as-Sunnah.[25]

Berapakah bilangan tepukan yang wajib semasa melakukan tayammum?

Rentetan dari khilaf di atas, berlaku pula khilaf dalam menentukan berapakah bilangan tepukan ke tanah yang mesti dilakukan oleh orang yang melakukan tayammum? Mengikut jumhur ulamak tadi; tayammum wajib dengan sekurang-kurangnya dua kali tepukan ke tanah; satu tepukan untuk disapu ke muka dan satu tepukan lagi untuk disapu kepada dua tangan hingga ke siku. Jika dua kali tepukan itu mencukupi untuk menyapu keseluruhan kawasan muka dan tangan (hingga ke siku), tidak perlu lagi ditambah. Jika tidak, wajiblah tepukan itu ditambah hingga debu meratai seluruh kawasan yang wajib disapu itu.[26]

Adapun pandangan kedua di atas (‘Atho, Makhul, al-Auza’ie, Imam Ahmad, Ishaq dan disokong oleh Ibnu al-Munzir), mereka menegaskan; yang wajib ialah sekali tepukan sahaja untuk kedua-dua anggota tayammum iaitu muka dan dua tangan hingga pergelangannya.

Bilakah batalnya tayammum?

  1. Tayammum adalah bersuci gantian bagi wudhuk. Apabila berlaku kepada orang yang bertayammum perkara-perkara yang boleh membatalkan wudhuk sebagaimana yang telah kita jelaskan dalam tajuk yang lalu (contohnya, ia telah terkentut atau tersentuh kemaluan atau sebagainya), maka batallah tayammumnya. Kesimpulannya, perkara-perkara yang membatalkan wudhuk juga akan membawa kepada batalnya tayammum.
  2. Bagi orang yang bertayammum kerana ketiadaan air, tayammumnya batal apabila telah bertemu air. Sebaik bertemu air, dengan sendiri tayammumnya terbatal. Apabila hendak solat semula, wajib ia mengambil wudhuk, yakni tidak cukup dengan tayammumnya tadi sekalipun ia tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan tayammumnya. Jika ia bertayammum tadi kerana ganti mandi wajib, hendaklah ia mandi wajib sebelum mengerjakan solat berikutnya.
  3. Jika seorang bertayammum, kemudian belum sempat mengerjakan solat ia telah menemui air, tidak harus ia menunaikan solat dengan tayammum itu, akan tetapi hendaklah mengambil wudhuk, kemudian baru tunaikan solat. Ini kerana tayammumnya dengan sendiri terbatal dengan kerana bertemu air sekalipun belum sempat mengerjakan solat. Jika air ditemui semasa sedang solat (seperti ada orang memberitahunya semasa sedang solat itu), jika ia ingin meneruskan solatnya diharuskan dan solatnya sah. Namun sebaik-baiknya ialah ia menghentikan solatnya, kemudian mengambil wudhuk dan melakukan semula solat. Jika air ditemui setelah selesai solat, sah lah solat yang ditunaikan sebelum bertemu air itu dan tidak perlu diulangi semula sekalipun waktu masih ada.
  4. Jika bertayammum kerana keuzuran (seperti sakit, sejuk keterlaluan dan sebagainya), tayammum dikira terbatal sebaik sahaja hilang keuzuran. Contohnya; jika seseorang bertayammum kerana sakit, maka sebaik ia sembuh dari sakit, batallah tayammumnya.

Senin, 14 Oktober 2019

Hikmah Tayamum


Disyariatkannya tayamum ialah memberi keringanan kepada umat Islam dalam melaksanakan syariat agamanya karena kondisi yang tidak memungkinkan menggunakan air. Keringanan tersebut disebut rukhsah
a. Untuk menunjukkan sifat Rahman dan Rahim Tuhan, bahwa syariat Islam itu tidak mempersulit umat-Nya.
b. Hikmah yang terdapat pada tanah sebagai pengganti air untuk bersuci antara lain adalah menuntut keikhlasan dan kesabaran kita.
c. Menyadarkan akan asal manusia diciptakan, bahwa dirinya diciptakan dari tanah.
d. Memberikan kesadaran bahwa tidak ada alas an untuk meninggalkan ibadah.
Diantara hikmah tayyamum adalah untuk menyucikan diri kita dan agar kita bersyukur dengan syari’at ini. Sehingga semakin nampak kepada kita bahwa Allah sama sekali tidak ingin memberatkan hamba-Nya. Setelah menyebutkan syariat bersuci, Allah mengakhiri ayat tersebut dengan firman-Nya:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya ;
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak menyucikan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.(Qs. Al Maidah: 6).
Diantara hal-hal yang dituduh menyelisihi akal adalah masalah tayamum. Maka ada tanggapan bahwa tayamum tidak dapat diterima oleh akal apabila ditinjau dari dua segi, yaitu: pertama, tanah atau debu adalah sesuatu yang kotor, sehingga tidak dapat menghilangkan daki maupun kotoran-kotoran lainnya. Demikian pula tidak dapat membersihkan pakaian. Kedua, tayamum hanya disyari’atkan pada dua anggota badan (wudlu), dan ini tidak sesuai dengan akal logika yang sehat.

Benar jika syari’at tayamum itu memang tidak sesuai dengan akal yang picik. Akan tetapi, ia sangat selaras dengan akal yang sehat. Karena sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan air sebagai su,ber utama kehidupan, sementara manusia diciptakan dati tanah. Tubuh kita tersiri dari dua unsur tersebut, yakni air dan tanah. Dan telah pula dijadikan dari dua unsur itu makanan bagi kita. Lalu keduanya dijadikan alat bagi kita untuk bersuci dan beribadah. Tanah adalah materi asal kejadian manusia dan air adalah sumber kehidupan bagi segal sesuatu. Lalu Allah SWT menyusun alam ini dan kedua unsur itu sebagai sumber utamanya.

Pada dasarnya, bahan yang dipakai untuk membersihkan sesuatu dari kotoran dari situasi dan kondisi yang biasa adalah air. Tidak diperkenankan untuk tidak mempergunakan air sebagai bahan pembersih, kecuali pada saat itu air tidak ada, atau karena adanya halangan seperti sakit serta sebab-sebab yang lain (yang dapat dibenarkan oleh syara’). Pada saat kondisi tidak memungkinkan untuk mempergunakan air seperti itu, maka mempergunakan tanah sebagai pengganti air adalah jauh lebih utama dibandingkan dengan yang lain. Hal ini karena tanah adalah saudara kandung air. Meskipun pada lahirnya tanah (debu) nampak kotor, namun ia dapat mensucikan kotoran secara batin. Hal ini diperkuat oleh kemampuan tanah untuk menghilangkan kotoran-kotoran secara lahir ataupun mengurangi kadar kotornya. Ini adalah persoalan yang tidak asing bagi mereka yangilmu yang mendalam, sehingga mampu mengungkap hakikat-hakikat dari sesuatu amalan serta memahami kaitan antara lahir dan batin bersama interaksi yang terjadi diantara keduanya.

Adapun segi atau pandangan yang kedua, yaiut pensyari’atan tayamum yang hanya pada dua anggota badan (wudlu) tidak sesuai dengan akal, sementara telah diketahui, bahwa tayamum disyari’atkan pada seluruh anggota badan (wudlu) seperti halnya dengan air.

Akan tetapi, pada hakikatnya pensyari’atan tayamum hanya pada dua anggota badan (wudlu) berada pada puncak kesucian dan keselarasan dengan akal yang sehat, serta mengandung rasia dan hikmah yang cukup mendalam. Karena pada umumnya, melumuri kepala denagna debu (tanah) adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan jiwa yang normal. Oleh sebab itu, perbuatan tersebut umumnya hanya dilakukan orang saat ia ditimpa musibah dan kesulitan. Adapun kedua kaki umumnya adalah anggota badan yang senantiasa bersentuhan dengan tanah.

Dari sisi lain, menyapukan tanah (debu) kemuka atau wajah merupakan gambaran ketundukan dan pengagungan kepada Allah SWT, dan kerendan hati sangat disukai oleh Allah SWT dan mengandung manfaat yang besar bagi hamba. Oleh sebab itu, diperintahkan bagi setiap hamba untuk sujud dan langsung menempelkan wajahnya langsung ke tanah, dan tidak melakukan sesuatu yang menghalangi wajahnya bersebtuhan dengan tanah.

Apabila kita telusuri persoalan ini lebih jauh, maka akan nampak bagi kita hikmah lain yang unik, dimana tayamum disyari’atkan hanya pada dua anggota badan (wudlu) yang wajib dibasuh saat seseorang berwudlu, dan tidak disyari’atkan pada dua anggota badan (wudlu) lain yang boleh untuk dibasuh. Bukankah kaki boleh dibasuh di atas sepatu dan kepala boleh disuh di atas sorban? Maka setelah kepala dan kaki mendapat keringanan dari mencuci menjadi membasuh saat berwudlu, sudah sepatutnya apabila kedua anggota ini juga diberi keringanan atas dasar pengampunan untuk tidak disapu dengan tanah saat melakukan tayamum. Sebab, apabila kepala dan kaki disyari’atkan untuk disapu pula dengan tanah (debu) pada saat bertayamum, niscaya tidak ada keringanan yang terjadi (akan tetapi justru memberatkan). Yang ada hanyalah perpindahan bentu dari menyapu dengan menyapu dengan tanah (debu). Dan ini menyalahi hikmah pensyari’atan tayamum yang bertujuan memberikan keringanan. Dari sini nampak jelas, bahwa hokum yang ditetapkan oleh syari’at Islam itu demikian sempurna dan adil. Dan inilah timbangan yang benar untuk memahami persoalan ini.