Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Ibnu Majah dan yang lainnya, dari hadis Abu Ayub al Anshori- radhiyallahu’anhu– bahwa ada seorang laki-laki menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata, “Beri aku nasehat singkat”. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَاجْمَعْ الْإِيَاسَ مِمَّا فِي يَدَيْ النَّاسِ
“Jika kamu hendak melaksanakan shalat, shalatlah seperti shalat terakhir, jangan mengatakan sesuatu yang membuatmu minta maaf di kemudian hari dan kumpulkan keputus-asaan terhadap apa yang ada pada manusia”.
Nasehat pertama : menjaga sholat dan memperbaiki penunaiannya
Nasehat kedua : menjaga lisan
Nasehat ketiga : qona’ah serta menggantungkan hati hanya kepada Allah.
Pada wasiat pertama, Nabi menasehatkan kepada orang yang melakukan shalat untuk merasa bahwa shalatnya adalah sholat terakhir baginya. Karena sudah lumrah bahwa perpisahan akan membuat seseorang maksimal dalam berucap dan bertindak, totalitas yang tidak didapati pada keadaan lainnya. Seperti yang lumrah terjadi di saat berpergian, seorang yang pergi dari suatu daerah dengan rencana kembali ke daerah tersebut, berbeda dengan orang yang pergi tanpa ada rencana ingin kembali. Seorang yang berpisah, akan melakukan totalitas (meninggalkan jejak baik) yang tidak dilakukan oleh yang lainnya.
Bila seorang sholat dengan perasaan seakan sholat itu adalah sholat yang terakhir baginya; ia tidak akan bisa sholat lagi setelah ini, tentu ia akan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan sholat itu. Dia perindah penunaiannya, proposional dalam ruku’, sujud, menunaikan kewajiban-kwajiban serta sunah – sunah sholat dengan sebaik mungkin.
Maka selayaknya seorang mukmin mengingat pesan ini di setiap shalatnya. Lakukanlah sholat seakan sholat itu adalah sholat perpisahan, hadirkan perasaan bahwa itu adalah shalat yang terakhir. Apabila ia merasakan itu maka akan membawanya menunaikan sholat dengan sebaik mungkin.
Dan siapa yang sholatnya baik, maka ibadah sholatnya akan menghantarkan pada kebaikan-kebaikan dan menghalangi dari segala keburukan dan kerendahan. Ia akan merasakan manisnya iman. Sholat menjadi penyejuk pandangan dan penyebab kebahagiaan untuknya.
Kemudian wasiat kedua, tentang menjaga lisan. Karena lisan adalah hal yang paling berbahaya bagi manusia. Saat perkataan belum terucap ia masih dalam kendali pemilik ucapan. Adapun saat ucapan telah keluar dari lisan, ucapan itulah yang akan menguasainya dan ia menanggung resikonya. Oleh karena itu Nabi ‘alaihissholaatuwassalam berpesan, “Jangan mengatakan sesuatu yang membuatmu minta maaf di kemudian hari.” Atinya bersungguh-sungguhlah menahan lisanmu dari ucapan yang membuat dirimu harus meminta uzur di kemudian hari; setiap perkataan yang membuatmu meminta maaf. Karena sebelum perkataan itu terucap ia berada dalam kekuasaanmu, namun bila sudah terucap maka perkataan itulah yang akan menguasaimu.
Nabi ‘alaihissholaatuwassalam pernah berpesan kepada Mu’adz radhiyallahu’anhu,
“Maukah aku kabarkan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?”
“Mau ya Nabi Allah.” Jawab Mu’adz.
Kemudian Rasulullah memegang lisan beliau seraya bersabda, “Jagalah ini.”
Aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kita akan disiksa juga karena ucapan kita?”
Nabi menjawab,
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ! وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ ـ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ ـ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِم
“Ah kamu ini, bukankah yang menyebabkan seseorang terjungkal wajahnya di neraka –atau sabda beliau: di atas hidungnya- itu tidak lain karena buah dari ucapan lisan-lisan mereka?!”(HR. Tirmidzi no. 2616. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih).
Maka lisan ini sangat berbahaya.
Dalam hadis shahih lainnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga berpesan,
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
“Jika waktu pagi tiba seluruh anggota badan menyatakan ketundukannya terhadap lisan dengan mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah terkait dengan kami. Karena kami hanyalah mengikutimu. Jika engkau baik maka kami pun baik. Sebaliknya jika kamu melenceng maka kami pun ikut melenceng” (HR Tirmidzi no 2407 dan dinilai hasan oleh Al Albani).
Kemudian sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
“Janganlah mengatakan suatu ucapan yang membuatmu harus minta maaf di kemudian hari.”
Pada kalimat ini terdapat ajakan untuk memuhasabah ucapan yang hendak disampaikan, yakni memikirkannya terlebih dahulu. Jika ucapan itu baik maka silahkan sampaikan. Jika tidak, maka tahanlah lisan anda. Atau jika ragu baik atau buruknya ucapan, tahanlah lisan dalam rangka menghindari perkara syubhat, sampai tampak perkara tersebut di hadapan anda. Oleh karenanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله واليَوْمِ الآخِرِ؛ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim).
Betapa banyak orang yang menjatuhkan diri mereka pada kesalahan yang fatal, disebabkan ucapan yang tidak mereka pertimbangkan. Kemudian berakibat musibah baginya di dunia dan di akhirat, suatu akibat yang tak terpuji. Orang yang berakal adalah yang menimbang ucapannya dan ia tidak berbicara kecuali seperti yang dinasehatkan Nabi kita alaihissholaatuwassalam; perkataan yang tidak membuatnya harus meminta maaf di kemudian hari.
Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “…dengan perkataan yang membuatmu minta maaf di kemudian hari.” bisa bermakna saat anda berdiri di hadapan Allah atau membuatmu meminta di kemudian hari maksudnya di hadapan manusia, saat mereka menuntut ucapan anda. Bila kita mengambil makna pertama maka pesan ini ada kaitannya dengan sholat. Karena alasan apa yang akan diucapkan orang-orang yang menyia-nyiakan sholat di hari kiamat nanti?! Padahal sholat adalah amalan yang paling pertama ditanyakan.
Wasiat ketiga berisi ajakan untuk qona’ah, serta menggantungkan hati hanya kepada Allah, dan memupuskan harapan terhadap harta-harta yang di tangan manusia. Beliau bersabda,
وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاس
“Kumpulkan keputusasaan terhadap apa yang ada pada manusia”.
Maksudnya bertekatlah dalam hatimu untuk memutuskan asa terhadap apa saja yang di tangan manusia. Jangan gantungkan harapan pada mereka. Jadikanlah pengharapanmu sepenuhnya hanya kepada Allah Jalla wa ‘ala. Sebagaimana dengan lisan anda tidak pernah berdoa kecuali kepada Allah, maka demikian juga sepatutnya dengan sikap anda jangan gantungkan harapanmu kecuali kepada Allah. Pupuskanlah segala pengharapan kepada siapapun kecuali kepada Allah, sehingga pengharapanmu hanya tertuju kepada Allah semata.
Dan sholat adalah penghubung antara dirimu dan tuhanmu. Dalam sholat terdapat pertolongan terbesar untukmu dalam merealisakan sikap ini.
Siapa yang memutus pengharapan terhadap apa yang di tangan manusia, maka hidupnya mulia. Siapa yang hatinya bergantung pada kepada kekayaan manusia, maka hidupnya hina. Dan barangsiapa yang menggantungkan hatinya hanya kepada Allah, tidak mengharap kecuali kepada Allah, tidak meminta hajatnya kecuali kepada Allah, tidak bertawakkal kecuali hanya kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan segala kebutuhan dunia dan akhiratnya. Allah ‘azzawajalla berfirman,
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya” (QS. Az Zumar 36).
Allah juga berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. At Tholaq : 3).
Dikutip dari https://muslim.or.id