Senin, 08 April 2019

Shaf dalam sholat

Ibnu Hazm, Imam Bukhari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Asy Syaukani menganggap meluruskan shaf itu wajib. Dalil kalangan yang mewajibkan adalah berdasarkan riwayat An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ

“Hendaknya kalian meluruskan shaf kalian atau tidak Allah akan membuat wajah kalian berselisih.” (HR. Bukhari no. 717 dan Muslim no. 436).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak lurusnya shaf akan menimbulkan permusuhan dan kebencian, serta membuat hati kalian berselisih.” (Syarh Muslim, 4: 157)

Perintah untuk meluruskan shaf juga disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ

“Luruskanlah shaf karena lurusnya shaf merupakan bagian dari kesempurnaan shalat.” (HR. Bukhari no. 723 dan Muslim no. 433).

Dalam riwayat Bukhari dengan lafazh,

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ

“Luruskanlah shaf karena lurusnya shaf merupakan bagian dari ditegakkannya shalat.”

Dalil dari hadits Anas bin Malik,

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّى أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِى » . وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

“Dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ”Luruskanlah shaf kalian, aku melihat kalian dari belakang punggungku.” Lantas salah seorang di antara kami melekatkan pundaknya pada pundak temannya, lalu kakinya pada kaki temannya.” (HR. Bukhari no. 725).

Sabtu, 06 April 2019

Menyambut Ramadhan Ala Rosululloh

Wahai kaum muslimin, hendaknya kita mengetahui bahwa salah satu nikmat yang banyak disyukuri meski oleh seorang yang lalai adalah nikmat ditundanya ajal dan sampainya kita di bulan Ramadhan. Tentunya jika diri ini menyadari tingginya tumpukan dosa yang menggunung, maka pastilah kita sangat berharap untuk dapat menjumpai bulan Ramadhan dan mereguk berbagai manfaat di dalamnya.

Bersyukurlah atas nikmat ini. Betapa Allah ta’ala senantiasa melihat kemaksiatan kita sepanjang tahun, tetapi Dia menutupi aib kita, memaafkan dan menunda kematian kita sampai bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan.

Ketidaksiapan yang Berbuah Pahit

Imam Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah memaparkan dua perkara yang wajib kita waspadai. Salah satunya adalah [اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ], yaitu kewajiban telah datang tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya. Ketidaksiapan tersebut salah satu bentuk meremehkan perintah. Akibatnya pun sangat besar, yaitu kelemahan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan terhalang dari ridha-Nya. Kedua dampak tersebut merupakan hukuman atas ketidaksiapan dalam menjalankan kewajiban yang telah nampak di depan mata.

Abu Bakr Az Zur’i menyitir firman Allah ta’ala berikut,

فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِيَ أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوا مَعِيَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيتُمْ بِالْقُعُودِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ (٨٣)

“Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), Maka katakanlah: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (At Taubah: 83).

Renungilah ayat di atas baik-baik! Ketahuilah, Allah ta’ala tidak menyukai keberangkatan mereka dan Dia lemahkan mereka, karena tidak ada persiapan dan niat mereka yang tidak lurus lagi. Namun, bila seorang bersiap untuk menunaikan suatu amal dan ia bangkit menghadap Allah dengan kerelaan hati, maka Allah terlalu mulia untuk menolak hamba yang datang menghadap-Nya. Berhati-hatilah dari mengalami nasib menjadi orang yang tidak layak menjalankan perintah Allah ta’ala yang penuh berkah. Seringnya kita mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan kita tertimpa hukuman berupa tertutupnya hati dari hidayah.

Allah ta’ala berfirman,

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (١١٠)

“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al An’am: 110).

Persiapkan Amal Shalih dalam Menyambut Ramadhan

Bila kita menginginkan kebebasan dari neraka di bulan Ramadhan dan ingin diterima amalnya serta dihapus segala dosanya, maka harus ada bekal yang dipersiapkan.

Allah ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ (٤٦)

“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At Taubah: 46).

Harus ada persiapan! Dengan demikian, tersingkaplah ketidakjujuran orang-orang yang tidak mempersiapkan bekal untuk berangkat menyambut Ramadhan. Oleh sebab itu, dalam ayat di atas mereka dihukum dengan berbagai bentuk kelemahan dan kehinaan disebabkan keengganan mereka untuk melakukan persiapan.

Sebagai persiapan menyambut Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Saya sama sekali belum pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban, kecuali sedikit hari.”

Beliau tidak terlihat lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban, dan beliau tidak menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.

Generasi emas umat ini, generasi salafush shalih, meeka selalu mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan,

كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan.”

Tindakan mereka ini merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan, permohonan dan bentuk ketawakkalan mereka kepada-Nya. Tentunya, mereka tidak hanya berdo’a, namun persiapan menyambut Ramadhan mereka iringi dengan berbagai amal ibadah.

Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan,

شهر رجب شهر للزرع و شعبان شهر السقي للزرع و رمضان شهر حصاد الزرع

“Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen.”

Sebagian ulama yang lain mengatakan,

السنة مثل الشجرة و شهر رجب أيام توريقها و شعبان أيام تفريعها و رمضان أيام قطفها و المؤمنون قطافها جدير بمن سود صحيفته بالذنوب أن يبيضها بالتوبة في هذا الشهر و بمن ضيع عمره في البطالة أن يغتنم فيه ما بقي من العمر

“Waktu setahun itu laksana sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu menumbuhkan daun, Syaban adalah waktu untuk menumbuhkan dahan, dan Ramadhan adalah bulan memanen, pemanennya adalah kaum mukminin. (Oleh karena itu), mereka yang “menghitamkan” catatan amal mereka hendaklah bergegas “memutihkannya” dengan taubat di bulan-bulan ini, sedang mereka yang telah menyia-nyiakan umurnya dalam kelalaian, hendaklah memanfaatkan sisa umur sebaik-baiknya (dengan mengerjakan ketaatan) di waktu tesebut.”

Wahai kaum muslimin, agar buah bisa dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun. Puasa, qiyamullail, bersedekah, dan berbagai amal shalih di bulan Rajab dan Sya’ban, semua itu untuk menanam amal shalih di bulan Rajab dan diairi di bulan Sya’ban. Tujuannya agar kita bisa memanen kelezatan puasa dan beramal shalih di bulan Ramadhan, karena lezatnya Ramadhan hanya bisa dirasakan dengan kesabaran, perjuangan, dan tidak datang begitu saja. Hari-hari Ramadhan tidaklah banyak, perjalanan hari-hari itu begitu cepat. Oleh sebab itu, harus ada persiapan yang sebaik-baiknya.

Jangan Lupa, Perbarui Taubat!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُون

“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.”

Taubat menunjukkan tanda totalitas seorang dalam menghadapi Ramadhan. Dia ingin memasuki Ramadhan tanpa adanya sekat-sekat penghalang yang akan memperkeruh perjalanan selama mengarungi Ramadhan.

Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat, karena taubat wajib dilakukan setiap saat. Allah ta’ala berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)

“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An Nuur: 31).

Taubat yang dibutuhkan bukanlah seperti taubat yang sering kita kerjakan. Kita bertaubat, lidah kita mengucapkan, “Saya memohon ampun kepada Allah”, akan tetapi hati kita lalai, akan tetapi setelah ucapan tersebut, dosa itu kembali terulang. Namun, yang dibutuhkan adalah totalitas dan kejujuran taubat.

Jangan pula taubat tersebut hanya dilakukan di bulan Ramadhan sementara di luar Ramadhan kemaksiatan kembali digalakkan. Ingat! Ramadhan merupakan momentum ketaatan sekaligus madrasah untuk membiasakan diri beramal shalih sehingga jiwa terdidik untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan di sebelas bulan lainnya.

Wahai kaum muslimin, mari kita persiapkan diri kita dengan memperbanyak amal shalih di dua bulan ini, Rajab dan Sya’ban, sebagai modal awal untuk mengarungi bulan Ramadhan yang akan datang sebentar lagi.

Ya Allah mudahkanlah dan bimbinglah kami. Amin.

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.



Dikutip dari https://muslim.or.id

Jumat, 05 April 2019

Kriteria wanita yang akan masuk surga

Rasulullah pernah bersabda bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah wanita. Rasulullah juga mengisyaratkan banyaknya wanita muslimah yang masuk surga. Bahkan, ada wanita-wanita muslimah yang bisa masuk surga dari pintu manapun. Ya, wanita muslimah seperti Anda bebas mau masuk surga dari pintu manapun, asalkan memenuhi 4 kriteria berikut ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita tersebut, “Masuklah ke surga melalui pintu manapun yang engkau suka.”(HR. Ahmad; shahih)

Menjaga shalat lima waktu

Kriteria pertama wanita bisa masuk surga dari pintu manapun, setelah ia beriman kepada Allah, adalah menjaga shalat lima waktu. Artinya ia selalu mengerjakan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh. Tidak pernah meninggalkan shalat-shalat tersebut kecuali di saat-saat diharamkan shalat, yakni saat haidh dan nifas. Ia tidak malas mengerjakannya, juga tidak menunda-nunda.

Shalat demikian penting dan menempati urutan pertama amal seseorang. Shalat juga menjadi barometer amal-amal lainnya.

إن أول ما يحاسب به العبد صلاته فإن صلحت صلح سائر عمله وإن فسدت فسد سائر عمله

“Amal yang akan dihisab pertama kali dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Jika baik shalatnya, baik pula seluruh amalnya. Jika buruk shalatnya, buruk pula seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi)

Berpuasa di bulan Ramadhan

Kriteria kedua wanita bisa masuk surga dari pintu manapun adalah puasa Ramadhan. Ia berpuasa penuh di bulan yang mulia itu, kecuali pada hari-hari ia berhalangan dan diharamkan berpuasa. Maka saat ia terhalang haid, ia menggantinya di bulan lain selain Ramadhan. Pun saat ia udzur karena sakit, ia menggantinya di hari lain. Sedangkan saat ia telah tua dan tidak mampu berpuasa, ia pun membayar fidyah sebagai gantinya.

Sesungguhnya, surga disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ

“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Rabbnya.” (QS. Al Qalam : 34)

Sedangkan puasa Ramadhan, tujuannya adalah membentuk insan yang bertaqwa.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

”Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi bertaqwa.” (QS. Al Baqarah : 183)

Menjauhi zina

Kriteria ketiga wanita bisa masuk surga dari pintu manapun adalah menjaga kemaluannya dari zina. Artinya, bukah hanya ia tidak berzina, tetapi ia juga menjauhi zina sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk” (QS.Al Isra’ : 32)

Wanita yang ingin bisa masuk surga dari pintu manapun, ia tidak pernah berzina, ia tidak pernah selingkuh, ia menjaga tata pergaulannya sesuai aturan Islam, hingga terjagalah dirinya dari khalwat-ikhtilat dan hal-hal lain yang mendekati dan dapat mengantarkan menuju zina.

Taat kepada suami

Kriteria keempat wanita bisa masuk surga dari pintu manapun adalah, ia mentaati suaminya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariat. Bagi wanita muslimah, setelah ia menikah, maka orang pertama yang berhak ia taati adalah suaminya. Bahkan melebihi ketaatan kepada orangtua. Khususnya ketika suaminya sejalan dengan aturan agama.

Maka bayangkanlah, alangkah bahagianya, di hari yang ketika itu banyak wanita dilemparkan ke neraka, Anda dapat melenggang ke surga. Dan di tempat yang penuh kenikmatan itu, Anda dipersilakan untuk memilih masuk dari pintu manapun. Betapa mulia dan betapa bahagianya. Semoga.

Wallahu a’lam bish shawab.

Penghalang wanita masuk surga


Ada beberapa sifat wanita yang sulit masuk surga.

Pertama: Enggan Taat pada Suami

Al-Hushain bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,

أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad, 4:341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 1933)

Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina), dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah ke dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad, 1:191 dan Ibnu Hibban, 9:471. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 1932 bahwa hadits ini hasan lighairihi).

Kedua: Kurang Bersyukur pada Pemberian Suami

Dari Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اطَّلَعْتُ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاء

“Aku diperlihatkan di surga, Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum fakir. Lalu aku diperlihatkan neraka. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita.” (HR. Bukhari, no. 3241 dan Muslim, no. 2737)

Adapun sebabnya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya tentang hal itu, lalu beliau menjelaskan dalam riwayat ‘Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

“Aku diperlihatkan neraka. Aku tidak pernah melihat pemandangan seperti hari ini yang sangat mengerikan. Dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita. Mereka bertanya, ‘Kenapa bisa seperti itu wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Dikarenakan kekufurannya.’ Lalu ada yang berkata, ‘Apakah karena mereka kufur kepada Allah?’ Beliau menjawab, ‘Mereka kufur terhadap pasangannya, maksudnya adalah mengingkari kebaikannya. Jika engkau berbuat baik kepada istrimu sepanjang tahun, kemudian ia melihat sedikit engkau tidak berbuat baik padanya sekali saja, pasti ia akan mengatakan, ‘Aku tidak melihat kebaikan sedikitpun padamu.” (HR. Bukhari, no. 1052)

Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar waktu Idul Adha atau Idul Fitri dan melewati para wanita dan bersabda, “Wahai para wanita, keluarkanlah sedekah karena aku diperlihatkan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah dari kalangan kalian.” Mereka berkata, “Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kalian sering mengumpat dan mengingkari pemberian suami. Aku tidak melihat (orang) yang kurang akal dan agama dari kalangan kalian yang bisa mengalahkan laki-laki yang cerdas.” Mereka bertanya, “Apa kekurangan agama dan akal kami wahai Rasulullah?”  Beliau menjawab, “Bukankah persaksian seorang wanita itu separuh dari persaksian laki-laki.’ Mereka menjawab, “Iya.” Beliau melanjutkan, “Itu adalah kekurangan akalnya. Bukankah kalau wanita itu haid tidak shalat dan tidak berpuasa.” Mereka menjawab, “Iya.” Beliau mengatakan, “Itu adalah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari, no. 304)

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ’anhuma berkata, “Aku menyaksikan shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah tanpa azan dan iqamah. Kemudian berdiri bersandar kepada Bilal dan memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan menganjurkan kepada ketaatan kepada-Nya dan menasihati manusia serta mengingatkannya. Kemudian beliau berjalan mendatangi para wanita, dan memberikan nasihat kepada mereka dan mengingatkannya. Beliau bersabda, ‘Bersedekahlah para wanita karena kebanyakan dari kalian itu menjadi bara api neraka Jahanam.’ Maka ada wanita bangsawan dan kedua pipinya berwarna (merah) berdiri bertanya, ‘Kenapa wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Karena kalian seringkali mengadu dan mengufuri pemberian suami.’ Berkata (Jabir), ‘Maka para wanita memulai bersedekah dan melemparkan gelang, giwang, dan cincinnya ke pakaian Bilal.” (HR. Muslim, no. 885)

Ketiga: Wanita yang menyemir rambutnya, khususnya dengan warna hitam


Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

“Pada akhir zaman nanti akan ada orang-orang yang mengecat rambutnya dengan warna hitam seperti warna mayoritas dada merpati, mereka tidak akan mendapat bau surga.” (HR. Abu Daud, no. 4212. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana disebutkan dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 2097)

Keempat: Wanita yang meminta cerai tanpa suatu alasan

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Wanita mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR. Abu Daud, no. 2226; Tirmidzi, no. 1187; dan Ibnu Majah, no. 2055. Abu Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Al-Hafizh Al-Mubarakfuri rahimahullah berkata bahwa kenikmatan yang pertama kali dirasakan penduduk surga adalah mendapatkan baunya surga. Inilah yang didapatkan oleh orang-orang yang berbuat baik. Sedangkan yang disebutkan dalam hadits adalah wanita tersebut tidak mendapatkan bau surga itu. Hal ini menunjukkan ancaman bagi istri yang memaksa minta diceraikan tanpa alasan. (Tuhfah Al-Ahwadzi, 4:381, Penerbit Darus Salam). Al-‘Azhim Abadi juga menyebutkan hal yang sama dalam ‘Aun Al-Ma’bud, 6:201, Penerbit Darul Minhal.

Kelima: Wanita yang mengaku keturunan orang lain

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ قَدْرِ سَبْعِينَ عَامًا أَوْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ عَامًا قَالَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa mengaku keturunan dari orang lain yang bukan ayahnya sendiri tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau surga telah tercium pada jarak tujuh puluh tahun, atau tujuh puluh tahun perjalanan.” (HR. Ahmad, 10:96. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 1:103 menyatakan bahwa perawi hadits ini shahih)

Keenam: Wanita yang berpakaian tetapi telanjang

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat: (1) suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, dengannya ia memukuli orang; (2) wanita-wanita yang berpakaian (tetapi) telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan condong (dari ketaatan), rambut mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan sejauh ini dan ini.” (HR. Muslim, no.2128)


Dikutip dari : https://rumaysho.com

Kamis, 04 April 2019

Hukum lamaran menurut islam



Dalam islam, lamaran dikenal dengan istilah “khitbah” yang berarti meminang.  Ini merupakan proses dimana laki-laki datang menemui wali si wanita untuk meminta ijin menikahinya.  Pada saat mengkhitbah, laki-laki boleh datang secara langsung ataupun diwakilkan. Boleh juga mengajak anggota keluarga ataupun datang sendirian. Kemudian pihak wanita nantinya harus memberikan jawaban apakah iya atau tidak. Apabila kedua belah pihak sudah setuju, maka status si peminang akan menjadi khootoban. Sedangkan wanita yang dipinang menjadi makhthuuban.

Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang perempuan:  “Melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”. (HR al-Thirmizi dan al-Nasai)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum lamaran (khitbah) dalam islam adalah diperbolehkan. Namun islam tidak mengenal istilah tunangan. Dan untuk adat tukar cincin juga tidak pernah diajarkan dalam islam.

Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Prosesi Khitbah

Proses lamaran atau khitbah tentunya harus dilakukan secara syar’i sesuai aturan agama. Nah, berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan khitbah:

Pihak Laki-Laki Dianjurkan Melihat Wanita

Tata cara pernikahan dalam islam biasanya diawali dengan khitbah, dimana pihak laki-laki dianjurkan untuk melihat calon wanita yang hendak dilamar. Ini bisa dilakukan dengan mengutus orang lain atau datang melihat secara langsung. Untuk bagian fisik yang boleh dilihat menurut jumhur ulama hanya pada bagian wajah dan telapak tangan saja. Kedua bagian tersebut sudah cukup menunjukkan kecantikan, kesuburan, kebersihan dan kesehatan si wanita.

Dalam suatu hadist dijelaskan:

“Bahwa Rasulullah saw mengutus Ummu Sulaim kepada seorang perempuan, Rasulullah saw berkata kepada Ummu Sulaim, ‘Lihatlah urat di atas tumitnya dan ciumlah bau mulutnya‘” (HR. Ahmad).

Dari Bakr bin Abdullah al-Muzani berkata bahwa Mughirah bin Syu’ban berkata, “Aku datang kepada Nabi SAW, lalu aku sebutkan seorang wanita yang akan aku khitbah. Beliau bersabda, Pergilah dan lihatlah ia, maka sesungguhnya hal itu lebih pantas untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata pada seseorang yang akan menikahi wanita: ‘Apakah engkau telah melihatnya? Dia berkata: “Belum”. Beliau bersabda: ’Maka pergilah, lalu lihatlah padanya. ” (HR. Muslim)

Nabi Muhammad shallallahu‘alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian meminang seorang perempuan, maka jika ia bisa melihat dari perempuan itu apa yang dapat menyerunya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya. Jabir berkata: aku meminang seorang perempuan maka aku bersembunyi terhadapnya hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, kemudian aku menikahinya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Kriteria dan Sifat Calon yang Dipertimbangkan

Jika untuk melihat wanita, terdapat 4 hal yang bisa dilihat yakni agama, harta, keturunan dan kecantikan. Dari keempat faktor tersebut dianjurkan agar mengutamakan agama. Sebab kriteria istri yang baik  dan  ciri wanita yang baik untuk dinikahi menurut Islamadalah seseorang yang ilmu agamanya bagus. Dengan demikian bisa terwujud kehidupan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda: “Dinikahi wanita karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya, maka utamakanlah yang punya agama sehingga kamu akan beruntung.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)

Sedangkan bagi wanita, cara memilih calon pendamping hidup sesuai syariat I=islam hendaknya mengutamakan agama dan akhlak si laki-laki. Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.’” (HR. at-Tirmidzi)

Jawaban Wanita Saat Dilamar

Ketika seorang laki-laki datang melamar wanita, maka wali wajib meminta persetujuan dari si wanita. Orang tua tidak boleh mengambil keputusan sendiri tanpa izin dari anaknya. Untuk cara menjawabnya, tidak harus melalui lisan. Biasanya wanita cenderung malu-malu. Maka jika ia diam itu berarti menjadi pertanda bahwa ia ridha dan setuju dengan lamaran tersebut.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak dinikahi seorang janda kecuali sampai dia minta dan tidak dinikahi seorang gadis sampai dia mengijinkan (sesuai kemauannya), Mereka bertanya “Ya Rasulullah, bagaimana ijinnya ? Beliau menjawab ‘Jika dia diam’”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Wanita yang Telah Dikhitbah Maka Statusnya Terikat

Apabila proses khitbah telah disetujui kedua belah pihak keluarga, serta telah direncakan tanggal pernikahan dan sebagainya, maka status wanita yang dipinang menjadi terikat. Ia tidak boleh menerima lamaran dari orang lain kecuali lamaran pertama telah dibatalkan.

Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya “ ( HR Muslim)

Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya ia berkata: “ Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya  meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” ( HR Bukhari)

Lamaran Tidak Harus Diramai-Ramai

Terdapat suatu hadist yang menjelaskan bahwa prosesi lamaran atau khitbah tidak harus diramai-ramai atau dimeriahkan berlebihan.

“Umumkanlah pernikahan dan rahasiakanlah khitbah (lamaran)” (Hadist ini diriwayatkan oleh ad-Daylami dalam Musnad al-Firdaus)

Dalam as-Silsilah ad-Dha’ifah dan dalam Dha’if al-Jami’ as-Shaghir, Syaikh Al-Albani rahimanullah, beliau mengatakan bahwa hadist diatas bersifat lemah (dhaif). Namun untuk masalah pernikahan memang dianjurkan untuk diumumkan.

Diharamkan Berduaan

Walaupun telah berstatus calon pengantin dan proses khitbah telah resmi dilakukan, namun kedua pasangan tetap dilarang berkhalawat berduaan. Bila memang ingin bertemu karena urusan penting maka harus ditemani oleh walinya. Ingat, berduanya wanita dan pria yang bukan muhrim bisa mendatangkan godaan syaitan. Jadi cukuplah bertaaruf di rumah wali. Percayalah akan indahnya menikah tanpa pacaran.

Hukum Tukar Cincin Saat Lamaran Menurut Islam

Umumnya masyarakat Indonesia melakukan prosesi tukar cincin saat acara lamaran. Bagaimana islam memandang hal tersebut? Perlu diketahui bahwa islam tidak pernah mensyariatkan tukar cincin saat khitbah. Terlebih lagi bila itu cincin emas, maka laki-laki haram menggunakannya. Sebagaimana hadist dibawah ini:

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Emas dan sutra dihalalkan bagi para wanita dari umatku, namun diharamkan bagi para pria.”(HR. Ahmad dan an-Nasaai)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang cincin emas (bagi laki-laki)”. (Muttafaqun ‘alaihi).

Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Memakai emas haram bagi kaum laki-laki, baik bentuknya cincin, kancing baju, kalung atau selain dari itu.” (Majmu’ Rasail: 11/99)

Lalu bagaimana jika cincin yang dikenakan pria bukanlah cincin emas. Apakah diperbolehkan?

Syaikh al Fauzan hafizhahullah menjelaskan: “Adapun cincin tunangan, maka ini bukanlah berasal dari budaya kaum muslimin. Ia dipakai saat akan dilaksanakannya pernikahan. Tidak boleh memakai cincin tunangan karena beberapa alasan, karena hal tersebut meniru tradisi kaum (kafir) yang tidak ada kebaikannya sedikitpun. Ia adalah tradisi baru yang masuk ketengah-tengah kaum muslimin, bukan dari tradisi umat Islam.

Syaikh bin Baz yang ditanya tentang hukum tukar cincin saat tunangan dan beliau menjawab, “Aku tidak mengetahui budaya ini berasal dari syariat, sehingga lebih utama ditinggalkan.” (Fatawa Ulama Baladul Haram)

Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan tentang hukum tukar cincin dalam islam: “Cincin nikah yang biasa digunakan adalah emas. Padahal emas sama sekali tidak punya pengaruh bagi yang mengenakannya. Sebagian orang yang mengenakan cincin pernikahan ini terkadang membuat ukiran di emas tersebut dan diserahkan pada istrinya. Begitu pula si istri diukir namanya di cincin dan diberikan pada suaminya. Mereka meyakini bahwa tukar cincin semacam ini akan lebih merekat ikatan cinta diantara pasangan suami istri. Dalam kondisi seperti ini, cincin pernikahan bisa jadi haram karena cincin menjadi sandaran hati padahal hal tersebut tidak dibolehkan secara syar’i maupun terbukti dari segi keilmiahan. Begitu pula tidak boleh menggunakan cincin nikah yang dikenakan oleh pasangan yang baru dilamar, karena jika belum ada akad nikah, si wanita belumlah menjadi istri dan belum halal baginya. Wanita tersebut bisa halal bagi si pria jika benar-benar telah terjadi akad.” (al-Fatawa al-Jami’ah lil Mar-ah al-Muslimah).

Jadi kesimpulannya, hukum lamaran dalam islam adalah sama dengan khitbah yakni dianjurkan. Namun tidak ada perintah syar’i untuk melakukan tukar cincin. Demikian penjelasan dari kami. Semoga bermanfaat.