Selasa, 12 Februari 2019

Pendidikan anak dalam islam

Al-Quran Telah Memberikan Panduan yang Jelas dalam Mendidik Anak

Saat menikah dan kemudian berharap memiliki seorang anak; seharusnyalah kita juga telah mempersiapkan konsep seperti apa yang hendak kita terapkan dalam mendidik anak kita kelak, karena mendidik anak dalam Islam memiliki tata cara dan aturan tersendiri.

Di dalam Islam, anak memiliki kedudukan tersendiri yang harus kita jadikan pegangan dalam memilih model/cara mendidik anak yang akan kita lakukan.

Kedudukan Anak dalam Pandangan Islam

Mendidik anak dalam Islam harus didasarkan pada petunjuk dari Allah, yaitu Al-Quran, karena Al-Qur’an tidak hanya membahas tentang kewajiban anak kepada orang tua, namun juga kewajiban orang tua kepada anaknya.

Dan berikut ini adalah pandangan Al-Quran tentang anak, yang perlu kita ketahui dalam mendidik anak :

1. Anak sebagai Amanah bagi Orangtuanya

Selayaknya para bijak mengatakan bahwa sesungguhnya anak-anak bukanlah milik kita; mereka adalah titipan dari Allah kepada kita. Untuk itu sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mendidik anak sesuai dengan yang telah Allah perintahkan. Jadi, adalah kesalahan bagi orang tua apabila seorang anak jauh dari ajaran Islam.

2. Anak sebagai Generasi Penerus

Anak adalah harapan di masa depan; merekalah kelak yang akan menjadi pengaman dan pelopor masa depan agama dan bangsa. Jadi wajib bagi kita mendidik mereka untuk menjadi generasi tangguh di masa depan. Lebih jauh, Allah memerintahkan kita sebagai orang tua untuk menjauhkan mreeka dari api neraka kelak.

3. Anak adalah Tabungan Amal Kita di Akhirat

Seperti telah kita tahu, bahwa selain amal kita di dunia, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang saleh merupakan amalan yang pahalanya akan terus mengalir hingga hari penghitungan kelak. Jadi, mendidik anak sesuai perintah Allah tetaplah merupakan keuntungan bagi diri kita juga pada akhirnya.

4. Anak adalah Penghiburan dan Perhiasan Dunia bagi Orang Tuanya

Anak adalah perhiasan bagi orang tua. Di satu sisi, ia akan menjadi penghibur di kala lelah dan kesusahan melanda, namun di satu sisi, ia juga dapat menggelincirkan dari jalan Allah.

Berdasar pemahaman akan kedudukan anak dalam al-Qur’an diatas, maka ada 3 kewajiban orang tua dalam mendidik anak, yaitu:

Ajak anak mengenal Allah sejak dini.

1.Memberikan Dasar Hubungan Harmonis dengan Allah SWT (Habbuminnallah)

Sebagai orang tua kita harus dapat mengenalkan kepada anak-anak kita siapa Allah dan mengapa kita wajib taat padaNya. Ketaatan itu tidak karena Allah adalah pencipta, dan pemilik kita, namun karena dengan taat kepadaNya, hidup kita akan menjadi lebih baik dan bahagia.

Dengan memberikan dasar sedemikian, maka anak tidak akan menganggap Allah sebagai sebagai “hakim” atau “pengawas”; namun sebagai zat yang memang kita butuhkan keberadaanNya. Hal inilah yang harus kita jadikan landasan utama dalam mendidik anak sekaligus merancang pola asuh yang tepat baginya.

Salah satu cara untuk memberikan dasar habbuminnallah adalah dengan mengajarkan shalat kepada anak semenjak kecil. Dan kemudian mulai memberikan pengertian mengapa kita harus shalat, apa manfaat shalat dan seterusnya.

2. Memberikan dasar hubungan yang harmonis dengan orang-orang di sekelilingnya

Dalam Islam, hubungan antar manusia (hablumminanas), sama pentingnya dengan hubungan manusia dengan Allah (hablumminnallah). Bahkan nabi Ibrahim berdoa kepada Allah: “… agar mereka dicintai orang-orang…” Jadi, wajib bagi kita mengajarkan tata cara pergaulan yang baik dengan sesama dan dilandasi rasa saling hormat-menghormati; serta mampu bersikap asertif.

3. Memberikan dasar yang kuat guna menghadapi tantangan jaman

Nabi pernah bersabda bahwa Beliau mengkhawatirkan umat dibelakangnya yang akan seperti busa di lautan; banyak namun tidak berpendirian. Hal semacam inilah yang harus kita pertimbangkan saat merencanakan pendidikan dasar bagi anak-anak kita.

Misalnya bagaimana agar ia menjadi anak yang kuat imannya, santun kepada sesama, serta kuat pula ilmunya. Ilmu akan membuat ia mampu bertahan serta senantiasa memiliki jalan ikhtiar untuk keluar dari permasalahan yang ia hadapi.

Nah, mari Parents, kita koreksi kembali apakah telah benar langkah yang kita ambil dalam mendidik anak kita di rumah. Jika masih ada yang kurang, mari kita lengkapi, jika ada yang keluar jalur, mari kita benahi.

Jika telah benar dan sesuai perintah Allah, mari kita berdoa agar Allah senantiasa menjaga keistiqomahan, lisan dan hati kita dari hal-hal yang tidak Allah kehendaki.

Wallohua'lam bishawab

Anak jadi penghalang orangtua masuk surga

Memiliki anak merupakan impian untuk sepasang suami istri agar mereka dapat membina keluarga secara sempurna dan menjadi orang tua. Namun, menjadi orang tua bukanlah sebuah hal yang dapat dijalani dengan mudah. Banyak hal-hal yang harus dipersiapkan dan diketahui, termasuk dalam pendidikan.

Dan bagaimana bila orang tua tersebut tidak mendidik anaknya secara benar? Seeprti yang kita ketahui, “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR. Al-Baihaqi – At-thabarani)



Sedangkan Ibnu Umar berkata: “Didiklah anakmu, karena kelak kamu akan ditanya tentang pendidikan dan pengajaran seperti apa yang telah kamu berikan kepada anakmu. Anakmu juga akan ditanya tentang bagaimana dia berbakti dan berlaku taat kepadamu.”

Karena kelak, saat diakhirat, orang tua akan menanggung jawab hal apa saja dan pendidikan apa saja yang mereka berika kepada anaknya. Apakah anaknya menjadi seorang muslim yang taat? Ataukah menjadi seorang yang tidak baik? Dan seorang anak menjadi seseorang yang tidak baik, di akhirat kelak ia akan mengnuntut kedua orang tuanya, menuntut mereka karena tidak memberikan pendidikan agama yang benar.

Banyak orang tua yang taat terhadap agama namun mereka memiliki anak yang suka berbuat maksiat. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, salah satunya adalah faktor lingkungan, yang dapat berpotensi membawa mereka ke neraka.

Namun, maksiat yang dilakukan seorang naka ini tidak hanya membawa dirinya sendiri, ia juga akan menyeret kedua orang tuanya karena maksiat yang ia lakukan. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Orang tua yang awal mulanya akan masuk surga akan dihalang oleh si anak tersebut, lantaran mereka saat melihat anaknya melakukan maksiat, orang tua itu tidak melarang dan memarahi anaknya. Mereka hanya melihat dan terdiam.

“Telah dikabarkan kepada kami bahwa seorang anak akan tergantung di leher ayahnya pada hari kiamat nanti. Lalu dia berkata: ‘Wahai Rabbku, ambillah hakku dari orang yang menzhalimiku ini!’ Sang ayah berkata: ‘Bagaimana aku menzhalimimu, sedangkan aku telah memberimu makan dan pakaian?’ Sang anak berkata: ‘Benar, engkau telah memberiku makan dan pakaian, tetapi engkau melihatku melakukan maksiat dan engkau tidak melarangku.’” (Dikutip dari Majalah Az-Zahur)

Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (Q.S.At-Tahriim:66)

Allah SWT memerintahkan untuk setiap muslim agar senantiasa menjaga keluarganya. Mendidik anak-anak mereka dengan bekal agama dan memantau setiap perbuatannya. Hal tersebut merupakan sebuah kewajiban yang akan di konsekuensikan saat di akhirat kelak.

Sebagai orang tua, harus memiliki strategi agar menghindari hal yang tidak diinginkan.

Orang tua dapat melakukan sistem parenting, parenting merupakan proses pembelajaran dan pengasuhan ineraksi orang tua terhadap anak, yang memantau aktivitas anak dan memberi petunjuk untuk pertumbuhan emosional serta sifat anak, dan memenuhi semua kebutuhan anak.

Ketika masa anak-anak, pendidikan parenting lebih ditekankan pada proses interaksi antara orangtua dan anak yang dapat meliputi aktivitas-aktivitas seperti, memberi makan anak (nourishing), memberi petunjuk kepada anak agar selalu melakukan hal baik (guiding), dan melindungi anak dari segala ancaman internal atau eksternal (protecting) anak-anak ketika mereka tumbuh berkembang. Sedangkan parenting untuk usia remaja sebaiknya lebih ditekankan pada proses interaksi berkelanjutan yang meliputi aktivitas-aktivitas seperti, membekali dengan ilmu yang bermanfaat dan ilmu-ilmu agama (enlightening), memberi petunjuk dan nasehat apalbila anak melakukan hal yang tidak baik (coaching + counseling), dan melindungi  anak (protecting) anak-anak dari infeksi  pemikiran atau infeksi akidah.


Dikutip dari: jejakimani.com

Jangan salah pilih Teman

Nabi bersabda, "Tahukah kalian siapa sebenarnya orang yang bangkrut?" Para sahabat menjawab, "Orang yang bangkrut menurut pandangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham (uang) dan tidak memiliki harta benda". Kemudian Rasulullah berkata, "Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari Kiamat membawa pahala shalat, pahala puasa dan zakatnya, (tapi ketika hidup di dunia) dia mencaci orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain (secara bathil), menumpahkan darah orang lain (secara bathil) dan dia memukul orang lain, lalu dia diadili dengan cara kebaikannya dibagi-bagikan kepada orang ini dan kepada orang itu (yang pernah dia zhalimi). Sehingga apabila seluruh pahala amal kebaikannya telah habis, tapi masih ada orang yang menuntut kepadanya, maka dosa-dosa mereka yang didzalimi ditimpakan kepadanya, dan pada akhirnya dia dilemparkan kedalam neraka(Shahih Muslim No.4678, Tirmidzi No. 2342)  

Siapakah kira-kira yang dimaksud ‘orang lain’ yang disebut dalam hadits tersebut? Apakah mungkin mereka itu orang yang tinggalnya jauh dari kita.? Misalnya anda yang tinggal di Indonesia, maka ‘orang lain’ yang dimaksud Rasulullah adalah Mr. Smith di Amerika Serikat, atau Nakamura-san di Tokyo, Mr. Mugabe di Afrika..? Lalu kapan adanya kesempatan kita berinteraksi dengan mereka sehingga memunculkan kedzaliman dan sikap menyakiti..?. Bagaimana mungkin bisa dikatakan kita melakukan dosa padahal kenalpun tidak..?. 



Maka ‘orang lain’ yang dimaksud oleh hadist tersebut pastilah orang-orang terdekat kita. Anda tahu siapa mereka..? mereka adalah keluarga kita, istri atau suami, anak-anak, orang-tua, saudara, tetangga kiri dan kanan, jamaah masjid, rekan sekantor, teman sekolah, karyawan dan anak buah kita, itulah ‘orang lain’ yang bisa menyeret kita ke neraka akibat kedzaliman yang kita lakukan terhadap mereka. 


Boleh dikatakan dalam melakukan interaksi sesama manusia, kita hampir tidak pernah luput dari sikap saling menyakiti, dalam suatu waktu kita berdamai satu sama lain, pada kesempatan lain muncul konflik, kemarahan dan diikuti sikap saling menyerang. Kedzaliman biasa dilakukan oleh pihak yang lebih berkuasa, lebih kaya, lebih bertenaga, namun pada satu kondisi bisa juga dilakukan oleh rakyat jelata, orang tidak berpunya, bawahan, anak buah. Kedzaliman misalnya muncul dari tukang becak ataupun sopir angkot yang sengaja memacetkan jalanan, atau bawahan yang malas tidak mau menjalankan tugas dan kewajiban, dll, yang berakibat menyakiti dan menyusahkan orang lain. 


Tentu saja potensi kedzaliman lebih banyak berasal dari pihak yang berkuasa, berharta dan memiliki tenaga terhadap pihak sebaliknya. 


Kedzaliman juga tidak hanya berbentuk kekerasan dan penindasan saja, kelalaian orang-tua dalam mendidik anak untuk taat kepada Allah juga termasuk kedzaliman. Apakah anda bisa membayangkan ketika di akherat kelak seorang anak yang ‘divonis’ masuk neraka karena banyak melakukan dosa dan maksiat, dia akan memprotes :”Saya begini karena tidak pernah dididik oleh orang-tua saya, dia hanya memikirkan keselamatannya sendiri, menjadi orang saleh sendiri, ke masjid sendiri tanpa mengajak dan mengingatkan saya..”, atau protes datang dari tetangga anda yang dihukum karena suka bermaksiat tanpa pernah kita ingatkan dan cegah..? 


Kita juga jangan menyangka, bahwa di akherat kelak, antara anak dan orang-tua, antar saudara akan saling membantu ‘bahu-membahu’ agar luput dari siksaan neraka, Allah menginformasikan : 


QS Al-Mu’minun (23):101 Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. 


Jangankan antara keluarga dan saudara, bahkan antara pikiran kita dengan anggota tubuh kita saja tidak ada lagi koordinasi dalam bersaksi tentang perbuatan kita selama di dunia : 


QS Yaasin (36):65 Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. 

  
Kedzaliman terhadap sesama manusia hanya bisa dihapus dengan saling memaafkan, dan kesempatan itu hanya ada dalam kehidupan di dunia saja. Di akherat sudah tidak ada lagi ‘mekanisme’ saling memaafkan karena semua sudah dicatat dan ‘dipatenkan’, lalu semua fakta akan dihakimi dengan seadil-adilnya. Jangan bersikap ‘pede’ dengan mengatakan :”Biar saja, saya tidak perlu meminta maaf, karena dia juga pernah mendzalimi saya..”, sebab boleh jadi nanti di pengadilan Allah, kedua pihak justru akan saling tarik-menarik untuk masuk ke neraka. Maka bersegeralah untuk saling memaafkan selagi masih ada waktu. 


Jadi pernahkan anda membayangkan bahwa ternyata ‘orang lain’ yang berpotensi menyeret anda ke neraka tidak datang dari tempat yang jauh, melainkan pasangan hidup, anak-anak, orang-tua, tetangga, rekan kantor, teman sekolah, bawahan, jemaah masjid, yaitu mereka yang sering berinteraksi dengan kita? 


Pada suatu keadaan, ketika orang lain yang kita dzalimi tersebut terlebih dahulu meninggalkan kita, maka kemalangan sebenarnya ada pada pihak yang masih hidup. Pada umumnya orang yang ditinggalkan dengan mudah memberikan maaf terhadap orang yang sudah mati, namun sebaliknya, bagaimana bisa si mati punya kesempatan untuk memaafkan yang hidup..? Maka kedzaliman anda yang belum termaafkan itu mau tidak mau akan anda bawa ke liang kubur. 


Untuk kondisi seperti ini, Al-Qur’an menyatakan bahwa kita masih diberi kesempatan untuk bisa ‘mengimbangi’ dosa kedzaliman yang belum sempat dimaafkan tersebut : 


QS An-Nur (24):22 Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, 


Memaafkan kedzaliman orang lain terhadap kita tanpa menunggu mereka memintanya, merupakan perbuatan baik yang bisa menghapus dosa kedzaliman kita yg belum sempat termaafkan. Maka bersegeralah untuk memberi maaf dengan hati yang tulus, berlapang dada untuk tidak lagi mengingat sikap orang yang yang telah memunculkan dendam dan sakit hati, bahkan mendo’akan mereka agar tidak menerima akibat atas kelakuan tersebut. Jangan mempunya sikap :”Buat saya sih sudah tidak ada masalah, saya sudah menganggap urusannnya selesai”, namun sikap kita terhadap orang tersebut tetap saja dipengaruhi dendam dan sakit hati, tidak tulus dan berbaik sangka, itu bukanlah suatu pemaafan yang berguna. Sebaiknya kita berusaha meniru sikap Rasulullah, ketika beliau dianiaya oleh kaum kafir, lalu Allah mengutus malaikat, bersiap mengikuti perintah apa saja yang akan dikeluarkan beliau untuk menghukum kaum tersebut, Rasulullah malah berkata :”Yaa Allah, ampunilah perbuatan mereka karena mereka sama sekali tidak mengerti apa yang telah mereka lakukan..”. 


Meminta maaf dan memaafkan, sekali lagi, hanya merupakan kesempatan yang diberikan Allah di dunia saja, maka apa gunanya dendam dan sakit hati harus anda pelihara sampai ke liang kubur..?? apa manfaat nya bagi anda..?? Sama sekali tidak ada.., bersegeralah melakukannya dengan tulus, datangi orang-orang terdekat anda, hapus segala ganjalan dihati, do’akan keselamatan untuk mereka, karena keselamatan mereka bisa menjadi keselamatan anda juga.

Senin, 11 Februari 2019

Sahabat jadi syafa'at

Apalah arti sahabat akrab yang mengenyam suka duka bersama di dunia, namun nantinya menjadi musuh satu sama lain di akhirat, sebagaimana keadaan yang dikabarkan oleh Allah dalam firman-Nya,

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”. (Az Zukhruf: 67)

Seorang mukmin memandang bahwa persahabatan yang manfaat adalah sahabat yang terikat oleh iman, pergaulan yang terjadi demi takwa yang makin menguat dan agar lebih mudah merealisasikan taat. Inilah yang disebut dengan persaudaraan iman, meski tak ada hubungan nasab di antara mereka. Bahkan sejatinya, persaudaraan iman lebih manfaat dan lebih langgeng dari persaudaraan karena hubungan nasab yang tidak dibingkai oleh iman.

Orang-orang yang memiliki hubungan nasab, ketika di dunia saling mengasihi, saling membela dan terjalin hubungan yang harmonis, bisa jadi di akhirat kelak masing-masing akan saling cuek dan tidak memikirkan satu sama lain. Mereka akan saling berlepas diri sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

“Apabila datang hari Kiamat, Allah mengumpulkan manusia-manusia generasi awal hingga yang paling akhir, lalu ada seruan, “Siapa yang pernah dizhalimi silakakan mendatangi orang yang menzhalimi utuk mengambil haknya.  Lalu seseornag merasa gembira ketika masih ada hak yang belum ditunaikan oleh orang tuanya, anaknya, istrinya mau dia menuntutnya meski sekecil apapun, hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

“Apabila telah ditiup  sangkakala itu, samasekali tak ada hubungan keturunan di antara mereka lagi ketika itu, dan tidak pula akan sempat tanya bertanya.” (QS al-Mukminun 101)

Adapun sahabat, ketika terjalin hubungan dan keakraban dalam rangka taat kepada Allah, faidahnya bisa dirasakan hingga hari Kiamat.

BACA JUGA : Santun Tersandang, Neraka Terhalang

Jenis amal berupa saling mencintai karena Allah sendiri memiliki keutamaan agung. Di mana Allah akan menaungi mereka di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yakni di makhsyar yang sangat panas oleh terik matahari yang didekatkan di atas kepala manusia dengan jarak satu mil saja.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلَالِي الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلِّي

“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman pada hari kiamat kelak, “Mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Aku naungi mereka dalam naungan-Ku, di mana tidak ada naungan pada hari ini selain naungan-Ku.” (HR Muslim)

Orang yang saling mencintai karena Allah juga menempati derajat yang tinggi di jannah. Tidak tanggung-tanggung, para Nabi dan para syuhada’ bahkan takjub dengan keadaan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada orang-orang yang meskipun bukan golongan para nabi, namun para nabi dan juga para syuhada takjub dengan keadaan mereka. Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam ditanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah, agar kami bisa mencintai mereka. Beliau bersabda,

إِنَّ مِنْ عِباَدِ اللهِ عِباَداً لَيْسُوْا بِأَنْبِياَءِ ، يَغْبِطهُمُ اْلأَنْبِياَءِ وَالشُّهَدَاءُ ، قِيْلَ  مَنْ هُمْ لَعَلَّناَ نُحِبُّهُمْ ؟ قاَل  هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِنُوْرِ اللهِ مِنْ غَيْرِ أَرْحَامٍ وَلاَ انْتِسَابٍ ، وُجُوْهُهُمْ نُوْرٌ عَلَى مَناَبِرَ مِنْ نُوْرٍ ، لاَ يَخَافُوْنَ إِذاَ خَافَ الناَّسُ، وَلاَ يَحْزَنُوْنَ إِذَا حَزِنَ الناَّسُ

“Mereka adalah orang saling mencintai karena Allah, meski tak ada hubungan rahim maupun nasab. Wajah-wajah mereka bercahaya, berada di mimbar-mimbar yang bercahaya, mereka tidak takut pada saat orang-orang ketakutan dan ereka tidaklah bersedih di saat orang-orang bersedih.” (HR Ibnu Hibban dengan sanad yang bagus)



Syafaat di Hari Kiamat

Tidak hanya jenis amalnya yang memiliki keutamaan, bahkan seorang teman ataupun sahabat, sebagaimana di dunia saling menolong dalam taat, saling cegah dalam hal maksiat, maka kelak seorang sahabat bisa memberikan syafaat di akhirat. Karena itulah Imam Hasan al-Bashri menasehatkan, ”Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka bisa memberi syafaat (pertolongan) pada hari klamat.”

Dalam sebuah momen,  Ibnul al-Jauzi juga pernah berkata kepada para sahabat dan murid-muridnya, ”Jika kalian kelak tidak menemukan aku di surga bersama kalian, maka tanyakanlah tentang aku kepada Allah. Ucapkan, “Wahai Rabb kami, hambaMu fulan, dulu dia pernah mengingatkan kami untuk mengingat Engkau.” Lalu beliau menangis, semoga Allah merahmati beliau.

Tentang syafaat seorang sahabat ini, Abu Said al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits yang panjang, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda tentang syafaat di hari kiamat,

Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah  untuk  memperjuangkan hak saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon, “Wahai Rabb kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji. Lalu dikatakanm, “Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka. Orang-orang mukmin itupun mengeluarkan banyak saudaranya yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya.” (HR Muslim)

Jika ada pertanyaaan, tidakkah hadits ini bertentangan dengan firman Allah,

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm: 39)

Jawabannya adalah tidak. Karena ketika seseorang beramal dalam bentuk saling mencintai dan bersahabat karena Allah, maka di antara hasilnya adalah ia berhak mendapatkan syafaat dari sahabatnya.

Sahabat yang bermanfaat bukanlah orang yang selalu membuat kita senang, bukan pula orang yang mendukung apapun yang kita putuskan. Akan tetapi sahabat yang baik adalah yang mau mengingatkan saat kita alpha, yang membantu kita untuk taat kepada Pencipta, mencegah kita dari perbuatan nista, dan bersedia tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.

Bayangkan, betapa beruntungnya dan bahagianya seseorang yang memiliki banyak teman orang-orang sholih. Yang mengingatkan untuk shalat berjamaah di masjid, mengajari tilawah Al-Qur’an, mengajak menghadiri majelis ilmu, dan menasehatinya dalam kebaikan.

Jika kita mendapatkan teman semisal ini, maka pertahankanlah ia, dan janga sampai lepas dari kita. Sebagaimana nasihat Imam asy-Syafi’I, “Jika engkau punya sahabat membantumu untuk taat, maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskan ia. Alangkah susahnya mencari teman yang baik, dan betapa mudah lepasnya.”

Pun demikian, seshalih apapun seorang sahabat, pasti memiliki kekurangan, sebagaimana diri kita juga memiliki kekurangan. Jangan sampai kekhilafan dan sedikit cela menyebabkan kita menjauhi sahabat, karena tidak ada manusia yang tanpa cela. Alangkah indahnya nasihat Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Barangsiapa mencari teman yang tanpa cela, niscaya ia akan hidup sendiri tanpa teman.”
Persahabatan itu butuh untuk saling menasehati, menjaga adab yang menjadi sebab kelanggengan dan mudah memaafkan demi kelangsungan sebuah persaudaraan. Jangan berpikir akan mendapatkan seorang teman yang tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Jangan pula mudah terhasut oleh desas desus orang yang membuat retak persaudaraan. Abu Qilabah rahimahullah berkata,

“Jika sampai kepadamu suatu berita yang tidak suka dari saudaramu, maka carikanlah udzur/alasan, jika engkau tidak mendapatkan udzur/alasan untuknya, maka katakanlah, mungkin saja dia memiliki alasan yang aku tidak ketahui.” Sedangkan maksud mencarikan alasan adalah berprasangka baik dengan mengedepankan kemungkinan positif. Semoga Allah memperbanyak sahabat yang membantu kita untuk taat, dan kelak menjadi syafaat pada hari Kiamat, aamiin. (Abu Umar Abdillah)

Dikutip dari

Ilmu dulu atau adab dulu

Terlalu banyak menggeluti ilmu diin sampai lupa mempelajari adab. Lihat saja sebagian kita, sudah mapan ilmunya, banyak mempelajari tauhid, fikih dan hadits, namun tingkah laku kita terhadap orang tua, kerabat, tetangga dan saudara muslim lainnya bahkan terhadap guru sendiri jauh dari yang dituntunkan oleh para salaf.

Coba lihat saja kelakuan sebagian kita terhadap orang yang beda pemahaman, padahal masih dalam tataran ijtihadiyah. Yang terlihat adalah watak keras, tak mau mengalah, sampai menganggap pendapat hanya boleh satu saja tidak boleh berbilang. Ujung-ujungnya punya menyesatkan, menghizbikan dan mengatakan sesat seseorang.

Padahal para ulama sudah mengingatkan untuk tidak meninggalkan mempelajari masalah adab dan akhlak.

Namun barangkali kita lupa?

Barangkali kita terlalu ingin cepat-cepat bisa kuasai ilmu yang lebih tinggi?

Atau niatan dalam belajar yang sudah berbeda, hanya untuk mendebat orang lain?

Pelajarilah Adab Sebelum Mempelajari Ilmu

Ketahuilah bahwa ulama salaf sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak. Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,

بالأدب تفهم العلم

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Guru penulis, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”

Oleh karenanya, para ulama sangat perhatian sekali mempelajarinya.

Ibnul Mubarok berkata,

تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين

“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Ibnu Sirin berkata,

كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم

“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”

Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,

نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث

“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.

Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,

ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه

“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” –

Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,

تعلم من أدبه قبل علمه

“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”

Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, itulah yang kurang dari kita saat ini. Imam Abu Hanifah berkata,

الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ

“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al Madkhol, 1: 164)

Di antara yang mesti kita perhatikan adalah dalam hal pembicaraan, yaitu menjaga lisan. Luruskanlah lisan kita untuk berkata yang baik, santun dan bermanfaat. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,

من عدَّ كلامه من عمله ، قلَّ كلامُه إلا فيما يعنيه

“Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan sedikit bicara kecuali dalam hal yang bermanfaat” Kata Ibnu Rajab, “Benarlah kata beliau. Kebanyakan manusia tidak menghitung perkataannya dari amalannya” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 291).

Yang kita saksikan di tengah-tengah kita, “Talk more, do less (banyak bicara, sedikit amalan)”.

Berbeda Pendapat Bukan Berarti Mesti Bermusuhan

Sungguh mengagumkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata,

يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ

“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).

Berdoalah Agar Memiliki Adab dan Akhlak yang Mulia

Dari Ziyad bin ‘Ilaqoh dari pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ

“Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [artinya: Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)

Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya,

اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ

“Allahummahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdi li-ahsanihaa illa anta, washrif ‘anni sayyi-ahaa, laa yashrif ‘anni sayyi-ahaa illa anta [artinya: Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau].” (HR. Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Tholib)

أسأل الله أن يزرقنا الأدب وحسن الخلق

Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar mengaruniakan pada kami adab dan akhlak yang mulia.

Dikutip dari https://muslim.or.id