Selasa, 31 Desember 2019

Hukum Baca Ikhfa Haqiqi

Hukum Ikhfa Haqiqi

Ikhfa’ secara harfiah berarti menyamarkan atau menyembunyikan.
Di dalam ilmu tajwid, Ikhfa Haqiqi adalah menyamarkan huruf Nun Sukun ( نْ ) atau  tanwin ( ــًــ, ــٍــ, ــٌــ ) ke dalam huruf sesudahnya – ada 15 huruf – yaitu:  ت – ث – د – ذ – ز – س – ش – ص– ض – ط – ظ – ف – ق – ك. Ke-15 huruf tersebut tidak bertasydid dan harus dibaca dengung (ghunnah).

Cara membacanya adalah dengan mengeluarkan suara نْ atau  ــًــ, ــٍــ,ــٌــ  dari rongga hidung sehingga terlihat samar atau menjadi suara “N” atau “NG” , kemudian disambut dengan dengung 1 – 1 1/2 Alif atau sekitar 2 – 3 harakat, setelah itu baru masuk ke huruf sesudahnya.

Misalnya:  مِنْكُمْ

Minnnn . .  kum atau Minnnngkum.

Bukan Mingkum

Kunci menghapal 15 huruf Ikhfa Haqiqi

Untuk mengingat 15 huruf Ikhfa Haqiqi kuncinya adalah cukup dengan menghapal huruf-huruf di Hukum Idgham Biggunnal (Ma’al Ghunnah), Idgham Bilaghunnah, Iqlab, dan Izhar Halqi,

Kamis, 19 Desember 2019

Jangan kau sakiti aku



Durhaka pada orangtua merupakan dosa besar yang selalu tidak pernah lepas dalam pembahasan khotbah, kultum dan sebagainya. Namun kenyataan yang miris saat ini, banyak orang tua khususnya ibu yang menyakiti hati orang lain dalam hal ini anak anak mereka.
“Ridha Allah pada ridha orangtua dan murka Allah pada murka orangtua.” (HR. Al Baihaqi)
Dalam hadits Rasulullah SAW diatas memang sudah sering di dengar kaum muslim yang isinya menjelaskan keagungan kedudukan orang tua dalam Islam. Akan tetapi, banyak orangtua yang sering berlebihan dalam mengartikan hadits tersebut. Semua hal yang terjadi mengharuskan anak anak tetap taat pada ibu mereka termasuk jika anak sedang berusaha melakukan syariat sedangkan orang tua sedang berlaku salah, anak tetap wajib untuk taat pada orang tua. Pemahaman ini tentunya adalah pemahaman yang salah besar.
Islam merupakan jalan hidup syumul dan menyeluruh yang tidak menghendaki umat muslim hanya menuruti haknya saja, namun kewajiban juga harus dijalani. Dalam masalah ini, orang tua punya kewajiban besar dalam mendidik, membesarkan dan mengayomi sesuai dengan syariat Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungan jawab atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya dan dia akan diminta pertanggungan jawab atas mereka.” [HR. Bukhari].
Ayat Al Quran Tentang Kasih Sayang
Dalam Al Quran sendiri juga sudah menjelaskan tentang perlunya kasih sayang diantara orang tua pada anaknya. Rasulullah SAW bersabda, “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Aban, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail dari Muhammad bin Ishaq dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata; bersabda: “Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak mengasihi anak-anak kecil dan tidak pula menghormati para orang tua kami.” Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Abdah dari Muhammad bin Ishaq semisalnya. Hanya saja, ia menyebutkan; “Dan (tidak pula) mengetahui hak para orang tua kami.” [Sunan Tirmidzi 1843].
“Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad Telah menceritakan kepada kami Sulaiman yakni Ibnu Qaum, dari Ziyad bin Ilaqah ia berkata; Saya mendengar Jarir berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi. Dan siapa yang tidak mau memaafkan, maka ia tidak akan dimaafkan (diampuni).” [Musnad Ahmad 18447].
Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amru, dari Abu Qabus, dari Abdullah bin Amru bin al Ash dan sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda, “Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh ar Rahman, oleh karena itu kasihilah penduduk bumi maka niscaya penduduk langit akan mengasihi kalian. Dan rasa kasihan adalah sebuah jalan dari ar Rahman, barangsiapa yang menyambungnya maka ia akan tersambung untuknya, dan barangsiapa memutuskannya maka ia akan terputus untuknya.” [Musnad Ahmad 6206].
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amr bin Dinar dari Abu Qabus dari Abdullah bin Amr ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh Ar Rahman, berkasih sayanglah kepada siapapun yang ada dibumi, niscaya Yang ada di langit akan mengasihi kalian. Lafazh Ar Rahim (rahim atau kasih sayang) itu diambil dari lafazh Ar Rahman, maka barang siapa yang menyambung tali silaturrahmi niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barang siapa yang memutus tali silaturrahmi maka Allah akan memutusnya (dari rahmat-Nya).” Berkata Abu ‘Isa: Ini merupakan hadits hasan shahih. [Sunan Tirmidzi 1847].
Orang Tua Bisa Durhaka
Seorang laki laki yang menemui Umar bin Khathab untuk menceritakan sikap anak durhaka dalam Islam yang dilakukan anaknya dan kemudian Umar memanggil anak tersebut kemudian menegur apa yang sudah dilakukan anak tersebut. Anak itu kemudian bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah  anak memiliki hak atas orangtuanya?” dan Umar membenarkan perkataan anak tersebut sembari menjelaskan jika haknya adlaah memilihkan calon ibu yang baik untuknya, memberi nama baik dan mengajari tentang Al Quran.
Anak tersebut kemudian berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang tuan sebutkan itu. Ibuku wanita berkulit hitam bekas budak beragama Majusi. Ia menamakanku Ju’lan (tikus atau curut), dan dia tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an.
Umar lalu memandangi orang tua tersebut sembari berkata, “Engkau datang mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Orang Tua Bisa Berdosa Pada Anak
Salah satu tujuan pernikahan dalam Islam adalah memperoleh keturuan. Orang tua yang menyakiti hati anak ditambah dengan menelantarkan anaknya tersebut mengartikan jika orang tua baik ayah atau ibu sudah berdosa pada anak anaknya. Rasulullah SAW bersabda, “seseorang dikatakan telah cukup berbuat dosa bilamana menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungannya. [H.R. Abu Daud dan Nasa’i]. Sebagai seorang ibu, kita tidak boleh beranggapan jika sebagai orang tua bisa memperlakukan anak seenaknya sebab orang tua memiliki tanggung jawab tidak hanya dalam urusan melahirkan, namun berbagai penyebab lainnya di dunia. Segala kebutuhan mulai dari kasih sayang, makanan, pakaian, tempat bernaung dan juga pendidikan anak dalam Islam menjadi kewajiban orang tua terhadap anaknya.
Memberikan Pernyataan Negatif Tentang Anak
Perkataan yang menyinggung hati anak bahkan yang menurut orang tua adalah hal sepele akan membuat anak menjadi seperti orang yang anda katakan tersebut. Ini merupakan hal berbahaya dan bisa menjadi doa dari ibu untuk anaknya. Perkataan positif sebaiknya lebih diperbanyak agar membuat anak bisa lebih percaya diri dan senang.
Islam sangat menentang kekerasan anak dan bahkan sampai tidak memperlihatkan kasih sayang juga dilarang dalam Islam. Saat Rasulullah SAW mencium Hasan bin Ali dan duduk bersama Aqra bin habis, Al Aqra kemudian berkata, ”Saya mempunyai sepuluh anak, tidak seorangpun di antara mereka yang pernah saya cium”. Rasulullah memandang kepadanya, kemudian berkata: ”Siapa yang tidak mengasihi tidak akan di kasihi”. [Shahih Bukhari jilid IV, hadis ke 1696].
Islam Dari Segi Kehidupan
Perbuatan memisahkan agama dari kehidupan keluarga, masyarakat dan juga negara akan menyebabkan terbentuknya individu yang tidak memiliki perasaan. Kekerasan yang di terima anak anak dalam bentuk fisik dan juga psikis menjadi bukti jauhnya orang tua khususnya ibu dari hati nurani dan perlu diketahui jika nurani dan perasaan hanya bisa diasah dengan jalan cara meningkatkan iman dan taqwa.
Seorang ibu yang mempunyai iman tidak akan pernah tega untuk menyakit hati anak hanya untuk melampiaskan rasa amarhnya, menghancurkan karakter anak lewat perkataan negatif dan bahkan sampai membunuh perasaan mereka. Islam selalu menyuarakan perlindungan dan juga kasih sayang untuk anak anak seperti yang sudah diperlihatkan Rasulullah SAW terhadap anak anak-Nya dan juga cucu bahkan sampai anak dari para sahabat. Rasulullah SAW bersabda, “Man laa yarham laa  yurham” siapa yang tidak mencintai maka dia tidak dicintai. [HR. Muslim].
Dalam Al Quran, Allah juga sudah memberi landasan serta metode universal dalam urusan mendidik anak perempuan dan laki laki. Menyampaikan aqidah untuk awal pendidikan yang dilakukan Luqman pada anaknya dan juga kasih sayang Rasulullah SAW pada anaknya sudah tertulis dalam Al Quran. Allah SWT sangat menekankan pada pentingnya ketaatan seorang anak pada orang tua dan berbuat baik untuk ibu dan ayahnya, akan tetapi semua ini juga berkaitan dengan hubungan timbal balik.
Orang tua yang hanya mendidik anak sekedarnya tanpa memperhatikan nilai dari kasih sayang moral dan juga keimanan, maka balasan yang akan diterima orang tua juga hanya sekedarnya saja.
Merancang Rumah Tangga Islami
Ibnul Qoyyim berkata, “Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orangtuanya.”
Bekal nilai Islam yang sudah ditanamkan sejak awal pada anak akan menjadi mebatas baginya untuk tidak melakukan kezaliman dan melindungi anak tersebut dari perbuatan tidak baik yang dilakukan orang lain. Sebuah keluarga yang terus menerus merapkan nila agama Islam akan menjadi pemutus kezaliman dalam diri anak tersebut. Amirul Mukminin Ali ra juga memberikan teladan, “Ajarilah diri-diri kalian dan keluarga-keluarga kalian kebaikan dan bimbinglah mereka.”
Oleh karena itu, menghadirkan kepribadian yang kuat dan sanggup memberikan kekuatan pada orang lain harus dilakukan sejak awal dimulai dari merancang atau membangun rumah tangga menurut Islam. Cara mendapatkan jodoh menurut Islam akan menjadi hal terpenting yang harus diperhatikan sebab akan menentukan kualitas dari keturunan. Inilah yang membuat Islam mengajarkan untuk tidak memulai rumah tangga dengan zina karena hamil di luar nikah bukan cara baik untuk mendapatkan anak yang baik juga.
Saat sedang mengandung, ibu juga dianjurkan untuk memperbanyak hukum bacaan Al Quran, berdzikir dan juga menyanyikan atau bersenandung lagu Islami dan semua hal yang bisa mendekatkan diri pada Allah SWT. Janin yang mendengar segala hal baik, maka Insya Allah juga akan terlahir bersih.
“Janganlah kalian menyumpahi diri kalian, dan jangan pula menyumpahi anak-anak kalian dan harta kalian, kalian tidak mengetahui saat permintaan (do’a) dikabulkan sehingga Allah akan mengabulkan sumpah itu” [HR.Muslim].
Dalam hadits diatas dikatakan jika ada waktu baik yang akan mengabulkaun doa dan dalam hadits diatas sudah tertera larangan untuk menyumpahi diri, anak anak dan juga harta karena sumpah tersebut tidak bertepatan dengan waktu dari pengabulan doa sehingga bisa selamat dari ancaman bahaya.
Namun pada kenyataannya, banyak ibu yang melaknat dan menyumpahi anak mereka meskipun dengan alasan tidak memiliki maksud seperti itu.

Rabu, 18 Desember 2019

Membiasakan anak rajin sholat

Memiliki anak yang rajin mendirikan sholat tentu sangat menyejukan mata dan hati kita. Ada harapan kelak dia akan terjaga dari akhlak buruk karena sholat insya Allah mampu mencegahnya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar.

Kita sudah mengajarinya bacaan dan tata cara sholat, selalu mengajaknya sholat berjamaah di masjid. Kita pun sudah memasukannya ke sekolah yang membiasakan sholat dhuhur berjamaah di masjid sekolah.

Namun anak kita terlihat masih belum bersegera sholat ketika azan atau iqomah terdengar, masih harus disuruh-suruh. Bahkan mereka seperti sengaja menunda takbiratul ikhrom sampai sedetik sebelum ruku, masih tengok kanan tengok kiri selama sholat, dan tak jarang sholat sambil ngobrol atau sambil bercanda tertawa cekikikan dengan kawan sebelahnya.

Malah anak laki-laki tak sedikit yang sholat sambil main berantem-beranteman dengan kawannya.

Bagaimana ya cara memotivasi anak-anak itu agar tertib sholatnya? Bagaimanalah bisa khusyu jika tertib saja belum. Berikut ini cara jitu untuk memotivasi mereka, patut dicoba:

1.Ingatkan terus mengenai tujuan sholat
Ajak anak membuka Al-Qur’an Surat Thaha (20) ayat 14 : “Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat, untuk mengingat Aku.”

Setelah salam dan berdoa, cobalah tanyakan pada anak, apakah selama sholat tadi dia ingat kepada Allah? Jika anak menjawab belum, maka berbincanglah dari hati ke hati mengapa dia belum bisa mengingat Allah selama sholat.

Bantu anak melakukan refleksi atas sholatnya, lalu lakukan evaluasi dengan memancing ide anak kira-kira apa yang bisa ia lakukan agar sholat berikutnya lebih bisa mengingat Allah. Tantang dia agar berkomitmen melakukan idenya sendiri. Lakukan terus perbincangan ini dari hati ke hati, minimal sekali dalam sehari. Jika belum juga terlihat hasilnya, bersabarlah tanpa berhenti berusaha.

“Dan perintahkanlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah kamu dalam melakukannya.” (QS Thaha (20) : 132)

2.Kenalkan anak dengan karakter Al-Mushollin

Ajak anak membuka Al-Qur’an Surat Al-Ma’arij (70) mulai dari ayat 11 hingga 34. Berikan pengantar seperti bunyi ayat 11 hingga 21, bahwa pada hari kiamat, ada orang yang sangat ingin menebus dirinya dari siksa api neraka, dengan anaknya, atau dengan istrinya, atau dengan saudaranya, atau dengan keluarganya, bahkan kalau perlu dengan semua manusia di bumi. “Biarlah mereka masuk neraka semua, asalkan saya bisa selamat”, begitu kira-kira.

Mereka masuk neraka karena selama hidup di dunia, selalu menyikapi sesuatu tidak pada tempatnya. Jika mereka mendapat kesulitan, mereka selalu berkeluh kesah, menggerutu, ngambek, marah atau memukul. Jika mereka mendapat kebaikan atau kekayaan, mereka pelit bukan main, sombong, atau boros. Apapun yang terjadi, sikap mereka selalu negatif.

Masuk dan beri penekanan pada ayat ke 22 : “Ilaal musholliin, Kecuali orang-orang yang mendirikan sholat (secara berkesinambungan).” Hanya orang-orang yang berkarakter Al-Mushollin yang bisa selamat dari api neraka. Ini karena sholat membuat golongan Al-Mushollin mampu untuk bersikap positif terhadap apapun yang terjadi padanya.

Bantu anak melakukan refleksi, apakah sholatnya selama ini sudah bisa masuk kategori Al-Mushollin atau belum, misalnya : Menurutmu kalau sholatnya sambil bercanda, masuk golongan Al-Mushollin tidak?

Kalau sholat sengaja ditelat-telatin, masuk golongan Al-Mushollin tidak? Buat daftar terperinci tentang sikap sholat anak selama ini, dan tanyakan satu per satu padanya mana yang menurutnya sudah masuk kategori Al-Mushollin dan mana yang belum. Beri tantangan apakah ia ingin masuk golongan Al-Mushollin atau tidak. Jika ingin, bantu ia melakukan evaluasi apa saja yang harus ia perbaiki dari sholatnya.

Selain sholat secara berkesinambungan, ada ciri-ciri lain golongan Al-Mushollin yang disebutkan di ayat 24 hingga 33. Jika saat ini kita baru ingin menekankan sholat, maka ciri lain tersebut bisa kita kenalkan di lain waktu saat kondisinya lebih sesuai. Kita bisa langsung loncat ke ayat 34 : “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.”

Karakter Al-Mushollin yang dikenalkan Allah di surat ini, dibuka dengan sholat (ayat 22) dan ditutup dengan sholat (ayat 34). Beri penekanan pada anak, bahwa ini menunjukan betapa pentingnya kedudukan sholat dalam agama Islam. Tantang dia untuk mulai sholat dengan tertib, tertib tata caranya dan tertib bacaannya.

3. Minta anak selalu sholat di sebelah kita, orang tuanya.

Anak perlu role-model, bahkan dalam urusan sholat. Sangat jarang ada anak yang bisa langsung tertib sholatnya. Semua perlu waktu dan usaha. Rasulullah menyuruh kita mulai mengajarkan dan membiasakan anak sholat di umur 7 tahun, bahkan boleh memukulnya jika sampai usia 10 tahun belum bisa sholat dengan tertib.

Ada rentang waktu 3 tahun di sana, kurang lebih 5475 kali sholat fardhu. Alangkah baiknya jika 5475 kali sholat itu, anak melakukannya dalam pengawasan kita atau orang yang kita percaya. Anak bisa langsung melihat cara kita sholat, untuk kemudian menirunya. Jika ada yang salah dengan sholatnya pun, kita bisa langsung menegurnya seusai sholat.

4. Ajarkan anak doa agar istiqomah dalam sholat

Bersamaan dengan usaha kita memotivasi anak, jangan lupa mengajarinya doa Nabi Ibrahim a.s yang sudah terkenal mustajab.

“Rabbiij’alnii muqiimash-shalaati wamin dzurrii-yatii, rabbanaa wataqabbal du’aa, Ya Tuhanku, jadikanlah aku orang yang selalu mendirikan shalat, demikian juga anak keturunanku. Ya Tuhanku, perkenankan do’aku.” – (QS. Ibrahim (14) : 40)

Mintalah anak untuk membaca doa ini setiap selesai sholat. Tentu kita sendiri pun harus juga sering-sering membacanya. Wamin dzurrii-yatii, dan demikian pula anak keturunanku.

Mudah-mudahan Allah menumbuhkan dalam jiwa anak kita keinginan untuk sholat dengan tertib secara berkesinambungan, hingga suatu saat bisa mencapai derajat sholat khusyu. Amiin

Selasa, 17 Desember 2019

Jangan kau usir aku dari masjid!!!

Anak-anak kecil memang memiliki tingkah yang lucu nan menggemaskan. Bahkan sebagian besar anak-anak kecil memiliki tingkah laku yang begitu aktif dan sulit untuk diam. Perilaku mereka yang juga gemar bermain-main di dalam masjid pun terkadang membuat para pengurus masjid dan orang dewasa lainnya menjadi tidak sabar. Keributan yang mereka lakukan biasanya dikhawatirkan mengganggu kekhusukkan orang yang sedang beribadah sehingga tak jarang anak-anak kecil itu pun ditegur, dimarahi, ataupun bahkan disuruh untuk keluar dari masjid.

Padahal anak-anak kecil bagaikan benih yang hendaknya dipupuk dengan baik agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baik. Salah satu caranya yaitu dengan membiasakan mereka datang ke masjid agar rajin melaksanakan salat berjamaah dan terbiasa dengan bacaan-bacaan Al-Quran. Sesungguhnya, Islam sendiri melarang orang-orang dewasa memarahi anak-anak kecil di masjid sebab hal tersebut akan berdampak pada aspek psikologis sang anak.

Rasulullah SAW sendiri justru gemar berinteraksi dengan anak-anak kecil saat berada di masjid. Beliau SAW bahkan telah memberikan teladan yang baik terkait bagaimana sikap untuk menghadapi anak-anak kecil saat di masjid. Dalam sebuah hadist dikisahkan, “Kalau Rasulullah solat, apabila beliau sujud jadi Hasan serta Husein bermain menaiki belakang Rasulullah. Lantas, bila ada beberapa teman dekat yang menginginkan melarang Hasan-Husein jadi Rasulullah berikan isyarat untuk biarkan, serta jika sesudah usai solat Rasulullah memangku ke-2 cucunya itu.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Suatu ketika, saat Rasulullah SAW sedang berkhutbah di hadapan para kaum muslimin, cucu Rasulullah SAW yang bernama Hasan dan Husain pun tiba-tiba muncul. Mereka muncul sembari bermain-main di sela-sela shaf. Mereka pun asyik bercengkrama sambil berjalan-jalan, terus terjatuh, terus bangkit dan berdiri kembali. Lantas apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW? Melihat hal tersebut, Rasulullah SAW merasa iba lalu turun dari mimbar dan segera menggendong kedua cucunya tersebut.

Sebagaimana Abdullah Bin Buraidah meriwayatkan dari ayahandanya, “Rasulullah tengah berkhutbah -di mimbar masjid- lantas -kedua cucunya- Hasan serta Husein datang -bermain-main ke masjid- dengan memakai baju kembar merah serta jalan dengan sempoyongan jatuh bangun- lantaran memanglah masihlah bayi-, lantas Rasulullah turun dari mimbar masjid serta mengambil ke-2 cucunya itu serta membawanya naik ke mimbar kembali, lantas Rasulullah berkata, ‘Maha Benar Allah, kalau harta serta anak-anak itu yaitu fitnah, bila telah lihat ke-2 cucuku ini saya tak dapat sabar.’ Lantas Rasulullah kembali meneruskan khutbahnya.” (HR. Abu Daud)

Dari kedua hadis tersebut terlihat jelas bahwa Rasulullah SAW tidak marah sedikit pun terhadap anak-anak kecil yang bermain-main di masjid. Bahkan Rasulullah SAW juga tidak melarang dan tidak mengusir anak-anak kecil yang gemar bermain di masjid. Dalam kasus lain, Rasulullah SAW pun mempersingkat bacaan-bacaan salat saat mendengar tangisan bayi di dalam masjid. Sebagaimana Anas meriwayatkan, “Pernah Rasulullah SAW salat, lalu beliau mendengar tangis bayi yang dibawa serta ibunya salat ke masjid, maka Rasulullah pun mempersingkat salatnya dengan hanya membaca surat ringan atau surat pendek.” (HR. Muslim)

Dalam hadis yang lain Rasulullah pernah bersabda, “Kalau sedang shalat, terkadang saya ingin shalatnya agak panjangan, tapi kalau sudah mendengarkan tangis anak kecil -yang dibawa ibunya ke masjid- maka sayapun menyingkat shalat saya, karena saya tau betapa ibunya tidak enak hati dengan tangisan anaknya itu.” (HR. Bukhari & Muslim)

Demikianlah teladan sikap-sikap Rasulullah SAW saat menghadapi anak-anak kecil di dalam masjid. Beliau SAW sama sekali tidak pernah memarahi dan tidak pernah mengusir anak-anak kecil yang ada di dalam masjid. Dengan demikian, umat Islam hendaknya meniru perilaku Rasulullah SAW dalam menghadapi anak kecil di masjid. Selain itu, hendaknya jangan memarahi atau mengusir anak-anak kecil dari masjid sebab hal tersebut akan berdampak pada aspek psikologis mereka dan menyebabkan rasa trauma dalam jiwa mereka.

Wallahu a’lam.

Dilarang menggangu orang sholat

Tidak boleh seseorang secara langsung atau secara tidak langsung menimbulkan gangguan pada orang-orang yang sedang shalat. Karena mengganggu orang yang shalat adalah diantara perbuatan setan. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat” (QS. Al Maidah: 91).
Setan mengganggu shalat seseorang sehingga bacaannya menjadi kacau. Dari Utsman bin Abil ‘Ash radhiallahu’anhu ia berkata:
يا رَسولَ اللهِ، إنَّ الشَّيْطَانَ قدْ حَالَ بَيْنِي وبيْنَ صَلَاتي وَقِرَاءَتي يَلْبِسُهَا عَلَيَّ، فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: ذَاكَ شيطَانٌ يُقَالُ له خَنْزَبٌ، فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ باللَّهِ منه، وَاتْفِلْ علَى يَسَارِكَ ثَلَاثًا قالَ: فَفَعَلْتُ ذلكَ فأذْهَبَهُ اللَّهُ عَنِّي
Wahai Rasulullah, setan telah menghalangi antara aku dan shalatku serta mengacaukan bacaanku. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “itu adalah setan yang disebut dengan Khanzab. Jika engkau merasakan sesuatu (gangguan) maka bacalah ta’awwudz dan meniuplah ke kiri 3x”. Utsman mengatakan: “aku pun melakukan itu, dan Allah pun menghilangkan was-was setan dariku” (HR. Muslim no.2203).
Setan mengganggu shalat seseorang dengan menimbulkan was-was pada dirinya sehingga seolah-olah dia telah batal wudhunya. Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يأتي الشيطانُ أحَدَكُم فَيَنْقُرًُ عِنْدَ عِجانِهِ ، فلا ينصرِفُ حتى يَسْمَعَ صوتاً أو يَجِدَ ريحاً
“Setan mendatangi kalian lalu meniup-niup pada dubur kalian (sehingga muncul was-was). Maka janganlah membatalkan shalat kecuali mendengar suara atau merasakan angin” (HR. Thabrani no.11948, Al Baihaqi no.3509, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.3026).
Shaf shalat yang tidak lurus dan tidak rapat akan membuat celah bagi setan untuk Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رُصُّوا صُفُوفَكُمْ ، وَقَارِبُوا بَيْنَهَا ، وَحَاذُوا بِالأعْنَاقِ؛ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ ، كَأَنَّهَا الحَذَفُ
“Rapatkanlah shaf-shaf kalian! Dekatkanlah di antara shaf-shaf tersebut! Sejajarkan leher-leher. Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku benar-benar melihat setan masuk dari celah shaf, seakan-akan setan itu anak-anak kambing” (HR. Abu Daud no. 667, An Nasa-i no. 815, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Orang yang lewat di depan orang yang shalat, dapat mengganggu orang yang shalat tersebut. Orang yang lewat ini disebut oleh Nabi sebagai setan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ
“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa semua bentuk perbuatan mengganggu shalat adalah perbuatan setan. Maka tidak boleh melakukan segala hal yang dapat mengganggu shalat orang lain dengan sengaja. Dan wajib menghilangkan semua hal yang bisa mengganggu shalat, baik berupa suara-suara yang bising, anak-anak kecil yang bermain-main ketika shalat, gambar-gambar yang mengganggu shalat, dan semisalnya.
Shalat adalah ibadah yang agung, kita sedang menghadap Allah Ta’ala, Rabb semesta alam, dalam shalat. Maka hendaknya jadikan shalat kita kekhidmat dan sekhusyuk mungkin.
Wallahu a’lam

Senin, 16 Desember 2019

Tiga sifat dibenci Rasulullah

Dalam Kitab Riyadhush-Shalihin, Imam an-Nawawi menukil sebuah hadis yang diriwayatkan Imam At-Turmudzi dari Jabir RA. Pada suatu kesempatan, Nabi SAW berkumpul dengan sahabatnya, lalu memberi petuah yang menggetarkan hati.

Sesungguhnya, yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada Hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan, sungguh yang paling aku benci di antara kalian dan paling jauh duduknya denganku pada Hari Kiamat adalah al-tsatsaruun dan al-mutasyaddiquun serta al-mutafaihiquun," sabda Rasulullah SAW.

Lalu para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, Kami mengerti al-tsartsaruun dan al-mutasyaddiquun. Tapi, siapakah al-mutafaihiquun itu?” Beliau SAW menjawab, “al-mutakabbiruun."

Melalui hadis ini, Nabi SAW hendak mengingatkan umatnya akan tiga perkara yang paling dibencinya karena termasuk akhlak al-mazmumah (perilaku buruk) yakni: Pertama, al-tsartsaruun (orang yang banyak celoteh dan suka membual).

Golongan pertama yang dibenci Nabi SAW adalah pembual atau pendusta yang banyak cakap dan lagunya, serta pandai pula bersilat lidah. Kadang disertai argumentasi logis dan yuridis, namun mengandung kebohongan dan tipuan. Kalau bicara seenaknya, kurang menjaga adab dan menyela pembicaraan.

Nabi SAW berpesan, “Katakanlah yang baik atau diam.” (HR Bukhari). Banyak kata tapi sedikit makna dan tidak sesuai fakta. Mereka itulah orang-orang munafik yang apabila berkata ia dusta, bila berjanji diingkari dan bila dipercaya dikhianati (HR. Bukhari). Jangan percaya kepada orang yang banyak cakap, tapi minim amal atau tidak sesuai dengan lakunya (QS [61]:2-3).

Kedua, al-mutasyaddiquun (Orang yang suka bicara berlebihan kepada orang lain). Golongan kedua yang dibenci Nabi SAW adalah orang berlagak fasih dengan tata bahasa yang menakjubkan. Jika bicara, bumbunya berlebihan hingga tak sesuai kenyaataan.

Lihai dalam bertutur kata, tapi hanya ingin dapat pujian. Tidak jarang pula, bahasanya indah namun berbisa (menghinakan). Susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah.

Dalam diri manusia ada hati (wadah), akal (pengendali) dan hawa nafsu (keinginan). Jika hati kotor maka yang keluar dari lisan pun kotor. Jika baik maka yang keluar dari ucapan juga baik (QS [91]:8-10). Alquran menyindir manusia yang perkataannya menarik, tetapi palsu belaka (QS [2]:204, [22]:30).

Ketiga, al-mutafaihiquun (Orang yang suka membesarkan diri). Golongan ketiga yang sangat dibenci Nabi SAW yakni orang sombong atau angkuh. Kesombongan pertama adalah ketika Iblis menolak sujud kepada Nabi Adam AS, lalu ia pun dikeluarkan dari surga (QS [5]:29-35).

Fir’aun yang mengaku Tuhan (QS [79]:23-25,[28]:38), akhirnya ditenggelamkan di Laut Merah. Qarun yang pongah karena harta kekayaannya (QS [28]:76-82), dilenyapkan ke perut bumi. Raja Namrudz yang menyetarakan diri dengan Allah SWT. (QS [2]:258), justru dimatikan oleh seekor nyamuk.

Nasihat Imam Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam perlu kita renungi, "Kemaksiatan yang menimbulkan rasa hina dan penyesalan, lebih baik dari ketaatan yang melahirkan bangga dan kesombongan."

Tetaplah rendah hati, karena keangkuhan adalah awal dari semua kejatuhan. Jangan sombong di depan orang tawadhu, nanti kau dipermalukan. Jangan pula rendah hati di depan orang sombong, nanti kau dihinakan. Allahu a’lam bish-shawab.

Minggu, 15 Desember 2019

Menjadi keluarga sakinah

Setiap insan manusia  pasti memeliki keinginan untuk memiliki keluarga yang harmonis dan sejahtera. Islam sendiri adalah agama yang menganjurkan umatnya untuk membangun rumah tangga yang berlandaskan ajarannya termasuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Kalimat ini sering kita dengar tatkala seseorang baru saja menikah dan para tamu maupun keluarga yang datang akan mendoakannya agar memiliki keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah tersebut. Banyak orang yang berpendapat tentang arti yang sebenarnya dari keluarga sakinah dan mereka menyebutkan bahwa keluarga sakinah adalah keluarga yang dibangun diatas pondasi ajaran agama islam. Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan keluarga sakinah dan bagaimana cara membangun keluarga yang sakinah tersebut? Mari sejenak luangkan waktu untuk memahaminya lewat penjelasan berikut. (baca juga keluarga harmonis menurut islam)

Pengertian Keluarga Sakinah

Memiliki keluarga yang sakinah adalah dambaan setiap pasangan yang menikah. Pernikahan sendiri adalah suatu jalan untuk mengikatkan dua orang manusia dan memungkinkan keduanya membangun keluarga yang baru (baca hukum pernikahan dan persiapan pernikahan dalam islam). Sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah bisa menjadi tujuan dari seorang muslim untuk menikah dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Allah SWT dan Rasulnya juga memerintahkan umatnya untuk menikah dan tidak hidup melajang sebagaimana disebutkan dalam dalil berikut

وَأَنكِحُوا الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُوْنُوْا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمْ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.”

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (bernikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan wanita. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui”. ( QS An Nuur:32 )

Kelurga yang sakinah diartikan sebagai keluarga yang harmonis dimana nilai-nilai ajaran islam senantiasa ditegakkan dan saling menghormati serta saling menyanyangi. Dalam keluarga yang sakinah, anggota keluarga mampu menjalankan kewajibannya dan senantiasa membantu satu sama lain. Keluarga yang sakinah juga mengerti satu sama lain sehingga jika terjadi konflik dalam keluarga maka konflik tersebut bisa diselesaikan dengan baik.

Dasar Keluarga Sakinah

Memiliki keluarga yang sakinah tentunya memerlukan pondasi yang kuat dan hubungan yang baik seperti layaknya hubungan silaturahmi.

Ketaqwaan dan Keimanan kepada Allah SWT

Dasar dari keluarga yang sakinah adalah ketaqwaan kepada Allah SWT sehingga siapapun umat islam yang akan menikah maka bertaqwalah dan pilihlah pasangan hidup yang juga memiliki ketaqwaan tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT berikut ini

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Qs An Nisa : 1)

Ketentraman dan ketenangan hati

Disebutkan juga dalam suatu ayat Alqur’an bahwa kata sakinah diartikan sebagai ketenangan hati atau rasa tentram sehingga keluarga yang sakinah adalah keluarga dimana setiap anggotanya memiliki ketenangan hati dan tidak ada konflik maupun keraguan di dalamnya. Seperti yang disebutkan Allah SWT dalam firmanNya berikut ini

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar rum : 21)

Cara Membangun Keluarga Sakinah

Setelah mengetahu pengertian dan dasar dari keluarga yang sakinah maka selayaknya kita juga mengetahui cara membangun keluarga sakinah tersebut. Adapun cara membangun keluarga sakinah yang sesuai dengan ajaran islam adalah sebagai berikut (baca juga cara menjaga keharmonisan dalam rumah tangga)

Menikah dan memilih pasangan yang baik

Jalan pertama yang ditempuh ketika seseorang ingin membangun keluarga yang sakinah adalah memilih pendamping hidup yang baik untuk menikah. Memilih pasangan yang baik diartikan sebagai memilih pasangan yang baik agama dan budi pekertinya (baca wanita yang baik menurut islam dan kriteria calon istri menurut islam). Pasangan yang memiliki ketaqwaan dan senantiasa menjaga ajaran islam akan lebih mengerti bagaimana cara membangun keluarga yang sakinah tersebut dan menikah untuk memenuhi imannya serta mendapat ridha dari Allah SWT (baca manfaat beriman kepada Allah SWT). Disebutkan dalam Alqur’an bahwa sesungguhnya wanita yang baik untuk pria yang baik dan begitu juga sebaliknya, seperti yang disebutkan dalam ayat berikut

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). (QS An Nur : 26)

Saling pengertian

Dalam membangun keluarga yang sakinah tentu setiap anggota keluarga harus saling mengerti dan berusaha membantu satu sama lain. Misalnya jika istri sedang sakit maka suami seharusnya bisa membantunya dan sebaliknya istri juga harus bisa mengerti keadaan suaminya jika sesuatu menimpa diriny dan keluarganya. Rasa cinta dan saling pengertian akan menghindarkan terjadinya kesalahpahaman dan konflik dalam keluarga yang sering berakibat pada perceraian atau talak (baca hukum talak dan perbedaan talak satu, dua dan tiga)

Saling mengingatkan

Setiap manusia pasti pernah berbuat salah dan jika demikian maka jika ingin membangun keluarga yang sakinah setiap anggota keluarga baik suami atau istri harus saling mengingatkan dalam hal kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah. Jika suami atau istri tidak memenuhi ajaran agama maka keduanya harus saling mengingatkan dan menasehati dengan cara yang baik (baca fungsi agama dalam kehidupan). Dan adapun misalnya sang istri tidak mematuhi suami maka suami berhak untuk menghukumnya dan bila istri merasa dizalimi suami maka ia boleh menggugat cerai suaminya. Islam sendiri tidak melarang hal tersebut karena pada dasarnya pernikahan adalah untuk kebaikan dan bukan untuk menyakiti satu sama lain.

Menjalankan kewajibannya

Agar bisa membangun keluarga yang sakinah maka baik istri maupun suami harus dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan memenuhi hak satu sama lain. Memenuhi kebutuhan suami atau istri adalah suatu ibadah dan dianjurkan dalam islam sebagaimana hadits berikut ini (baca kewajiban suami terhadap istri dan kewajiban istri terhadap suami)

Dan di hubungan suami-isteri salah seorang diantara kalian adalah sedekah! Mendengar sabda Rasulullah, para sahabat keheranan dan bertanya: “Wahai, Rasulullah. Apakah salah seorang dari kita memuaskan syahwatnya (kebutuhan biologisnya) terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian, jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah mereka berdosa?” Jawab para sahabat: “Ya, benar”. Beliau bersabda lagi: “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!

Percaya satu sama lain

Dasar dari suatu hubungan adalah kepercayaan dan banyak kita saksikan saat ini suami istri yang tidak lagi saling percaya lebih memilih untuk bercerai. Oleh sebab itu untuk membangun keluarga yang sakinah suami istri harus saling mempercayai dan keduanya harus bisa menjaga kepercayaan pasangnnya. Seorang istri harus senantiasa mematuhi suaminya sementara sang suami juga harus bisa menjadi panutan bagi istri dan keluarganya.

Demikian pengertian keluarga sakinah dan cara membangun keluarga sakinah dalam islam. Semoga bermafaat.
Wallohua'lam

Adab bertetangga dalam islam

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa ada interaksi dengan manusia lainnya. Maka, kehadiran tetangga dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim sangat dibutuhkan. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ

Artinya: “Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh.” (QS. An Nisa: 36).

Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam juga bersabda,

مَا زَالَ يُوصِينِى جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Artinya: “Jibril senantiasa bewasiat kepadaku agar memuliakan (berbuat baik) kepada tetangga, sampai-sampai aku mengira seseorang akan menjadi ahli waris tetangganya” (HR. Al Bukhari no.6014).

Agama Islam menaruh perhatian yang sangat besar kepada pemeluknya dalam segala hal dan urusan. Mulai dari bangun tidur hingga akan tidur lagi, semua tidak luput dari ajarannya. Tak terkecuali dalam masalah adab. Berikut ini diantara adab-adab seorang muslim kepada tetangganya yang patut kita perhatikan.

Menghormati Tetangga dan Berperilaku Baik Terhadap Mereka

Diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya” (Muttafaq ‘alaih).

Berkata Al-Hafizh (yang artinya): “Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah mengatakan, ‘Dan terlaksananya wasiat berbuat baik kepada tetangga dengan menyampaikan beberapa bentuk perbuatan baik kepadanya sesuai dengan kemampuan. Seperti hadiah, salam, wajah yang berseri-seri ketika bertemu, memperhatikan keadaannya, membantunya dalam hal yang ia butuhkan dan selainnya, serta menahan sesuatu yang bisa mengganggunya dengan berbagai macam cara, baik secara hissiyyah (terlihat) atau maknawi (tidak terlihat).’” (Fathul Baari: X/456).

Kata tetangga mencangkup tetangga yang muslim dan juga yang kafir, ahli ibadah dan orang fasik, teman dan lawan, orang asing dan penduduk asli, yang memberi manfaat dan yang memberi mudharat, kerabat dekat dan bukan kerabat dekat, rumah yang paling dekat dan paling jauh. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam al-Fath (X/456).

Bangunan Rumah Kita Jangan Mengganggu Tetangga

Usahakan semaksimal mungkin untuk tidak menghalangi mereka mendapatkan sinar matahari atau udara. Kita juga tidak boleh melampaui batas tanah milik tetangga kita, baik dengan merusak ataupun mengubah, karena hal tersebut dapat menyakiti perasaannya.

Dan termasuk hak-hak bertetangga adalah tidak menghalangi tetangga untuk menancapkan kayu atau meletakkannya di atas dinding untuk membangun kamar atau semisalnya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wassallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

لاَ يَمْنَعْ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِى جِدَارِهِ

Artinya: “Janganlah salah seorang di antara kalian melarang tetangganya menancapkan kayu di dinding (tembok)nya” (HR.Bukhari (no.1609); Muslim (no.2463); dan lafazh hadits ini menurut riwayat beliau; Ahmad (no.7236); at-Tirmidzi (no.1353); Abu Dawud (no.3634); Ibnu Majah (no.2335); dan Malik (no.1462)).

Akan tetapi, diperbolehkannya menyandarkan kayu ke dinding tetangga dengan beberapa syarat,
pertama, tidak merusak atau merobohkan dinding tembok;
kedua, dia sangat membutuhkan untuk meletakkan kayu itu di dinding tetangganya;
ketiga, tidak ada cara lain yang memungkinkan untuk membangun selain menyandarkan kepada tembok tetangga.

Apabila salah satu atau sebagian dari ketentuan di atas tidak dipenuhi maka tetangga tidak boleh memanfaatkan bangunan dan menyandarkannya kepada tembok tetangganya karena akan menimbulkan mudharat yang telah terlarang secara syari’at, “Tidak boleh memberi bahaya dan membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah (no.2340); dan Syaikh Al-Albani menshahihkannya (no.1910,1911)).

Memelihara Hak-hak Tetangga, Terutama Tetangga yang Paling Dekat

Diantara hak tetangga yang harus kita pelihara adalah menjaga harta dan kehormatan mereka dari tangan orang jahat baik saat mereka tidak di rumah maupun di rumah, memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan, serta memalingkan mata dari keluarga mereka yang wanita dan merahasiakan aib mereka.

Adapun tetangga paling dekat memiliki hak-hak yang tidak dimiliki oleh tetangga jauh. Hal ini dikutip dari pertanyaan ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, manakah yang aku beri hadiah?’ Nabi menjawab,

إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكَ باَباً

‘Yang pintunya paling dekat dengan rumahmu’” (HR. Bukhari (no.6020); Ahmad (no.24895); dan Abu Dawud (no.5155)).

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam memerintahkan hal tersebut, diketahui bahwa hak tetangga yang paling dekat lebih didahulukan daripada hak tetangga yang jauh. Diantara hikmahnya adalah tetangga dekatlah yang melihat hadiah tersebut atau apa saja yang ada di dalam rumahnya, dan bisa jadi menginginkannya. Lain halnya dengan tetangga jauh. Selain itu, sesungguhnya tetangga yang dekat lebih cepat memberi pertolongan ketika terjadi perkara-perkara penting, terlebih lagi pada waktu-waktu lalai. Demikian penjelasan Al Hafizh dalam Fathul Baari (X/361).

Tidak Mengganggu Tetangga

Seperti mengeraskan suara radio atau TV, melempari halaman mereka dengan kotoran, atau menutupi jalan bagi mereka. Seorang mukmin tidak dihalalkan mengganggu tetangganya dengan berbagai macam gangguan.

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan adanya larangan dan sikap tegas bagi seseorang yang mengganggu tetangganya. Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam menggandengkan antara iman kepada Allah dan hari Akhir, menunjukkan besarnya bahaya mengganggu tetangga. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka janganlah dia mengganggu tetangganya’”(HR. Bukhari (no.1609); Muslim (no.2463); dan lafazh hadits ini menurut riwayat beliau, Ahmad (no.7236); at-Tirmidzi (no.1353); Abu Dawud (no.3634); Ibnu Majah (no.2335); dan Malik (no.1462)).

Dan dalam Hadits lainnya, Abu Syuraih radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,

وَاللَّه لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ

Artinya: “Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. “Sahabat bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yang tetangganya tidak aman dari keburukannya” (HR. Bukhari (no.6016)).

Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Artinya: “Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya” (HR. Muslim (no.46); Ahmad (no.8638); Al Bukhari (no.7818)).

Jangan Kikir untuk Memberikan Nasehat dan Saran kepada Mereka

Sudah seharusnya kita mengajak mereka agar berbuat yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dengan bijaksana (hikmah) dan nasehat baik, tanpa maksud menjatuhkan atau menjelek-jelekan mereka. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Tamim bin Aus Ad Dari radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wassallam bersabda, “Agama itu nasehat.” Kami (para shahabat) bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,

لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

Artinya: “Untuk Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin” (HR. Muslim (no.55); Ahmad (no.16493); an-Nasa’I (no.4197); dan Abu Dawud (no.4944)).

Dan nasehat untuk seluruh kaum muslimin adalah termasuk tetangga kita. Tujuannya untuk memberikan kebaikan kepada mereka, termasuk mengajarkan dan memeperkenalkan kepada mereka perkara yang wajib, serta menunjukkan mereka kepada al-haq (kebenaran). Hal ini dijelaskan dalam Kasyful Musykil mim Hadits ash-Shahihain karya Ibnul Jauzi (IV/219).

Memberikan Makanan kepada Tetangga

Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam bersabda kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ

Artinya: “Wahai Abu Dzar, apabila kamu memasak sayur (daging kuah) maka perbanyaklah airnya dan berilah tetanggamu” (HR. Muslim). Adapun tetangga yang pintunya lebih dekat dari rumah kita agar lebih didahulukan untuk diberi.

Bergembira ketika Mereka Bergembira dan Berduka ketika Mereka Berduka

Kita jenguk tetangga kita apabila ia sedang sakit, kita tanyakan kehadirannya apabila ia tidak ada, bersikap baik apabila kita menjumpainya, dan hendaknya sesekali kita undang mereka untuk datang ke rumah kita. Hal-hal seperti itu mudah membuat hati mereka luluh dan akan menimbulkan rasa kasih sayang kepada kita. Karena sebaik-baik manusia adalah yang akhlaknya paling baik. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam dan beliaulah manusia yang memiliki akhlak paling terpuji, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Bukhari (no.6035); Ahmad (no.6468); dan at-Tirmidzi (no.1975)).

Tidak Mencari-cari Kesalahan Tetangga

Hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahan tetangga kita. Jangan pula bahagia apabila mereka keliru, bahkan seharusnya kita tidak memandang kekeliruan dan kealpaan mereka.

Sabar Atas Perilaku Kurang Baik Mereka

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda (yang artinya): “Ada tiga kelompok manusia yang dicintai Allah, … Disebutkan diantaranya: “Seseorang yang mempunyai tetangga, ia selalu disakiti (diganggu) oleh tetangganya, namun ia sabar atas gangguannya itu hingga keduanya dipisah boleh kematian atau keberangkatannya” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Ketika kita berinteraksi dengan manusia, pasti ada suatu kekurangan atau perlakuan yang kurang baik dari sebagian mereka kepada sebagian yang lainnya, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Maka orang yang terzhalimi disunnahkan menahan marah dan memaafkan orang yang menzhaliminya. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf” (QS. Asy-Syuura: 37).

Dan juga Allah Ta’ala berfirman,

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Artinya:“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Ali ‘Imran:134).

Firman Allah “Dan orang-orang yang menahan amarahnya” yaitu apabila mereka diganggu oleh orang lain sehingga mereka marah dan hati mereka penuh dengan kekesalan yang mengharuskan mereka membalasnya dengan perkataan dan perbuatan, akan tetapi mereka tidak mengamalkan konsekuensi tabi’at manusia tersebut (tidak membalasnya). Bahkan mereka menahan amarah lalu bersabar dan tidak membalas orang yang berbuat jahat kepadanya. Wallahua'lam

Sabtu, 07 Desember 2019

Hukum merayakan tahun baru

Beberapa hari lagi kita akan menyaksikan perayaan besar, perayaan yang dilangsungkan secara massif oleh masyarakat di seluruh dunia. Ya, itulah perayaan tahun baru yang secara rutin disambut dan dimeriahkan dengan berbagai acara dan kemeriahan.

Perayaan tahun baru masehi memiliki sejarah panjang. Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan hari itu tidak mengetahui kapan pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dirayakan. Kegiatan ini merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. (G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” inMélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hal. 399-400)

Fakta ini menyimpulkan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum muslimin. Pesta tahun baru masehi, pertama kali dirayakan orang kafir, yang notabene masyarakat paganis Romawi.

Acara ini terus dirayakan oleh masyarakt modern dewasa ini, walaupun mereka tidak mengetahui spirit ibadah pagan adalah latar belakang diadakannya acara ini. Mereka menyemarakkan hari ini dengan berbagai macam permainan, menikmati indahnya langit dengan semarak cahaya kembang api, dsb.

Tahun Baru = Hari Raya Orang Kafir

Turut merayakan tahun baru statusnya sama dengan merayakan hari raya orang kafir. Dan ini hukumnya terlarang. Di antara alasan statement ini adalah:

Pertama, turut merayakan tahun baru sama dengan meniru kebiasaan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda,

من تشبه بقوم فهو منهم

“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud)

Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan,

من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجاناتهم وتشبه بهم حتى يموت خسر في يوم القيامة

“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”

Kedua, mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih (baca: memberikan loyalitas) dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman,

يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما جاءكم من الحق …

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1)

Ketiga, Hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah,

قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما إن الله عز و جل أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر

“Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).

Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha.
Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.

Keempat, Allah berfirman menceritakan keadaan ‘ibadur rahman (hamba Allah yang pilihan),

و الذين لا يشهدون الزور …

“Dan orang-orang yang tidak turut dalam kegiatan az-Zuur…”
Sebagian ulama menafsirkan kata ‘az-Zuur’ pada ayat di atas dengan hari raya orang kafir. Artinya berlaku sebaliknya, jika ada orang yang turut melibatkan dirinya dalam hari raya orang kafir berarti dia bukan orang baik.

Jumat, 06 Desember 2019

Mengapa surat At-Taubah tanpa Basmallah?

Mengapa surat At-Taubah tidak diawali dengan bacaan basmalah.

Pertama, tidak adanya basmalah di awal surat at-Taubah adalah ijtihad sahabat terkait urutan al-Quran yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat menyimpulkan dari beliau, yang kemudian menjadi acuan penulisan dalam mushaf Utsmani.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menanyakan hal ini kepada Utsman radhiyallahu ‘anhu,

مَا حَمَلَكُمْ أَنْ عَمَدْتُمْ إِلَى الأَنْفَالِ وَهِىَ مِنَ الْمَثَانِى وَإِلَى بَرَاءَةَ وَهِىَ مِنَ الْمِئِينَ فَقَرَنْتُمْ بَيْنَهُمَا وَلَمْ تَكْتُبُوا بَيْنَهُمَا سَطْرَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَوَضَعْتُمُوهُمَا فِى السَّبْعِ الطُّوَلِ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى ذَلِكَ

Apa yang menyebabkan anda memposisikan surat al-Anfal disambung dengan surat at-Taubah, sementara anda tidak menuliskan kalimat basmalah diantara keduanya. Dan anda letakkan di 7 deret surat yang panjang. Apa alasan anda?

Jawab Utsman,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِمَّا يَأْتِى عَلَيْهِ الزَّمَانُ وَهُوَ تَنْزِلُ عَلَيْهِ السُّوَرُ ذَوَاتُ الْعَدَدِ فَكَانَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الشَّىْءُ دَعَا بَعْضَ مَنْ كَانَ يَكْتُبُ فَيَقُولُ ضَعُوا هَؤُلاَءِ الآيَاتِ فِى السُّورَةِ الَّتِى يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا وَكَذَا وَإِذَا نَزَلَتْ عَلَيْهِ الآيَةُ فَيَقُولُ ضَعُوا هَذِهِ الآيَةَ فِى السُّورَةِ الَّتِى يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا وَكَذَا

Selama masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan wahyu, turun surat-surat yang ayatnya banyak. Ketika turun kepada beliau sebagian ayat, maka beliau akan memanggil sahabat pencatat al-Quran, lalu beliau perintahkan, “Letakkan ayat-ayat ini di surat ini.” Ketika turun ayat lain lagi, beliau perintahkan, “Letakkan ayat ini di surat ini.”

Utsman melanjutkan,

وَكَانَتِ الأَنْفَالُ مِنْ أَوَائِلِ مَا أُنْزِلَتْ بِالْمَدِينَةِ وَكَانَتْ بَرَاءَةُ مِنْ آخِرِ الْقُرْآنِ وَكَانَتْ قِصَّتُهَا شَبِيهَةً بِقِصَّتِهَا فَظَنَنْتُ أَنَّهَا مِنْهَا فَقُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلَمْ يُبَيِّنْ لَنَا أَنَّهَا مِنْهَا

Sementara surat al-Anfal termasuk surat yang pertama turun di Madinah. Sedangkan surat at-Taubah, turun di akhir masa. Padahal isi at-Taubah mirip dengan surat al-Anfal. Sehingga kami (para sahabat) menduga bahwa surat at-Taubah adalah bagian dari surat al-Anfal. Hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau tidak menjelaskan kepada kami, bahwa at-Taubah itu bagian dari al-Anfal.

Lalu Utsman menegaskan,

فَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ قَرَنْتُ بَيْنَهُمَا وَلَمْ أَكْتُبْ بَيْنَهُمَا سَطْرَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَوَضَعْتُهَا فِى السَّبْعِ الطُّوَلِ

Karena alasan ini, saya urutkan al-Taubah setelah al-Anfal, dan tidak kami beri pemisah dengan tulisan bismillahirrahmanirrahim, dan aku posisikan di tujuh surat yang panjang. (HR. Ahmad 407, Turmudzi 3366, Abu Daud 786, dan dihasankan at-Turmudzi dan ad-Dzahabi)

Alasan sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ini, seolah menjelaskan latar belakang, mengapa di awal surat at-Taubah tidak tertulis basmalah. Yang sejatinya, ini merupakan hasil pemahaman sahabat terhadap al-Quran yang mereka dapatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, tidak adanya basamalah di awal at-Taubah, karena beda konten basmalah dengan at-Taubah.

Basmalah menggambarkan keamanan, dan kasih sayang Allah, sementara at-Taubah mennyebutkan tentang permusuhan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada orang musyrikin dan orang munafik.

Ibnu Abbas pernah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

لِـمَ لَمْ تَكْتُبْ فِي بَرَاءَة بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم ؟

Mengapa anda tidak menulis bismillahirrahmanirrahim di awal surat at-Taubah?

Jawab Ali bin Abi Thalib,

لِأَنَّ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم أَمَانٌ ، وَبَرَاءَة نَزَلَت بِالسَّيْفِ ، لَيْسَ فِيهَا أَمَانٌ

Karena bismillahirrahmanirrahim isinya damai, sementara surat at-Taubah turun dengan membawa syariat perang, di sana tidak ada damai. (HR. Hakim dalam al-Mustadrak 3273)

Penjelasan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah penjelasan mengenai hikmah tidak adanya basamalah di surat at-Taubah. Beliau menilik makna dari basmalah dan makna dari surat at-Taubah. Basmalah, kalimat yang berisi rahmat Allah, memberikan kedamaian, keamanan. Sementara surat at-Taubah merupakan pengumuman bagi orang musyrikin, bahwa Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam memusuhi mereka dan menantang perang mereka.

Allahu a’lam.

Kamis, 05 Desember 2019

Bolehkah memperlama sujud?

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa shalat sunah malam adalah shalat sunah yang memang dilakukan pada malam hari, seperti tarawih dan tahajud. Sedangkan mengenai persoalan perbedaan para ulama mengenai memanjangkan berdiri atau sujud dalam shalat malam, maka sepanjang yang kami ketahui memang ada perbedaan para ulama. Setidaknya ada tiga pandangan yang bisa diketengahkan. Hal ini mengacu pada keterangan yang dikemukakan Muhyiddin Syarf An-Nawawi Syarah Shahih Muslim-nya. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Kondisi paling dekatnya seorang hamba dengan Rabb-nya adalah pada saat ia sujud. Karenanya, perbanyaklah doa.” Pesan penting yang terkandung hadits ini adalah bahwa saat sujud merupakan kondisi paling dekatnya seorang hamba dengan rahmat dan karunia Allah SWT. Oleh karena itu hadits tersebut dijadikan salah satu dalil oleh para ulama yang menyatakan bahwa sujud itu lebih utama dibanding berdiri dan dari semua rukun shalat lainnya. قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ( اَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ ) مَعْنَاهُ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ وَفَضْلِهِ وَفِيهِ اَلْحَثُّ عَلَى الدُّعَاءِ فِي السُّجُودِ وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَنْ يَقُولُ أَنَّ السُّجُودَ أَفْضَلُ مِنَ الْقِيَامِ وَسَائِرِ أَركْاَنِ الصَّلَاةِ Artinya, “Sabda Nabi SAW, ‘Kondisi paling dekatnya seorang hamba dengan Rabb-nya adalah pada saat ia sujud. Karenanya perbanyaklah doa.’ Maksud sabda Nabi ini adalah saat paling dekatnya seorang hamba dengan rahmat dan karunia-Nya. Sabda ini memuat pesan anjuran penting untuk berdoa ketika sujud. Di samping itu juga merupakan dalil yang digunakan oleh para ulama yang menyatakan bahwa sujud itu lebih utama dibanding berdiri dan semua rukun shalat,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim Ibnil Hajjaj, Beirut, Daru Ihya`it Turatsil Arabi, cet kedua, 1392 H, juz IV, halaman 200). Menurut An-Nawawi, ternyata dalam masalah ini terdapat tiga pandangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa memperpanjang sujud dan memperbanyak rukuk dengan memperbanyak jumlah rakaat itu lebih utama. Demikian sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi, Al-Baghawi dari sekelompok para ulama. Di antara mereka yang berpandangan demikian adalah Ibnu Umar RA. وَفِي هَذِهَ الْمَسْأَلَةِ ثَلَاثَةُ مَذَاهِبَ أَحَدُهَا أَنَّ تَطْوِيلَ السُّجُودَ وَتَكْثِيرَ الرُّكُوعَ أَفْضَلُ حَكَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالْبَغَوِيُّ عَنْ جَمَاعَةٍ وَمِمَّنْ قَالَ بِتَفْضِيلِ تَطْوِيلِ السُّجُودِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا Artinya, “Dalam masalah ini terdapat tiga pandangan. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa mempanjang sujud dan memperbanyak ruku itu lebih utama. Demikian sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Al-Baghawi serta sekelompok para ulama. Di antara mereka yang berpandangan lebih utama memanjangkan sujud adalah Ibnu Umar RA,” (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200). Pandangan kedua menyatakan bahwa memperpanjang berdiri lebih utama karena didasarkan pada hadits riwayat Jabir yang terdapat dalam Shahih Muslim, yang menyatakan bahwa Nabi SAW, “Shalat yang paling utama adalah yang panjang qunutnya.” Apa yang dimaksud “qunut” dalam hadits ini adalah berdiri. Pandangan ini dianut oleh Madzhab Syafi‘i dan sekelompok ulama. Argumentasi rasional yang diajukan untuk mendukung pandangan ini adalah karena zikir dalam berdiri adalah membaca ayat, dan dalam sujud adalah membaca tasbih. Sedangkan membaca ayat tentunya lebih utama karena mengacu pada praktik (al-manqul) Rasulullah SAW, yaitu beliau lebih memperpanjang durasi berdiri daripada memperlama sujud. وَالْمَذْهَبُ الثَّانِيُّ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رضي الله عنه وَجَمَاعَةٌ أَنَّ تَطْوِيلِ الْقِيَامِ أَفْضَلُ لِحَدِيثِ جَابِرٍ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ طُولُ الْقُنًوتِ وَالْمُرَادُ بِالْقُنُوتِ اَلْقِيَامُ وَلِأَنَّ ذِكْرَ الْقِيَامِ اَلْقِرَاءَةُ وَذِكْرُ السُّجُودِ التَّسْبِيحُ وَالْقِرَاءَةُ أَفْضَلُ لِأَنَّ الْمَنْقُولَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يُطَوِّلُ الْقِيَامَ أَكْثَرَ مِنْ تَطْوِيلِ السُّجُودِ Artinya, “Kedua, pandangan dari Madzhab Syafi‘i dan sekelompok para ulama yang menyatakan bahwa memanjangkan berdiri itu lebih utama karena didasarkan pada hadits riwayat Jabir RA dalam Shahih Muslim yang menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Shalat yang paling utama adalah yang panjang qunutnya.’ Yang dimaksud ‘qunut’ dalam konteks ini adalah berdiri. Zikir dalam berdiri adalah membaca ayat, dan dalam sujud adalah membaca tasbih. Sedangkan membaca ayat itu lebih utama karena sesuai dengan yang diriwayatkan (al-manqul) dari Nabi SAW di mana beliau memperlama berdiri lebih banyak daripada sujud,” (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200). Pandangan ketiga lebih memilih untuk menyamakan sujud dan berdiri. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal bersikap abstain (tawaqquf) dan tidak memberikan memberikan komentar dalam masalah ini. Demikian sebagaimana keterangan yang dikemukakan An-Nawawi. وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ أَنَّهُمَا سَوَاءٌ وَتَوَقَّفَ أَحْمَدُ بنُ حَنْبَلَ رضي الله عنه فِي الْمَسْأَلَةِ وَلَمْ يَقْضِ فِيهَا بِشَيْءٍ Artinya, “Pendapat ketiga menyatakan bahwa keduanya (berdiri dan sujud) adalah sama. Dalam konteks ini imam Ahmad bin Hanbal tidak memberikan komentar (bersikap tawaqquf) dan tidak mengambil putusan apapun,” (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200). Dari ketiga pandangan tersebut, ternyata ada pandangan berbeda yang diketengahkan An-Nawawi, yaitu pandangan Ibnu Rahawaih. Menurut Ibnu Rahawaih, jika siang hari, maka memperbanyak ruku dan sujud (memperbanyak jumlah rakaat) itu lebih utama. Adapun jika malam hari maka lebih utama memanjangkan berdiri kecuali bagi orang yang memilik wazhifah menyelesaikan satu juz Al-Quran, maka lebih utama baginya memperbanyak rakaat dan cukup menyelesaikan satu juz dibagi ke beberapa rakaat. Karena dengan ini ia bisa memperoleh dua hal sekaligus, yaitu membaca satu juz Al-Quran yang menjadi wazhifahnya sekaligus memperbanyak rakaat. وَقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ أَمَّا فِي النَّهَارِ فَتَكْثِيرُ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ اَفْضَلُ وَأَمَّا فِي اللَّيْلِ فَتَطْوِيلُ الْقِيَامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ جُزْءٌ بِاللَّيْلِ يَأْتِي عَلَيْهِ فَتَكْثِيرُ الرُّكُوع ِوَالسُّجُودِ أَفْضَلُ لِأَنَّهُ يَقْرَأُ جُزْأَهُ وَيَرْبَحُ كَثْرَةَ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ Artinya, “Menurut Ibnu Rahawaih, kalau shalat di siang hari maka memperbanyak ruku dan sujud itu lebih utama. Sedangkan pada malam hari maka memperpanjang berdiri itu lebih utama, kecuali bagi orang yang memiliki beban untuk menyelesaikan satu juz Al-Quran dalam satu malam, maka ia lebih untuk memperbanyak rukuk dan sujud. Sebab, ia membaca juz yang menjadi bagiannya dan memperoleh keuntungan dengan banyaknya ruku dan sujud,” (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200-201). Menurut At-Tirmidzi, pandangan Ibnu Rahawaih itu mengacu pada riwayat yang menggambarkan bahwa sifat shalat malam Rasulullah SAW adalah memanjangkan berdiri. Sedangkan shalat siangnya tidak digambarkan beliau memanjangkan berdiri sebagaimana shalat malamnya. Demikian yang kami pahami dari keterangan berikut ini. وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ إِنَّمَا قَالَ إِسْحَاقُ هَذَا لِأَنَّهُمْ وَصَفُوا صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ باِللَّيْلِ بِطُولِ الْقِيَامِ وَلَمْ يُوصَفْ مِنْ تَطْوِيلِهِ باِلنَّهَارِ مَا وُصِفَ بِاللَّيْلِ وَاللهُ أَعْلَمُ Artinya, “Menurut At-Tirmidzi apa yang dikemukakan Ibnu Rahawaih ini karena mereka menyifati shalat malamnya Nabi SAW dengan panjang berdirinya, berbeda dengan shalat siangnya. Wallahu a‘lam,” (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200). Demikian perbedaan pandangan para ulama mengenai soal memanjangkan berdiri atau sujud dalam shalat malam. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Bolehkah berdoa selain bahasa arab?

Mazhab Hanafiyah menganggap bahwa berdoa dengan selain bahasa Arab, baik ketika shalat maupun di luar shalat, adalah makruh, karena Umar bin Khattab melarang “rathanatal a’ajim” (berbicara dengan selain bahasa arab).

Sementara, dalam Mazhab Malikiyah diharamkan untuk berdoa dengan selain bahasa Arab yang maknanya jelas. Allah berfirman, yang artinya, “Tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun kecuali (mereka berdakwah) dengan bahasa kaumnya.” (Q.S. Ibrahim:4)

Dalam Mazhab Syafi’iyah, masalah ini dirinci. Mereka menjelaskan bahwa berdoa dalam shalat ada dua: doa yang ma’tsur (terdapat dalam Alquran dan hadis) dan doa yang tidak ma’tsur (tidak ada dalam Alquran dan hadis). Doa yang ma’tsur tidak boleh diucapkan dengan bahasa lain, selain bahasa Arab.

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah diperbolehkan berdoa dengan menggunanakan bahasa selain bahasa Arab. Pendapat ini dikuatkan oleh Komite Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa Arab Saudi. Dalam suatu kesempatan, mereka ditanya, “Bolehkah seseorang berdoa dalam shalatnya dengan bahasa apa pun? Apakah ini membatalkan shalat?”

Mereka menjawab, “… Seseorang diperbolehkan berdoa kepada Allah di dalam shalatnya dan di luar shalatnya dengan menggunakan bahasa Arab atau selain bahasa Arab, sesuai dengan keadaan yang paling mudah menurut dia. Ini tidaklah membatalkan shalatnya, ketika dia berdoa dengan selain bahasa Arab. Namun, ketika dia hendak berdoa dalam shalat, selayaknya dia memilih doa yang terdapat dalam hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ….” (Fatwa Lajnah Daimah, volume 24, nomor 5782)

Sementara itu, Syekh Abdul Karim Al-Hudhair menyatakan bahwa seseorang boleh berdoa dengan selain bahasa Arab jika dia tidak mampu berbicara dengan bahasa Arab. Setiap muslim dituntut untuk mempelajari bahasa Arab, sekadar sebagai bekal untuk beribadah dengan sempurna. (Fatwa Syekh Abdul Karim Al-Hudhair, no. 4337)

Bolehkah berdoa saat sujud?

Shalat adalah sebuah kewajiban semua umat muslim yang merupakan kewajiban dasar dan wajib dilakukan setiap hari yakni sebanyak 5 kali dalam sehari. Shalat jauh lebih baik jika ditambah dengan amalan sunnah seperti shalat dhuha dan shalat tahajud yang memiliki begitu banyak manfaat untuk ketenangan hati dan kehidupan di dunia dan di akherat. di setiap shalat seringkali manusia memanjatkan doa untuk pengharapan atau untuk memohon sesuatu dimana memang banyak yang memahami bahwa memanjatkan doa di waktu shalat adalah salah satu yang paling mustajab.

Salah satu yang menjadi kebiasan ialah melakukan atau mengucapkan doa di waktu sujud terakhir setelah membaca bacaan shalat dilanjutkan dengan doa tertentu setelahnya melanjutkan shalat kembali yakni pada bagian akhir dan salam. Islam selama ini telah mengatur waktu dan cara yang terbaik untuk berdoa yang termasuk hubungannya dengan doa pada sujud terakhir. keutamaan berdoa daalam islam memang senantiasa dilakukan oleh umat islam dengan harapan akan mendapat kebikan di dunia dan di akherat.

Lalu bagaimanakah hukumnya? Apakah diperbolehkan dan pernah dicontohkan oleh Rasulullah? untuk lebih memahami persoalan ini maka penulis akan menguraikannya secara lengkap berdasarkan firman Allah dalam Al Qur’an juga dari riwayat hadist hadist yang shahih untuk memberikan pemahaman secara lebih lengkap. yuk simak penjelasan lengkapnya berikut hingga selesai.

Waktu Terbaik Untuk Berdoa

Dalam keseharian , tentu kita memahami adanya waktu terkabulnya doa yakni waktu waktu terbaik untuk berdoa yang diantaranya ada pada masa setelah shalat wajib, pada waktu sepertiga malam terahir, antara adzan dan istiqomah, juga pada waktu sujud, dan sebagainya. Doa di waktu sujud memang merupakan salah satu waktu doa yang terbaik atau yang mustajab dimana pada masa tersebut shalat berada pada posisi kepala di bawah dengan menempelkan dahi hingga hidup ke alas shalat yang menandakan adanya kepasrahan kepada Allah sang pemilik hidup.

Doa di waktu sujud merupakan salah satu waktu terbaik sebab sebagai wujud kepasrahan dan wujud tunduk akan kuasaNya, wujud memohon dengan penuh kesungguhan dalam pengakuan sebagai hamba yang lemah yang tidak memiliki kuasa apapun dan menyatakan kepada Allah telah melakukan usaha yang terbaik semampunya dan kini ia menyerahkan semua hasil atau apa yang didapatnya kepada Allah.

“Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.” (HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah). Dari hadist tersebut dijelaskan bahwa manfaat doa dalam islam memang luar biasa sehingga dianjurkan untuk dilakukan dan pada waktu sujud memang manusia berada pada posisi paling dekat dengan RabbNya yakni Allah SWT yang merupakan pencipta segala isi dunia dan akherat, dan di waktu tersebut dianjurkan untuk memperbanyak doa.

Tidak Wajib Dilakukan Terus Menerus

Seringkali kita melihat atau mungkin diantara kita ada yang melakukannya yakni memperlama waktu sujud untuk berdoa dan hal tersebut dilakukan secara terus menerus di sepanjang shalat baik itu shalat wajib 5 waktu maupun di shalat sunnah yang mustajab seperti shalat tahajud dan shalat dhuha, maka perlukan hal tersebut dilakukan? apakah manfaat sujud juga termasuk memiliki manfaat untuk berdoa? Apakah harus selalu memperlama bagian di waktu sujud saja sementara bagian shalat lain dilakukan sekedarnya atau dilakukan dengan biasa saja dan hanya memberi yang utama di waktu sujud saja?

Seorang ulama Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya, “Apakah diperkenankan memperpanjang sujud terakhir dari rukun shalat lainnya, di dalamnya seseorang memperbanyak do’a dan istighfar? apa sajakah bacaan doa dan dzikir setelah shalat? Apakah shalat menjadi cacat jika seseorang memperlama sujud terakhir?”, Beliau rahimahullah menjawab, “Memperpanjang sujud terakhir ketika shalat bukanlah termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena yang disunnahkan dan dicontohkan oleh beliau ialah seseorang melakukan shalat dengan sama rata yakni antara ruku’, i’tidal, sujud, dan duduk antara dua sujud itu hampir sama lamanya.

Kenapa demikian? Sebab setiap bagian shalat ialah hal yang sama pentingnya, semuanya mengandung doa, tidak hanya pada bagian sujud saja. Jika diantara kita memahami semua si dan makna bacaan shalat, tentunya mengerti bahwa semua bagian shalat memiliki doa yang bermakna untuk ketenangan dan kemuliaan hidup di dunia akherat, sehingga dapat diambil kesimpuan bahwa boleh saja melakukan doa pada sujud terakhir namun tetap mementingkan bagian shalat yang lain, bukan hanya memperlama waktu sujud terakhir dan bagian lain dilakukan sekedarnya.

Hukum Berdoa Ketika Sujud Terakhir

Hukum berdoa ketika sujud terakhir adalah sah sah saja atau diperbolehkan hukumnya dalam islam dengan berbagai ketentuan berikut yang sesuai dengan firman Allah pada ayat Al Qur’an dan hadist Rasulullah SAW.

Teladan dari Rasulullah

Dari riwayat Baro’ bin ‘Azib, ia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendapati bahwa berdiri, ruku’, sujud, duduk beliau sebelum salam dan berpaling, semuanya hampir sama (lamanya). ” Inilah yang benar. Akan tetapi ada tempat do’a selain sujud yaitu setelah tasyahud.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan, beliau bersabda, “Kemudian setelah tasyahud, terserah padamu berdo’a dengan doa apa saja”. Maka berdo’alah ketika itu sedikit atau pun lama setelah tasyahud akhir sebelum salam. (Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 376, side B).

Dari hadist tersebut jelas bahwa diperbolehkan berdoa di waktu sujud namun tidak melewatkan bagian lain, yakni shalat dengan jangka waktu yang sama lamanya diantara semua bagaian shalat seperti ruku’ dan duduk diantara dua sujud sehingga tidak kehilangan doa di bagian bagian istimewa tersebut. sebab seperti yang telah dijealaskna bahwa  semua bagian dari shalat memiliki arti yang sama pentingnya dan sama sama bernilai tinggi di mata Allah jika diucapkan dengan penuh penghayatan.

Doa Waktu Sujud Terakhir Dikabulkan Allah

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Allah. Sedangkan ketika sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, maka doa tersebut pasti dikabulkan untuk kalian.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 479].

Penjelasan dari hadit tersebut ialah Rasulullah menganjurkan umatnya untuk bersunggug sungguh dalam menjalankan bagian shalat manapun, seperti ketika ruku’, Rasululllah menganjurkan agar mengagungkan Allah dengan cara mengucap doa dan bacaan dengan penuh kesungguhan , juga ketika sujud, dianjurkan untuk bersungguh sungguh sebab pada waktu tersebut manusia paling dekat dengan Allah sehingga ketika bersungguh sungguh dalam berdoa akan dikabulkan oleh Allah.

Berdoa yang Bersumber dari Al Qur’an

Sebagai umat islam yang dalam kehidupan sehari hari berdasar pada syariat pada Al Qur’an, tentu ketika berdoa juga wajib untuk mengutamakan mengucap doa yang ada pada Al Qur’an yang lebih mustajab dan juga terkadang merupakan doa dari orang orang shaleh terdahulu yang diabadikan dalam Al Qur’an, doa terbaik yang disarankan ialah yang terdapat dalam Al Qur’an diantaranya sebagai berikut.

“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqarah: 201). Doa tersebut merupakan doa yang luas, yakni tentang mendapat kebaikan di dunia dan di akherat sehingga apapun urusan yang dilakukan akan mendatangkan kebaikan tersebut berupa kebahagiaan di dunia dan di akherat.

Doa Untuk Istiqomah dalam Ibadah

Jangan lupa pula untuk memohon kepada Allah agar diberi rasa istiqomah dalam menjalankan ibadah sehingga akan lebih baik dan lebih rutin dalam menjalankan ibadah sehari hari dalam keadaan apapun entah itu keadaan susah dan senang ataupun di waktu sibuk dan di waktu senggang. “Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 8).

Meluruskan Niat

“Setiap amalan tergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907). Jelas dari hadit tersebut bahwa segala yang dilakukan akan mendapat hasil sesuai niat, jika melakukan doa di sujud terakhir dengan niat semata karena Allah untuk kehidupan akherat bukan hanya tentan duniawi semata maka orang yang berdoa tersebut akan mendapat kebaikan dari Allah.

Seperti yang disampaiakan salah seorang ulama Syafi’iyah, Az-Zarkasyi rahimahullah berkata, “Yang terlarang adalah jika dimaksudkan membaca Al Qur’an (ketika sujud). Namun jika yang dimaksudkan adalah doa dan sanjungan pada Allah maka itu tidaklah mengapa, sebagaimana pula seseorang boleh membaca qunut dengan beberapa ayat Al-Qur’an” (Tuhfah Al-Muhtaj, 6:6, Mawqi’ Al-Islam). Jelas bahwa niat dalam beribadah penting ketika berdoa.