Selasa, 12 Februari 2019

Jangan salah pilih Teman

Nabi bersabda, "Tahukah kalian siapa sebenarnya orang yang bangkrut?" Para sahabat menjawab, "Orang yang bangkrut menurut pandangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham (uang) dan tidak memiliki harta benda". Kemudian Rasulullah berkata, "Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari Kiamat membawa pahala shalat, pahala puasa dan zakatnya, (tapi ketika hidup di dunia) dia mencaci orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain (secara bathil), menumpahkan darah orang lain (secara bathil) dan dia memukul orang lain, lalu dia diadili dengan cara kebaikannya dibagi-bagikan kepada orang ini dan kepada orang itu (yang pernah dia zhalimi). Sehingga apabila seluruh pahala amal kebaikannya telah habis, tapi masih ada orang yang menuntut kepadanya, maka dosa-dosa mereka yang didzalimi ditimpakan kepadanya, dan pada akhirnya dia dilemparkan kedalam neraka(Shahih Muslim No.4678, Tirmidzi No. 2342)  

Siapakah kira-kira yang dimaksud ‘orang lain’ yang disebut dalam hadits tersebut? Apakah mungkin mereka itu orang yang tinggalnya jauh dari kita.? Misalnya anda yang tinggal di Indonesia, maka ‘orang lain’ yang dimaksud Rasulullah adalah Mr. Smith di Amerika Serikat, atau Nakamura-san di Tokyo, Mr. Mugabe di Afrika..? Lalu kapan adanya kesempatan kita berinteraksi dengan mereka sehingga memunculkan kedzaliman dan sikap menyakiti..?. Bagaimana mungkin bisa dikatakan kita melakukan dosa padahal kenalpun tidak..?. 



Maka ‘orang lain’ yang dimaksud oleh hadist tersebut pastilah orang-orang terdekat kita. Anda tahu siapa mereka..? mereka adalah keluarga kita, istri atau suami, anak-anak, orang-tua, saudara, tetangga kiri dan kanan, jamaah masjid, rekan sekantor, teman sekolah, karyawan dan anak buah kita, itulah ‘orang lain’ yang bisa menyeret kita ke neraka akibat kedzaliman yang kita lakukan terhadap mereka. 


Boleh dikatakan dalam melakukan interaksi sesama manusia, kita hampir tidak pernah luput dari sikap saling menyakiti, dalam suatu waktu kita berdamai satu sama lain, pada kesempatan lain muncul konflik, kemarahan dan diikuti sikap saling menyerang. Kedzaliman biasa dilakukan oleh pihak yang lebih berkuasa, lebih kaya, lebih bertenaga, namun pada satu kondisi bisa juga dilakukan oleh rakyat jelata, orang tidak berpunya, bawahan, anak buah. Kedzaliman misalnya muncul dari tukang becak ataupun sopir angkot yang sengaja memacetkan jalanan, atau bawahan yang malas tidak mau menjalankan tugas dan kewajiban, dll, yang berakibat menyakiti dan menyusahkan orang lain. 


Tentu saja potensi kedzaliman lebih banyak berasal dari pihak yang berkuasa, berharta dan memiliki tenaga terhadap pihak sebaliknya. 


Kedzaliman juga tidak hanya berbentuk kekerasan dan penindasan saja, kelalaian orang-tua dalam mendidik anak untuk taat kepada Allah juga termasuk kedzaliman. Apakah anda bisa membayangkan ketika di akherat kelak seorang anak yang ‘divonis’ masuk neraka karena banyak melakukan dosa dan maksiat, dia akan memprotes :”Saya begini karena tidak pernah dididik oleh orang-tua saya, dia hanya memikirkan keselamatannya sendiri, menjadi orang saleh sendiri, ke masjid sendiri tanpa mengajak dan mengingatkan saya..”, atau protes datang dari tetangga anda yang dihukum karena suka bermaksiat tanpa pernah kita ingatkan dan cegah..? 


Kita juga jangan menyangka, bahwa di akherat kelak, antara anak dan orang-tua, antar saudara akan saling membantu ‘bahu-membahu’ agar luput dari siksaan neraka, Allah menginformasikan : 


QS Al-Mu’minun (23):101 Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. 


Jangankan antara keluarga dan saudara, bahkan antara pikiran kita dengan anggota tubuh kita saja tidak ada lagi koordinasi dalam bersaksi tentang perbuatan kita selama di dunia : 


QS Yaasin (36):65 Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. 

  
Kedzaliman terhadap sesama manusia hanya bisa dihapus dengan saling memaafkan, dan kesempatan itu hanya ada dalam kehidupan di dunia saja. Di akherat sudah tidak ada lagi ‘mekanisme’ saling memaafkan karena semua sudah dicatat dan ‘dipatenkan’, lalu semua fakta akan dihakimi dengan seadil-adilnya. Jangan bersikap ‘pede’ dengan mengatakan :”Biar saja, saya tidak perlu meminta maaf, karena dia juga pernah mendzalimi saya..”, sebab boleh jadi nanti di pengadilan Allah, kedua pihak justru akan saling tarik-menarik untuk masuk ke neraka. Maka bersegeralah untuk saling memaafkan selagi masih ada waktu. 


Jadi pernahkan anda membayangkan bahwa ternyata ‘orang lain’ yang berpotensi menyeret anda ke neraka tidak datang dari tempat yang jauh, melainkan pasangan hidup, anak-anak, orang-tua, tetangga, rekan kantor, teman sekolah, bawahan, jemaah masjid, yaitu mereka yang sering berinteraksi dengan kita? 


Pada suatu keadaan, ketika orang lain yang kita dzalimi tersebut terlebih dahulu meninggalkan kita, maka kemalangan sebenarnya ada pada pihak yang masih hidup. Pada umumnya orang yang ditinggalkan dengan mudah memberikan maaf terhadap orang yang sudah mati, namun sebaliknya, bagaimana bisa si mati punya kesempatan untuk memaafkan yang hidup..? Maka kedzaliman anda yang belum termaafkan itu mau tidak mau akan anda bawa ke liang kubur. 


Untuk kondisi seperti ini, Al-Qur’an menyatakan bahwa kita masih diberi kesempatan untuk bisa ‘mengimbangi’ dosa kedzaliman yang belum sempat dimaafkan tersebut : 


QS An-Nur (24):22 Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, 


Memaafkan kedzaliman orang lain terhadap kita tanpa menunggu mereka memintanya, merupakan perbuatan baik yang bisa menghapus dosa kedzaliman kita yg belum sempat termaafkan. Maka bersegeralah untuk memberi maaf dengan hati yang tulus, berlapang dada untuk tidak lagi mengingat sikap orang yang yang telah memunculkan dendam dan sakit hati, bahkan mendo’akan mereka agar tidak menerima akibat atas kelakuan tersebut. Jangan mempunya sikap :”Buat saya sih sudah tidak ada masalah, saya sudah menganggap urusannnya selesai”, namun sikap kita terhadap orang tersebut tetap saja dipengaruhi dendam dan sakit hati, tidak tulus dan berbaik sangka, itu bukanlah suatu pemaafan yang berguna. Sebaiknya kita berusaha meniru sikap Rasulullah, ketika beliau dianiaya oleh kaum kafir, lalu Allah mengutus malaikat, bersiap mengikuti perintah apa saja yang akan dikeluarkan beliau untuk menghukum kaum tersebut, Rasulullah malah berkata :”Yaa Allah, ampunilah perbuatan mereka karena mereka sama sekali tidak mengerti apa yang telah mereka lakukan..”. 


Meminta maaf dan memaafkan, sekali lagi, hanya merupakan kesempatan yang diberikan Allah di dunia saja, maka apa gunanya dendam dan sakit hati harus anda pelihara sampai ke liang kubur..?? apa manfaat nya bagi anda..?? Sama sekali tidak ada.., bersegeralah melakukannya dengan tulus, datangi orang-orang terdekat anda, hapus segala ganjalan dihati, do’akan keselamatan untuk mereka, karena keselamatan mereka bisa menjadi keselamatan anda juga.

Senin, 11 Februari 2019

Sahabat jadi syafa'at

Apalah arti sahabat akrab yang mengenyam suka duka bersama di dunia, namun nantinya menjadi musuh satu sama lain di akhirat, sebagaimana keadaan yang dikabarkan oleh Allah dalam firman-Nya,

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”. (Az Zukhruf: 67)

Seorang mukmin memandang bahwa persahabatan yang manfaat adalah sahabat yang terikat oleh iman, pergaulan yang terjadi demi takwa yang makin menguat dan agar lebih mudah merealisasikan taat. Inilah yang disebut dengan persaudaraan iman, meski tak ada hubungan nasab di antara mereka. Bahkan sejatinya, persaudaraan iman lebih manfaat dan lebih langgeng dari persaudaraan karena hubungan nasab yang tidak dibingkai oleh iman.

Orang-orang yang memiliki hubungan nasab, ketika di dunia saling mengasihi, saling membela dan terjalin hubungan yang harmonis, bisa jadi di akhirat kelak masing-masing akan saling cuek dan tidak memikirkan satu sama lain. Mereka akan saling berlepas diri sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

“Apabila datang hari Kiamat, Allah mengumpulkan manusia-manusia generasi awal hingga yang paling akhir, lalu ada seruan, “Siapa yang pernah dizhalimi silakakan mendatangi orang yang menzhalimi utuk mengambil haknya.  Lalu seseornag merasa gembira ketika masih ada hak yang belum ditunaikan oleh orang tuanya, anaknya, istrinya mau dia menuntutnya meski sekecil apapun, hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

“Apabila telah ditiup  sangkakala itu, samasekali tak ada hubungan keturunan di antara mereka lagi ketika itu, dan tidak pula akan sempat tanya bertanya.” (QS al-Mukminun 101)

Adapun sahabat, ketika terjalin hubungan dan keakraban dalam rangka taat kepada Allah, faidahnya bisa dirasakan hingga hari Kiamat.

BACA JUGA : Santun Tersandang, Neraka Terhalang

Jenis amal berupa saling mencintai karena Allah sendiri memiliki keutamaan agung. Di mana Allah akan menaungi mereka di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yakni di makhsyar yang sangat panas oleh terik matahari yang didekatkan di atas kepala manusia dengan jarak satu mil saja.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلَالِي الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلِّي

“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman pada hari kiamat kelak, “Mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Aku naungi mereka dalam naungan-Ku, di mana tidak ada naungan pada hari ini selain naungan-Ku.” (HR Muslim)

Orang yang saling mencintai karena Allah juga menempati derajat yang tinggi di jannah. Tidak tanggung-tanggung, para Nabi dan para syuhada’ bahkan takjub dengan keadaan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada orang-orang yang meskipun bukan golongan para nabi, namun para nabi dan juga para syuhada takjub dengan keadaan mereka. Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam ditanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah, agar kami bisa mencintai mereka. Beliau bersabda,

إِنَّ مِنْ عِباَدِ اللهِ عِباَداً لَيْسُوْا بِأَنْبِياَءِ ، يَغْبِطهُمُ اْلأَنْبِياَءِ وَالشُّهَدَاءُ ، قِيْلَ  مَنْ هُمْ لَعَلَّناَ نُحِبُّهُمْ ؟ قاَل  هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِنُوْرِ اللهِ مِنْ غَيْرِ أَرْحَامٍ وَلاَ انْتِسَابٍ ، وُجُوْهُهُمْ نُوْرٌ عَلَى مَناَبِرَ مِنْ نُوْرٍ ، لاَ يَخَافُوْنَ إِذاَ خَافَ الناَّسُ، وَلاَ يَحْزَنُوْنَ إِذَا حَزِنَ الناَّسُ

“Mereka adalah orang saling mencintai karena Allah, meski tak ada hubungan rahim maupun nasab. Wajah-wajah mereka bercahaya, berada di mimbar-mimbar yang bercahaya, mereka tidak takut pada saat orang-orang ketakutan dan ereka tidaklah bersedih di saat orang-orang bersedih.” (HR Ibnu Hibban dengan sanad yang bagus)



Syafaat di Hari Kiamat

Tidak hanya jenis amalnya yang memiliki keutamaan, bahkan seorang teman ataupun sahabat, sebagaimana di dunia saling menolong dalam taat, saling cegah dalam hal maksiat, maka kelak seorang sahabat bisa memberikan syafaat di akhirat. Karena itulah Imam Hasan al-Bashri menasehatkan, ”Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka bisa memberi syafaat (pertolongan) pada hari klamat.”

Dalam sebuah momen,  Ibnul al-Jauzi juga pernah berkata kepada para sahabat dan murid-muridnya, ”Jika kalian kelak tidak menemukan aku di surga bersama kalian, maka tanyakanlah tentang aku kepada Allah. Ucapkan, “Wahai Rabb kami, hambaMu fulan, dulu dia pernah mengingatkan kami untuk mengingat Engkau.” Lalu beliau menangis, semoga Allah merahmati beliau.

Tentang syafaat seorang sahabat ini, Abu Said al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits yang panjang, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda tentang syafaat di hari kiamat,

Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah  untuk  memperjuangkan hak saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon, “Wahai Rabb kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji. Lalu dikatakanm, “Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka. Orang-orang mukmin itupun mengeluarkan banyak saudaranya yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya.” (HR Muslim)

Jika ada pertanyaaan, tidakkah hadits ini bertentangan dengan firman Allah,

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm: 39)

Jawabannya adalah tidak. Karena ketika seseorang beramal dalam bentuk saling mencintai dan bersahabat karena Allah, maka di antara hasilnya adalah ia berhak mendapatkan syafaat dari sahabatnya.

Sahabat yang bermanfaat bukanlah orang yang selalu membuat kita senang, bukan pula orang yang mendukung apapun yang kita putuskan. Akan tetapi sahabat yang baik adalah yang mau mengingatkan saat kita alpha, yang membantu kita untuk taat kepada Pencipta, mencegah kita dari perbuatan nista, dan bersedia tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.

Bayangkan, betapa beruntungnya dan bahagianya seseorang yang memiliki banyak teman orang-orang sholih. Yang mengingatkan untuk shalat berjamaah di masjid, mengajari tilawah Al-Qur’an, mengajak menghadiri majelis ilmu, dan menasehatinya dalam kebaikan.

Jika kita mendapatkan teman semisal ini, maka pertahankanlah ia, dan janga sampai lepas dari kita. Sebagaimana nasihat Imam asy-Syafi’I, “Jika engkau punya sahabat membantumu untuk taat, maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskan ia. Alangkah susahnya mencari teman yang baik, dan betapa mudah lepasnya.”

Pun demikian, seshalih apapun seorang sahabat, pasti memiliki kekurangan, sebagaimana diri kita juga memiliki kekurangan. Jangan sampai kekhilafan dan sedikit cela menyebabkan kita menjauhi sahabat, karena tidak ada manusia yang tanpa cela. Alangkah indahnya nasihat Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Barangsiapa mencari teman yang tanpa cela, niscaya ia akan hidup sendiri tanpa teman.”
Persahabatan itu butuh untuk saling menasehati, menjaga adab yang menjadi sebab kelanggengan dan mudah memaafkan demi kelangsungan sebuah persaudaraan. Jangan berpikir akan mendapatkan seorang teman yang tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Jangan pula mudah terhasut oleh desas desus orang yang membuat retak persaudaraan. Abu Qilabah rahimahullah berkata,

“Jika sampai kepadamu suatu berita yang tidak suka dari saudaramu, maka carikanlah udzur/alasan, jika engkau tidak mendapatkan udzur/alasan untuknya, maka katakanlah, mungkin saja dia memiliki alasan yang aku tidak ketahui.” Sedangkan maksud mencarikan alasan adalah berprasangka baik dengan mengedepankan kemungkinan positif. Semoga Allah memperbanyak sahabat yang membantu kita untuk taat, dan kelak menjadi syafaat pada hari Kiamat, aamiin. (Abu Umar Abdillah)

Dikutip dari

Ilmu dulu atau adab dulu

Terlalu banyak menggeluti ilmu diin sampai lupa mempelajari adab. Lihat saja sebagian kita, sudah mapan ilmunya, banyak mempelajari tauhid, fikih dan hadits, namun tingkah laku kita terhadap orang tua, kerabat, tetangga dan saudara muslim lainnya bahkan terhadap guru sendiri jauh dari yang dituntunkan oleh para salaf.

Coba lihat saja kelakuan sebagian kita terhadap orang yang beda pemahaman, padahal masih dalam tataran ijtihadiyah. Yang terlihat adalah watak keras, tak mau mengalah, sampai menganggap pendapat hanya boleh satu saja tidak boleh berbilang. Ujung-ujungnya punya menyesatkan, menghizbikan dan mengatakan sesat seseorang.

Padahal para ulama sudah mengingatkan untuk tidak meninggalkan mempelajari masalah adab dan akhlak.

Namun barangkali kita lupa?

Barangkali kita terlalu ingin cepat-cepat bisa kuasai ilmu yang lebih tinggi?

Atau niatan dalam belajar yang sudah berbeda, hanya untuk mendebat orang lain?

Pelajarilah Adab Sebelum Mempelajari Ilmu

Ketahuilah bahwa ulama salaf sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak. Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,

بالأدب تفهم العلم

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Guru penulis, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”

Oleh karenanya, para ulama sangat perhatian sekali mempelajarinya.

Ibnul Mubarok berkata,

تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين

“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Ibnu Sirin berkata,

كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم

“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”

Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,

نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث

“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.

Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,

ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه

“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” –

Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,

تعلم من أدبه قبل علمه

“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”

Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, itulah yang kurang dari kita saat ini. Imam Abu Hanifah berkata,

الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ

“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al Madkhol, 1: 164)

Di antara yang mesti kita perhatikan adalah dalam hal pembicaraan, yaitu menjaga lisan. Luruskanlah lisan kita untuk berkata yang baik, santun dan bermanfaat. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,

من عدَّ كلامه من عمله ، قلَّ كلامُه إلا فيما يعنيه

“Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan sedikit bicara kecuali dalam hal yang bermanfaat” Kata Ibnu Rajab, “Benarlah kata beliau. Kebanyakan manusia tidak menghitung perkataannya dari amalannya” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 291).

Yang kita saksikan di tengah-tengah kita, “Talk more, do less (banyak bicara, sedikit amalan)”.

Berbeda Pendapat Bukan Berarti Mesti Bermusuhan

Sungguh mengagumkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata,

يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ

“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).

Berdoalah Agar Memiliki Adab dan Akhlak yang Mulia

Dari Ziyad bin ‘Ilaqoh dari pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ

“Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [artinya: Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)

Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya,

اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ

“Allahummahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdi li-ahsanihaa illa anta, washrif ‘anni sayyi-ahaa, laa yashrif ‘anni sayyi-ahaa illa anta [artinya: Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau].” (HR. Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Tholib)

أسأل الله أن يزرقنا الأدب وحسن الخلق

Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar mengaruniakan pada kami adab dan akhlak yang mulia.

Dikutip dari https://muslim.or.id

Sabar dan nikmati prosesnya

Hijrah dalam artian umum sering diartikan sebagai perpindahan seseorang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Namun alangkah indahnya jika hijrahnya sesorang dari tempat yang Allah murkai ke tempat yang Allah cintai, dari perbuatan yang dilarang Allah kepada perbuatan yang Allah perintahkan.

Berbicara tentang hijrah maka tidak terlepas dari dengan masa lalu, dimana kita melihat seseorang yang masa lalunya tidak baik, kemudian dia menjadi baik untuk saat ini dan selanjutnya. Sehingga kalau berbicara hijrah maka ini menjadi kewajiban dan syariat sampai nanti berpisah nyawa dan raga (meninggal) karena tidak ada manusia yang tidak ada kesahalan dalam kehidupannya. Oleh karena itu, memperbaiki dan bertaubat atas setiap kesalahan yang pernah kita lakukan adalah bagian dari hijrah.

Semua orang memiliki masa lalu, dan setiap orang memiliki kisah berbeda terkait masa lalu dimana ada orang yang masa lalunya begitu pahit, susah, suram, hancur dan ada juga orang yang masa lalunya begitu indah, penuh dengan kebaikan. Namun, apapun masa lalu kita itu sudah berlalu dan kita tidak boleh terlena, yang harus kita lakukan adalah menjadikan perjalanan masa lalu menjadi ajuan dalam menjalani hidup hari ini dan kedepannya menjadi lebih baik. Dalam artian ketika kita memiliki masa lalu yang tidak baik, maka semua perbuatan yang dulu pernah kita lakukan dan itu tidak baik maka saatnya kita tinggalkan. Selanjutnya ketika masa lalu kita begitu indah, penuh dengan kebaikan maka tugas kita adalah menjaga perbuatan baik kita agar konsisten sambil terus meningkatkan kebaikan.

Pembahasan hijrah lebih sering terfokus pada seseorang yang memiliki masa lalunya yang tidak baik namun, ketika dia berilmu dan menyadari akan keburukan, akan semua kelalaian yang dia masa lalu maka dia segera taubat. Maka taubat inilah yang diterima oleh Allah. Karena yang dikatakan bertaubat adalah orang yang pernah melakukan kesalahan / keburukan karena kebodohan dia kemudia dia tinggalkan kebodohan itu dan memohon ampun  kepada Allah (Tobat nasuha).

Semua orang yang sedang dalam hijrahnya pasti merasakan berbagai kesulitan mulai dari hinaan dari lingkungannya, dijauhi oleh orang terdekatnya dan bahkan kehilangan pekerjaannya, sehingga yang namanya hijrah itu sulit dan akan lebih sulit ketika kita mempertahankan hijrah itu. Sesorang yang akan memutuskan untuk berhijrah pasti merasakan kesulitan dimana dia butuh motivasi dan arahan dari orang-orang yang benar-benar mendukung dia. Kita sudah banyak mendengar dan melihat kisah-kisah hijrah yang begitu menyentuh hati kita, dimana ada orang yang dulunya tidak pernah shalat kemudian dia memutuskan berhijrah dan menjalankan shalat dengan baik. Ada perempuan yang dulunya belum berhijab, belum menutup aurat dengan benar kemudian dia berhijrah dan memutuskan untuk berhijab dan menutup aurat dengan benar. Ada laki-laki yang dulunya sering mencuri dan sebagainya, kemudian dia berhijrah dan berkomitmen untuk meninggalkan perbuatan mencuri dengan mencari pekerjaan yang halal. Dan seterusnya, begitu banyak kisah hijrah yang pernah kita saksikan dalam kehidupan kita.

Namun, tidak sampai di situ karena kesulitan memulai hijrah tidak lebih sulit dari mempertahankan hijrah itu sendiri. Hal ini banyak kita lihat dimana banyak orang yang awalnya sudah memulai untuk berhijrah dari masa lalunya yang buruk untuk menjadi lebih baik kemudian dia tidak mampu mempertahankan hijrah sehingga dia kembali ke masa lalunya. Banyak hal yang bisa menjadi faktor kenapa mempertahankan hijrah itu sulit mulai dari harus meninggalkan kebiasaan yang susah berdarah daging dalam keseharian kita, meninggalkan lingkungan yang buruk padahal sudah sangat lama kita tinggal dengan lingkungan itu, mencari lingkungan baru yang baik, yang membantu kita dalam berhijrah namun kita belum merasa nyaman, mencari teman baru yang baik padahal kita belum pernah mengenal dia dan seterusnya. Sehingga dari hal tersebut membuat seseorang yang sedang dalam hijrah merasa begitu besar kesulitan dalam hidupnya.

Seseorang yang sedang dalam perjalanan hijrah membutuhkan motivasi yang lebih, dukungan yang kuat terutama dari orang terdekat dia. Seseorang yang sedang berhijrah membutuhkan tempat sandaran, cuhatan dan arahan dari orang terdekat dia. Oleh karena itu, bagi kita yang sedang berhijrah sadarlah bahwa kita harus kuat dengan berbagai tantangan, cari motivasi, dukungan dari orang-orang terdekat kita, dari orang-orang yang paham dan sholeh, lebih-lebih kalau kita memiliki komunitas yang sehati, yang sama tujuan untuk berhijrah.

Baca Juga : Allah Tidak Akan Merubah Nasibmu, Jika

Selain dari itu, untuk memperkuat keteguhan kita dalam berhijrah kita harus memperbaiki hal ini terutama sekali, yaitu niat kita untuk siapa berhijrah. Karena niat akan menghasilkan motivasi dan kekuatan dalam berhijrah. Jika kita berhijrah hanya karena ayah kita, maka ketika ayah kita tidak ada maka hijrah kita akan runtuh, jika kita berhijrah hanya karena ingin memiliki uang yang banyak, maka kita tidak akan kuat ketika diuji dengan kesulitan dan kelaparan. Oleh karena itu niat hijrah yang benar satu-satunya adalah untuk Allah. Allah adalah zat yang kekal dan abadi, tidak ada yang kekal selain Allah, maka jika kita berhijrah karena Allah SWT, maka kita akan mendapatkan kemudahan di setiap ujian dan cobaan. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW;

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.

(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang) .

Apakah ketika niat sudah benar, kita tidak akan di uji?

Pertanyaan ini sering kita dengar dan banyak orang beranggapan bahwa ketika niat sudah benar karena Allah maka kita tidak akan di uji lagi. Kita akan tetap diuji walaupun niat dan perbuatan kita sudah benar, Allah tetap menguji kita sejauh mana kita kuat dan sungguh-sungguh dalam perjalanan hijrah.  Kita ini manusia yang tidak terlepas dari kesalahan sehingga sangat pantas Allah berikan cobaan agar kita tetap bersyukur, Nabi dan Rasul saja yang sudah Allah maksumkan dari dosa masih tetap Allah uji bahkan dengan ujian yang lebih besar. Niat yang benar akan membuat kita menjadi lebih kuat, akan menimbulkan kekuatan untuk menghadapi setiap tantangan dalam hijrah kita. Walaupun ada tantangan yang membuat kita menangis, kita tidak akan putus asa karena tujuan kita adalah Allah dan Allah lebih tau apa yang lebih baik bagi hambanya. Allah menguji untuk melhat apakah kita benar-benar dalam hijrah kita, apakah sudah benar iman kita, sehingga Allah ada berfirman dalam Al-Quran;

“Apakah manusia mengira bahawa mereka akan dibiarkan mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka belum diuji?” (QS Al-Ankabut:2-3).



Allah menguji kita bukan karena Allah tidak sayang sama kita, akan tetapi ujian yang Allah berikan akan mendewasakan orang yang diuji. Oleh karena itu, kalau kita akan berhijrah maka orientasinya adalah Allah SWT semata.

Baca Juga : Alasan Kenapa Allah Tidak Menjawab Do’amu

Para ulama juga berpesan bagi kita yang sedang dalam perjalanan hijrah, lakukan hal ini supaya kita kuat dalam hijrah, diantara nasehat para ulama adalah;

Kembali ke Al-Qur’an, karena Al-Qur’an merupakan petunjuk untuk semua orang manusia, untuk orang-orang yang beriman. Dalam Al-Qur’an terdapat semua yang kita inginkan dan butuhkan, semua tuntunan dan pedoman hidup ada dalam Al-Qur’an, tinggal kita mau atau tidaknya membaca, memahami dan menjalankannya. Oleh karena itu, jika kamu sedang dalam hijrah dan merasa kesulitan makan dekatkan dirimu dengan Al-Quran dan orang-orang yang mencintai Al-Qur’an.



Stabilkan iman, putus asa seseorang yang sedang dalam hijrah sering kali ketika imannya turun sehingga membuat dia mudha dipengaruhi oleh bisikan-bisikan yang menjurus ke hal yang tidak baik. Iman itu naik turun dimana iman akan naik dengan ibadah dan akan turun dengan maksiat. Ibadah tidak hanya sebatas shalat, puasa atau yang wajib saja namun, ibdah juga mencakup semua kebaikan yang kita lakukan dengan niat hanya karena Allah. Oleh karena itu, bagi kita yang sedang berhijrah biasakan diri untuk dekat dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan jauh dari kebiasaan yang berbau maksiat sehingga dapat mengganggu kondisi iman kita. Jaga iman kita untuk terus stabil dengan menghindari perasaan sedih yang berlebihan, karena ketika kita tau berapa banyak diluar sana orang yang memiliki cobaan hidup yang lebih namun mereka tetap kuat. Jagalah iman kita dengan sifat sabar karena sabar akan menentramkan jiwa dan membuat iman tetap stabil.

Bagi kamu yang sedang dalam perjalanan hirjah, nikmatilah setiap prosesnya karena itu adalah nikmat yang Allah berikan untuk menguji dan mengangkat derajat keimanan kita. Tidak ada sebuah kenikmatan, kemudahan tanpa proses yang melelahkan sebelumnya, itulah janji Allah. Apapun masa lalu kamu, seburuk apapun itu tidak penting karena yang menentukan adalah amal akhirmu. Oleh karena itu, semoga melalui hirjah yang kamu lakukan kamu bisa mengakhiri amalmu sebelum kamu meninggalkan dunia dengan amal yang baik, amal yang Allah ridhai. Semoga artikel untukmu yang sedang berhijrah bisa merasakan nikmatnya dan manfaatnya,

Adab menuntut Ilmu

Adab secara bahasa artinya menerapakan akhlak mulia. Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan:

وَالْأَدَبُ اسْتِعْمَالُ مَا يُحْمَدُ قَوْلًا وَفِعْلًا وَعَبَّرَ بَعْضُهُمْ عَنْهُ بِأَنَّهُ الْأَخْذُ بِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ

“Al adab artinya menerapkan segala yang dipuji oleh orang, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama juga mendefinsikan, adab adalah menerapkan akhlak-akhlak yang mulia” (Fathul Bari, 10/400).

Dalil wajibnya menerapkan adab dalam menuntut ilmu

Dalil-dalil dalam bab ini ada mencakup:

1. Dalil-dalil tentang perintah untuk berakhlak mulia

Diantaranya:

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أكملُ المؤمنين إيمانًا أحسنُهم خُلقًا

“Kaum Mu’minin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Tirmidzi no. 1162, ia berkata: “hasan shahih”).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّما بعثتُ لأتمِّمَ مَكارِمَ الأخلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 45).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ أثقَلَ ما وُضِع في ميزانِ المؤمِنِ يومَ القيامةِ خُلُقٌ حسَنٌ وإنَّ اللهَ يُبغِضُ الفاحشَ البذيءَ

“Sesungguhnya perkara yang lebih berat di timbangan amal bagi seorang Mu’min adalah akhlak yang baik. Dan Allah tidak menyukai orang yang berbicara keji dan kotor” (HR. At Tirmidzi no. 2002, ia berkata: “hasan shahih”).

2. Dalil-dalil tentang perintah untuk memuliakan ilmu dan ulama

Diantaranya:

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

“Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya” (QS. Al Hajj: 30).

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS. Al Hajj: 32).

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. Al Ahzab: 58).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ

“Sesungguhnya Allah berfirman: barangsiapa yang menentang wali-Ku, ia telah menyatakan perang terhadap-Ku” (HR. Bukhari no. 6502).

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:

إن لم يكن الفقهاء العاملون أولياء الله فليس لله ولي

“Jika para fuqaha (ulama) yang mengamalkan ilmu mereka tidak disebut wali Allah, maka Allah tidak punya wali” (diriwayatkan Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i, dinukil dari Al Mu’lim hal. 21).

Urgensi adab penuntut ilmu

1. Adab dalam menuntut ilmu adalah sebab yang menolong mendapatkan ilmu

Abu Zakariya An Anbari rahimahullah mengatakan:

علم بلا أدب كنار بلا حطب، و أدب بلا علم كروح بلا جسد

“Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu bakar, dan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh” (Adabul Imla’ wal Istimla’ [2], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [10]).

Yusuf bin Al Husain rahimahullah mengatakan:

بالأدب تفهم العلم

“Dengan adab, engkau akan memahami ilmu” (Iqtidhaul Ilmi Al ‘Amal [31], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17]).

Sehingga belajar ada sangat penting bagi orang yang mau menuntut ilmu syar’i. Oleh karena itulah Imam Malik rahimahullah mengatakan:

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Belajarlah adab sebelum belajar ilmu” (Hilyatul Auliya [6/330], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17])

2. Adab dalam menuntut ilmu adalah sebab yang menolong berkahnya ilmu

Dengan adab dalam menuntut ilmu, maka ilmu menjadi berkah, yaitu ilmu terus bertambah dan mendatangkan manfaat.

Imam Al Ajurri rahimahullah setelah menjelaskan beberapa adab penuntut ilmu beliau mengatakan:

حتى يتعلم ما يزداد به عند الله فهما في دينه

“(hendaknya amalkan semua adab ini) hingga Allah menambahkan kepadanya pemahaman tentang agamanya” (Akhlaqul Ulama [45], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [12]).

3. Adab merupakan ilmu dan amal

Adab dalam menuntut ilmu merupakan bagian dari ilmu, karena bersumber dari dalil-dalil. Dan para ulama juga membuat kitab-kitab dan bab tersendiri tentang adab menuntut ilmu. Adab dalam menuntut ilmu juga sesuatu yang mesti diamalkan tidak hanya diilmui. Sehingga perkara ini mencakup ilmu dan amal.

Oleh karena itu Al Laits bin Sa’ad rahimahullah mengatakan:

أنتم إلى يسير الأدب احوج منكم إلى كثير من العلم

“Kalian lebih membutuhkan adab yang sedikit, dari pada ilmu yang banyak” (Syarafu Ash-habil Hadits [122], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17]).

4. Adab terhadap ilmu merupakan adab kepada Allah dan Rasul-Nya

Sebagaimana dalil-dalil tentang memuliakan ilmu dan ulama yang telah kami sebutkan.

5. Adab yang baik merupakan tanda diterimanya amalan

Seorang yang beradab ketika menuntut ilmu, bisa jadi ini merupakan tanda amalan ia menuntut ilmu diterima oleh Allah dan mendapatkan keberkahan. Sebagian salaf mengatakan:

الأدب في العمل علامة قبول العمل

“Adab dalam amalan merupakan tanda diterimanya amalan” (Nudhratun Na’im fi Makarimi Akhlaqir Rasul Al Karim, 2/169).

60 adab penuntut ilmu syar’i

Berikut ini 60 adab-adab bagi penuntut ilmu syar’i yang kami sarikan dari kitab Al Mu’lim fi Adabil Mu’allim wal Muta’allim karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdil Lathif Alu Asy Syaikh rahimahullah.

Mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu. Semata-mata hanya mengharap wajah Allah Ta’ala, bukan tujuan duniawi. Seorang yang menuntut ilmu dengan tujuan duniawi diancam dengan adzab neraka Jahannam.Hendaknya memiliki percaya diri yang kuat.Senantiasa menjaga syiar-syiar Islam dan hukum-hukum Islam yang zahir. Seperti shalat berjamaah di masjid, menebarkan salam kepada yang dikenal maupun tidak dikenal, amar ma’ruf nahi mungkar, dan bersabar ketika mendapatkan gangguan dalam dakwahBerakhlak dengan akhlak yang mulia sebagaimana yang dianjurkan dalam nash-nash syariat. Yaitu hendaknya penuntut ilmu itu: zuhud terhadap dunia, dermawan, berwajah cerah (tidak masam), bisa menahan marah, bisa menahan gangguan dari masyarakat, sabar, menjaga muru’ah, menjauhkan diri dari penghasilan yang rendahan, senantiasa wara, khusyuk, tenang, berwibawa, tawadhu’, sering memberikan makanan, iitsar (mendahulukan orang lain dalam perkara dunia) namun tidak minta didahulukan, bersikap adil, banyak bersyukur, mudah membantu hajat orang lain, mudah memanfaatkan kedudukannya dalam kebaikan, lemah lembut terhadap orang miskin, akrab dengan tetanggaSenantiasa menunjukkan pengaruh rasa takut kepada Allah dalam gerak-geriknya, pakaiannya dan seluruh cara hidupnyaSenantiasa merutinkan adab-adab Islam dalam perkataan dan perbuatan, baik yang nampak maupun tersembunyi. Seperti tilawah Al Qur’an, berdzikir, doa pagi dan petang, ibadah-ibadah sunnah, dan senantiasa memperbanyak shalawatMembersihkan dirinya dari akhlak-akhlak tercela, seperti: hasad (dengki), riya, ujub (kagum pada diri sendiri), meremehkan orang lain, dendam dan benci, marah bukan karena Allah, berbuat curang, sum’ah (ingin didengar kebaikannya), pelit, bicaranya kotor, sombong enggan menerima kebenaran, tamak, angkuh, merasa tinggi, berlomba-lomba dalam perkara duniawi, mudahanah (diam dan ridha terhadap kemungkaran demi maslahat dunia), menampakkan diri seolah-olah baik di hadapan orang-orang, cinta pujian, buta terhadap aib diri, sibuk mengurusi aib orang lain, fanatik golongan, takut dan harap selain kepada Allah, ghibah, namimah (adu domba), memfitnah orang, berdusta, berkata jorok.Menjauhkan diri dari segala hal yang rawan mendatangkan tuduhan serta tidak melakukan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah.Zuhud terhadap dunia dan menganggap dunia itu kecil, tidak terlalu bersedih dengan yang luput dari dunia, sederhana dalam makanannya, pakaiannya, perabotannya, rumahnya.Menjaga jarak dengan para penguasa dan hamba-hamba dunia, dalam rangka menjaga kemuliaan ilmu. Sebagaimana dilakukan para salaf terdahulu. Jika memang ada kebutuhan untuk itu maka hendaknya ketika ada maslahat yang besar disertai niat yang lurus.Sangat-sangat menjauhkan diri dari perkara-perkara bid’ah, walaupun sudah menjadi kebiasaan mayoritas orang.Perhatian dan fokus utamanya adalah mendapatkan ilmu yang bermanfaat untuk akhiratnya. Menjauhkan diri dari ilmu yang tidak bermanfaat.Mempelajari apa saja yang bisa merusak amalan, kemudian menjauhinya.Makan makanan dengan kadar yang sedikit saja, dari makanan yang halal dan jauh dari syubhat. Ini sangat membantu seseorang untuk memahami agama dengan baik.Banyaknya makan menyebabkan kantuk, lemah akal, tubuh loyo, dan malas.Mempersedikit makan makanan yang bisa menyebabkan lemah akal dan memperbanyak makanan yang menguatkan akal seperti susu, mushtoka, kismis dan lainnya.Mempersedikit waktu tidurnya, selama tidak membahayakan tubuhnya. Hendaknya tidur sehari tidak lebih dari 8 jam. Tidak mengapa penuntut ilmu merelaksasikan jiwa, hati, pikiran dan pandangannya jika merasa lelah (dalam aktifitas belajar) atau merasa lemah untuk melanjutkan. Dengan melakukan refreshing dan rekreasi sehingga ia bisa kembali fit dalam menjalankan aktifitasnya lagi. Namun tidak boleh membuang-buang waktunya untuk itu (liburan).Senantiasa bersungguh-sungguh untuk menyibukkan diri dengan ilmu, baik dengan membaca, menelaah, menghafal, mengulang pelajaran dan aktifitas lainnyaAktifitas-aktifitas yang lain dan juga sakit yang ringan, hendaknya tidak membuat seorang penuntut ilmu bolos menghadiri kajian atau lalai dari membaca dan mengulang pelajaran.Bersungguh-sungguh untuk bersuci dari hadats dan najis ketika menghadiri kajian, badan dan pakaiannya dalam keadaan bersih serta wangi. Menggunakan pakaiannya yang terbaik, dalam rangka untuk mengagungkan ilmu.Bersungguh-sungguh untuk menjauhkan diri dari sikap minta-minta kepada orang lain walaupun dalam kondisi sulitMempersiapkan diri, memikirkan dan merenungkan hal yang ingin disampaikan sebelum diucapkan agar tidak terjatuh dalam kesalahan. Terlebih jika ada orang yang hasad kepadanya atau orang yang memusuhinya yang akan menjadikan ketergelincirannya sebagai senjata.Tidak bersikap sombong dengan enggan mengambil ilmu dan faidah dari orang yang lebih rendah kedudukannya atau lebih muda usianya atau lebih rendah nasabnya atau kurang populer atau lebih rendah ilmunya dari kitaTidak malu bertanya tentang masalah yang belum diketahuiTaat kepada kebenaran dan rujuk kepada kebenaran ketika keliru, walaupun yang mengoreksi kita adalah penuntut ilmu pemulaMeninggalkan debat kusir dan adu argumenMembersihkan hatinya dari kotoran-kotoran hati, agar hatinya bisa menerima ilmu dengan baikMemanfaatkan dengan baik waktu-waktu senggang dan waktu-waktu ketika badan fit. Juga memanfaatkan dengan baik waktu muda dan otak masih cemerlang.Memutuskan dan menghilangkan hal-hal yang menyibukkan sehingga lalai dari menuntut ilmu, atau penghalang-penghalang yang membuat menuntut ilmu tidak maksimalSenantiasa mengedepankan sikap wara (meninggalkan yang haram, makruh dan syubhat) dalam semua hal. Memilih makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal yang dipastikan halalnya.Mengurangi sikap terlalu banyak bergaul, terutama dengan orang-orang yang banyak main-mainnya dan sedikit seriusnya. Hendaknya ia tidak bergaul kecuali dengan orang-orang yang bisa ia berikan manfaat atau bisa mendapatkan manfaat dari mereka.Bersikap hilm (tenang) dan anah (hati-hati dalam bersikap) serta senantiasa sabarHendaknya senantiasa bersemangat dalam menuntut ilmu dan menjadikan aktifitas menuntut ilmu sebagai rutinitasnya di setiap waktunya, baik ketika tidak safat ataupun ketika safarHendaknya memiliki cita-cita yang tinggi untuk akhirat. Tidak hanya puas dengan sesuatu yang sedikit jika masih mampu menggapai yang lebih. Dan tidak menunda-nunda dalam belajar, bersemangat mencari faidah ilmu walaupun sedikitTidak berpindah ke kitab yang lain sebelum menyelesaikan dan menguasai kitab yang sedang dipelajariTidak mempelajari pelajaran yang belum dimampui. Belajar dari yang sesuai dengan kadar kemampuannyaSelektif dalam memilih guru. Carilah guru yang mapan ilmunya, terjaga wibawanya, dikenal keistiqamahannya, bagus pengajarannya.Memandang gurunya dengan penuh pemuliaan dan penghormatanMemahami hak-hak gurunya, senantiasa ingat akan keutamaan gurunya, dan bersikap tawadhu’ di hadapan gurunyaSenantiasa mencari keridhaan gurunya, merendahkan diri ketika ingin mengkritik gurunya, tidak mendahului gurunya dalam berpendapat, mengkonsultasikan semua masalah dengan gurunya, dan tidak keluar dari arahan-arahannyaMemuji ceramah dan jawaban-jawaban gurunya baik ketika ada gurunya atau ketika sedang tidak adaMenghormati gurunya dengan penuh pengagungan, senantiasa mengikuti arahannya, baik ketia beliau masih hidup ataupun ketika beliau sudah wafat. Senantiasa mendoakan beliau. Dan membantah orang yang meng-ghibah beliau.Berterima kasih kepada gurunya atas ilmu dan arahannyaBersabar dengan sikap keras dari gurunya atau terhadap akhlak buruknya. Dan hal-hal ini hendaknya tidak membuatnya berpaling dari belajar ilmu dan akidah yang lurus dari gurunya tersebut.Bersegera untuk menghadiri majlis ilmu sebelum gurunya hadirTidak menghadiri majlis sang guru di luar majelis ilmu yang diampunya, kecuali atas seizin beliauHendaknya menemui gurunya dalam keadaan penampilan yang sempurna, hatinya tidak sibuk dengan hal-hal lain, jiwanya lapang, pikiran juga jernih. Bukan ketika sedang mengantuk, sedang marah, sedang lapar, haus atau semisalnyaTidak meminta gurunya untuk mengajarkan kitab di waktu-waktu yang menyulitkan beliauTidak belajar kepada guru di waktu-waktu sang guru sedang sibuk, bosan, sedang kantuk, atau semisalnya yang membuat beliau kesulitan memberikan syarah (penjelasan) yang sempurnaJika menghadiri majelis ilmu, namun gurunya belum datang, maka tunggulahDuduk di majelis ilmu dengan penuh ada, penuh tawadhu, dan khusyukDuduk di majelis ilmu dalam keadaan tidak bersandar pada tembok atau pada tiang.Memfokuskan dirinya untuk memandang gurunya dan mendengarkan perkataan gurunya, memikirkannya benar-benar sehingga gurunya tidak perlu mengulangnya.Tidak menengok ke arah lain kecuali darurat, dan tidak menghiraukan suara-suara lain kecuali darurat. Tidak meluruskan kakinya. Tidak menutup mulutnya. Tidak memangku dagunya. Tidak terlalu banyak menguap. Tidak membunyikan dahaknya sebisa mungkin. Tidak banyak bergerak-gerak, hendaknya berusaha tenang. Jika bersih hendaknya merendahkan suaranya atau menutupnya dengan sapu tanganTidak meninggikan suaranya tanpa kebutuhan dan tidak berbicara kecuali darurat. Tidak tertawa-tawa kecuali ketika kagum jika tidak kuat menahan tawa hendaknya tersenyum saja.Ketika berbicara kepada gurunya hendaknya menghindarkan diri dari gaya bicara yang biasa digunakan kepada orang secara umumJika gurunya terpeleset lisannya, atau gurunya menjelaskan perkara yang agak vulgar, jangan menertawakannya atau mencelanyaTidak mendahului gurunya dalam menjelaskan suatu masalah atau dalam menjawab pertanyaanTidak memotong perkataan gurunya atau mendahuluinya dalam berbicara, dalam pembicaraan apapunJika ia mendengar gurunya menjelaskan suatu faidah atau suatu pelajaran yang ia sudah ketahui, maka dengarkanlah dengan penuh gembira, belum pernah mengetahuinya sebelumnyaHendaknya tidak bertanya yang di luar konteks bahasan
Tidak malu untuk bertanya kepada gurunya atau meminta penjelasan tentang hal yang belum ia pahami

Dikutip dari https://muslim.or.id