Tampilkan postingan dengan label Fiqih sholat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih sholat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 Oktober 2019

Doa setelah sholat

1. Doa memohon Ilmu, Rizki, Amal Khusus Shalat Subuh

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً نَافِعاً، وَرِزْقاً طَيِّباً، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
ALLAHUMMA INNA NAS'ALUKA ILMAN NAFI'AN WA RIZQON THAYYIBAN WA AMALAN MUTAQOBALAN
artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezki yang baik dan amal yang diterima
Referensi: (HR. Ibnu Majah)

2. Berlindung dari sifat kikir, kehinaan dan Fitnah
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
"ALLAHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MINAL BUKHLI WA A’UUDZUBIKA MINAL JUBNI WA A’UUDZU BIKA AN URADDA ILAA ARDZALIL ‘UMURI WA A’UUDZU BIKA MIN FITNATID DUNYAA WA A'UUDZU BIKA MIN ‘ADZAABIL QOBRI.”
artinya: “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari sifat bakhil, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung kepada-Mu dari dikembalikan pada umur yang hina, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia dan aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur.”
Referensi: (HR. Ibnu Majah)

3. Berlindung dari kekufuran, kefakiran dan adzab kubur
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكُفْرِ، وَالْفَقْرِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ
"ALLAHUMMA A’UUDZU BIKA MINAL KUFRI WAL FAQRI WA ‘ADZAABIL QOBRI.”
artinya: “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefakiran dan adzab kubur.”
Referensi: (HR. An-Nasa'i)

4. Bersyukur
اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
"ALLAHUMMA INNII 'ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI 'IBAADATIKA.”
Artinya:
“Ya Allah, tolonglah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur pada-Mu dan beribadah kepada-Mu sebaik-baiknya.”
Referensi: (HR. Abu Dawud)

5. Berlindung pada Hari Akhir
رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ
"ROBBI QINII 'ADZAABAKA YAUMA TAB'ATSU AU TAJMA'U 'IBAADAKA.”
Artinya:
“Ya Allah, lindungilah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau bangkitkan atau Engkau kumpulkan hamba-hamba-Mu.”
Referensi: (HR. MUSLIM)

Selasa, 29 Oktober 2019

Kumpulan doa-doa sholat sunah


Doa Sholat Dhuha

اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ
"ALLAHUMMA INNADH DHUHA-A DHUHA-UKA, WAL BAHAA-A BAHAA-UKA, WAL JAMAALA JAMAALUKA, WAL QUWWATA QUWWATUKA, WAL QUDRATA QUDRATUKA, WAL ISHMATA ISHMATUKA.

ALLAHUMA INKAANA RIZQI FIS SAMMA-I FA ANZILHU, WA INKAANA FIL ARDHI FA-AKHRIJHU, WA INKAANA MU'ASARAN FAYASSIRHU, WAINKAANA HARAAMAN FATHAHHIRHU, WA INKAANA BA'IDAN FA QARIBHU, BIHAQQIDUHAA-IKA WA BAHAAIKA, WA JAMAALIKA WA QUWWATIKA WA QUDRATIKA, AATINI MAA ATAITA 'IBAADAKASH SHALIHIN.”
Artinya:
“Ya Allah, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah keagunan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu, Ya Allah, apabila rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaan-Mu (Ya Allah), datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hamba-Mu yang soleh”
Referensi:
1. Barang siapa shalat Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga” (HR. At-Tirmidzi dan HR. Ibnu Majah)

2. “Siapapun yang melaksanakan shalat dhuha dengan istiqomah, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan.” (HR. At-Tirmidzi)

3. “Dari Ummu Hani bahwa Rasulullah SAW shalat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat.” (HR. Abu Dawud)

4. “Dari Zaid bin Arqam ra. Berkata,”Nabi SAW keluar ke penduduk Quba dan mereka sedang shalat dhuha‘. Beliau bersabda,?Shalat awwabin (duha‘) berakhir hingga panas menyengat (tengah hari).” (HR. Muslim dan HR. At-Tirmidzi)

5. “Rasulullah bersabda di dalam Hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat shalat dhuha, karena dengan shalat tersebut, Aku cukupkan kebutuhanmu pada sore harinya.” (HR. Hakim dan HR. Thabrani)

6. “Barangsiapa yang masih berdiam diri di masjid atau tempat shalatnya setelah shalat shubuh karena melakukan i’tikaf, berzikir, dan melakukan dua rakaat shalat dhuha disertai tidak berkata sesuatu kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun banyaknya melebihi buih di lautan.” (HR. Abu Dawud)


2. Doa Shalat Tahajud
اَللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ اَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ. وَلَكَ الْحَمْدُ اَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ واْلاَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ. وَلَكَ الْحَمْدُ اَنْتَ نُوْرُ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ. وَلَكَ الْحَمْدُ اَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاءُكَ حَقٌّ وَقَوْلُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالنَّبِيُّوْنَ حَقٌّ وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ. اَللهُمَّ لَكَ اَسْلَمْتُ وَبِكَ اَمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْكَ اَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَاِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْلِيْ مَاقَدَّمْتُ وَمَا اَخَّرْتُ وَمَا اَسْرَرْتُ وَمَا اَعْلَنْتُ وَمَا اَنْتَ اَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ. اَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَاَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لاَاِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ. وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ 
Allâhumma rabbana lakal hamdu. Anta qayyimus samâwâti wal ardhi wa man fî hinna. Wa lakal hamdu anta malikus samâwâti wal ardhi wa man fî hinna. Wa lakal hamdu anta nûrus samâwâti wal ardhi wa man fî hinna. Wa lakal hamdu antal haq. Wa wa‘dukal haq. Wa liqâ’uka haq. Wa qauluka haq. Wal jannatu haq. Wan nâru haq. Wan nabiyyûna haq. Wa Muhammadun shallallâhu alaihi wasallama haq. Was sâ‘atu haq.

Allâhumma laka aslamtu. Wa bika âmantu. Wa alaika tawakkaltu. Wa ilaika anabtu. Wa bika khâshamtu. Wa ilaika hâkamtu. Fagfirlî mâ qaddamtu, wa mâ akhkhartu, wa mâ asrartu, wa mâ a‘lantu, wa mâ anta a‘lamu bihi minnî. Antal muqaddimu wa antal mu’akhkhiru. Lâ ilâha illâ anta. Wa lâ haula, wa lâ quwwata illâ billâh.

Artinya, “Ya Allah, Tuhan kami, segala puji bagi-Mu, Engkau penegak langit, bumi, dan makhluk di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau penguasa langit, bumi, dan makhluk di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau cahaya langit, bumi, dan makhluk di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau Maha Benar. Janji-Mu benar. Pertemuan dengan-Mu kelak itu benar. Firman-Mu benar adanya. Surga itu nyata. Neraka pun demikian. Para nabi itu benar. Demikian pula Nabi Muhammad SAW itu benar. Hari Kiamat itu benar.

Ya Tuhanku, hanya kepada-Mu aku berserah. Hanya kepada-Mu juga aku beriman. Kepada-Mu aku pasrah. Hanya kepada-Mu aku kembali. Karena-Mu aku rela bertikai. Hanya pada-Mu dasar putusanku. Karenanya ampuni dosaku yang telah lalu dan yang terkemudian, dosa yang kusembunyikan dan yang kunyatakan, dan dosa lain yang lebih Kau ketahui ketimbang aku. Engkau Yang Maha Terdahulu dan Engkau Yang Maha Terkemudian. Tiada Tuhan selain Engkau. Tiada daya upaya dan kekuatan selain pertolongan Allah.”


Doa ini dianjurkan dibaca seusai shalat tahajud. Doa Rasulullah SAW ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Doa ini juga dicantumkan Imam An-Nawawi dalam karyanya Al-Adzkar.
Manfaat Shalat Tahajud:
1. Allah menjanjikan surga bagi orang-orang yang melakukan qiyamul lail Abdullah bin salam mengatakan, bahwa Rasullah sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Hai sekalian manusia, sebarluaskanlah salam dan berikanlah makanan serta sholat malamlah di waktu manusia sedang tidur, supaya kamu masuk surga dengan selamat” (HR. At-Tirmidzi)

2. Terkabul doa-doa
Dari Jabir ra., ia berkata, “aku mendengar Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda : Sesungguhnya pada malam hari itu benar-benar ada saat yang seorang muslim dapat menepatinya untuk memohon kepada Allah suatu kebaikan dunia dan akhirat, pasti Allah akan memberikannya (mengabulkannya); dan itu setiap malam” (HR. Muslim dan HR. Ahmad)

3. Shalat yang paling utama
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasaalam bersabda, “seutama-utama shalat sesudah shalat fardu ialah shalat sunnat di waktu malam (HR. Muslim)

4. Mendapatkan tempat yang terpuji
Pada malam hari, hendaklah engkau shalat Tahajud sebagai tambahan bagi engkau.
Mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ke tempat yang terpuji (QS. Al Isra: 79)


3. Doa Shalat Istikharah
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمَّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ
ALLAHUMMA INNI ASTAKHIIRUKA BI’ILMIKA. WA ASTAQDIRUKA BIQUDROTIKA. WA AS’ALUKA MIN FADHLIKAL ‘ADHIM. FA INNAKA TAQDIRU WA LAA AQDIRU. WA TA’LAMU WA LAA A’LAMU. WA ANTA ‘ALLAMUL GHUYUUB. ALLAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNA HADZAL AMRO –sebutkan perkara yang dipertimbangkan- KHOIRUN LII FII DIINII WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRI FAQDIRHU LII WA YASSIRHU LII TSUMMA BAARIK LII FIIHI. WA IN KUNTA TA’LAMU ANNA HADZAL AMRO SYARRON LII FII DIINII WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII FASHRIFHU ‘ANNI WASHRIFNI ‘ANHU WAQDIR LII ALKHOIRO HAYTSU KAANA TSUMMA ARDHIINII BIHI.
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepadaMu dengan ilmu pengetahuanMu dan aku mohon kekuasaanMu (untuk mengatasi persoalanku) dengan kemahakuasaanMu. Aku mohon kepadaMu sesuatu dari anugerahMu Yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, dan akibatnya terhadap diriku sukseskanlah untuk ku, mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agama, perekonomian dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkan persoalan tersebut, dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untuk ku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaanMu kepadaku.”


4. Doa Taraweh
اَللهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ. وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ. وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ. وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ. وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ. وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ. وَعَنِ الَّلغْوِ مُعْرِضِيْنَ. وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ. وَفِى اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ. وَبَالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ. وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ. وَعَلَى الْبَلاَءِ صَابِرِيْنَ. وَتَحْتَ لَوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَإِلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ. وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ. وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ. وَعَلى سَرِيْرِالْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ. وَمِنْ حُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ. وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ. وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ. وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ. بِأَكْوَابٍ وَّأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْن. مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيْقًا. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّهْرِالشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ. وَلاَتَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِه وَصَحْبِه أَجْمَعِيْنَ. بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنََ


Allâhummaj‘alnâ bil îmâni kâmilîn. Wa lil farâidli muaddîn. Wa lish-shlâti hâfidhîn. Wa liz-zakâti fâ‘ilîn. Wa lima ‘indaka thâlibîn. Wa li ‘afwika râjîn. Wa bil-hudâ mutamassikîn. Wa ‘anil laghwi mu‘ridlîn. Wa fid-dunyâ zâhdîn. Wa fil ‘âkhirati râghibîn. Wa bil-qadlâ’I râdlîn. Wa lin na‘mâ’I syâkirîn. Wa ‘alal balâ’i shâbirîn. Wa tahta lawâ’i muhammadin shallallâhu ‘alaihi wasallam yaumal qiyâmati sâ’irîna wa ilal haudli wâridîn. Wa ilal jannati dâkhilîn. Wa min sundusin wa istabraqîn wadîbâjin mutalabbisîn. Wa min tha‘âmil jannati âkilîn. Wa min labanin wa ‘asalin mushaffan syâribîn. Bi akwâbin wa abârîqa wa ka‘sin min ma‘în. Ma‘al ladzîna an‘amta ‘alaihim minan nabiyyîna wash shiddîqîna wasy syuhadâ’i wash shâlihîna wa hasuna ulâ’ika rafîqan. Dâlikal fadl-lu minallâhi wa kafâ billâhi ‘alîman. Allâhummaj‘alnâ fî hâdzihil lailatisy syahrisy syarîfail mubârakah minas su‘adâ’il maqbûlîn. Wa lâ taj‘alnâ minal asyqiyâ’il mardûdîn. Wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadin wa âlihi wa shahbihi ajma‘în. Birahmatika yâ arhamar râhimîn wal hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

Artinya, “Yaa Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, yang memenuhi kewajiban- kewajiban, yang memelihara shalat, yang mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan-Mu, yang berpegang pada petunjuk, yang berpaling dari kebatilan, yang zuhud di dunia, yang menyenangi akhirat , yang ridha dengan qadla-Mu (ketentuan-Mu), yang mensyukuri nikmat, yang sabar atas segala musibah, yang berada di bawah panji-panji junjungan kami, Nabi Muhammad, pada hari kiamat, yang mengunjungi telaga (Nabi Muhammad), yang masuk ke dalam surga, yang selamat dari api neraka, yang duduk di atas ranjang kemuliaan, yang menikah dengan para bidadari, yang mengenakan berbagai sutra ,yang makan makanan surga, yang minum susu dan madu murni dengan gelas, cangkir, dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang terbaik. Itulah keutamaan (anugerah) dari Allah, dan cukuplah bahwa Allah Maha Mengetahui. Ya Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan diberkahi ini termasuk orang-orang yang bahagia dan diterima amalnya, dan janganlah Engkau jadikan kami tergolong orang-orang yang celaka dan ditolak amalnya. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya atas junjungan kami Muhammad, serta seluruh keluarga dan shahabat beliau. Berkat rahmat-Mu, wahai Yang Paling Penyayang di antara yang penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”
(Lihat Sayyid Utsman bin Yahya, Maslakul Akhyar, Cetakan Al-‘Aidrus, Jakarta).


5. Doa Witir
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUUS -dibaca 3x-
Artinya:
Maha Suci Engkau yang Maha Merajai lagi Maha Suci dari berbagai kekurangan.
(HR. An Nasai dan Ahmad)
اَللهُمَّ إِنَّا نَسْـأَلُكَ اِيْمَانًا دَائِمًا، وَنَسْأَلُكَ قَلْبًا خَاشِعًا، وَنَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَنَسْأَلُكَ يَقِيْنًا صَادِقًا، وَنَسْأَلُكَ عَمَلاً صَالِحًا، وَنَسْأَلُكَ دِيْنًاقَيِّمًا، وَنَسْأَلُكَ خَيْرًا كَثِيْرًا، وَنَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، وَنَسْأَلُكَ تَمَامَ الْعَافِيَةِ، وَنَسْأَلُكَ الشُّكْرَ عَلَى الْعَافِيَةِ، وَنَسْأَلُكَ الْغِنَاءَ عَنِ النَّاسِ، اَللهُمَّ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وَصِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَتَخُشُّعَنَا وَتَضَرُّعَنَا وَتَعَبُّدَنَا وَتَمِّمْ تَقْصِيْرَنَا يَا اَللهُ يَااَللهُ يَااَللهُ يَااَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ، وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
ALLAHUMMA INNAA NAS'ALUKA IIMAANAN DAA'IMAN, WANAS'ALUKA QALBAN KHAASYI'AN, WANAS'ALUKA 'ILMAN NAAFI'AN, WANAS'ALUKA YAQIINAN SHAADIQON, WANAS'ALUKA 'AMALAN SHAALIHAN, WANAS'ALUKA DIINAN QAYYIMAN, WANAS'ALUKA KHAIRAN KATSIIRAN, WANAS'ALUKAL 'AFWA WAL'AAFIYATA, WANAS'ALUKA TAMAAMAL 'AAFIYATI, WANAS'ALUKASY SYUKRA 'ALAL 'AAFIYATI, WANAS'ALUKAL GHINAA'A 'ANINNAASI. ALLAAHUMMA RABBANAA TAQABBAL MINNAA SHALAATANAA WASHIYAAMANAA WAQIYAAMANAA WATAKHUSY-SYU'ANAA WATADHORRU'ANAA WATA'ABBUDANAA WATAMMIM TAQSHIIRANAA YAA ALLAAHU YAA ALLAAHU YAA ALLAAHU YAA ARHAMAR RAAHIMIINA. WASHALLALLAAHU 'ALAA KHAIRI KHALQIHI MUHAMMADIN WA'ALAA AALIHI WASHAHBIHI AJMA'IINA, WALHAMDU LILLAAHI RABBIL 'AALAMIINA.
Artinya :
Wahai Allah. Sesungguhnya kami memohon kepada-Mu iman yang tetap, kami memohon kepada-Mu hati yang khusyu', kami memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, kami memohon kepada-Mu keyakinan yang benar, kami memohon kepada-Mu amal yang shaleh, kami memohon kepada-Mu agama yang lurus, kami memohon kepada-Mu kebaikan yang banyak, kami memohon kepada-Mu ampunan dan afiat, kami memohon kepada-Mu kesehatan yang sempurna, kami memohon kepada-Mu syukur atas kesehatan, dan kami memohon kepada-Mu terkaya dari semua manusia. Ya Allah, Tuhan kami. Terimalah dari kami shalat kami, puasa kami, shalat malam kami, kekhusyu'an kami, kerendahan hati kami, ibadah kami. Sempurnakanlah kelalaian atau kekurangan kami, Wahai Allah Wahai Allah Wahai Allah Wahai Dzat yang Paling Penyayang diantara para penyayang. Semoga rahmat Allah tercurahkan kepada sebaik-baiknya makhluk-Nya, Muhammad, keluarga dan sahabatnya semua, dan segala puji milik Allah, Tuhan semesta alam.
6. Doa Shalat Taubat


Alloohumma anta robbii laa ilaaha illaa anta kholaqtanii, wa-ana ‘abduka wa-ana ‘alaa ‘ahdika wawa’dika mastatho’tu, a’uudzubika minsyarri maa shona’tu, abuu-ulaka bini’matika ‘alayya, wa abuu-u bidzambii, faghfirlii fa innahuu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta.

Artinya: Ya Allah, Engkaulah Tuhanku tiada Tuhan selain Engkau, Engkau telah menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu, semampuku kupenuhi janjiku kepada-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang aku perbuat, aku berserah diri kepada-Mu dengan nikmat-Mu kepadaku dan aku berserah diri kepada-Mu dengan dosaku, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.

Wallohua'lam

Selasa, 22 Oktober 2019

Waktu Sholat Fardhu

Adapun Shalat yang difardlukan itu ada lima (5). Pada sebagian redaksi kitab lain menggunakan kata-kata : Shalat-shalat yang difardlukan ada 5, masing-masing dari lima tersebut harus dikerjakan pada awal waktu (tepat masuk sa'at waktu dimulainya shalat, hal mana keharusan mengerjakannya leluasa hingga sampai pada batas sisa waktu yang masih ada, yang sekira muat untuk mengerjakan shalat (secepat mungkin). maka, sewaktu dalam keadaan demikian, menjadi sempitlah waktu keharusan mengerjakannya (jadi ketika itu, shalatnya harus segera di kerjakan". (Terjemah Fathul Qorib, Jilid I, Hal : 112).
1. Shalat Dzuhur : Imam Nawawi berkata : disebut shalat dzuhur, sebab shalat itu tampak terang (dikerjakan) pada tengah-tengah siang hari (siang bolong). Adapun waktu mulainya shalat dzuhur ialah, sa'at bergesernya, yakni condongnya matahari dari tengah-tengahnya langit, bukan menurut dasar penglihatan mata pada kenyataan perkara yang sebenarnya, tetapi (hanya berdasar) pada apa yang kelihatan tampak bagi (mata) kita saja.
Dan Condongnya matahari dari tengah-tengah langit itu bisa diketahui (dengan melihat) pindahnya bayang-bayang ke arah timur, setelah bayang-bayang pendek itu mengecil surut habis, hal mana itu sebagai pertanda atas puncak kenaikannya matahari.
Adapun akhir Waktunya shalat dzuhur ialah, ketika bayang-bayang setiap sesuatu telah menjadi sama sepadan dengan seuatu tersebut, hal mana bukan bayang-bayang sewaktu condongnya matahari. (Terjemah Fathul Qorib, Jilid I, Hal : 113-114).
2. Shalat Ashar : disebut Shalat Ashar sebab ia menyongsong datang waktu terbenamnya matahari.
Adapun permulaan waktu Shalat ashar ialah bertambahnya bayang-bayang melebihi diatas bayang-bayang yang sepadan dengan benda (bayang-bayang suatu benda sudah melebihi panjang atau besarnya benda tersebut).
Shalat Ashar itu mempunyai 5 (lima) Waktu:
Pertama : yaitu waktu yang utama, yakni mengerjakan shalat tepat pada awal waktu.(Terjemah Fathul Qorib, Jilid I, Hal : 114).
Kedua : yaitu waktu ikhtiar (longgar). Mushannif memberi petunjuk tentang waktu ikhtiar ini dengan ucapan beliau :" Akhir batas waktu ikhtiar dalam shalat Ashar ialah ketika sudah mencapai dua kali besar bayang-bayangsuatu benda.(Terjemah Fathul Qorib, Jilid I, Hal : 115).
Ketiga : Yaitu waktu yang masih dianggap boleh (ditolerir) mengerjakan shalat (waktu jawwaz). Mushannif memberikan petunjuk tentang waktu Jawwaz ini dengan ucapannya: "Waktu Jawwaz ialah, ketika sudah sampai datang waktu terbenam matahari".(Terjemah Fathul Qorib, Jilid I, Hal : 115).
Keempat : yaitu waktu yang masih dianggap boleh mengerjakan shalat, tanpa ada hukum makruh. yakni waktu semenjak dari menjadinya bayang-bayang, dua kali sepadan daripada bendanya, ingga sampai ke sa'at keluarnya mega kuning.(Terjemah Fathul Qorib, Jilid I, Hal : 115).
Kelima : Yaitu waktu haram mengerjakan shalat. yakni mengakhirkan waktu mengerjakan shalat hingga sampai pada sedikit sisa waktu yang tidak muat untuk digunakan mengerjakan shalat.(Terjemah Fathul Qorib, Jilid I, Hal : 115).
3. Shalat Maghrib, disebut shalat maghrib sebab dikerjakannya shalat maghrib itu adalah sewaktu matahari terbenam.
Adapun waktunya shalat maghrib itu cuma satu : yaitu waktu terbenamnya matahari, yakni secara keseluruhan (sampai pada) bundar-bundarnya matahari. Dan tidaklah (terapat konsekwensi hukum) apa-apa, masih berlangsungnya sorot sinar matahari, sesuadah terbenamnya matahari.
(andaikan terjadi matahari masih memancarkan sinar, sehabis terbenam, maka tidak mempunyai konsekwensi hukum apa-apa).
Dan waktu maghrib itu berlangsung) dengan kadar waktu cukup untuk mengerjakan adzan oleh seseorang.
dan dengan kaar seseorang mengerjakan wudlu atau tayamum, menutupi 'aurat, qamat untuk segera shalat dan (sekaligus) mengerjakan shalat sebanyak lima raka'at.(Terjemah Fathul Qorib, Jilid I, Hal : 116).
4. Shalat Isya, dikasrahkan kata 'ain, pada kata isya adalah sebuah nama bagi permulaan (munculnya) gelap malam. sedang shalat tadi disebut Isya, karena dikerjakannya sewaktu malam sedang gelap.
Permulaan awal waktu shalat Isya adalah ketika telah terbenamnya mega merah.
Adapun bagi Negara yang tidak mungkin mengalami terjadinya tenggelamnya mega (merah), maka waktu sa'at (dimulainya) shalat Isya bagi hak yang dimiliki oleh penduduk negeri tersebut, adalah sehabis tenggelamnya matahari, sa'at lewat masa, hal mana sedang tenggelam mega merah yang terdapat di negeri terdekat penduduk negeri tersebut diatas tadi. (jadi, sesudah tenggelamnya matahari, penduduk tersebut memperkirakan kira-kira sa'atkapan terjadinya tenggelam mega merah yang ada di negeri tetangga terdekat).
Pada shalat Isya terdapat dua waktu :
Pertama : Waktu ikhtiar (longgar) Mushannif : Akhir waktu shalat isya dalam waktu ikhtiar adalah berlangsung hingga sampai sa'at sepertiganya malam.
Kedua : waktu Jawwaz : yaitu berlangsung hingga sampai ke sa'at terbitnya fajar Shadiq. yaitu fajar yang tersebar luas cahaya fajarnya dalam keadaan melintang (antara arah selatan dan utara di bagian belahan langit sebelah timur).menuju ke arah atas langit.(Terjemah Fathul Qorib, Jilid I, Hal : 118-119).
5. Shalat Shubuh menurut tinjauan bahasa mempunyai arti permulaan siang hari' dan disebutlah shalat itu dengan nama "Shubuh" karena dikerjakannya sewaktu tiba permulaan siang hari.
Pada shalat shubuh terdapat juga 5 waktu, sebagaimana yang terdapat pada shalat ashar, sebagai berikut
Pertama : Waktu yang utama,. yaitu awal masuk waktunya shalat shubuh.
Kedua : Waktu Ikhtiar. tentang waktu ikhtiar ini, mushannif menerangkan didalam ucapannya :"Permulaan waktunya shalat shubuh itu semenjak munculnya fajar yang kedua (shadiq), sedangakhir waktu shalat shubuh didalam waktu ikhtiar ialah, sampai pada sa'at (hari mulai) terang".
Ketiga : Waktu Jawwaz. Mushannif memberi petunjuk tentang waktu jawwaz ini didalam ucapannya :"Akhir waktu shalat shubuh didalam waktu Jawwaz dengan disertai hukum Makruh, ialah hingga sampai mendekati sa'at terbitnya matahari.
Keempat : Waktu Jawwaz tanpa disertai hukum makruh. yaitu masuknya waktu shubuh hingga sampai pada sa'at munculnya warna merah (dilangit sebelum terbitnya matahari).
Kelima : Waktu Haram. Yaitu mengakhirkan shalat, hingga sampai pada sisa waktu, yang tidak muat untuk mengerjakan shalat shubuh.

Waktu Dilarang Sholat


Telah kami ketengahkan dalil-dalil yang menjelaskan larangan mengerjakan shalat setelah Subuh sampai terbitnya matahari dan shalat Ashar sampai terbenamnya matahari. Kami pun telah menyebutkan bahwa larangan mengerjakannya di awal waktu setelah Subuh dan Ashar bersifat ringan; dibolehkan mengerjakan shalat jika ada sebabnya. Tidak makruh hukumnya saat demikian. Berbeda dengan saat terbit dan terbenamnya matahari, dengan saat terbit dan terbenamnya matahari, larangan pada saat ini bersifat keras. Di dua waktu ini dilarang shalat, kecuali shalat wajib.

Karena waktu terlarang bagian pertama dan bagian kedua bersambung, baik dari setelah Subuh sampai terbitnya matahari ataupun dari setelah Ashar sampai terbenamnya matahari, maka semestinya kita mengetahui kadar waktu larangan keras supaya kita bisa menghindari shalat di saat itu. Waktu larangan keras ini dijelaskan oleh beberapa hadist.
  1. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu. Katanya Rasalullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
    “Apabila matahari mulai muncul, tundalah shalat sampai ia benar-benar tampak. Apabila matahari mulai menghilang, tundalah shalat sampai ia benar-benar terbenam.”[1]
  2. Bilal radhiyallahu anhu bertutur,
    “Tidaklah shalat itu dilarang kecuali saat terbitnya matahari. Sesungguhnya ia terbit di antara dua tanduk setan.”[2]
  3. Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Salmi pernah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
    “Wahai Nabi Allah, sungguh saya akan bertanya kepadamu tentang sesuatu yang engkau tahu dan saya tidak tahu.” “Apakah itu?” tanya Nabi. Shafwan bertanya, “Adakah waktu di malam hari dan di siang hari yang shalat makruh pada waktu itu?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Ya. Jika kamu telah mengerjakan shalat Subuh, janganlah mengerjakan shalat sampai matahari terbit. Jika telah terbit, silakan shalat; sesungguhnya shalat (saat itu) dihadirkan dan diterima sampai matahari tegak di atas kepalamu seperti tombak. Jika matahari tegak di atas kepalamu, sesungguhnya waktu itu neraka Jahannam dinyalakan dan pintu-pintunya di buka sampai matahari bergeser ke sisi kananmu. Jika matahari telah bergeser ke sisi kananmu, silahkan kamu shalat. Sesungguhnya shalat (saat itu) dihadirkan dan diterima sampai kamu shalat Ashar.”[3]
  4. Musa bin Ali meriwayatkan dari ayahnya dari Uqbah bin Amir Al-Juhanni radhiyallahu anhu, katanya,
    “Ada tiga waktu yang kita dilarang melakukan shalat atau mengubur mayat oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika matahari tepat berada di atas sampai tergelincir, dan ketika matahari mulai terbenam sampai terbenam.”[4]
Dari hadist-hadist di atas dapat dipahami bahwa seseorang boleh mengerjakan shalat kapan saja, malam atau pun siang, kecuali waktu-waktu yang terlarang. Waktu-waktu itu adalah:
  1. Saat Syuruq. Yaitu saat matahari mulai dan tampak sampai setinggi tombak. Waktu terlarang ini sekitar 15 menit.
  2. Waktu Zhahirah. Yaitu saat matahari tepat di tengah langit, saat tidak ada bayangan bagi orang yang berdiri. Apabila bayang-bayang sudah mulai terlihat, masuklah waktu Dzuhur dan shalat puun diperkenankan.[5]
  3. Ketika matahari mulai terbenam sampai terbenam seluruhnya. Jika sudah terbenam, masuklah Maghrib dan shalat pun diperkenankan. Wkatu terlarang di saat ini kira-kira 15 menit. Ketiga waktu di atas adalah waktu dilarang shalat sunnah walaupun ada sebabnya. Bahkan larangannya sampai ke tingkatan haram. Atau dalam istilah madzhab Hanafi makruh tahrim. Terutama saat terbit matahari dan saat terbenamnya. Inilah pendapat yang dipegang Umar bin Khaththan, Ummul Mukminin Aisyah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Ibnu Sirin, dan Ibnu Jarir Ath-Thabari.[6]
Ini juga pendapat madzhab Imam Malik bin Anas. Namun Imam Malik bin Anas tidak melarang shalat saat tengah hari. Beliau mengaharamkan shalat sunnah walaupun ada sebabnya di saat matahari terbit dan terbenam.

Adapun menurut para ulama madzhab Hambali dan Hanafi, penulis Al-Mughni mengatakan, “Mengqadha’ shalat sunnah dan mengerjakan shalat sunnah yang memiliki sebab seperti shalat Tahiyatul masjid, shalat Gerhana, dan sujud Tilawah pada waktu-waktu terlarang adalah tidak boleh menurut madzhab (Hambali).” Kemudian beliau menyatakan bahwa ini juga pendapat Ashhabur Ra’yi (madzhab Hanafi). Selanjutnya beliau mengetengahkan pernyataan mereka yang membolehkannya. Lantas beliau menolaknya dengan berkata, “Menurut kami, larangan itu untuk mengharamkan, sementara perintah (mengerjakan amalan sunnah) adalah nadb (sunnah). Meninggalkan yang haram lebih utama daripada mengerjakan yang sunnah. Tentang pernyataan mereka bahwa perintah ini khusus berkenaan dengan shalat, kami katakan: akan tetapi perintah itu umum di sembarang waktu, sementara larangannya khusus di waktu itu. maka larangan ini didahulukan. Dan tidaklah benar mengqiyaskannya dengan qadha’ shalat setelah Ashar; sebab larangan di sini sifatnya lebih ringan.”[7]

Ibnu Sirin telah menyusun ungkapan yang bagus dan ringkas. Dia berkata,
Shalat dimakruhkan pada tiga waktu dan diharamkan pada dua waktu. Dimakruhkan setelah Ashar, setelah Subuh dan di tengah hari saat panas menyengat. Diharamkan ketika matahari mulai terbit sampai benar-benar tampak semuanya dan ketika warnanya memerah sampai benar-benar tenggelam.”[8]


“Apabila matahari muncul, tundalah shalat sampai ia benar-benar tampak. Apabila matahari mulai menghilang, tundalah shalat sampai ia benar-benar terbenam.” [Syahida.com]

Sumber: Sulitkah Shalat Subuh Tepat Waktu? oleh Samir Al-Qarny bin Muhammad
  1. Muslim hadist no. 829.
  2. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabarani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, para periwayatnya adalah para periwayat Ash-Shahih. Demikian disebut di dalam Majma’ Az-Zawaid 2/226.
  3. Ahmad, di dalam Al-Fath Ar-Rabbani 2/ 290, para periwayatnya orang-orang yang tsiqqah.
  4. Mukhtashar Shahih Muslim hadist no. 219, Shahih Sunan An-Nasa’i hadist no. 546, dan Shahih Sunan Ibnu Majah hadist no. 1519.
  5. Waktu larangan shalat sebelum Dzuhur ini sekitar satu atau dua menit.
  6. Di dalam Fath Al-Bari Ibnu Hajar 2/ 359 menulis, “Sebagian ulama membedakan antara larangan shalat setelah Subuh dan Ashar dengan larangan shalat ketika terbitnya matahari dan ketika terbenamnya. Mereka mengatakan, pada waktu dua waktu
  7. Al-Mughni 1/ 758. Di dalam As-Sail Al-Jarrar 1/189 menulis, “Yang lebih tepat adalah meninggalkan Tahiyyatul Masjid pda waktu-waktu larangan. Dan semestinya orang-orang yang berhati-hati dalam agamanya tidak memasuki masjid pada jam-jam itu, dan kalau memasukinya untuk suatu keperluan tidak usahlah duduk disana.” Di dalam Nail Al-Authar 3/ 69 beliau menulis, “Yang terbaik bagi orang yang wara’ adalah tidak masuk masjid di waktu-waktu larangan.” Saya katakan, “Perlu diketahui bahwa Asy-Syaukani termasuk yang mewajibkan Tahiyyatul Masjid.”
  8. ‘Abdur Razzaq meriwayatkan dari Hisyam bin Hissa dari Ibnu Sirin. At-Tamhid 13/82.
Para ulama menyebutkan ada beberapa waktu yang terlarang mengerjakan shalat di dalamnya, waktu- waktu tersebut adalah  :

1. Setelah shalat shubuh hingga matahari agak meninggi.
Setelah waktu shubuh tidak ada shalat sunnah sampai waktu yang dibolehkan, yakni setelah matahari terbit dan agak meninggi. Tingginya matahari sebagaimana di sebutkan di dalam hadits adalah setinggi satu tombak atau dua tombak. Kalau dikira-kira dengan waktu, tingginya matahari yang sudah membolehkan dikerjakannnya shalat adalah 10 menit setelah terbit.

2. Ketika matahari Terbit
Yakni waktu ketika secara kasat mata matahari terlihat sedang proses terbit di ufuk timur .

3. Ketika Matahari tepat berada diatas (istiwa)
Waktu ini adalah ketika matahari posisinya sedang tepat berada di atas langit atau di tengah- cakrawala.

4. Setelah waktu Ashar sampai Matahari terbenam
Tidak ada shalat sunnah setelah dikerjakannya shalat Ashar. Shalat disini adalah shalat Asharnya seseorang yang ia kerjakan, bukan shalat Ashar yang dikerjakan berjama’ah di masjid.

5. Ketika matahari terbenam.
Waktu ini adalah ketika langit di sore hari menguning hingga matahari sempurna terbenam, yakni masuknya waktu maghrib

Keterangan
Sebenarnya 5 waktu terlarangnya mengerjakan shalat yang telah disebutkan diatas, bisa dikatakan 3 waktu saja. Karena nomor 2 tercakup oleh  nomor 1 dan nomor 5 tercakup oleh nomor 4. Sehingga dalam kitab-kitab fiqih kebanyakannya  menyebutkan bahwa waktu yang dilarang untuk shalat itu ada tiga waktu.[1]

Dalil-dalilnya
Penetapan terlarangnya dikerjakan shalat pada waktu-waktu tersebut berdasarkan dalil dalil hadits berikut ini :

عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ  نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْـلُعَ الشَّمْسُ

Dari Abu Hurairah , sesungguhnya Nabi shalallahu’alaihi wassalam melarang shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam dan setelah shalat subuh sampai terbit matahari. (HR. Muslim)

عَنْ عُقْبَةَ ابْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللّهِ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ  أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ. وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ. وَحِينَ تضيّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ

‘Uqbah bin ‘Amir berkata : “Ada tiga waktu di mana Nabi shalallahu’alaihi wassalam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim)

Hukumnya
Hukum mengerjakan shalat pada waktu-waktu tersebut adalah makruh, bukan haram. Berkata al Imam An Nawawi rahimahullah, “Umat sepakat tentang dibencinya shalat yang dikerjakan tanpa sebab pada waktu-waktu terlarang tersebut.[2]

Shalat apa saja yang dilarang ?
Menurut kalangan ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah seluruh shalat sunnah mutlak terlarang dikerjakan kecuali dua rakaat thawaf. Mereka berdalil dengan keumuman larangan yang disebutkan dalam hadits-haditsdiatas.
Sedangkan kalangan mazhab Syafi’iyyah dan mazhab Hanabilah berpendapat bahwa yang dilarang adalah shalat-shalat sunnah yang dikerjakan tanpa sebab. Adapun yang memiliki sebab seperti shalat tahiyatul masjid bagi orang yang masuk masjid, shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu, qadha shalat, gerhana dan semisalnya itu dibolehkan.[3]


Dalil pendapat ini adalah hadits –hadits berikut ini :
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَكَفَّرَةَ لَهَا إِلاَّ ذلِكَ
“Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ingat. Tidak ada kaffarat baginya kecuali (shalat) itu.”  (Mutafaqqun ‘alaih)

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ .
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk hingga shalat dua raka’at.”(Mutafaqqun ‘alaih)

Wallahu a’lam.

Selasa, 09 Juli 2019

Tata cara sholat di perjalanan

Dalam bepergian, ada beberapa keringanan (rukhsah) dalam beribadah yang diberikan oleh agama kita untuk meringankan dan memudahkan pelaksanaannya. Salah satu keringanan tersebut adalah pelaksanan ibadah sholat dengan cara qashar (dipendekkan) dan dengan cara jamak (menggabung dua sholat dalam satau waktu). Dengan demikian pelaksanaan sholat dalam perjalanan, atau disebut “sholatus safar”, dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :
1. Itmam, atau sempurna yaitu dilakukan seperti biasanya saat dirumah.
2. Qashar, yaitu sholat yang semestinya empat rakaat diringkas atau dipendekkan  menjadi dua roka’at.
3. Jama’, yaitu mengumpulkan dua sholat, Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’, dalam salah satu waktunya.
SEMPURNA ATAU QASHAR?
Para ulama berbeda pendapat mengenai manakah yang lebih utama dalam melaksanakan sholat saat bepergian, apakah dengan sempurnya seperti biasa ataukah dengan qashar.
[1]. Pendapat pertama mengatakan qashar shalat saat bepergian hukumnya wajib. Pendapat ini diikuti mazhab Hanafiyah, Shaukani, Ibnu Hazm dan dari ulama kontemporer Albani. Bahkan Hamad bin Abi Sulaiman mengatakan barangsiapa melakukan sholat 4 rakaat saat bepergian, maka ia harus mengulanginya. Imam Malik juga diriwayatkan mengatakan mereka yang tidak melakukan qashar harus mengulangi sholatnya selama masih dalam waktu sholat tersebut.
Pendapat ini menyandar kepada dalil hadist riwayat Aisyah r.a. berkata:”Pada saat pertama kali diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian itu ditetapkan pada shalat bepergian, dan untuk sholat biasa disempurnakan” (Bukhari Muslim). Dalil ini juga diperkuat oleh riwayat Ibnu Umar r.a. beliau berkata:”Aku menemani Rasulullah s.a.w. dalam bepergian, beliau tidak pernahsholat lebih dari dua rakaat sampai beliau dipanggil Allah” (Bukhari Muslim).
Dalil lain dari pendapat ini adalah riwayat Ibnu Abbas r.a. juga pernah berkata:”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan sholat melalui lisan Nabi kalian s.a.w. bahwa untuk orang bepergian dua rakaat, untuk orang yang menetap empat rakaat dan dalam keadaan ketakutan satu rakaat.”(H.R. Muslim).
[2]. Pendapat kedua mengatakan bahwa melakukan sholat dengan cara qashar saat bepergian hukumnya sunnah. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Syafii dan Hanbali dan mayoritas ulama berbagai mazhab.
Dalil pendapat ini adalah ayat al-Qur’an:
“وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا
(Annisa:101).
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Ayat ini dengan jelas menyatakan “tidak mengapa” yang berarti tidak keharusan.
Dalil tersebut juga diperkuat oleh riwayat dari beberapa orang sahabat yang melakukan sholat sempurna pada saat bepergian. Sekiranya qashar wajib, tentu tidak akan ada seorang sahabat yang meninggakannya. Beberapa sahabat yang diriwayatkan tidak melakukan qashar saat bepergian adalah Usman, Aisyah dan Saad bin Abi Waqqas r.a..
Dalil lain adalah bahwa tatkala seorang musafir bermakmum dengan orang yang mukim, maka wajib baginya menyempurnakan sholat mengikuti tata cara shalat imam yang mukim. Imam Syafii mengatakan telah terjadi konsensus (Ijma’) ulama mengenai hal tersebut. Seandainya sholat musafir wajib qashar dan dua rakaat maka tentu sholatnya musafir tadi tidak sah karena melebihi dua rakaat. Ini menunjukan bahwa qashar bukan keharusan, tetapi anjuran atau sunnah.
[3]. Pendapat ketiga mengatakan bahwa makruh hukumnya menyempurnakan sholat saat bepergian dan sangat disunnahkan untuk melakukan qashar. Alasannya, bahwa qashar merupakan kebiasaan Rasulullah s.a.w. dan merupakan sunnah, meninggakan sunnah merupakan perkara makruh. Rasulullah s.a.w. juga mengatakan dalam sebuah hadist yang sangat masyhur:” Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melakukannya sholat”.
CARA SHOLAT QASHAR
Pelaksanaan sholat qashar sama seperti sholat biasa, hanya saja, sholat yang semestinya empat roka’at yaitu dhuhur, ashar, dan isya’, di ringkas menjadi dua roka’at dengan niat qashar pada waktu takbirotul ihram.
Contoh lafadz niat qashar : Usholli fardlod-dhuhri rok’ataini qoshron lillahi ta’ala.
Artinya : saya niat sholat dhuhur dengan diqashar dua roka’at karena Allah.
SYARAT-SYARAT QASHAR
Orang yang sedang bepergian (musafir), diperbolehkan melakukan sholat dengan qashar, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat, seperti bepergian dengan tujuan mencuri, dan lain-lain.
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak kurang lebih 80,64 km. Muslim sahaat Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh, beliau melakukan shalat dua rakaat.
Hadist lain meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:”Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian melakkan qashar pada perjalanan kurang dari empat bard, yaitu dari Makkah ke Usfan”. (H.r. Dar Quthni dari Ibnu Abbas. Hadist ini juga diriwayatkan sebagai statemen Ibu Abbas).
Para ulama pada zaman dahulu memperkirakan jarak tersebut dengan durasi perjalanan selama dua hari menggunakan kuda atau onta. Dan para ulama sekarang memperkirakan sejauh 80,64 km atau dibulatkan 80 km. perbedaan kurang atau lebih sedikit tidak masalah karena al-Qur’an tidak secara jelas memberikan batasan jarak dan hadist-hadist dan perhitungan jarak mil dan farsakh versi lama masih mengalami perbedaan. Imam Syafii sangat ketat memberlakukan hitungan tersebut, yakni harus melebih minimal 80,6 km tidak boleh kurang.
3. Mengetahui hukum diperbolehkannya qashar.
4. Sholat yang di qashar berupa sholat empat roka’at. Yakni Dhuhur, Ashar dan Isya’
5. Niat qashar pada saat takbirotul ihram.
6. Tidak bermakmum/berjama’ah kepada orang yang tidak sedang melakukan qashar sholat.
7. Tidak berniat mukim untuk jangka waktulebih dari tiga hari tiga malam di satu tempat.
Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama seorang musafir masih diperbolehkan melakukan qashar ketika transit di satu tempat. Mayoritas ulama dan mazhab empat kecuali Hanafi mengatakan maksimum transit yang diperbolehkan melakukan qashar adalah tiga hari. Kalau seorang musafir menetap di satu tempat telah melebihi tiga hari maka ia tidak boleh lagi melakukan qashar dan harus menyempurnakan sholat. Pendapat kedua diikuti imam Hanafi dan Sofyan al-Tsauri mengatakan maksimum waktu transit yang dipernolehkan jama’ adalah 15 hari. Pendapat ketiga diikuti sebagian ulama Hanbali dan Dawud mengatakan maksimum 4 hari.
JAMA’ SHOLAT (MENGGABUNG DUA SHOLAT)
Menjama’ sholat adalah melakukan sholat Dhuhur dan Ashar dalam salah satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut, atau melaksanakan sholat Maghrib dan Isya’ dalam salah satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut. Maka sholat dengan cara jama’ ada dua macam:
1. Jama’ taqdim. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu dhuhur, atau sholat maghrib dan sholat isya’ dalam waktu maghrib.
2. Jama’ ta’khir. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu ashar, atau sholat maghrib dan sholat isya’ dalam waktu isya’.
HUKUM JAMA’
Banyak yang beranggapan bahwa jama’ merupakan ketentuan yang tidak terkait dengan qashar. Sejatinya kedua cara sholat ini tidak ada kaitannya dan mempunyai ketentuan sendiri-sendiri, hanya saja sering keduanya dilaksanakan secara bersamaan. Jadi melakukan qashar sholat dan sekaligus melakukan jama’. Sholat seperti itu disebut jama’ qashar.
Para ulama melihat bahwa ketentuan jama’ lebih longgar dibandingkan dengan qashar. Qashar boleh dilakukan pada kondisi tertentu dan sesuai aturan dan syarat di atas, tetapi jama’ mempunyai ketentuan yang tidak seketat ketentuan di atas.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai diperbolehkannya jama’ sholat. Mayoritas ulama mengatakan jama’ sholat hukumnya boleh dan merupakan hak musafir. Karena hukumnya boleh maka seorang musafir boleh malakukan jama’ dan boleh tidak melakukannya. Melakukannya dengan keyakinan mengikuti Rasululah s.a.w. adalah kesunahan.
Dalil-dalil yang menunjukkan dipebolehkannya jama’ adalah antara lain:
[1]. Hadist riwayat Bukhari dari Anas bin Malik r.a. belaiau berkata bahwa Rasulullah s.a.w menggabung sholat Maghrib dan Isya’ pada saat bepergian.
[2]. Hadist riwayat Muslim dari Muadz beliau berkata: kami bepergian bersama Rasulullah s.a.w. untuk perang Tabuk, beliau melakukan sholat Dhuhur dan Ashar secara digabung dan begitu juga dengan sholat Maghrib dan Isya’.
[1] hadist Anas bin Malik r.a.: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sebelum matahari condong ke barar, beliau mengakhirkan sholat dhuhur di waktu ashar, lalu beliau berhenti dan sholat keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk waktu sholat maka beliau sholat dulu lalu memulai perjalanan”. (h.r. Bukhari Muslim).
[2] Hadist Ibnu Umar r.a. berkata: suatu hari aku dimintai pertolongan oleh salah satu keluarganya yang tinggal jauh sehingga beliau melakukan perjalanan, beliau mengakhirkan maghrib hingga waktu isya’ kemudian berhenti dan melakukan kedua sholat secara jama’, kemudian beliau menceritakan bahwa itu yang dilakukan Rasulullah s.a.w. ketika menghadapi perjalanan panjang.
Kedua hadist di atas juga dijadikan landasan diperbolehkannya jama’ taqdim, yaitu melakukan kedua pasangan sholat di atas dalam waktu pertama.
[3]. Hadist Muadz r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. pada waktu perang Tabuk, manakala beliau meulai perjalanan setelah Maghrib, beliau memajukan Isya’ dan melaksanakannya di waktu sholat maghrib. (h.r. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menghasankan hadist ini).
Sebagian ulama dari kelompok ini mengatakan bahwa yang utama bagi musafir yang sedang dalam perjalanan adalah melakukan jama’. Sedangkan musafir yang melakukan transit atau stop over lebih utama melakukan sempurna. Yang jelas dengan semangat mengikti sunnah Rasulullah s.a.w. maka kita mengikuti yang paling mudah dan meringankan sejauh itu tidak dosa. Rasulullah s.a.w. tidak pernah disodori dua pilihan kecuali mengambil yang paling mudah selama itu tidak dosa, kalau itu dosa maka beliau yang paling gigih menjauhinya (h.r. Bukhari dan Muslim).
Pendapat kedua adalah yang diikuti imam Ibu Hanifah atau mazhab Hanafi mengatakan bahwa sholat jama hanya boleh dilakukan pada hari Arafah untuk para jamaah haji, yaitu jama’ taqdim, dan jama’ ta’kir pada malam Muzdalifah. Alasan pendapat ini bahwa riwayat-riwayat yang menceritakan waktu-waktu sholat adalah hadist mutawaatir (diriwayatkan banyak orang), sedangkan hadist yang meriwayatkan jama’ selain di waktu haji adalah hadist Ahad (personal), hadist yang mutawatir tidak bisa ditinggalkan dengan hadist ahad. Pendapat ini juga melandaskan pada riwayat Ibnu Mas’ud r.a. beliau berkata: “Demi Dzat yang tidak ada tuhan lain yang menyekutuinya, Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukan sholat kecuali pada waktunya kecuali dua sholat, yaitu beliau melakukan jama’ (taqdim) dhuhur dan ashar di Arafah dan jama’ (ta’khir) maghrib dan isya di Muzdalifah” (h.r. Bukhari Muslim).
CARA JAMA’ TAQDIM
Yang dimaksud dengan sholat jama’ taqdim adalah, melakukan sholat ashar dalam waktunya sholat dhuhur, atau melakukan sholat isya’ dalam waktunya sholat maghrib. Sholat shubuh tidak dapat dijama’ dengan sholat isya’. Pelaksanaan sholat dengan jama’ taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dilakukan dengan cara, setelah masuk waktu dhuhur, terlebih dahulu melakukan sholat dhuhur, dan ketika takbirotul ihram, berniat menjama’ sholat dhuhur dengan ashar.
Contoh :
Usholli fardlod-dhuhri jam’an bil ‘ashri taqdiman lillahi ta’ala.
Artinya : “Saya berniat sholat dhuhur dengan dijama’ taqdim dengan ashar karena Allah”
Niat jama’ taqdim, dapat juga dilakukan di tengah-tengah sholat dhuhur sebelum salam, dengan cara berniat didalam hati tanpa diucapkan, menjama’ taqdim antara ashar dengan dhuhur.
Kemudian setelah salam dari sholat dhuhur, cepat-cepat melakukan sholat ashar. Demikian juga cara sholat jama’ taqdim antara sholat maghrib dengan sholat isya’, sama dengan cara jama’ taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dan lafadz dhuhur diganti dengan maghrib, lafadz ashar diganti dengan isya’.
Jika sholat jama’ taqdim dilakukan dengan qashar, maka sholat yang empat raka’at, yaitu dhuhur, ashar, dan isya’, diringkas menjadi dua rokaat. Contoh niat jama’ taqdim serta qashar:
Usholli fardlod-dhuhri rok’ataini jam’an bil ‘ashri taqdiman wa qoshron
lillahi ta’ala
Artinya : “Saya berniat sholat dhuhur dua roka’at dengan dijama’ taqdim dengan ashar dan diqashar karena Allah “
SYARAT-SYARAT JAMA’ TAQDIM
Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan sholat jama’ taqdim, dengan syarat sebagai berikut :
1. Bukan berpergian maksiat .
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama’ taqdim dalam sholat yang pertama ( Dhuhur / Maghrib).
4. Tartib, yakni mendahulukan sholat dhuhur sebelum sholat ashar dan mendahulukan sholat maghrib sebelum sholat isya’.
5. Wila, yakni setelah salam dari sholat pertama, segera cepat-cepat melakukan sholat kedua, tenggang waktu anatara sholat pertama dengan sholat kedua, selambat-lambatnya, kira-kira tidak cukup untuk mengerjakan dua roka’at singkat.
CARA JAMA’ TA’KHIR
Yang dimaksud dengan jama’ ta’khir adalah, melakukan sholat dhuhur dalam waktunya sholat ashar, atau melakukan sholat maghrib dalam waktunya sholat, isya’. Sholat shubuh tidak dapat dijama’ dengan sholat dhuhur. Pelaksanaan sholat jama’ ta’khir antara sholat dhuhur dan ashar, dilakukan dengan cara, apabila telah masuk waktu dhuhur, maka dalam hati niat mengakhirkan sholat dhuhur untuk dijama’ dengan sholat ashar dalam waktu sholat ashar. Kemudian setelah masuk waktu ashar, melakukan sholat dhuhur dan sholat ashar seperti biasa tanpa harus mengulangi niat jama’ ta’khir. Demikian juga cara melakukan jama’ ta’khir sholat magrib dengan sholat isya’. Ketika masuk waktu maghrib berniat dalam hati mengakhirkan sholat maghrib untuk di jama’ pada waktu sholat isya’.
SYARAT-SYARAT JAMA’ TA’KHIR
Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan jama’ ta’khir apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat.
2. Jarak yang ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama’ ta’khir didalam waktu dhuhur atau waktu maghrib.
KONDISI DIPERBOLEHKAN MELAKUKAN JAMA’
Ketentuan jama’ dan atas adalah mengacu kepada pendapat mazhab Syafii. Berikut ini adalah kondisi-kondisi yang diperbolehkan melakukan sholat dengan jama’ dari berbagai mazhab:
1. Perjalanan panjang lebih dari 80,64km (Syafii dan Hanbali).
2. Perjalanan mutlak meskipun kurang 80km (Maliki).
3. Hujan lebat sehingga menyulitkan melakukan sholat berjamaah khusus untuk sholat maghrib dan isya’ (Maliki, Hanbali). Termasuk kategori ini adalah jalan yang becek, banjir dan salju yang lebat. Mazhab Syafii untuk kondisi seperti ini hanya memperbolehkan jama’ taqdim. Dalil dari pendapat ini adalah hadist Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. sholat bersama kita di Madina dhuhur dan ashar digabung dan maghrib dan isya’ digabung, bukan karena takut dan bepergian” (h.r. Bukhari Muslim).
4. Sakit (menurut Maliki hanya boleh jama’ simbolis, yaitu melakukan solat awal di akhir waktunya dan melakukan sholar kedua di awal waktunya. Menurut Hanbali sakit diperbolehkan menjama’ sholat).
5. Saat haji yaitu di Arafah dan Muzdalifah.
6. Menyusui, karena sulit menjaga suci, bagi ibu-ibu yang  anaknya masih kecil dan tidak memakai pampers (Hanbali).
7. Saat kesulitan mendapatkan air bersih (Hanbali).
8. Saat kesulitan mengetahu waktu sholat (Hanbali).
9. Saat perempuan mengalami istihadlah, yaitu darah yang keluar di luar siklus haid. (Hanbali). Pendapat ini didukung hadist Hamnah ketika meminta fatwa kepada Rasulullah s.a.w. saat menderita istihadlah, Rasulullah s.a.w. bersabda:”Kalau kamu mampu mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar, lalu kamu mandi dan melakukan jama’ kedua sholat tersebut maka lakukanlah itu” (h.r. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi.
10. Karena kebutuhan yang sangat mendesak, seperti khawatir keselamatan diri sendiri atau hartanya atau darurat mencari nafkah dan seperti para pekerja yang tidak bisa ditinggal kerjaannya. (Hanbali).
Para pekerja di kota-kota besar yang pulang dengan tansportasi umum setelah sholat ashar sering menghadapi kondisi sulit untuk melaksanakan sholat maghrib secara tepat waktu karena kendaraan belum sampai di tujuan kecuali setelah masuk waktu isya’, sementara untuk turun dan melakukan sholat maghrib juga tidak mudah. Pada kondisi ini dapat mengikuti mazhab Hanbali yang relatif fleksibel memperbolehkan pelaksanaan sholat jama’. Menurut mazhab Hanbali asas diperbolehkannya qashar sholat adalah karena bepergian jauh, sedangkan asas diperbolehkannya jama’ adalah karena hajah atau kebutuhan. Maka ketentuan jama’ lebih fleksibel dibandingkan dengan ketentuan qashar.
SHOLAT DI ATAS KENDARAAN
Pelaksanaan sholat di atas kendaraan pesawat, sama seperti sholat ditempat lainnya. Jika dimungkinkan berdiri, maka harus dilakukan dengan berdiri, ruku’ dan sujud dilakukan seperti biasa dengan menghadap qiblat. Namun jika tidak bisa dilakukan dengan berdiri, maka boleh sholat dengan duduk dan isyarat untuk sholat sunnah. Sedangkan untuk sholat fardlu maka ruku-rukun sholat seperti ruku’ dan sujud, mutlak tidak boleh ditinggalkan. Sholat fardlu yang dilaksanakan di atas kendaraan sah manakala memungkinkan melakukan sujud dan ruku’ serta rukun-rukun lainnya. Itu dapat dilakukan di atas pesawat atau kapal api yang mempunyai ruangan atau tempat yang memungkinkan melakukan sholatg secara sempurna. Apabila tidak memungkinkan melakukan itu, maka sholat fardlu sambil duduk dan isyarat bagi orang yang sehat tidak sah dan harus diulang. Demikian pendapat mayoritas ulama.
Pendapat ini dilandaskan kepada hadist-hadist berikut:
[1]. Dalam hadist riwayat Bukhari dari Ibnu Umar r.a. berkata:”Rasulullah s.a.w. melakukan sholat malam dalam bepergian di atas kendaraan dengan menghadap sesuai arah kendaraan, beliau berisayarat (ketika ruku’ dan sujud), kecuali sholat-sholat fardlu. Beliau juga melakukan sholat witir di atas kendaraan.
[2].Hadist Bukhari yang lain dari Salim bin Abdullah bin Umar r.a. berkata:”Abdullah bin Umar pernah sholat malam di atas kendaraannya dalam bepergian, beliau tidak peduli dengan arah kemana menghadap. Ibnu Umar berkata:”Rasulullah s.a.w. juga melakukan sholat di atas kendaraan dan menghadap kemana kendaraan berjalan, beliau juga melakukan sholat witir, hanya saja itu tidak pernah dilakukannya untuk sholat fardlu”.
Bagaimana melaksanakan sholat fardlu di atas kendaraan yang tidak memungkinkan memenuhi rukun-rukun sholat?  Terdapat dua cara, yaitu:
[1] Melakukan sholat untuk menghormati waktu (lihurmatil wakti) dengan sebisanya, misalnya sambil duduk dan isyarat. Sholat seperti ini wajib diulang (I’adah), setelah menemukan sarana dan prasarana melaksanakan sholat fardlu secara sempurna
Cara melakukan sholat lihurmatil waqti, sama seperti melakukan sholat biasa, hanya saja, bagi yang sedang berhadats besar, seperti junub, dicukupkan dengan hanya membaca bacaan yang wajib-wajib saja, tidak boleh membaca surat-suratan setelah bacaan fatihah.
ANTARA WUDLU DAN TAYAMMUM
Saat bepergian atau di atas kendaraan, untuk melaksanakan sholat terkadang mengalami kendala sulitnya mencari air. Maka pada saat tidak menemukan air untuk berwudlu, atau ada air, namun oleh pemilik air tidak diperbolehkan digunakan berwudlu’, seperti ketika berada didalam pesawat, oleh petugas tidak diperbolehkan menggunakan air untuk berwudlu’, karena dikhawatirkan dapat mengganggu sistem pesawat, sehingga dikhawatirkan membahayakan keselamatan para penumpang. Maka dalam kondisi ini diperbolehkan tayammum, yaitu bersuci dengan debu.
Pada saat dimana juga tidak terdapat sarana untuk bertayamum, seperti debu, maka sholatnya dapat dilakukan dengan cara di atas.
QADLA SHOLAT YANG TERTINGGAL SAAT BEPERGIAN
Apabila kita bepergian dan karena satu dan lain hal kita terpaksa meninggalkan sholat atau tidak mungkin melakukan sholat, maka kita wajib melakukan qadla atas sholat yang kita tinggalkan tersebut. Qadla artinya melakukan sholat di luar waktu seharusnya.
Untuk sholat yang ditinggalkan saat bepergian jauh, qadla juga dapat dilaksanakan dengan qashar sesuai ketentuan qashar di atas, asalkan masih dalam kondisi bepergian dan belum sampai di tempat tujuan atau tempat bermukim, atau telah kembali di rumah. Maka apabila kita ingin melakukan qadla shalat yang tertinggal dalam bepergian, hendaknya melakukannya pada saat masih dalam perjalanan dan sebelum sampai di rumah, sehingga kita masih mendapatkan dispensasi melakukan qashar.
Apabila kita melakukan qadla shalat yang tertinggal di perjalanan tadi telah sampai di tempat tujuan untuk bermukim lebih dari tiga hari, atau setelah kita sampai di rumah, maka kita tidak lagi mendapatkan dispensasi qashar dan harus melaksanakannya dengan sempurna. Alasannya adalah karena keringanan qashar diberikan saat bepergian dan saat itu kita bukan lagi musafir maka wajib melaksanakan sholat secara sempurna.
BATAS MULAI DIPERBOLEHKAN MENGAMBIL KERINGANAN
Batas mulai diperbolehan jamak dan qashar adalah pada saat musafir telah melewati batas desanya. Begitu juga batas akhir mulai tidak diperbolehkan melakukan qashar atau jamak bagi seorang musafir adalah pada saat mulai memasuki batas desa dimana dia akan tinggal atau bermukim. Kalau anda melakukan qashar dan jamak takhir saat  perjalanan pulang, hendaknya melakukannya sebelum masuk batas desa anda. Kalau anda terlanjur masuk desa tersebut, maka anda tidak lagi berhak atas keringanan seperti jamak atau qashar.
Semoga bermanfaat. Artikel ini disarikan dari berbagai sumber kitab kuning
Disusun Oleh Ustadz Muhammad Niam