Sabtu, 30 Maret 2019

Pahala mendengarkan bacaan AL Qur'an

Untuk bisa membandingkan atau menyamakan pahala amal satu dengan amal yang lainnya, kita butuh dalil. Karena yang paling paham tentang pahala amal seseorang adalah Allah Ta’ala. Sehingga, untuk bisa mengetahui nilai amal seseorang, harus berdasarkan wahyu.

Di sana ada beberapa dalil yang menyebutkan pahala orang yang mendengarkan al-Quran dan pahala orang yang membaca al-Quran.

Diantaranya,

[1] Firman Allah,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Apabila dibacakan al-Quran, perhatikanlah dan diamlah, maka kalian akan mendapatkan rahmat.” (QS. al-A’raf: 204).

[2] Allah juga berfirman,

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka melakukan tadabbur terhadap ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS. Shad: 29)

Dua ayat ini dan ayat yang semisal, sudah cukup untuk membuktikan bahwa memperhatikan al-Quran adalah amal besar. Karena diantara tujuan al-Quran diturunkan adalah untuk direnungi ayat-ayatnya. Mereka yang melakukan tadabbur, akan mendapat janji akan dirahmati oleh Allah. Dan yang dimaksud mendengarkan di sini adalah memperhatikan dan mentadabburi al-Quran.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga suka mendengarkan al-Quran yang dibacakan oleh para sahabat. Seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu,

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh Ibnu Mas’ud,

“Silahkan baca al-Quran!”

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أقْرَأُ عَلَيْكَ، وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟!

“Ya Rasulullah, saya membaca al-Quran di depan Anda, padahal al-Quran diturunkan kepada Anda?!”

Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي

“Aku senang mendengarkan al-Quran dari bacaan orang lain.”

Kemudian Ibnu Mas’ud membacakan surat an-Nisa sampai ayat 41, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis di penghujung ayat itu. (HR. Bukhari 4583).

Sementar dalil keutamaan membaca al-Quran, disebutkan dalam hadis Ibnu Mas’ud juga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah, maka dia akan mendapatkan satu kebaikan sedangkan satu kebaikan itu (bernilai) sepuluh kali lipatnya, aku tidak mengatakan ‘Alif Laam Miim ‘ sebagai satu huruf, akan tetapi ‘Alif sebagai satu huruf, ‘Laam ‘ sebagai satu huruf dan ‘miim ‘ sebagai satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi 2910 dan dishahihkan al-Albani).

Hadis ini menunjukkan pahala besar bagi yang membaca al-Quran.

Kemudian, untuk pertanyaan, apakan mendengarkan bacaan al-Quran pahalanya sama seperti membaca al-Quran? kami belum menjumpai dalil tentang itu. Namun kita berharap, semoga keduanya mendapatkan pahala besar..



Dikutip dari https://konsultasisyariah.com

Jumat, 29 Maret 2019

Hadits Palsu selama Bulan Ramdhan

Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallamyang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.

Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:

الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء

“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)

Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.

Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.

Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.

Hadits 1

صوموا تصحوا

“Berpuasalah, kalian akan sehat.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).

Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).

Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 2

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).

Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).

Terdapat juga riwayat yang lain:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه

“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).

Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

Hadits 3

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،

“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan,  ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib(2/115)

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.

Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

“Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’.  Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar  berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Hadits 4

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم

“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar(4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.

Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:

اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين

“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”

Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”

Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.

Hadits 5

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari  di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).

Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi(723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.

Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)

Hadits 6

لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان

“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.'”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

Hadits 7

أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر

“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”

Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).

Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.

Hadits 8

رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).

Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334),  dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).

Hadits 9

من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر

“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”

Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)

Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:

من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا

“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)

Hadits 10

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب

“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”

Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.

Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.

Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.

Hadits 11

قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك

“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).

Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك

Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 12

خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)

Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).

Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه

“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)



Baca selengkapnya https://muslim.or.id/1334-12-hadits-lemah-dan-palsu-seputar-ramadhan.html

Kamis, 28 Maret 2019

Obat Hati

Setiap anggota tubuh manusia diciptakan untuk fungsinya masing-masing. Bila ada yang rusak, maka kerja dan fungsinya akan terganggu, atau tidak berfungsi sama sekali. Bila mata rusak, penglihatan pun terganggu, atau menjadi buta. Begitu pula dengan anggota lainnya, misalnya mulut, hitung, telinga dan lain sebagainya.

Termasuk pula bila seseorang terserang penyakit hati. Bila hati terjangkit penyakit maksiat, penyakit yang menjauhkannya dari Allâh Azza wa Jalla, maka hati tidak bisa menjalankan fungsi kerjanya. Ia tidak bisa menghadirkan amalan-amalan untuk ibadah kepada-Nya. Ia akan jauh dari mengenal Allâh Azza wa Jalla .

Penyakit hati adalah penyakit yang sangat berbahaya, dan terkadang si penderita tidak bisa merasakannya. Kalaupun ia merasakannya, namun susah baginya untuk bersabar dalam mengobatinya. Karena obat sakit hati adalah dengan melawan hawa nafsunya. Dan ini hal yang memerlukan pengorbanan besar.

Memang hati adalah poros kebahagiaan sekaligus sumber kebinasaannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh kalian terdapat segumpal daging; bila ia baik, maka akan baik seluruh badannya. Namun bila ia rusak, akan rusak pula semua tubuhnya. Ingatlah, itu adalah hati. [Muttafaq ‘alaih]

Hadits tersebut menunjukkan bahwa baiknya amalan seorang hamba tergantung pada baiknya hati. Sebaliknya, rusaknya amalan seorang hamba adalah sesuai dengan rusaknya hati. Hati yang baik, itu adalah hati yang sehat selamat. Hanya hati seperti ini yang akan bermanfaat di sisi Allâh Azza wa Jalla kelak.

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ﴿٨٨﴾ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

 (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. [Asy-Syu’arâ’/ 26: 88-89]

Mengenai hati manusia, bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori:

Hati yang bersih; yaitu yang selamat dari berbagai penyakit dan kerusakan. Dalam hati ini tidak terdapat di dalamnya selain kecintaan kepada Allâh dan takut kepada-Nya. Hatinya selalu takut akan hal-hal yang bisa menjauhkannya dari Allâh Azza wa Jalla . Ia adalah hati yang khusyuk, yang hidup, dan senantiasa sadar akan tujuan dirinya ada di bumi.Hati yang mati; tak ada kehidupan di dalamnya. Ia tidak mengenal Rabbnya, tidak pula beribadah menyembah-Nya. Ia hidup mengikuti hawa nafsu dan kesenangan belaka, meskipun itu mengundang murka Allâh. Ia tidak menghiraukan nasihat yang diberikan. Ia justru mengikuti seruan syetan dan bujuk rayunya.Hati yang sakit, Hati ini sebenarnya menyimpan energi, menyimpan kehidupan, akan tetapi telah bersarang penyakit dalam hati ini. Terkadang ia bisa lebih dekat kepada keselamatan, bisa pula ia lebih dekat pada kebinasaan.

 Banyak faktor dan sebab terkait mati dan hidupnya hati seseorang.

Diantara sebab hidupnya hati adalah dengan bergegas menghadap Allâh Azza wa Jalla , membaca Kitab-Nya dengan merenunginya, dan menyibukkan diri dengan dzikrullah (mengingat Allâh Azza wa Jalla ). Allâh berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

 (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allâh-lah hati menjadi tenteram. [Ar-Ra’d/ 13: 28]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat–Nya iman mereka bertambah (karenanya), dan hanya kepada Rabblah mereka bertawakkal.” [Al-Anfâl/8:2]

Diantara sebabnya yang lain, yaitu bergaul dengan orang-orang shalih dan mengikuti amalan mereka. Juga dengan sering mendengar nasihat dan taushiyah agama, serta dengan menjaga shalat berjama’ah bagi kaum laki-laki. Tidak ketinggalan pula dengan bertadabbur dan merenungkan ciptaan Allâh dan hikmah di balik itu semua. Karena banyak pertanda dan hikmah bagi orang-orang yang berfikir. Juga dengan mengambil pelajaran dari kesudahan orang-orang zhalim dan yang mendapat siksa adzab-Nya. Ini seperti firman Allâh:

فَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ فَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا وَبِئْرٍ مُعَطَّلَةٍ وَقَصْرٍ مَشِيدٍ

Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi. [Al-Hajj/ 22: 45]

Adapun hal-hal yang membuat hati menjadi mati di antaranya adalah karena tidak mau menerima kebenaran, padahal ia tahu kebenaran tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfrman :

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allâh memalingkan hati mereka; dan Allâh tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. [Ash-Shaff/61:5]

Orang yang telah mati hatinya, ia lebih hina dan rendah daripada binatang ternak; dan Jahannam, itulah tempat kembalinya. Mereka tidak mau menggunakan akal dan indera mereka untuk mencari kebenaran.

Maka orang yang demikian, hatinya telah terbalik dan tersegel sehingga ia tidak bisa mengambil manfaat dari hatinya. Sebab ia telah berpaling dari kebenaran. Ia telah rela dengan kebatilan. Sehingga kebatilan menjadi menu dan nutrisinya sehari-hari. Kesesatan, jalan yang ia tempuh, dan neraka Jahim; itulah tempat kembalinya.

Adapun hati yang sakit, di antara sebabnya yaitu memakan yang haram. Sebab makanan yang tak halal akan memberi suplai yang buruk dan keji kepada badan. Seperti halnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai orang yang bepergian jauh, dengan kondisi tubuh berdebu, rambut yang acak-acakan. Ia menengadahkan dua tangannya ke langit seraya berseru: Ya Rabb; Ya Rabb; namun makanannya haram, pakaiannya haram; ia diberi suplai makan yang haram;lalu bagaimana mungkin akan dikabulkan doanya?!

Dan sungguh miris, bila memperhatikan keadaan sekitar saat ini, memakan sesuatu yang haram sudah begitu menjamur pada masa sekarang ini! Sehingga hati pun dihinggapi penyakit; perilaku menjadi bejat, dan dekadensi moral pun begitu parah.

Di antara sebab lain hati yang sakit adalah berbuat maksiat. Sebab maksiat akan membekas di hati dan membuatnya sakit. Seperti dalam hadits, bahwa bila seorang hamba berbuat dosa, akan digoreskan titik hitam di hatinya. Bila bertaubat, titik tersebut pun akan kembali mengkilap. Kalau tidak bertaubat, titik tersebut akan bertambah dan semakin parah.

Sebab lainnya adalah mendengarkan hal-hal yang terlarang, termasuk juga mendengarkan nyanyian. Hal ini sudah begitu merebak pada masa sekarang ini. begitu parah pengaruh negatifnya; dan propagandanya pun begitu gencar, sampai merangsek pula ke tengah rumah kaum Muslimin. Sehingga muncullah dampak buruknya, dan merusak perilaku banyak orang, baik dari anak kecil sampai pun orang dewasa dan tua.

Di antara sebab lainnya juga karena memandang pada yang diharamkan untuk dilihat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” [An-Nûr/ 24: 30]

Pandangan yang diharamkan akan menimbulkan syahwat di dalam hati dan membuatnya sakit. Bacaan yang merusak juga membuat hati sakit; termasuk pula bacaan yang menebarkan pemikiran menyimpang, dan juga bacaan yang memicu nafsu. Semoga kita semua terhindar dari itu semua.

Tak ada obat penawar untuk hati  yang sakit selain obat yang telah Allâh turunkan dalam Kitab dan sunnah Nabi-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. [Yûnus/10:57]

Maka sambutlah Kitab Allâh Azza wa Jalla dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh antusias, agar kita bisa menyembuhkan hati kita; agar kita mendapat kesembuhan dan juga rahmat-Nya. Dalam Al-Quran dan Sunnah terdapat cahaya dan petunjuk; terdapat ruh dan kehidupan; yang membentengi dari syetan dan godaannya.

Marilah, masing-masing kita mempersiapkan diri, dengan menjauhkan diri dari berbagai keburukan dan segala hal yang mengantarkan kepadanya. Demikian pula jauhkanlah anak-anak dan juga rumah kita dari berbagai media penebar keburukan dan kerusakan. Bila memang kita menginginkan kesembuhan bagi hati kita dan kebaikan bagi masyarakat. Dan hendaknya kita perbanyak doa yang diucapkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ القُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati! Arahkanlah hati kami di atas ketaatan.



Dikutip dari https://almanhaj.or.id

Rabu, 27 Maret 2019

Hakikat Mentauhidkan Alloh

Setiap yang mengaku muslim pasti merasa bertauhid. Tapi coba tanya kepada mereka apa arti tauhid yang sesungguhnya? Pasti kita dapati jawaban yang berbeda-beda. Belum lagi kalau melihat kepada perbuatan mereka yang bertentangan dengan tauhid, baik ucapan atau perbuatan. Menandakan ternyata banyak dari orang yang mengaku muslim sebenarnya tidak memahami tauhid dengan benar!

Urgensi tauhid

Tauhid adalah tujuan diciptakannya manusia. Ia juga sebab diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Karena tauhid Allah perintahkan shalat, puasa zakat dan ibadah lainnya. Dan demi tauhid juga Allah syariatkan jihad, dan manusia pun dibagi menjadi dua golongan karena tauhid. Bahagia dan celaka. Golongan kanan dan golongan kiri. Penghuni surga dan penghuni neraka. Bahkan shalat ditegakkan untuk mengingat Allah, menyembelih diberikan hanya untuk Dia, hidup dan mati semata-mata dipersembahkan hanya kepada-Nya.

قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku (hanya) untuk Allah Rab semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan kepada hal inilah aku diperintahkan. Dan aku termasuk yang pertama berserah diri.” (Qs. Al An’am: 162)

Begitu pentingnya tauhid bagi seorang hamba sampai Allah siap mengampuni semua dosa bagi hamba pilihan-Nya apabila dia tidak pernah menyekutukan-Nya. Dan begitu bahayanya kesyirikan sampai Allah pun berikrar bahwa Dia tidak mengampuni siapa saja yang diwafatkan namun masih memikul dosa kesyirikan. Allah Ta’aala berfirman;

إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa kesyirikan dan mengampuni dosa selain kesyirikan bagi siapa yang Allah kehendaki.” (Qs. An-Nisaa; 48)

Dan begitu spesialnya tauhid, sampai-sampai pembahasan Al Qur’an seluruhnya tentang tauhid. Apakah menjelaskan akan kewajibannya (kewajiban tauhid) dan melarang dari lawannya (kesyirikan), atau tentang kisah para nabi dan kaumnya, apa nasib orang yang menerima tauhid sebagai agamanya dan apa nasib orang  yang menolaknya di dunia dan di akhirat. Atau tentang perintah-perintah dan larangan-larangan yang tidak lain adalah konsekwensi dari mentauhidkan-Nya. Sehingga Al Qur’an seluruhnya adalah tauhid!

Kenapa ayat kursi menjadi ayat yang paling agung di dalam Al Qur’an? Saat Nabi bertanya kepada Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘Anhu: “Ayat apakah yang paling agung di dalam kitabullah? Maka Ubay menjawab; “Ayat kursi.” Nabi berkata: “Selamat kepadamu atas ilmu ini wahai Abul Mundzir.”

Jawabnya adalah karena isi dan kandungannya yang berbicara tentang perkara tauhid.

Karena itu Al Imam Muhammad At-Tamimi rahimahullah dalam Al Ushul Ats-Tsalatsah berkata:“Perintah Allah paling besar kepadamu adalah tauhid. Dan larangan Allah paling besar kepadamu adalah kesyirikan.”

Maka perkara yang seperti ini urgensinya masih pantaskah seorang muslim lalai darinya? Enggan mempelajarinya?! Tidak mau mencari tahu akan makna, kandungan dan konsekwensinya?! Semoga Allah jauhkan kita dari sifat yang demikian. Amin.

Arti tauhid

Banyak orang bilang tauhid artinya mengesakan Allah Ta’aala. Namun apa yang dimaksud mengesakan Allah? Apakah artinya Allah Dzatnya hanya satu, hanya dia yang menciptakan, memiliki mengatur semesta alam? Tauhid dengan pengertian ini tidak ditolak oleh kaum musyrikin sekali pun. Bahkan Allah telah mengabarkan bahwa musyrikin dahulu juga mengakui hanya Allah satu-satunya Yang menciptakan langit bumi dan segala isinya, memilikinya dan mengaturnya. Dalam Az-Zumar ayat 38 Allah berfirman yang artinya;“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi”, niscaya mereka menjawab: “Allah”.”

Dalam Al Ankabut ayat 63 Allah berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”.”

Dan dalam Al Mu’minun ayat 85-86 Allah juga berfirman yang artinya:“Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “kepunyaan Allah”.”

Tapi disamping keyakinan musyrikin dahulu bahwa hanya Allah satu-satunya yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya, dan bahwa Dia satu-satunya yang memiliki dan mengaturnya, mereka masih saja diminta mengikrarkan kalimat tauhid: “Laa ilaaha Illallah”. Pertanda bahwa kalimat ini bukan meminta mereka untuk mengakui Allah sebagai satu-satunya pencipta, pemilik dan pengatur alam semesta beserta segala isinya, karena jika tidak demikian berarti para utusan Allah mengajak kaumnya kepada apa yang sebenarnya sudah mereka sendiri yakini dan ini kesia-siaan.

Maka berarti ada hal lain yang diminta dari kalimat ini. Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengumpulkan kaumnya di awal dakwahnya kepada tauhid, beliau berseru: “Ucapkanlah oleh kalian: “Laa ilaaha Illallah” kalian akan beruntung!” Orang-orang musyrikin ini paham bahwa Nabi Muhammad tidak meminta mereka untuk mengakui Allah sebagai satu-satunya pencipta, pemilik dan pengatur alam semesta raya ini, karena itu mereka sambut ucapan Nabi Muhammad ini dengan perkataan:

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

“Mengapa dia menjadikan ilah-ilah (sesembahan yang banyak) itu hanya satu saja, sungguh ini benar-benar perkara yang mengherankan.” (Qs. Shaad: 5)

Allah juga mengabarkan dalam kitab-Nya,

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Ilah/sesembahan yang berhak disembah/diibadahi melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena mengikuti seorang penyair gila?”(QS. Shaaffaat: 35-36)

Berarti tauhid yang semua kita diminta untuk mengesakan-Nya adalah beribadah hanya kepada Allah dan tidak beribadah kepada selain-Nya. Inilah konsekwensi logis dari pengakuan bahwa yang menciptakan hanya Allah, yang memiliki hanya Allah dan yang mengatur hanya Allah. Bahwa orang yang telah mengakui hal ini hendaknya tidak lagi memberikan ibadahnya kecuali kepada Allah Yang Maha Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini dan segala isinya. “Hai sekalian manusia, sembahlah Rabb-mu, Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. 2: 21-22)

Sabtu, 23 Maret 2019

Cara meningkatkan iman

Sudah dimaklumi banyak terdapat nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah yang menjelaskan pertambahan iman dan pengurangannya. Menjelaskan pemilik iman yang bertingkat-tingkat sebagiannya lebih sempurna imannya dari yang lainnya. Ada di antara mereka yang disebut assaabiq bil khairaat (terdepan dalam kebaikan), al-Muqtashid (pertengahan) dan zhalim linafsihi (menzhalimi diri sendiri). Ada juga al-Muhsin, al-Mukmin dan al-Muslim. Semua ini menunjukkan mereka tidak berada dalam satu martabat. Ini menandakan bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang.[2] Oleh karena itu, saat Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah menjelaskan tentang keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang iman, beliau mengatakan,

وَالْإِيمَانُ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ، وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ وَعَقْدٌ بِالْجَنَانِ, يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ, وَيَنْقُصُ بِالْعِصْيَانِ

“Iman adalah ucapan dengan lisan, amal dengan anggota badan, keyakinan (dan amal) hati. Ia dapat bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatanز”[3]

Siapa sih yang Gak Pengen Bertambah Keimanannya?

Sobat, perlu difahami bahwa suka perkara yang baik, cinta ketaatan, pengen iman bertambah adalah dambaan setiap orang yang benar keimanannya.

Dan suka keimanan merupakan anugerah dari Allah Ta’ala untuk hamba yang disayangi-Nya. Oleh karena itu, perbanyaklah  memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menghiasi keimanan dalam hati Anda, simaklah firman Allah Ta’ala berikut ini,

 وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

“Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hati kalian serta menjadikan kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS. Al-Hujurat: 7).

Suka Iman Bertambah Saja Tidaklah cukup

Sobat, cukupkah anda suka makanan saja, tapi setiap hari tidak mau makan? Apakah cukup anda suka uang saja, tapi tidak mau bekerja? Anda ingin sembuh, tapi gak mau berobat? Tentu tidak bukan? Dalam agama kita, orang  yang ingin berjumpa dengan Allah dan melihat wajah-Nya diperintahkan untuk beramal shaleh.

Coba deh, simak Kalam Ilahi berikut ini,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

Dengan demikian, tidak cukup seseorang hanya suka imannya bertambah, namun tidak mau berusaha menambah keimanannya.

Kalo mau bertakwa, ya laksanakan perintah Allah.

Mau iman naik? Ya lakukan ketaatan kepada Rabb Anda.

Cara Dahsyat Meningkatkan Keimanan

Syaikh Prof. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah di dalam kitabnya Asbab Ziyadatil Iman wa Nuqshanihi menyebutkan setidaknya terdapat tiga cara dahsyat dalam meningkatkan keimanan.

Mempelajari ilmu yang bermanfaat, di antaranya adalah membaca Al-Qur`an dan mentadaburinya, mempelajari nama dan sifat Allah Ta’ala, memperhatikan keindahan agama Islam, membaca sirah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan membaca sirah Salafush Shaleh.Memperhatikan ayat-ayat Allah yang kauniyyah.Bersungguh-sungguh dalam beramal shaleh, baik dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh lahiriyah, termasuk berdakwah di jalan Allah Ta’ala dan menjauhi sebab-sebab yang mengurangi keimanan.

Dikutip dari https://muslim.or.id