Senin, 04 Maret 2019

Manfaat madu

Manfaat dari madu ini sudah dirangkum dengan jelas dalam surat an-nahl ayat 69 yang berbunyi :

ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسۡلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً يَخۡرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخۡتَلِفٌ أَلۡوَانُهُ فِيهِ شِفَاء لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوۡمٍ يَتَفَكَّرُونَ (69

Yang artinya : “kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” Ini menyatakan bahwa madu adalah salah satu dari minuman halal dalam islam. Dan berikut 8 manfaat madu dalam pandangan islam, yaitu:

1. Pencegahan Penyakit Berbahaya

Telah dijelaskan di dlaam islam, bahwa tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya bukan? Begitu juga dengan madu. Madu ini bisa menjadi pengobat dari beragam penyakit dan bahkan saking ampuhnya madu jiga di juluki rajanya obat dimana ada banyak sekali manfaat madu yang tidak pernah di duga dan bahkan terlihat sangat sempurna.

Bahkan madu juga dijelaskan dalam salah satu hadis yaitu : “Kesembuhan dari penyakit itu dengan melakukan tiga hal : berbekam, minum madu dan dibakar dengan besi panas. Tetapi aku melarang umatku membakar dengan besi panas itu.” (HR Al-Bukhari).

Beberapa hal yang bisa di cegah dari mengkonsumsi madu secar rutin adalah penyakit kanker dan juga penyakit jantung. Hal yang sangat ajaib bukan? Dimana kita ketahui bahwa penyakit kanker dan juga penyakit jantung adalah sekumpulan penyakit berbahaya yang sering menjadi penyebab kematian sekarang ini.

Karena banyaknya zat-zat berbahaya yang sering menginfeksi sel tubuh dna memicu terjadinya beragam penyakit berbahaya.

2. Mengatasi Gangguan Pencernaan

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengobatan madu dapat membantu gangguan seperti bisul dan bakteri gastroenteritis. Hal ini mungkin terkait dengan manfaat madu yang sangat banyak tersebut. Karena beragam manfaat ini maka sangat dianjurkan untuk mempelajari cara makan rasullulah yang menganjurkan kita untuk lebih menyukai dan membiasakan mengkonsumsi madu setiap hari dalam jumlah yang pas.

3. Anti-bakteri, anti iritasi dan anti jamur

Semua madu bersifat antibakteri karena lebah menambahkan enzim yang membuat hidrogen peroksida. Dan minuman bermanfaat serta berkhasiat ini juga merupakan minuman yang diyakini anti iritasi dan juga anti jamur. Inilah mengapa madu sangat di anjurkan dalam mengobati banyak permasalahan di dalam tubuh.

4. Meningkatkan Stamina

Tahukah anda bahwa para Atlet Olimpiade kuno akan makan madu dan buah ara kering untuk meningkatkan penampilan mereka. Ini sekarang telah diverifikasi dengan studi modern, menunjukkan bahwa ini lebih unggul dalam mempertahankan kadar glikogen dan memperbaiki waktu pemulihan daripada pemanis lainnya. Dan madu memang mengandung beberapa zat penting untuk meningkatkan stamina tubuh.

5. Mengurangi Batuk dan Iritasi Tenggorokan

Ini membantu dengan adanya masalah batuk, terutama madu soba. Dalam sebuah penelitian terhadap 105 anak-anak, satu dosis madu soba sama efektifnya dengan dosis dekstrometorfan tunggal dalam mengurangi batuk malam hari dan membiarkan tidur yang nyenyak. Bahkan anti iritasi dan anti bakteri yang dimiliki madu bisa mengatasi masalah iritasi tenggorokan yang kerap kali melanda anak-anak dan orang dewasa.

6. Elemen Madu

Madu telah digunakan dalam pengobatan Ayurvedic di India setidaknya 4000 tahun dan dianggap mempengaruhi ketiganya dari ketidakitifan materi primitif secara positif. Hal ini juga dikatakan bermanfaat dalam memperbaiki penglihatan, penurunan berat badan, penyembuhan impotensi dan ejakulasi dini, gangguan saluran kemih, asma bronkial, diare, dan mual.

Madu disebut “Yogavahi” karena memiliki kualitas penetrasi jaringan terdalam tubuh. Saat madu digunakan dengan sediaan herbal lainnya, madu ini meningkatkan kualitas obat dari sediaan tersebut dan juga membantu mereka mencapai jaringan yang lebih dalam. Bahkan dalam islam sendiri pengobatan menggunakan madu sudah dikenal dan dianjurkan oleh nabi.

7. Kontrol Gula Darah

Meskipun mengandung gula sederhana, namun kandungan madu tidaklah sama dengan gula putih atau pemanis buatan. Kombinasi pasti fruktosa dan glukosa benar-benar membantu tubuh mengatur kadar gula darah. Beberapa jenis madu memiliki indeks hipoglikemik rendah, sehingga tidak mempengaruhi kadar gula darah Anda. Bahkan madu adalah alternatif bagi penderita diabetes untuk memenuhi kebutuhan gula mereka.

8. Penyembuhan Luka

Mengoleskan  madu secara eksternal terbukti seefektif pengobatan konvensional dengan sulfadiazin perak. Diperkirakan bahwa efek pengeringan gula sederhana dan sifat antibakteri madu bergabung untuk menciptakan efek ini. Studi telah menunjukkan bahwa hal itu sangat berhasil dalam penyembuhan luka. Bahkan madu juga efektif dalam penyembuhan luka bakar, loh.

Beberapa varietas memiliki sejumlah besar kandungannbakteri ramah. Ini mencakup sampai 6 spesies lactobacilli dan 4 spesies bifidobacteria. Ini bisa menjelaskan tentang sifat terapeutik madu yang yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Namun walaupun madu adalah salah satu makanan halal, namun sebaiknya jangan diberikan untuk bayi kurang dari usia 6 bulan.

Karena kandungan dari Spora Clostridium botulinum telah ditemukan dalam persentase kecil madu. Hal ini tidak berbahaya bagi orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua, namun bayi dapat memiliki reaksi penyakit yang serius di tahun pertama. Jangan menambahkan madu ke makanan bayi atau gunakan sebagai alternatif untuk menenangkan bayi yang rewel atau kolik.

Sabtu, 02 Maret 2019

Hukum perdebatan


Debat atau yang disebut dengan sawala adalah kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok dalam mendiskusikan serta memutuskan masalah dan perbedaan yang timbul. Pada negara-negara oposisi perdebatan biasa terjadi.

Dalam Islam debat disebut jadal/jidal. Debat dalam Islam diperbolehkan apabila hal tersebut diperlukan. Debat dapat menjadi salah satu metode dakwah dalam Islam, namun seorang mukmin harus memahami jika perdebatan merupakan jalan terakhir yang bisa ditempuh dalam berdakwah, perdebatan bukan dilakukan untuk mengawali dakwah. Di dalam (QS. An Nahl[16] : 25), Allah berfirman :

“Serulah(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”

Namun, dalam diperbolehkannya debat atau diskusi, Allah dan Rasul-Nya telah menentukan aturan-aturan untuk membatasi perdebatan.

Tatanan berdebat dalam Islam

Sebagai mukmin yang baik, sudah seharusnya kita menjaga akhlak dalam segala perbuatan, termasuk saat sedang melakukan debat. Dibawah ini adalah beberapa tatanan debat dalam islam yang ditujukan untuk menjaga akhlak kita agar tetap baik, sebagai berikut :

Perhatikan topik yang diperdebatkan

Dalam berdebat atau berdiskusi ada hal-hal yang tidak boleh dibahas. Kita hanya boleh membahas hal-hal yang diperbolehkan oleh Allah untuk diperdebatkan dan didiskusikan, dan menjauhi perkara yang dilarang untuk diperdebatkan, misalnya mendebat perkara Allah dan ayat-ayatnya, seperti yang terdapat dalam (QS. Ar-Ra’du[13] : 13) :

“Dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia lah Tuhan Yang Maha Keras siksa-Nya.”

Mengingkari kemungkaran dan menyampaikan kebenaran memang merupakan kewajiban seorang muslim. Dalam masalah agama, apabila penjelasan mengenai kebenaran tersebut diterima, maka kehendakilah untuk melanjutkannya. Namun jika ditolak, maka hendaklah segera tinggalkan perdebatan tersebut. Dan untuk urusan dunia tidak ada alasan untuk berdebat karena itu dimurkai oleh Allah SWT, seperti sabda Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah ialah orang yang selalu mendebat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mendebat yang dimaksudkan oleh hadits diatas adalah tidak boleh mendebat dengan cara yang batil atau tanpa ilmu.

Debat dengan cara yang baik(ahsan)

Maksudnya adalah debat harus dilakukan dengan cara yang baik dan berpedomankan pada Al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana fungsi Al-Qur’an bagi umat manusia yaitu sebagai petunjuk. Ketika berdebat bukan hanya berfokus pada “inti” masalah, tapi juga harus menggunakan akal yang rasional, bukan prasangka buruk semata. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits berikut :

“Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Debat dilakukan pada hasil ide yang diperdebatkan

Debat dilakukan untuk menjatuhkan argumentasi-argumentasi yang batil, kemudian memberikan argumentasi bantahan yang benar dan akurat serta harus berdasarkan pada kajian hingga sampai pada suatu kebenaran. Di antara cara berdebat yang diajarkan dalam Al-Qur’an adalah teladan dari Nabi Ibrahim:

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya(Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan(kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan : “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,”orang itu menjawab “Saya dapat menghidupkan dan mematikan,” lalu Ibrahim kembali berkata “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dari barat,” lalu orang itu terdiam. (QS. Al-Baqarah[2] : 258)

Dari kutipan ayat tersebut  dapat diketahui jika debat dilakukan dengan cara yang baik dan berdasarkan hasil ide dari yang diperdebatkan

Tidak melakukan debat semata-mata untuk kesenangan

Debat menjadi salah satu cara yang digunakan untuk menyampaikan kebenaran dalam Islam seperti yang telah tertulis dalam (QS. An-Nahl[6] : 125). Lalu bukan berarti bisa setiap saat mendebat orang tanpa alasan yang kuat. Orang yang suka menjatuhkan dirinya dalam perdebatan dengan tujuan hanya ingin mendapati dirinya menang, maka hilanglah keberkahan ilmunya. Contohnya dapat kita lihat pada pelaku bid’ah, dia sama sekali tidak mencari kebenaran melainkan hanya ingin mencari-cari pembenaran untuk mendukung pendapatnya, bukan mencari kebenaran yang sejati.

Dan dalam hadist lain, Rasulullah pernah mengatakan jika pelaku bid’ah yang amalannya tidak didasarkan pada urusan agama islam dan sunah Rasul, maka perbuatannya akan ditolak. Dan bid’ah dalam Islam tentu saja tidak diperbolehkan.Dilarang menggunakan perkataan buruk dan keji

Saat berdebat, perlu diingat bahwa kita hanya berargumen untuk ide yang disampaikan, bukan orang yang menyampaikannya. Jadi, kita tidak boleh menggunakan kata-kata kasar yang tidak mencerminkan akhlak terpuji dalam islam. Kita dilarang mencela, berikut dalilnya :

“Bukanlah seorang mukmin jika suka mencela, melaknat dan berkata-kata keji.” (HR. Tirmidzi)

Debat memang diperbolehkan jika diperlukan, namun alangkah baiknya jika seorang mukmin menghindari hal tersebut sekalipun dia berada dipihak yang benar. Karena debat itu hanya menimbulkan amarah, menyebabkan dengki yang merupakan salah satu penyakit hati menurut islam, serta menimbulkan celaan terhadap orang lain. Nabi Muhammad SAW. bersabda :

“Aku berikan jaminan rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dipihak yang benar. Dan aku menjaminkan sebuah rumah ditengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah dibagian teratas surge bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud)

Dan janganlah melakukan debat jika hanya bertujuan untuk memamerkan ilmu pengetahuan yang dimiliki atau disebut ujub. karena ujub dalam Islam termasuk perilaku dan sifat yang tercela, dan perbuatan pamer dalam islamtentu dilarang.

Kandungan surat Al Furqan

Surat ini terdiri atas 77 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah. Dinamai Al Furqaan yang artinya pembeda, diambil dari kata Al Furqaanyang terdapat pada ayat pertama surat ini. Yang dimaksud dengan Al Furqaan dalam ayat ini ialah Al Quran.
Al Quran dinamakan Al Furqaan karena dia membedakan antara yang haq dengan yang batil. MAka pada surat ini pun terdapat ayat-ayat yang membedakan antara kebenaran ke-esaan Allah s.w.t. dengan kebatilan kepercayaan syirik.

Pokok-pokok isinya:

1. Keimanan:
Allah Maha Besar berkah dan kebaikan-Nya; hanya Allah saja yang menguasai langit dan bumi; Allah tidak punya anak dan sekutu; Al Quran benar-benar diturunkan dari Allah; ilmu Allah meliputi segala sesuatu; Allah bersemayam di atas Arsy; Nabi Muhammad s.a.w. adalah hamba Allah yang diutus ke seluruh alam; rasul- rasul itu adalah manusia biasa yang mendapat wahyu dari Allah; pada hari kiamat akan terjadi peristiwa-peristiwa luar biasa seperti belahnya langit, turunnya malaikat ke bumi, orang-orang berdosa dihalau ke neraka dengan berjalan atas muka mereka.

2. Hukum-hukum:
Tidak boleh mengabaikan Al Quran; larangan menafkahkan harta secara boros atau kikir; larangan membunuh atau berzina; kewajiban memberantas kekafiran dengan mempergunakan alasan Al Quran; larangan memberikan saksi palsu.

3. Kisah-kisah:
Kisah-kisah Musa a.s., Nuh a.s., kaum Tsamud dan kaum Syu’aib.

4. Dan lain-lain:
Celaan-celaan orang-orang kafir terhadap Al Quran; kejadian- kejadian alamiyah sebagai bukti ke-esaan dan kekuasaan Allah; hikmah Al Quran diturunkan secara berangsur-angsur; sifat-sifat orang musyrik antara lain mempertuhankan hawa nafsu; tidak mempergunakan akal; sifat-sifat hamba Allah yang sebenarnya.



Surat Al Furqaan mengandung penjelasan tentang kebenaraan ke Esaan Allah, kenabian Muhammad s.a.w. serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari kiamat dan mengemukakan pula kebatalan kemusyrikan dan kekafiran. Kejadian alamiyah seperti pergantian siang dan malam, bertiupnya angin, turunnya hujan dan lain-lain diterangkan Allah dalam surat ini sebagai bukti dari ke Esaan dan kekuasaan-Nya. Akibat umat-umat yang dahulu yang ingkar dan menentang nabi-nabi dikisahkan pula secara ringkas. Pada bagian terakhir, Allah menerangkan sifat-sifat yang terpuji dari hamba-Nya yang beriman.

HUBUNGAN SURAT AL FURQAAN DENGAN SURAT ASY SYU’ARAA’

1. Beberapa persoalan dalam surat Al Furqaan diuraikan lagi secara luas di dalam surat yang Asy Syu’araa’ antara lain beberapa kisah nabi-nabi.

2. Masing-masing dari kedua surat itu dimulai dengan keterangan dari Allah bahwa Al Quran adalah petunjuk bagi alam semesta dan membedakan barang yang hak dengan yang batil, dan ditutup dengan ancaman kepada orang- orang yang mendustakan.

Makna kafir dalam islam

Kata kafir dan derivasinya terulang ratusan kali dalam al-Quran, Abu Hilal al-Askary dalam al–Wujuuh wa an Nadhaair fi al Quranmengatakan bahwa secara bahasa al-Kufrbermakna menutupi, orang Arab biasa mengatakan al-Lailu Kafir (Malam adalah Kafir) karena malam menutupi segala sesuatu dengan kegelapannya, atau Kafara al-Ghamamu an-Nujuma (mendung menutupi bintang). Orang yang menanam disebut Kafir, karena ia menyembunyikan/menutup benih di dalam tanah, Kufur nikmat disebut kufur karena menutupinya.

Diantara beberapa makna dari kata kafir dalam al-Quran, adalah:

1. Makna yang paling terkenal yaitu lawan dari keimanan, ini nampak dalam firman Allah Q.S. At-Taghobun: 2 berikut:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنكُمْ كَافِرٌ وَمِنكُم مُّؤْمِنٌ

“Dialah yang menciptakan kamu, lalu diantara kamu ada yang kafir dan ada yang mukmin”

atau dalam firman Allah berikut:

فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ

“Barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.”

2. Lawan dari ketaqwaan, hal ini bisa dilihat dalam firman Allah dalam QS az Zumar 71-73:

وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَىٰ جَهَنَّمَ زُمَرًا

“Orang-orang kafir digiring ke neraka jahannam secara berombongan”

Ayat di atas kemudian diikuti oleh firman Allah berikut:

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا

“Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan

Kekafiran dalam pembagian kedua ini bukan termasuk kafir aqidah, ia lebih dekat dengan makna “Pelanggaran/kejahatan”(al-Ijram), ini dikuatkan dengan ayat ayat yang senada seperti:

يَوْمَ نَحْشُرُ الْمُتَّقِينَ إِلَى الرَّحْمَنِ وَفْدًا * وَنَسُوقُ الْمُجْرِمِينَ إِلَى جَهَنَّمَ وِرْدًا

“Pada hari itu Kami mengumpulkan orang orang yang bertaqwa kepada Yang Maha Pengasih bagaikan kafilah yang terhormat. Dan Kami akan menggiring orang yang durhaka ke neraka jahannam dalam keadaan dahaga.” (Q.S. Maryam: 85-86)

Atau dalam Q.S. Shad: 28 berikut:

أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ

“Atau pantaskah Kami mengganggap orang orang yang bertaqwa sama dengan orang orang jahat.”

 3. Lawan dari syukur atau ingkar kenikmatan, ini bisa dilihat dalam ayat berikut:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari, maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Q.S. Ibrahim: 7)

Juga dalam firman Allah:

وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Dan barang siapa bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur kepada dirinya sendiri, dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (Q.S. Luqman: 12)

dan dalam ayat berikut:

إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

“Ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (Q.S. Al-Insan: 86)

Kafir dalam makna ini bukan termasuk kafir aqidah.

4. Lawan dari amal sholih, yakni berbuat kerusakan, ini bisa dilihat dari firman Allah dalam ayat berikut:

مَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْره وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ

“Barangsiapa kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya, dan barangsiapa beramal sholih maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan).” (Q.S. Ar-Rum: 44)

Kafir dalam ayat ini bukan bermakna kafir aqidah, melainkan bermakna berbuat kerusakan, karena lawan beramal sholih adalah merusak (al-fasad) sebagaimana dalam ayat berikut:

أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ .

“Pantaskah Kami memperlakukan orang-orang beriman dan beramal sholih sama dengan orang yang berbuat kerusakan di bumi?” (Q.S. Shad: 28)

5. Bebas atau tidak ada ikatan, ini bisa dilihat dalam firman Allah berikut:

كَفَرْنا بِكُمْ

“Kami mengingkarimu.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 4)

juga dalam ayat:

يكفُرُ بَعضُكم ببَعضٍ

“Sebagian kamu akan saling mengingkari” (Q.S. Al-Ankabaut: 25)

dan dalam ayat:

إنِّي كفَرْتُ بما أَشْركتُمُونِ

“Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah).” (Q.S. Ibrahim: 22)

Kesimpulan dari paparan singkat di atas adalah bahwa kata ‘kafir’ dalam al-Quran memiliki makna yang bermacam-macam, ia bisa berarti kafir dalam aqidah, berbuat pelanggaran, mengingkari kenikmatan Allah, berbuat kerusakan dan pengingkaran hubungan. Pemaknaan ini bisa diamati melalui konteks ayat dan kaitannya dengan ayat yang lain.

Wallahu A’lam.

Dikutip dari: islami.co

Tahapan penulisan Al Qur'an

Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.

Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak

Dalam kitab Shahih Bukhari dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.

Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.

Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.

Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.

Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.

Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.

Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.

Mush’ab Ibn Sa’ad mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakar mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.

Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.

Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.

Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.

Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.



Dikutip dari https://almanhaj.or.id