Selasa, 18 Februari 2020

Hikmah Tayamum


Disyariatkannya tayamum ialah memberi keringanan kepada umat Islam dalam melaksanakan syariat agamanya karena kondisi yang tidak memungkinkan menggunakan air. Keringanan tersebut disebut rukhsah
a. Untuk menunjukkan sifat Rahman dan Rahim Tuhan, bahwa syariat Islam itu tidak mempersulit umat-Nya.
b. Hikmah yang terdapat pada tanah sebagai pengganti air untuk bersuci antara lain adalah menuntut keikhlasan dan kesabaran kita.
c. Menyadarkan akan asal manusia diciptakan, bahwa dirinya diciptakan dari tanah.
d. Memberikan kesadaran bahwa tidak ada alas an untuk meninggalkan ibadah.

Diantara hikmah tayyamum adalah untuk menyucikan diri kita dan agar kita bersyukur dengan syari’at ini. Sehingga semakin nampak kepada kita bahwa Allah sama sekali tidak ingin memberatkan hamba-Nya. Setelah menyebutkan syariat bersuci, Allah mengakhiri ayat tersebut dengan firman-Nya:

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya ;

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak menyucikan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.(Qs. Al Maidah: 6).

Diantara hal-hal yang dituduh menyelisihi akal adalah masalah tayamum. Maka ada tanggapan bahwa tayamum tidak dapat diterima oleh akal apabila ditinjau dari dua segi, yaitu: pertama, tanah atau debu adalah sesuatu yang kotor, sehingga tidak dapat menghilangkan daki maupun kotoran-kotoran lainnya. Demikian pula tidak dapat membersihkan pakaian. Kedua, tayamum hanya disyari’atkan pada dua anggota badan (wudlu), dan ini tidak sesuai dengan akal logika yang sehat.

Benar jika syari’at tayamum itu memang tidak sesuai dengan akal yang picik. Akan tetapi, ia sangat selaras dengan akal yang sehat. Karena sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan air sebagai su,ber utama kehidupan, sementara manusia diciptakan dati tanah. Tubuh kita tersiri dari dua unsur tersebut, yakni air dan tanah. Dan telah pula dijadikan dari dua unsur itu makanan bagi kita. Lalu keduanya dijadikan alat bagi kita untuk bersuci dan beribadah. Tanah adalah materi asal kejadian manusia dan air adalah sumber kehidupan bagi segal sesuatu. Lalu Allah SWT menyusun alam ini dan kedua unsur itu sebagai sumber utamanya.

Pada dasarnya, bahan yang dipakai untuk membersihkan sesuatu dari kotoran dari situasi dan kondisi yang biasa adalah air. Tidak diperkenankan untuk tidak mempergunakan air sebagai bahan pembersih, kecuali pada saat itu air tidak ada, atau karena adanya halangan seperti sakit serta sebab-sebab yang lain (yang dapat dibenarkan oleh syara’). Pada saat kondisi tidak memungkinkan untuk mempergunakan air seperti itu, maka mempergunakan tanah sebagai pengganti air adalah jauh lebih utama dibandingkan dengan yang lain. Hal ini karena tanah adalah saudara kandung air. Meskipun pada lahirnya tanah (debu) nampak kotor, namun ia dapat mensucikan kotoran secara batin. Hal ini diperkuat oleh kemampuan tanah untuk menghilangkan kotoran-kotoran secara lahir ataupun mengurangi kadar kotornya. Ini adalah persoalan yang tidak asing bagi mereka yangilmu yang mendalam, sehingga mampu mengungkap hakikat-hakikat dari sesuatu amalan serta memahami kaitan antara lahir dan batin bersama interaksi yang terjadi diantara keduanya.

Adapun segi atau pandangan yang kedua, yaiut pensyari’atan tayamum yang hanya pada dua anggota badan (wudlu) tidak sesuai dengan akal, sementara telah diketahui, bahwa tayamum disyari’atkan pada seluruh anggota badan (wudlu) seperti halnya dengan air.

Akan tetapi, pada hakikatnya pensyari’atan tayamum hanya pada dua anggota badan (wudlu) berada pada puncak kesucian dan keselarasan dengan akal yang sehat, serta mengandung rasia dan hikmah yang cukup mendalam. Karena pada umumnya, melumuri kepala denagna debu (tanah) adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan jiwa yang normal. Oleh sebab itu, perbuatan tersebut umumnya hanya dilakukan orang saat ia ditimpa musibah dan kesulitan. Adapun kedua kaki umumnya adalah anggota badan yang senantiasa bersentuhan dengan tanah.

Dari sisi lain, menyapukan tanah (debu) kemuka atau wajah merupakan gambaran ketundukan dan pengagungan kepada Allah SWT, dan kerendan hati sangat disukai oleh Allah SWT dan mengandung manfaat yang besar bagi hamba. Oleh sebab itu, diperintahkan bagi setiap hamba untuk sujud dan langsung menempelkan wajahnya langsung ke tanah, dan tidak melakukan sesuatu yang menghalangi wajahnya bersebtuhan dengan tanah.

Apabila kita telusuri persoalan ini lebih jauh, maka akan nampak bagi kita hikmah lain yang unik, dimana tayamum disyari’atkan hanya pada dua anggota badan (wudlu) yang wajib dibasuh saat seseorang berwudlu, dan tidak disyari’atkan pada dua anggota badan (wudlu) lain yang boleh untuk dibasuh. Bukankah kaki boleh dibasuh di atas sepatu dan kepala boleh disuh di atas sorban? Maka setelah kepala dan kaki mendapat keringanan dari mencuci menjadi membasuh saat berwudlu, sudah sepatutnya apabila kedua anggota ini juga diberi keringanan atas dasar pengampunan untuk tidak disapu dengan tanah saat melakukan tayamum. Sebab, apabila kepala dan kaki disyari’atkan untuk disapu pula dengan tanah (debu) pada saat bertayamum, niscaya tidak ada keringanan yang terjadi (akan tetapi justru memberatkan). Yang ada hanyalah perpindahan bentu dari menyapu dengan menyapu dengan tanah (debu). Dan ini menyalahi hikmah pensyari’atan tayamum yang bertujuan memberikan keringanan. Dari sini nampak jelas, bahwa hokum yang ditetapkan oleh syari’at Islam itu demikian sempurna dan adil. Dan inilah timbangan yang benar untuk memahami persoalan ini.

Senin, 17 Februari 2020

Pengertian Tayamum


Kata tayamum menurut bahasa sama dengan al-qashdu yang berarti menuju, menyengaja. Menurut pengertian syara’ tayamum adalah menyengaja (menggunakan) tanah untuk menyapu dua tangan dan wajah dengan niat agar dapat mengerjakan shalat dan sepertinya.

Tayamum adalah pengganti wudhu atau mandi wajib yang tadinya seharusnya menggunakan air bersih digantikan dengan menggunakan tanah atau debu yang bersih, sebagai rukhsah (keringanan) untuk orang yang tidak dapat memakai air karena beberapa halangan (uzur) yaitu karena sakit, karena dalam perjalanan, dan karena tidak adanya air. Yang boleh dijadikan alat tayamum adalah tanah suci yang ada debunya.

Dilarang bertayamum dengan tanah berlumpur, bernajis atau berbingkah. Pasir halus, pecahan batu halus boleh dijadikan alat melakukan tayamum. Orang yang melakukan tayamum lalu shalat, apabila air sudah tersedia maka ia tidak wajib mengulang sholatnya. Namun untuk menghilangkan hadast, harus tetap mengutamakan air daripada tayamum yang wajib hukumnya bila sudah tersedia. Tayamum untuk hadast hanya bersifat sementara dan darurat hingga air sudah ada. Pensyari’atan tayamum ini berdasarkan firman Allah dalam Q.S.An-Nisa’ayat 43,sebagai berikut:



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (43)


Artinya:


Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk, sampai kalain mengetahui apa yang kalian katakan; dan jangan pula dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat, sampai kalian mandi; dan jika kalian dalam keadaan sakit, atau safar, atau salah seorang dari kalian datang dari tempat menunaikan hajat, atau kalian “menyentuh” perempuan, kemudian kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah kalian dengan debu yang suci. Maka usaplah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian, sesungguhnya Allah itu adalah Maha memaafkan lagi Maha mengampuni.



Media yang dapat digunakan untuk bertayammum adalah seluruh permukaan bumi yang bersih baik itu berupa pasir, bebatuan, tanah yang berair, lembab ataupun kering. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu di atas dan secara khusus,

جُعِلَتِ الأَرْضُ كُلُّهَا لِى وَلأُمَّتِى مَسْجِداً وَطَهُوراً


Artinya ;

“Dijadikan permukaan bumi  seluruhnya bagiku dan ummatku sebagai tempat untuk sujud dan sesuatu yang digunakan untuk bersuci”. (Muttafaq ‘alaihi)

Namun ulama Syafi'iyah Syaikh al-‘Allamah ‘Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim al-Syarqawi dalam Kitab Hasyiyah asy-Syarqowi menjelaskan debu yang boleh digunakan untuk bertayammum adalah debu suci yang tidak basah dan tidak bercampur dengan pasir atau lainnya, disebut dengan debu غبار. Maka, debu yang terdapat di kaca atau dinding boleh digunakan untuk bertayammum.

والمراد بالتراب مايصدق عليه اسمه باي لون كان خلقة ومن اي محل اخذ كثوب او حصير او جدار او حنطة او شعير اذا كان منها غبار



Kisah Munculnya Syariat Tayamum

Kisah ini diceritakan oleh Aisyah istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu saat, ia bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu perjalanannya. Ketika mereka telah sampai di Baida’ atau Dzatul Jaisy (hendak memasuki kota Madinah), tiba-tiba Aisyah kehilangan kalung yang dipinjamnya dari Asma. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan berkenan mencarinya dan orang-orang pun ikut mencarinya. Waktu itu mereka berhenti di tempat yang tidak ada airnya dan mereka juga tidak membawa air.

Akhirnya (saat kalung Aisyah belum juga diemukan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di pangkuan Aisyah radhiallahu ‘anha. Saat itu orang-orang mengeluh kepada Abu Bakar ash-Shidiq, “Tidakkah engkau lihat apa yang dilakukan Aisyah? Ia telah menghentikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang banyak, padahal mereka tidak di tempat yang ada airnya dan tidak membawa air.”

Abu Bakar pun mendatangi Aisyah dan memarahinya. Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan, “Abu Bakar mencercaku dan mengatakan apa yang dikehendaki Allah untuk mengatakannya. Ia pun memukulku dengan keras seraya berkata,’Apa engkau menahan orang-orang ini karena kalung?!’ Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun itu terasa menyakitkanku. Aku tidak dapat berbuat sedikit pun karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di pangkuanku.”

Kemudian tibalah waktu shalat, dan mereka tidak menemukan air. Dalam satu riwayat, para sahabat akhirnya shalat tanpa wudhu. Hal tersebut disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Allah menurukan ayat tayammum (yaitu al-Maa-idah ayat 6). Usaid bin Hudhair berkata kepada Aisyah,

Semoga Allah membalas kebaikan bagimu. Demi Allah, tidaklah engkau mengalami perkara yang tidak engkau sukai, kecuali Allah memberikan untukmu (jalan keluarnya), dan (menjadikan) kebaikan bagi kaum muslimin di dalamnya.” (HR. Bukhari dari beberapa jalan periwayatan

2. Syarat Tayamum

Dalam Kitab Fathul Qorib Syekh Muhammad bin Qosim Al-Ghazy menjelaskan syarat tayamum ada lima hal :

Pertama : adanya alasan. Misalnya bepergian atau sakit.
Kedua : masuknya waktu shalat. Tidak boleh tayamum untuk shalat sebelum masuknya waktunya.
Ketiga : mencari air setelah waktu shalat tiba, baik dilakukan sendiri atau orang lain. Carilah air dari sesama rombongan. Jika sendirian, maka pandangan sekitarnya dari empat mata angin jika di tanah yang rata. Jika di tanah yang tinggi atau tanah naik turun, maka pandangan harus jeli.

Keempat : tidak bisa menggunakan air. Misalnya kalau menggunakan air khawatir jiwa terancam atau khawatir hilangnya manfaat suatu anggota badan. Termasuk alasan keempat ini adalah ada air pada jarak dekat, namun jika ke air itu khawatir kalau diterkam binatang buas atau harta bendanya dicuri atau digasab. Termasuk alasan ini adalah membutuhkan air untuk selain wudhu.

Kelima : debu yang suci dan mensucikan serta tidak basah. Termasuk debu suci adalah debu yang digasab dan debu kubur yang belum pernah digali lagi. Dalam sebagian salinan Taqrib terdapat tambahan bahwa debu itu harus bisa beterbangan. Jika tercampur dengan batu kapur atau pasir, maka tidak sah untuk tayamum. Hal ini sesuai dengan pendapat Syekh Nawawi dalam Majmuk syarah Muhadzab dan Tashih. Akan tetapi dalam Raudhah dan Fatawi Nawawi memperbolehkan hal tersebut. Yaitu tayamum dengan debu yang bercampur dengan batu kapur atau pasir.

Tayamum dengan pasir yang bisa beterbangan itu sah. Tidak sah tayamum dengan selain debu. Misalnya bedak dan tembikar yang diremuk. Demikian juga tidak sah tayamum dengan debu yang najis. Debu yang musta’mal (yang sudah pernah digunakan untuk tayamum) tidak boleh digunakan tayamum lagi.



3. Syarat Syah Tayamum

Dalam Matan Kitab Safinah Asy-Syaikh Salim bin Abdulloh bin Sa’ad bin Abdulloh bin Sumair Al-Hadhromi Asy-Syafi’I menjelaskan tentang syarat - syarat sah melakukan tayamum yaitu:

1. Bertayammum dengan tanah.
2. Menggunakan tanah yang suci tidak terkena najis(lagi kering)
3. Tanahnya belum dipakai tayamum (bukan musta’mal atau bekas)
4. Tanahnya tidak tercampui tepung dan sebagainya (seperti kapur kering)
5. Bermaksud tayamum (dengan menyapukan tanah,bukan bermain-main)
6. Menyapu muka dan kedua tangan dengan dua kali tepukan (ke tanah yaitu, sekali ke muka dan sekali lagi ke dua tangan)
7. Menghilangkan najis terlebih dahulu (dari badannya,walaupun bukan termasuk anggota tayamum)
8. Harus berijtihad mengenai arah kiblat sebelum tayamum
9. Tayamum hendaknya sesudah masuk waktu salat (bila tayamum untuk salat)
10. Dan sekali tayamum itu hanya dapat dipakai untuk sekali salat fardu (kecuali shalat sunah,boleh berkali-kali)



4. Fardhu / Rukun Tayamum

Dalam kitab Fathul Qorib Syekh Muhammad bin Qosim Al-Ghazy menjelaskan fardhu / rukun tayamum ada empat hal, yaitu:

Pertama : niat. Jika berniat fardhu dan sunat, maka boleh melakukan shalat fardhu dan shalat sunat. Jika niat hanya fardhu saja, maka boleh melakukan shalat fardhu dan sunat. Jika niat sunat saja, maka hanya boleh melakukan shalat sunat saja. Jika hanya niat shalat saja, maka juga hanya boleh melakukan shalat sunat saja.



Niat Tayamum



Artinya: "Saya niat tayammum untuk diperbolehkan melakukan shalat karena Allah Ta'ala"

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لِاِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ فَرْضً ِللهِ تَعَالَى

Nawaitut tayammuma li-istibahatis sholaati fardhal lillaahi ta'aalaa

Artinya: "Saya niat tayammum untuk diperbolehkan melakukan shalat karena Allah Ta'ala"



Niat tayamum harus disertakan dengan memindahkan debu ke wajah dan dua tangan. Niat itu juga harus diabadikan sampai mengusap sebagian dari wajah. Jika hadas setelah memindahkan debu, maka debu yang sudah diangkat jangan diusapkan. Gunakan debu lainnya untuk diusapkan.

Kedua : mengusap wajah.

Ketiga : mengusap dua tangan beserta dua siku. Mengusap dua tangan harus dengan dua pukulan. Jika tangan diletakkan pada debu yang halus, lalu ada debu yang menempel tanpa dipukulkan, maka sudah sah.

Keempat : tertib. Yakni harus mendahulukan usapan ke wajah, baru mengusap dua tangan. Tayamum untuk hadas kecil dan untuk hadas besar dalam hal tertib ini sama saja. Jika tidak tertib, maka tayamumnya tidak sah. Namun tidak wajib tertib dalam mengambil debu untuk wajah dan dua tangan. Jika dua tangan dipukulkan ke debu, lalu tangan kanan digunakan mengusap wajah dan tangan kiri digunakan mengusap tangan kanan, maka sah dan boleh.



5. Sunnah - Sunnah Tayamum

Hal yang disunatkan dalam tayamum ada tiga hal :

Pertama : membaca basmalah.

Kedua : mendahulukan tangan kanan atas tangan kiri. Dan mendahulukan wajah bagian atas serta mengakhirkan wajah bagian bawah.

Ketiga : berturut-turut. Arti berturut-turut sudah kami jelaskan dalam bab wudhu.

Kesunatan tayamum lainnya tersebut dalam kitab-kitab besar. Di antaranya melepaskan cincin dari tangan pada pukulan pertama. Pada pukulan kedua cincin harus dilepaskan.



6. Perkara - Perkara yang Membatalkan Tayamum

Hal yang menyebabkan batalnya tayamum ada tiga :

Pertama : segala hal yang membatalkan wudhu. Hal ini sudah kami jelaskan dalam bab penyebab hadas atau pembatal wudhu. Jika seseorang tayamum, lalu hadas, maka tayamumnya batal.
Kedua : melihat air di luar eaktu shalat. Jika seseorang melakukan tayamum, kemudian melihat air atau mengira ada air

sebelum melakukan shalat, maka tayamumnya batal. Jika dia melihatnya setelah masuk dalam shalat, sedangkan di tempat dia shalat memang biasanya tidak ada air, maka shalatnya batal seketika. Jika tempat di mana dia shalat biasanya memang tidak ada air, maka shalatnya tidak batal, baik sunat atau fardhu.

Jika penyebab tayamum adalah penyakit atau sejenisnya, lalu melihat air, maka tidak batal sama sekali.

Ketiga : murtad. Yaitu keluar dari agama Islam.



7. Tayamumnya Orang yang Diperban

Jika tidak bisa menggunakan air dalam suatu anggota badan dan anggota badan itu tidak ada pembalutnya, maka harus membasuh anggota badan yang bisa dibasuh dan tayamum lengkap. Tidak ada tertib dan urutan antara tayamum dan basuhan itu bagi orang mandi. Namun dalam wudhu, tayamum tersebut harus dilakukan pada saat tiba saat membasuh anggota badan itu.

Jika pada anggota badan di atas ada pembalutnya, maka caranya dia wudhu jika balut tidak bisa dilepas karena berbahaya adalah dengan mengusap balut dan tayamum lengkap. Setelah itu dia boleh shalat dan tidak wajib mengulanginya di saat lain jika dia meletakkan balut tersebut dalam keadaan suci dan balut tidak berada di anggota badan yang ditayamumi. Jika tidak demikian, maka dia harus mengulangi shalatnya. Demikian penjelasan Syekh Nawawi dalam kitab Ar Raudhah. Namun dalam kitab Majmuk Nawawi menjelaskan: “Perkataan kebanyakan ulama menunjukkan tidak ada perbedaan.” Yakni antara anggota badan yang ditayamumi dan yang tidak.

Balut dengan hukum di atas ada syaratnya. Yaitu hanya mengena bagian yang harus dikenai demi suksesnya pemasangan balut itu.



8. Catatan Penting

Untuk satu shalat fardhu harus satu tayamum, baik shalat fardhu lima waktu atau shalat nadzar. Tidak sah satu tayamum untuk dua shalat fardhu. Demikian juga tidak sah satu tayamum untuk satu shalat fardhu dan satu thawaf. Dua thawaf juga tidak boleh dilakukan dengan satu tayamum. Shalat Jum’at dan khutbahnya juga harus dua tayamum. Jika istri tayamum dengan tujuan agar bisa ditiduri oleh suaminya, maka dia boleh menggunakan tayamum itu untuk shalat.

Minggu, 16 Februari 2020

Perselisihan dalam Hal Wudhu


Dalam masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka, baik dari Al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan dimana masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, sehingga timbullah beragam pandangan. Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para imam.

Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.

Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini, yang mana mungkin penulis berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih. Mungkin penulis memberikan contoh waqi‘iyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang di sisi penulis).

Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dengan guru kami Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan pendapat yang ma’ruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz (ganjil).

Namun selesai shalat beliau rahimahullah tidak memaksakan pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa untuk memaksa dan melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau berbangga dengan keberadaan murid-muridnya yang tidak taqlid (mengikut tanpa dalil) kepada beliau tapi berpegang dengan dalil sekalipun harus berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan.

Menyentuh wanita


Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ Artinya ;

“Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43)



Pertama:

sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)

Kedua:
ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/ umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)

Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu. Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu.

Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri1 dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaukan (oleh ayat Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini) adalah jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).”

Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)

Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya: Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:

كُنْتُ أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا



Artinya ;

“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)

Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengabarkan:

فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Artinya ;

“Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)



Muntah

Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2

Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:

- Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)

Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59)

- Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234). Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:

Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.

Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.

Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.

Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)



Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)

Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)

Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ



Artinya ;

“Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)



Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men-dha’if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36)

Darah yang keluar dari tubuh


Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik dan Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)

Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)

Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52) Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.

Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49)

Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.

Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111)

Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu‘ (2/63).

Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)

Perbedaan pendapat ulama madzhab dalam bab wudhu:

1. Niat Wudhu
Para ulama’ berbeda pendapat apakah niat termasuk syarat sah wudhu atau tidak ?menurut madzhab syafi’i, malik, ahmad, abu tsaur dan dawud niat termasuk syarat sahnya wudhu.sedangkan menurut yang lannya yaitu abu hanifah dan sas tsaury, niat tidak termasuk syarat sahnya wudhu. Keterangan kitab bidayatul mujtahid ibnu rusydy.

2. Membasuh Kedua Telapak Tangan
a. Menurut sebagian ulama’ bahwa memasukkan tangan kedalam cawan termasuk sunnah wudhu secara mutlak walaupun diyakini sucinya tangan, ini adalah pendapat masyhur madzhab malik dan as syafi’i.
b. Qaul lain hukumnya mustahab bagi yang ragu-ragu tentang suci tidaknya tangan, ini juga riwayat dari imam malik.
c. Qaul lain membasuh tangan hukumnya wajib bagi orang yang baru bangun dari tidur, ini adalah pendapatnya dawud dan yang lainnya.
d. Qaul lain diperinci antara tidur malam dan tidur siang, jika bangun dai tidur malam maka wajib jika bangun dari tidur siang maka tidak wajib, ini adalah pendapatnya imam ahmad. Keterangan kitab bidayatul mujtahid (1/13).

3. Madhmadhoh (berkumur) dan Istinsyaq (menghirup air kedalam hidung)
a. Pendapat imam malik, as syafi’i dan abu hanifah keduanya termasuk sunnah wudhu.
b. Pendapat ibnu abi laila dan segolongan kawan-kawannya dawud keduanya fardhu.
c. Istinsyaq termasuk fardhu sedangkan madhmadhoh itu sunnah, ini adalah pendapatnya abu tasur, abu ubaidah dan segolongan ulama’ ahli dhohir. Keterangan kitab bidayatul mujtahid (1/14).

4. Masalah Batasan Wajah
Tentang rambut tepi pipi yang berhadapan dengan telinga)
a. Pendapat yang masyhur dalam madzhab malik bahwa putih-putih bukanlah termasuk bagian wajah
b. Menurut abu hanifah dan imam syafi’i bahwa putih-putih tersebut termasuk wajah
Tentang rambut yang menjutai dari jenggot
a. Menurut imam malik wajib mururul ma’ pada rambut tersebut
b. Menurut abu hanifah dan imam syafi’i tidak wajib
Tentang mensela selai jenggot
a. Menurut Imam Malik, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tidaklah wajib.
b. Menurut abdul hakim (ashabnya malik) mensela selai jenggot hukumnya wajib. Ket: kitab bidayatul mujtahid (1/14).

5. Masalah Batasan Membasuh Kedua Tangan
a. Para ulama’ jumhur seperti Malik, As syafi’i dan Abu hanifah sepakat bahwa membasuh kedua tangan dan kedua lengan bawah termasuk fardhunya wudhu ‘ sebab friman Allah :”dan tanganmu sampai siku.
b. Memenurut ahli dhohir sebagian ashab malik akhir dan at tobary bahwa siku tidak masuk dalam membasuh. Keterangan kitab bidayatul mujtahid (1/15).

6. Masalah Batasan Mengusap Kepala
a. Menurut Imam Malik wajib mengusap seluruh kepala
b. Menurut Asyafi’i, sebagian ashabnya malik dan Abu Hanifah bahwa mengusap sebagian saja yang fardhu.
c. Abu hanifah berpendapat seper empat, sedangkan imam syafi’i tidak memberi batasan tentang mengusap ini. Ketreangan kitab bidayatul mujtahid (1/15).

7. Masalah Fadhilah Hitungan Yaitu Mengulangi Tiga Kali
a. Menurut ima syaf’i bahwa orang yang wudhu dengan tiga kali tiga kali maka mengusap kepalanya juga tiga kali
b. Menurut kebanyakan fuqoha’ berpendapat bahwa mengusap itu tidak terdapat fadhilah dalam pengulangannya. Keterangan kitab bidayatul mujtahid (1/16).

8. Masalah Mengusap Serban
a. Imam Ahmad, Abu Tsaur, Qosim bin salam dan segolongan ulama’ membolehkannya.
b. Imam syafi’i dan abu hanifah itu melarangnya. Keterangan kitab bidayatul mujtahid (1/17).

9. Masalah Mengusap Kedua Telinga
a. Menurut jama’ah dari sahabatnya imam malik hukumnya wajib dan menggunakan air yang baru, dan menurut madzhab malik bahwa kedua telinga termasuk bagian kepala.
b. Menurut abu hanifah dkk termasuk fardhu tapi kedua telinga ini di usap bersamaan dengan kepala dengan air yang satu.
c. Menurut imam syafi’i mengusap kedua telinga hukumnya sunnah dan memakai air yang baru. Keterangan kitab bidayatul mujtahid (1/18).

10. Masalah Pensucian Kedua Kaki
a. Menurut jumhur ulama’ pensuciannya adalah dengan di basuh
b. Menurut lainnya bahwa fardhunya adalah di usap
c. Menurut Ulama lain berpendapat boleh di basuh dan boleh di usap. Keterangan kitab bidayatul mujtahid (1/18).

11. Masalah Tartib Dalam Af’al Wudhu
a. Menurut ashab malik, abu hanifah, ats tsauri dan dawud bahwa tartib hukumnya sunnah
b. Menurut imam syafi’i, ahmad dan abu ubaid bahwa tartib hukumnya wajib. Keterangan kitab bidayatul mujtahid (1/19).

12. Masalah Muwalah (berkelanjutan)
a. Menurut imam malik bahwa muwalah termasuk fardhu jika ingat dan mampu, dan bisa gugur jika lupa, dan jika ingat tapi udzur selama jaraknya tidak keterlaluan.
b. Menurut imam syafi’i dan abu hanifah bahwa muwalah tidak termasuk wajibnya wudhu.

Itulah penjelasan mengenai titik perbedaan yang ada pada amaliyah wudhu semoga bisa menjadi tambahan wawasan penting bagi kita semua khususnya dalam masalah wudhu ini. Sehingga menjadi hikmah terbaik dalam pelaksanaan amalan ibadah-ibadah lainnya.

Wudhu


PERKARA - PERKARA YANG DAPAT MEMBATALKAN WUDHU

Dalam kitab matan al-Ghoyatu wat Taqrib karangan Abi Suja diterangkan bahwa perkara yang dapat membatalkan wudhu ada enam:

1. Sesuatu yang keluar dari kedua jalan (kemaluan depan maupun belakang),

2.Tidur tidak dalam keadaan duduk,

3. Hilangnya akal sebab mabuk atau sakit,

4. Bersentuhan (kulit) pria dan wanita yang bukan mahram tanpa penghalang,

5. Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan,

6. Menyentuh lubang dubur manusia.

Dalam keterangannya atas enam hal tersebut Ibnu Qasim al-Ghazi dalam Fathul Qaribul Mujib menerangkan dengan rinci enam hal tersebut.

Pertama keluarnya sesuatu yang dari kedua jalan kemaluan depan (qubul) maupun belakang (dubur), baik itu sesuatu yang suci seperti cacing dan mani ataupun yang tidak suci seperti darah dan kentut. Hal ini berdasar pada surat al-maidah ayat 6

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ 

Dan sebuah hadits yang diceritakan oleh Abu Hurairoh dan diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim;

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لايقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ فقال رجل من أهل حضر موت ماالحدث ياأباهريرة؟ قال: فساء أو ضراط

Artinya: Abu Hurairoh bercerita bahwa Rasulullah saw bersabda “Allah tidak menerima sholat kamu sekalian apabila (kamu) dalam keadaan hadats hingga kamu berwudhu” kemudian seorang Hadramaut bertanya kepada Abu Hurairoh “apakah hadats itu?” Abu Hurairoh menjawab “kentut (yang tidak bersuara)dan Kentut yang bersuara”   

Kedua tidur dan ketiga hilangnya akal . Tidur dapat membatalkan wudhu kecuali tidur dalam posisi duduk yang menetap (pantat yang rapat) seperti duduknya orang bersila. Sebagai dalilnya dapat diperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan diceritakan oleh sahabat Ali:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : وكاء السه العينان, فمن نام فاليتوضأ

Artinya: Rasulullah saw berkata “pengendali dubur (tempat keluarnya kotoran dari jalan belakang)adalah kedua mata, oleh karena itu barang siapa tidur hendaklah ia berwudh”.

Hadits ini menunjukkan bahwa tidur pada dasarnya membatalkan wudhu, karena seseorang ketika tidur tidak dapat menjaga duburnya, bahkan ia tidak tahu apakah dia telah kentut atau malah kencing. Diqiyaskan dengan tidak adanya kendali ketika tidur adalah hilangnya akal atau kesadaran  . ini juga dapat membatalkan wudhu, karena ketika seseorang tidak sadar, berarti ia tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Baik kesadaran itu hilang karena mabuk, pingsan maupun gila.

Keempat; Bersentuhan (kulit) pria dan wanita yang bukan mahram tanpa penghalang (untuk keterangan lebih lengkap lihat rubrik syariah yang telah berlalu dengan tema (menyentuh istri membatalkan wudhu)

Kelima:  menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan. Hal ini didasarkan atas dalil sebagai berikut :

رَوَى اْلخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِىْ ، عَنْ بِسْرَةْ بِنْتِ صَفْوَانْ رَضِيَ الله عَنْها : اَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَا يُصَلِّيَ حَتَّى يَتَوَضَّاءَ .

Artinya : Dalam sebuah hadits yang dishahehkan oleh imam tirmidzi dari bisrah binti shafwan r.a. bahwa nabi s.a.w. bersabda : barang siapa yang memegang dzakarnya janganlah melakukan shalat hingga ia berwudhu.

An-nisa’I meriwayatkan bahwa :

وَيَتَوَضَّاءَ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ

Artinya : dan hendaklah berwudhu oleh karena memegang dzakar kemaluan.

Hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa : menyentuh kemaluan adalah membatalkan wudhu. Baik itu kemaluannya sendiri, maupun kemaluan orang lain.

Juga dalam hadits riwayat dari ibnu majah bahwasanya :

عَنْ اُمِّ حَبِيْبَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّاءُ

Artinya : dari ummi habibah r.a. : barangsiapa yang memegang farj-nya maka hendaklah berwudhu.

Sedangkan hadits ini memberikan penjelasan atas batalnya wudhu sebab menyetuh kemaluan baik kemaluan laki-laki maupun perempuan.

Enam; menyentuh lubang dubur.

Sabtu, 15 Februari 2020

Syarat Sah Wudhu


SYARAT SYAH WUDHU

Syarat Syarat wudhu dan Penjelasannya :

1. Islam
Maka tidak syah wudhunya orang kafir atau orang murtad.

2. Tamiyiz
Yang dimaksud dengan tamiyiz adalah seseorang yang memahami dari pada percakapan atau bisa makan sendiri, minum sendiri dan membersihkan buang hajat sendiri atau bisa membedakan antara kanan dan kiri atau juga bisa membedakan antara kurma dan bara api.

3. Bersih dari haid dan nifas
Haid adalah darah yang keluar pada waktu tertentu bagi setiap wanita yang sudah dewasa. sedangkan nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan.

4. Tidak adanya sesuatupun yang mencegah sampainya air ke kulit anggota wudhu
Yaitu bersihnya kulit anggota wudhu dari semisal cat atau kotoran kotoran lain yang menempel di kulit sehingga air tidak bisa masuk.

5. Tidak ada sesuatupun di anggota wudhu yang bisa merubah air
Yaitu bersihnya anggota tubuh yang bisa merubah air dan mencabut nama air tersebut. contohnya seperti tinta dan jakfaron yang banyak.

6. Mengetahui kefardhuan/kewajiban dari pada wudhu
Seorang yang wudhu harus mengetahui bahwasannya hukum dari pada wudhu adalah fardhu. jia dia meyakini bahwa wudhu hukumnya adalah sunnah maka tidak syah wudhunya.

7. Tidak meyakini kefardhuan/kewajiban dari pada rukun rukun wudhu adalah sunnah
Seseorang yang wudhu tidak boleh meyakini rukun rukun wudhu memiliki hukum sunnah semisal dia meyakini bahwasannya membasuh kedua tangan sampai siku siku adalah sunnah.

8. Memakai air yang suci dan mensucikan
Yaitu air yang digunakan adalah air yang bersih dari najis dan juga bukan air musta'mal. air musta'mal adalah air yang digunakan pertama kali dalam bersuci (basuhan wajib).

9. Masuknya waktu
Seseorang yang terus menerus mengeluarkan najis (anyang anyangan-beser) maka wudhunya harus masuk waktu sholat. diluar waktu sholat tidak syah.

10. Muwalah
Yaitu tanpa adanya jeda waktu antara setiap basuhan wudhu dan sholat bagi yang selalu hadas. jadi setelah melaksanakan wudhu diharuskan langsung melaksanakan sholat.

NB : syarat nomer 9 dan 10 berlaku bagi yang selalu mengeluarkan hadast secara terus menerus ( anyang-anyangan).

FARDHU WUDHU

 Syekh Salim bin Sumair Al-Hadhrami dalam kitabnya Safinatun Najâ mengungkapkan:

فروض الوضوء ستة: الأول النية الثاني غسل الوجه الثالث غسل اليدين مع المرفقين الرابع مسح شيئ من الرأس الخامس غسل الرجلين مع الكعبين السادس الترتيب


Fardhu wudhu ada enam:

1. Niat,

Berikut ini adalah bacaa niat ketika hendak melakukan wudhu ;

Niat Berwudhu



نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَصْغَرِ فَرْضًا الِلَهِ تعَالَى



Nawaitul whudu-a lirof'il hadatsil ashghori fardhol lillaahi ta'aalaa

Artinya :
"Saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadast kecil fardu (wajib) karena Allah ta'ala"



2. Membasuh muka,

3. Membasuh kedua tangan beserta kedua siku,

4. Mengusap sebagian kepala,

5. Membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki, dan

6. Tertib,



Keenam rukun tersebut dijelaskan oleh Syekh Nawawi Banten sebagai berikut.

1. Niat wudhu dilakukan secara berbarengan pada saat pertama kali membasuh bagian muka, baik yang pertama kali dibasuh itu bagian atas, tengah maupun bawah.
Bila orang yang berwudhu tidak memiliki suatu penyakit maka ia bisa berniat dengan salah satu dari tiga niat berikut:
   a. Berniat menghilangkan hadats, bersuci dari hadats, atau bersuci untuk melakukan shalat.
   b. Berniat untuk diperbolehkannya melakukan shalat atau ibadah lain yang tidak bisa dilakukan kecuali dalam keadaan suci.
   c. Berniat melakukan fardhu wudhu, melakukan wudhu atau wudhu saja, meskipun yang berwudhu seorang anak kecil atau orang yang memperbarui wudhunya.

Orang yang dalam keadaan darurat seperti memiliki penyakit ayang-ayangen atau beser baginya tidak cukup berwudhu dengan niat menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats. Baginya wudhu yang ia lakukan berfungsi untuk membolehkan dilakukannya shalat, bukan berfungsi untuk menghilangkan hadats.

Sedangkan orang yang memperbarui wudhunya tidak diperkenankan berwudhu dengan niat menghilangkan hadats, diperbolehkan melakukan shalat, atau bersuci dari hadats.

2. Membasuh muka
Sebagai batasan muka, panjangnya adalah antara tempat tumbuhnya rambut sampai dengan di bawah ujung kedua rahangnya. Sedangkan lebarnya adalah antara kedua telinganya. Termasuk muka adalah berbagai rambut yang tumbuh di dalamnya seperti alis, bulu mata, kumis, jenggot, dan godek. Rambut-rambut tersebut wajib dibasuh bagian luar dan dalamnya beserta kulit yang berada di bawahnya meskipun rambut tersebut tebal, karena termasuk bagian dari wajah. tetapi tidak wajib membasuh bagian dalam rambut yang tebal bila rambut tersebut keluar dari wilayah muka.

3. Membasuh kedua tangan beserta kedua sikunya.
Dianggap sebagai siku bila wujudnya ada meskipun di tempat yang tidak biasanya seperti bila tempat kedua siku tersebut bersambung dengan pundak.

4. Mengusap sebagian kecil kepala
Mengusap sebagian kecil kepala ini bisa hanya dengan sekadar mengusap sebagian rambut saja, dengan catatan rambut yang diusap tidak melebihi batas anggota badan yang disebut kepala. Seumpama seorang perempuan yang rambut belakangnya panjang sampai sepunggung tidak bisa hanya mengusap ujung rambut tersebut karena sudah berada di luar batas wilayah kepala. Dianggap cukup bila dalam mengusap kepala ini dengan cara membasuhnya, meneteskan air, atau meletakkan tangan yang basah di atas kepala tanpa menjalankannya.

5. Membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki
Dalam hal ini yang dibasuh adalah bagian telapak kaki beserta kedua mata kakinya. Tidak harus membasuh sampai ke betis atau lutut. Diwajibkan pula membasuh apa-apa yang ada pada anggota badan ini seperti rambut dan lainnya. Orang yang dipotong telapak kakinya maka wajib membasuh bagian yang tersisa. Sedangkan bila bagian yang dipotong di atas mata kaki maka tidak ada kewajiban membasuh baginya namun disunahkan membasuh anggota badan yang tersisa.

6. Tertib
Yang dimaksud dengan tertib di sini adalah melakukan kegiatan wudhu tersebut secara berurutan sebagaimana disebut di atas, yakni dimulai dengan membasuh muka, membasuh kedua tangan beserta kedua siku, mengusap sebagian kecil kepala, dan diakhiri dengan membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki.

SUNNAH SUNNAH WUDHU

Syekh Abu Syuja’ Al-Asfahani menyebutkan ada sepuluh perkara-perkara yang sunah dilakukan dalam berwudhu. Dalam kitabnya Matn Ghayah At-Taqrib beliau mengatakan:

وسننه عشرة أشياء: التسمية وغسل الكفين قبل إدخالهما الإناء والمضمضة والاستنشاق ومسح الأذنين ظاهرهما وباطنهما بماء جديد وتخليل اللحية الكثة وتخليل أصابع اليدين والرجلين وتقديم اليمنى على اليسرى والطهارة ثلاثا ثلاثا والموالاة

Artinya: “Ada sepuluh sunah dalam berwudhu, yaitu membaca basmalah, membasuk kedua telapak tangan sebelum memasukannya ke dalam tempat air, berkumur, menghirup air ke dalam hidung, mengusap bagian luar dan dalam telinga dengan air yang baru, menyela-nyela rambut jenggot yang tebal, menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki, mendahulukan anggota badan yang kanan dari yang kiri, tiga kali basuhan, dan berturut-turut.”

Kesepuluh hal tersebut dijelaskan secara singkat oleh Sykeh Ibnu Qasim Al-Ghazi sebagai berikut:

1. Membaca basmalah dilakukan pada awal pertama kali akan melakukan wudhu dengan kalimat “bismillah” untuk ringkasnya atau “bismillahirrahmanirrahim” untuk sempurnanya. Bila di awal berwudhu belum membaca basmalah maka bisa disusulkan di pertengahan wudhu. Namun bila sampai selesai berwudhu belum juga membacanya maka tak perlu dilakukan.

2. Membasuh kedua telapak tangan sampai dengan pergelangan tangan dilakukan sebelum berkumur. Bila air yang digunakan untuk berwudhu berada pada bejana dan vulomenya kurang dari dua qullah maka sebelum kedua telapak tangan dimasukkan ke bejana tersebut dibasuh tiga kali terlebih dahulu bila diragukan kesucian kedua telapak tangan tersebut. Adalah makruh memasukkan keduanya ke dalam bejana sebelum membasuhnya terlebih dahulu. Namun bila yakin bahwa kedua telapak tangannya dalam keadaan suci maka tidak mengapa memasukkannya tanpa membasuhnya terlebih dahulu.

3. Berkumur dilakukan setelah membasuh kedua telapak tangan. Kesunahan berkumur ini bisa didapatkan dengan cara memasukkan air ke dalam mulut, baik air tersebut digerakkan di dalamnya dan kemudian dimuntahkan ataupun tidak. Yang lebih sempurna adalah memuntahkannya.

4. Menghirup air kedalam hidung dilakukan setelah berkumur. Kesunahannya bisa didapatkan dengan cara memasukkan air ke dalam hidungdengan cara menghisapnya hingga sampai di pangkal hidung dan kemudian menyemprotkannya ataupun tidak. Yang lebih sempurna adalah menyemprotkannya.

Orang yang berkumur dan menghirup air ke dalam hidung saat berwudhu dituntut untuk melakukannya secara kuat. Lebih utama lagi bila kedua kesunahan itu dilakukan dengan tiga kali cidukan di mana masing-masing cidukan digunakan untuk berkumur kemudian dihirup ke dalam hidung. Ini lebih utama dari pada memisah keduanya dengan cidukan sendiri-sendiri.

5. Membasuh seluruh kepala, tidak hanya sekedar mengusapnya saja. Sebagaimana diketahui bahwa mengusap sebagian kepala adalah merupakan rukun wudhu yang hukumnya wajib. Sedangkan membasuh keseluruhan kepala adalah sunah hukumnya.

Sebagai catatan, sunah membasuh kepala ini tidak disebutkan dalam salah satu dari sepuluh sunah wudhu yang disebutkan oleh Syekh Abu Syuja’ dalam kitab Taqribnya. Namun demikian Syekh Ibnu Qasim menyebutkannya dalam menjelaskan tulisan Abu Syuja’ sehingga pada akhirnya sunah wudhu yang disebutkan di sini ada sebelas, bukan sepuluh sebagaimana tersebut di atas.

6. Mengusap seluruh bagian luar dan dalam kedua telinga dengan menggunakan air yang baru, bukan dengan menggunakan basahnya air yang digunakan untuk membasuh kepala. Dalam melakukan ini sunahnya dengan cara memasukkan kedua jari telunjuk tangan ke dalam lubang telinga dan melakukannya pada lekukan-lekukan telinga, sedangkan ibu jari dijalankan pada bagian luar telinga. Setelah itu kedua telapak tangan yang dalam keadaan basah dilekatkan pada kedua telinga.

7. Menyela-nyela rambut jenggot yang tebal adalah sunah hukumnya. Sedangkan menyela-nyela jenggot yang tipis adalah wajib. Ini dilakukan dengan cara memasukkan jari-jari ke bagian bawah janggut.

8. Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki hukumnya sunah meskipun air wudhu bisa sampai tanpa menyela-nyela. Namun bila dengan tidak menyela-nyela air tidak bisa sampai ke sela-sela jari maka wajib hukumnya untuk menyela-nyela.

9. Mendahulukan anggota badan yang kanan dari yang kiri untuk kedua tangan dan kedua kaki. Adapun untuk dua anggota badan yang bisa dengan mudah dibasuh dengan sekali basuhan seperti kedua pipi maka cukup dibasuh dengan sekali basuhan secara bersamaan tanpa harus mendahulukan yang kanan dari yang kiri.

10. Menigakalikan basuhan. Yakni setiap anggota badan yang dibasuh pada saat berwudhu dibasuh atau diusap sebanyak masing-masing tiga kali.

11. Berturut-turut. Artinya tidak ada jeda yang lama di antara basuhan dua anggota badan. Setiap anggota badan dibasuh segera setelah anggota sebelumnya selesai dibasuh dan belum mengering. Berturut- turut ini dihukumi sunah bagi orang yang tidak dalam kondisi darurat. Adapun bagi orang yang dalam kondisi darurat, seperti berpenyakit beser, selalu buang air, atau terkena istihadlah, maka hukum berturut-turut dalam berwudhu menjadi wajib.