Sabtu, 30 Maret 2019

Pahala mendengarkan bacaan AL Qur'an

Untuk bisa membandingkan atau menyamakan pahala amal satu dengan amal yang lainnya, kita butuh dalil. Karena yang paling paham tentang pahala amal seseorang adalah Allah Ta’ala. Sehingga, untuk bisa mengetahui nilai amal seseorang, harus berdasarkan wahyu.

Di sana ada beberapa dalil yang menyebutkan pahala orang yang mendengarkan al-Quran dan pahala orang yang membaca al-Quran.

Diantaranya,

[1] Firman Allah,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Apabila dibacakan al-Quran, perhatikanlah dan diamlah, maka kalian akan mendapatkan rahmat.” (QS. al-A’raf: 204).

[2] Allah juga berfirman,

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka melakukan tadabbur terhadap ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS. Shad: 29)

Dua ayat ini dan ayat yang semisal, sudah cukup untuk membuktikan bahwa memperhatikan al-Quran adalah amal besar. Karena diantara tujuan al-Quran diturunkan adalah untuk direnungi ayat-ayatnya. Mereka yang melakukan tadabbur, akan mendapat janji akan dirahmati oleh Allah. Dan yang dimaksud mendengarkan di sini adalah memperhatikan dan mentadabburi al-Quran.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga suka mendengarkan al-Quran yang dibacakan oleh para sahabat. Seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu,

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh Ibnu Mas’ud,

“Silahkan baca al-Quran!”

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أقْرَأُ عَلَيْكَ، وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟!

“Ya Rasulullah, saya membaca al-Quran di depan Anda, padahal al-Quran diturunkan kepada Anda?!”

Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي

“Aku senang mendengarkan al-Quran dari bacaan orang lain.”

Kemudian Ibnu Mas’ud membacakan surat an-Nisa sampai ayat 41, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis di penghujung ayat itu. (HR. Bukhari 4583).

Sementar dalil keutamaan membaca al-Quran, disebutkan dalam hadis Ibnu Mas’ud juga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah, maka dia akan mendapatkan satu kebaikan sedangkan satu kebaikan itu (bernilai) sepuluh kali lipatnya, aku tidak mengatakan ‘Alif Laam Miim ‘ sebagai satu huruf, akan tetapi ‘Alif sebagai satu huruf, ‘Laam ‘ sebagai satu huruf dan ‘miim ‘ sebagai satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi 2910 dan dishahihkan al-Albani).

Hadis ini menunjukkan pahala besar bagi yang membaca al-Quran.

Kemudian, untuk pertanyaan, apakan mendengarkan bacaan al-Quran pahalanya sama seperti membaca al-Quran? kami belum menjumpai dalil tentang itu. Namun kita berharap, semoga keduanya mendapatkan pahala besar..



Dikutip dari https://konsultasisyariah.com

Jumat, 29 Maret 2019

Hadits Palsu selama Bulan Ramdhan

Tags
Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallamyang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.

Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:

الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء

“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)

Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.

Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.

Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.

Hadits 1

صوموا تصحوا

“Berpuasalah, kalian akan sehat.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).

Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).

Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 2

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).

Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).

Terdapat juga riwayat yang lain:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه

“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).

Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

Hadits 3

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،

“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan,  ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib(2/115)

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.

Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

“Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’.  Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar  berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Hadits 4

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم

“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar(4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.

Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:

اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين

“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”

Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”

Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.

Hadits 5

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari  di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).

Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi(723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.

Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)

Hadits 6

لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان

“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.'”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

Hadits 7

أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر

“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”

Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).

Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.

Hadits 8

رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).

Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334),  dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).

Hadits 9

من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر

“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”

Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)

Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:

من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا

“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)

Hadits 10

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب

“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”

Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.

Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.

Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.

Hadits 11

قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك

“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).

Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك

Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 12

خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)

Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).

Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه

“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)



Baca selengkapnya https://muslim.or.id/1334-12-hadits-lemah-dan-palsu-seputar-ramadhan.html

Kamis, 28 Maret 2019

Obat Hati

Tags
Setiap anggota tubuh manusia diciptakan untuk fungsinya masing-masing. Bila ada yang rusak, maka kerja dan fungsinya akan terganggu, atau tidak berfungsi sama sekali. Bila mata rusak, penglihatan pun terganggu, atau menjadi buta. Begitu pula dengan anggota lainnya, misalnya mulut, hitung, telinga dan lain sebagainya.

Termasuk pula bila seseorang terserang penyakit hati. Bila hati terjangkit penyakit maksiat, penyakit yang menjauhkannya dari Allâh Azza wa Jalla, maka hati tidak bisa menjalankan fungsi kerjanya. Ia tidak bisa menghadirkan amalan-amalan untuk ibadah kepada-Nya. Ia akan jauh dari mengenal Allâh Azza wa Jalla .

Penyakit hati adalah penyakit yang sangat berbahaya, dan terkadang si penderita tidak bisa merasakannya. Kalaupun ia merasakannya, namun susah baginya untuk bersabar dalam mengobatinya. Karena obat sakit hati adalah dengan melawan hawa nafsunya. Dan ini hal yang memerlukan pengorbanan besar.

Memang hati adalah poros kebahagiaan sekaligus sumber kebinasaannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh kalian terdapat segumpal daging; bila ia baik, maka akan baik seluruh badannya. Namun bila ia rusak, akan rusak pula semua tubuhnya. Ingatlah, itu adalah hati. [Muttafaq ‘alaih]

Hadits tersebut menunjukkan bahwa baiknya amalan seorang hamba tergantung pada baiknya hati. Sebaliknya, rusaknya amalan seorang hamba adalah sesuai dengan rusaknya hati. Hati yang baik, itu adalah hati yang sehat selamat. Hanya hati seperti ini yang akan bermanfaat di sisi Allâh Azza wa Jalla kelak.

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ﴿٨٨﴾ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

 (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. [Asy-Syu’arâ’/ 26: 88-89]

Mengenai hati manusia, bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori:

Hati yang bersih; yaitu yang selamat dari berbagai penyakit dan kerusakan. Dalam hati ini tidak terdapat di dalamnya selain kecintaan kepada Allâh dan takut kepada-Nya. Hatinya selalu takut akan hal-hal yang bisa menjauhkannya dari Allâh Azza wa Jalla . Ia adalah hati yang khusyuk, yang hidup, dan senantiasa sadar akan tujuan dirinya ada di bumi.Hati yang mati; tak ada kehidupan di dalamnya. Ia tidak mengenal Rabbnya, tidak pula beribadah menyembah-Nya. Ia hidup mengikuti hawa nafsu dan kesenangan belaka, meskipun itu mengundang murka Allâh. Ia tidak menghiraukan nasihat yang diberikan. Ia justru mengikuti seruan syetan dan bujuk rayunya.Hati yang sakit, Hati ini sebenarnya menyimpan energi, menyimpan kehidupan, akan tetapi telah bersarang penyakit dalam hati ini. Terkadang ia bisa lebih dekat kepada keselamatan, bisa pula ia lebih dekat pada kebinasaan.

 Banyak faktor dan sebab terkait mati dan hidupnya hati seseorang.

Diantara sebab hidupnya hati adalah dengan bergegas menghadap Allâh Azza wa Jalla , membaca Kitab-Nya dengan merenunginya, dan menyibukkan diri dengan dzikrullah (mengingat Allâh Azza wa Jalla ). Allâh berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

 (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allâh-lah hati menjadi tenteram. [Ar-Ra’d/ 13: 28]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat–Nya iman mereka bertambah (karenanya), dan hanya kepada Rabblah mereka bertawakkal.” [Al-Anfâl/8:2]

Diantara sebabnya yang lain, yaitu bergaul dengan orang-orang shalih dan mengikuti amalan mereka. Juga dengan sering mendengar nasihat dan taushiyah agama, serta dengan menjaga shalat berjama’ah bagi kaum laki-laki. Tidak ketinggalan pula dengan bertadabbur dan merenungkan ciptaan Allâh dan hikmah di balik itu semua. Karena banyak pertanda dan hikmah bagi orang-orang yang berfikir. Juga dengan mengambil pelajaran dari kesudahan orang-orang zhalim dan yang mendapat siksa adzab-Nya. Ini seperti firman Allâh:

فَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ فَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا وَبِئْرٍ مُعَطَّلَةٍ وَقَصْرٍ مَشِيدٍ

Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi. [Al-Hajj/ 22: 45]

Adapun hal-hal yang membuat hati menjadi mati di antaranya adalah karena tidak mau menerima kebenaran, padahal ia tahu kebenaran tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfrman :

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allâh memalingkan hati mereka; dan Allâh tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. [Ash-Shaff/61:5]

Orang yang telah mati hatinya, ia lebih hina dan rendah daripada binatang ternak; dan Jahannam, itulah tempat kembalinya. Mereka tidak mau menggunakan akal dan indera mereka untuk mencari kebenaran.

Maka orang yang demikian, hatinya telah terbalik dan tersegel sehingga ia tidak bisa mengambil manfaat dari hatinya. Sebab ia telah berpaling dari kebenaran. Ia telah rela dengan kebatilan. Sehingga kebatilan menjadi menu dan nutrisinya sehari-hari. Kesesatan, jalan yang ia tempuh, dan neraka Jahim; itulah tempat kembalinya.

Adapun hati yang sakit, di antara sebabnya yaitu memakan yang haram. Sebab makanan yang tak halal akan memberi suplai yang buruk dan keji kepada badan. Seperti halnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai orang yang bepergian jauh, dengan kondisi tubuh berdebu, rambut yang acak-acakan. Ia menengadahkan dua tangannya ke langit seraya berseru: Ya Rabb; Ya Rabb; namun makanannya haram, pakaiannya haram; ia diberi suplai makan yang haram;lalu bagaimana mungkin akan dikabulkan doanya?!

Dan sungguh miris, bila memperhatikan keadaan sekitar saat ini, memakan sesuatu yang haram sudah begitu menjamur pada masa sekarang ini! Sehingga hati pun dihinggapi penyakit; perilaku menjadi bejat, dan dekadensi moral pun begitu parah.

Di antara sebab lain hati yang sakit adalah berbuat maksiat. Sebab maksiat akan membekas di hati dan membuatnya sakit. Seperti dalam hadits, bahwa bila seorang hamba berbuat dosa, akan digoreskan titik hitam di hatinya. Bila bertaubat, titik tersebut pun akan kembali mengkilap. Kalau tidak bertaubat, titik tersebut akan bertambah dan semakin parah.

Sebab lainnya adalah mendengarkan hal-hal yang terlarang, termasuk juga mendengarkan nyanyian. Hal ini sudah begitu merebak pada masa sekarang ini. begitu parah pengaruh negatifnya; dan propagandanya pun begitu gencar, sampai merangsek pula ke tengah rumah kaum Muslimin. Sehingga muncullah dampak buruknya, dan merusak perilaku banyak orang, baik dari anak kecil sampai pun orang dewasa dan tua.

Di antara sebab lainnya juga karena memandang pada yang diharamkan untuk dilihat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” [An-Nûr/ 24: 30]

Pandangan yang diharamkan akan menimbulkan syahwat di dalam hati dan membuatnya sakit. Bacaan yang merusak juga membuat hati sakit; termasuk pula bacaan yang menebarkan pemikiran menyimpang, dan juga bacaan yang memicu nafsu. Semoga kita semua terhindar dari itu semua.

Tak ada obat penawar untuk hati  yang sakit selain obat yang telah Allâh turunkan dalam Kitab dan sunnah Nabi-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. [Yûnus/10:57]

Maka sambutlah Kitab Allâh Azza wa Jalla dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh antusias, agar kita bisa menyembuhkan hati kita; agar kita mendapat kesembuhan dan juga rahmat-Nya. Dalam Al-Quran dan Sunnah terdapat cahaya dan petunjuk; terdapat ruh dan kehidupan; yang membentengi dari syetan dan godaannya.

Marilah, masing-masing kita mempersiapkan diri, dengan menjauhkan diri dari berbagai keburukan dan segala hal yang mengantarkan kepadanya. Demikian pula jauhkanlah anak-anak dan juga rumah kita dari berbagai media penebar keburukan dan kerusakan. Bila memang kita menginginkan kesembuhan bagi hati kita dan kebaikan bagi masyarakat. Dan hendaknya kita perbanyak doa yang diucapkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ القُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati! Arahkanlah hati kami di atas ketaatan.



Dikutip dari https://almanhaj.or.id

Rabu, 27 Maret 2019

Hakikat Mentauhidkan Alloh

Tags
Setiap yang mengaku muslim pasti merasa bertauhid. Tapi coba tanya kepada mereka apa arti tauhid yang sesungguhnya? Pasti kita dapati jawaban yang berbeda-beda. Belum lagi kalau melihat kepada perbuatan mereka yang bertentangan dengan tauhid, baik ucapan atau perbuatan. Menandakan ternyata banyak dari orang yang mengaku muslim sebenarnya tidak memahami tauhid dengan benar!

Urgensi tauhid

Tauhid adalah tujuan diciptakannya manusia. Ia juga sebab diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Karena tauhid Allah perintahkan shalat, puasa zakat dan ibadah lainnya. Dan demi tauhid juga Allah syariatkan jihad, dan manusia pun dibagi menjadi dua golongan karena tauhid. Bahagia dan celaka. Golongan kanan dan golongan kiri. Penghuni surga dan penghuni neraka. Bahkan shalat ditegakkan untuk mengingat Allah, menyembelih diberikan hanya untuk Dia, hidup dan mati semata-mata dipersembahkan hanya kepada-Nya.

قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku (hanya) untuk Allah Rab semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan kepada hal inilah aku diperintahkan. Dan aku termasuk yang pertama berserah diri.” (Qs. Al An’am: 162)

Begitu pentingnya tauhid bagi seorang hamba sampai Allah siap mengampuni semua dosa bagi hamba pilihan-Nya apabila dia tidak pernah menyekutukan-Nya. Dan begitu bahayanya kesyirikan sampai Allah pun berikrar bahwa Dia tidak mengampuni siapa saja yang diwafatkan namun masih memikul dosa kesyirikan. Allah Ta’aala berfirman;

إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa kesyirikan dan mengampuni dosa selain kesyirikan bagi siapa yang Allah kehendaki.” (Qs. An-Nisaa; 48)

Dan begitu spesialnya tauhid, sampai-sampai pembahasan Al Qur’an seluruhnya tentang tauhid. Apakah menjelaskan akan kewajibannya (kewajiban tauhid) dan melarang dari lawannya (kesyirikan), atau tentang kisah para nabi dan kaumnya, apa nasib orang yang menerima tauhid sebagai agamanya dan apa nasib orang  yang menolaknya di dunia dan di akhirat. Atau tentang perintah-perintah dan larangan-larangan yang tidak lain adalah konsekwensi dari mentauhidkan-Nya. Sehingga Al Qur’an seluruhnya adalah tauhid!

Kenapa ayat kursi menjadi ayat yang paling agung di dalam Al Qur’an? Saat Nabi bertanya kepada Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘Anhu: “Ayat apakah yang paling agung di dalam kitabullah? Maka Ubay menjawab; “Ayat kursi.” Nabi berkata: “Selamat kepadamu atas ilmu ini wahai Abul Mundzir.”

Jawabnya adalah karena isi dan kandungannya yang berbicara tentang perkara tauhid.

Karena itu Al Imam Muhammad At-Tamimi rahimahullah dalam Al Ushul Ats-Tsalatsah berkata:“Perintah Allah paling besar kepadamu adalah tauhid. Dan larangan Allah paling besar kepadamu adalah kesyirikan.”

Maka perkara yang seperti ini urgensinya masih pantaskah seorang muslim lalai darinya? Enggan mempelajarinya?! Tidak mau mencari tahu akan makna, kandungan dan konsekwensinya?! Semoga Allah jauhkan kita dari sifat yang demikian. Amin.

Arti tauhid

Banyak orang bilang tauhid artinya mengesakan Allah Ta’aala. Namun apa yang dimaksud mengesakan Allah? Apakah artinya Allah Dzatnya hanya satu, hanya dia yang menciptakan, memiliki mengatur semesta alam? Tauhid dengan pengertian ini tidak ditolak oleh kaum musyrikin sekali pun. Bahkan Allah telah mengabarkan bahwa musyrikin dahulu juga mengakui hanya Allah satu-satunya Yang menciptakan langit bumi dan segala isinya, memilikinya dan mengaturnya. Dalam Az-Zumar ayat 38 Allah berfirman yang artinya;“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi”, niscaya mereka menjawab: “Allah”.”

Dalam Al Ankabut ayat 63 Allah berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”.”

Dan dalam Al Mu’minun ayat 85-86 Allah juga berfirman yang artinya:“Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “kepunyaan Allah”.”

Tapi disamping keyakinan musyrikin dahulu bahwa hanya Allah satu-satunya yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya, dan bahwa Dia satu-satunya yang memiliki dan mengaturnya, mereka masih saja diminta mengikrarkan kalimat tauhid: “Laa ilaaha Illallah”. Pertanda bahwa kalimat ini bukan meminta mereka untuk mengakui Allah sebagai satu-satunya pencipta, pemilik dan pengatur alam semesta beserta segala isinya, karena jika tidak demikian berarti para utusan Allah mengajak kaumnya kepada apa yang sebenarnya sudah mereka sendiri yakini dan ini kesia-siaan.

Maka berarti ada hal lain yang diminta dari kalimat ini. Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengumpulkan kaumnya di awal dakwahnya kepada tauhid, beliau berseru: “Ucapkanlah oleh kalian: “Laa ilaaha Illallah” kalian akan beruntung!” Orang-orang musyrikin ini paham bahwa Nabi Muhammad tidak meminta mereka untuk mengakui Allah sebagai satu-satunya pencipta, pemilik dan pengatur alam semesta raya ini, karena itu mereka sambut ucapan Nabi Muhammad ini dengan perkataan:

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

“Mengapa dia menjadikan ilah-ilah (sesembahan yang banyak) itu hanya satu saja, sungguh ini benar-benar perkara yang mengherankan.” (Qs. Shaad: 5)

Allah juga mengabarkan dalam kitab-Nya,

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Ilah/sesembahan yang berhak disembah/diibadahi melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena mengikuti seorang penyair gila?”(QS. Shaaffaat: 35-36)

Berarti tauhid yang semua kita diminta untuk mengesakan-Nya adalah beribadah hanya kepada Allah dan tidak beribadah kepada selain-Nya. Inilah konsekwensi logis dari pengakuan bahwa yang menciptakan hanya Allah, yang memiliki hanya Allah dan yang mengatur hanya Allah. Bahwa orang yang telah mengakui hal ini hendaknya tidak lagi memberikan ibadahnya kecuali kepada Allah Yang Maha Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini dan segala isinya. “Hai sekalian manusia, sembahlah Rabb-mu, Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. 2: 21-22)

Sabtu, 23 Maret 2019

Cara meningkatkan iman

Tags
Sudah dimaklumi banyak terdapat nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah yang menjelaskan pertambahan iman dan pengurangannya. Menjelaskan pemilik iman yang bertingkat-tingkat sebagiannya lebih sempurna imannya dari yang lainnya. Ada di antara mereka yang disebut assaabiq bil khairaat (terdepan dalam kebaikan), al-Muqtashid (pertengahan) dan zhalim linafsihi (menzhalimi diri sendiri). Ada juga al-Muhsin, al-Mukmin dan al-Muslim. Semua ini menunjukkan mereka tidak berada dalam satu martabat. Ini menandakan bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang.[2] Oleh karena itu, saat Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah menjelaskan tentang keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang iman, beliau mengatakan,

وَالْإِيمَانُ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ، وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ وَعَقْدٌ بِالْجَنَانِ, يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ, وَيَنْقُصُ بِالْعِصْيَانِ

“Iman adalah ucapan dengan lisan, amal dengan anggota badan, keyakinan (dan amal) hati. Ia dapat bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatanز”[3]

Siapa sih yang Gak Pengen Bertambah Keimanannya?

Sobat, perlu difahami bahwa suka perkara yang baik, cinta ketaatan, pengen iman bertambah adalah dambaan setiap orang yang benar keimanannya.

Dan suka keimanan merupakan anugerah dari Allah Ta’ala untuk hamba yang disayangi-Nya. Oleh karena itu, perbanyaklah  memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menghiasi keimanan dalam hati Anda, simaklah firman Allah Ta’ala berikut ini,

 وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

“Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hati kalian serta menjadikan kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS. Al-Hujurat: 7).

Suka Iman Bertambah Saja Tidaklah cukup

Sobat, cukupkah anda suka makanan saja, tapi setiap hari tidak mau makan? Apakah cukup anda suka uang saja, tapi tidak mau bekerja? Anda ingin sembuh, tapi gak mau berobat? Tentu tidak bukan? Dalam agama kita, orang  yang ingin berjumpa dengan Allah dan melihat wajah-Nya diperintahkan untuk beramal shaleh.

Coba deh, simak Kalam Ilahi berikut ini,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

Dengan demikian, tidak cukup seseorang hanya suka imannya bertambah, namun tidak mau berusaha menambah keimanannya.

Kalo mau bertakwa, ya laksanakan perintah Allah.

Mau iman naik? Ya lakukan ketaatan kepada Rabb Anda.

Cara Dahsyat Meningkatkan Keimanan

Syaikh Prof. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah di dalam kitabnya Asbab Ziyadatil Iman wa Nuqshanihi menyebutkan setidaknya terdapat tiga cara dahsyat dalam meningkatkan keimanan.

Mempelajari ilmu yang bermanfaat, di antaranya adalah membaca Al-Qur`an dan mentadaburinya, mempelajari nama dan sifat Allah Ta’ala, memperhatikan keindahan agama Islam, membaca sirah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan membaca sirah Salafush Shaleh.Memperhatikan ayat-ayat Allah yang kauniyyah.Bersungguh-sungguh dalam beramal shaleh, baik dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh lahiriyah, termasuk berdakwah di jalan Allah Ta’ala dan menjauhi sebab-sebab yang mengurangi keimanan.

Dikutip dari https://muslim.or.id

Selasa, 19 Maret 2019

PERISTIWA DI MASA KECIL NABI

Tags
Dalam bab ini, akan dibahas beberapa peristiwa:

⑴ Dibelahnya dada Nabi ﷺ.

⑵ Wafatnya ibu Nabi ﷺ.

⑶ Bagaimana Nabi ﷺ dirawat oleh kakeknya ‘Abdul Muththalib kemudian oleh pamannya Abū Thālib.

⑷ Bagaimana Nabi ﷺ menggembalakan kambing.


1. Dibelahnya dada Nabi Muhammad ﷺ

Diantara mu’jizat yang dialami Nabi ﷺ yaitu dibelahnya dada Nabi ﷺ. Para ulama menyebutkan bahwa proses pembelahan dada Nabi ﷺ terjadi 2 kali;

⑴ Tatkala beliau dirawat oleh Halīmah As-Sa’diyyah.

⑵ Tatkala beliau akan melakukan Isrā Mi’raj.

Kejadian pembelahan pertama , diceritakan dalam hadits shahīh yang terdapat dalam banyak riwayat, diantaranya adalah:

Dari shāhabat Anas bin Mālik radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, beliau berkata:

انَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ وَهُوَ يَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ , فَأَخَذَهُ فَصَرَعَهُ فَشَقَّ قَلْبَهُ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ عَلَقَةً , قَالَ : هَذَا حَظُّ الشَّيْطَانِ مِنْكَ , ثُمَّ غَسَلَهُ فِي طَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ بِمَاءِ زَمْزَمَ , ثُمَّ لأَمَهُ ثُمَّ أَعَادَهُ فِي مَكَانِهِ , وَجَاءَ الْغِلْمَانُ يَسْعَوْنَ إِلَى أُمِّهِ ـ يَعْنِي ظِئْرَهُ ـ فَقَالُوا : إِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ قُتِلَ , فَاسْتَقْبَلَتْ وَهُوَ مُنْتَقِعُ اللَّوْنِ , قَالَ أَنَسٌ : قَدْ كُنْتُ أَرَى أَثَرَ الْمَخِيطِ فِي صَدْرِهِ


" Bahwasanya Rasūlullāh ﷺ pernah didatangi Malaikat Jibrīl saat beliau sedang bermain dengan anak-anak lain.
Lalu Jibrīl menggenggam beliau dan menjatuhkannya lalu membelah dadanya kemudian mengambil jantung dan mengeluarkan segumpal darah darinya,

lantas Jibrīl berkata:

“Ini adalah bagian syaithan darimu.”

Kemudian jantung beliau dicuci oleh Jibrīl di sebuah tempayan yang terbuat dari emas dengan dibilas air zamzam, lalu dijahit kembali oleh Jibrīl setelah jantung itu dikembalikan ke tempatnya semula.

Teman-teman beliau (ketakutan dan) lari ke ibu persusuan beliau dan melaporkan:

“Sesungguhnya Muhammad telah dibunuh.”

Kemudian ibu persusuan Nabi segera menuju ke Nabi dan Nabi saat itu dalam keadaan pucat.
Kata Anas:

“Saya melihat bekas jahitan di dada Rasūlullāh ﷺ.” (HR. Imam Muslim)

Dan juga dalam riwayat lain yang lebih terperinci.

Rasūlullāh ﷺ berkata:

“Saat itu yang mengasuhku adalah seorang wanita dari Bani Sa’ad bin Bakr. Kemudian aku bersama seorang anaknya pergi menuju tempat pengembalaan kambing kecil kami, namun kami tidak membawa bekal. Aku pun berkata,

‘Wahai saudaraku, pergi dan ambillah bekal (makanan) dari ibu kita’

Maka saudaraku itu pergi dan aku tetap berada di sisi domba gembalaan kami. Tiba-tiba datanglah dua ekor burung berwarna putih yang sepertinya kedua burung itu adalah burung nasar. Salah satu dari burung itu berkata kepada temannya,

‘Apakah dia, orang (yang kita cari)?’

temannya menjawab,

‘Ia.’

Lalu keduanya pun bergegas menujuku lalu memegangku dan menelungkupkanku di atas leherku. Kemudian keduanya pun membelah dadaku dan mengeluarkan hatiku. Mereka mengeluarkan dua gumpalan darah hitam darinya.
Setelah itu, salah seorang dari keduanya berkata kepada temannya,

‘Ambilkan air salju.’

Lalu mereka mencuci isi perutku dengan air dan salju. Kemudian salah satu dari mereka berkata lagi,

‘Ambilkanlah air yang dingin.’

Dan mereka pun mencuci hatiku dengan air dingin itu. Salah satunya berkata lagi,

Ambilkanlah as-Sakinah (ketenangan dan kedamaian).

Keduanya pun menebarkannya di dalam jantungku. Setelah itu, salah satu dari keduanya berkata,

Jahitlah (tutuplah).

Ia pun menutupnya kembali dan memberikannya tanda kenabian.’ Maka ia pun menjahitnya kembali. Dan tandailah.

Maka ia pun memberinya tanda dengan tanda kenabian. Lalu salah satu dari keduanya berkata kepada temannya,

‘Letakkanlah ia pada satu timbangan, kemudian letakkanlah seribu dari umatnya pada timbangan yang lain.’

Maka aku pun melihat seribu dari ummatku itu berada di atasku, aku kawatir bila sebagian dari mereka terjatuh menimpaku. Salah satunya berkata lagi,

‘Sekiranya umatnya itu ditimbang dengannya niscaya ia akan lebih berat daripada mereka.’

Setelah itu, mereka berdua pergi meninggalkanku. Akupun merasa sangat ketakutan. Aku kembali pulang menemui ibuku dan mengabarkan kejadian itu padanya, hingga ia khawatir jika aku telah terganggu.

Kemudian ibuku berkata,

Aku meminta kepada Allah untuk melindungimu.

Kemudian ia meletakan pelana di atas unta miliknya, lalu ia meletakkanku di atas pelana unta tersebut, sementara ia duduk di belakangku, hingga kami sampai pada ibu kandungku.

Ibu asuhku lalu berkata (kepada ibu kandungku),

‘Aku telah menunaikan amanahku, dan tanggunganku.’

Kemudian ia menceritakan tentang kejadian yang menimpaku, namun kejadian itu tidaklah mengejutkan ibuku.

Ibuku berkata,

‘Sesungguhnya, aku telah melihat cahaya yang keluar dariku yang menerangi istana-istana di negeri Syam.’ (HR Al-Hakim no 4230 dan dishaihihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa inilah sebab mengapa Halīmah As-Sa’diyyah akhirnya mengembalikan Nabi ﷺ ke ibu kandungnya.

Awalnya ibu kandungnya beberapa kali meminta agar Nabi dikembalikan, tetapi karena Halīmah berat hati melepaskan Muhammad kecil, beliau senang jika ada Muhammad di kampungnya karena mendatangkan keberkahan.

Akan tetapi, setelah terjadi peristiwa yang menakutkan ini, membuat Halīmah khawatir sehingga dia terpaksa merelakan ibunya mengambil Muhammad saat berusia 4 tahun . Kemudian Muhammad ﷺ diasuh oleh ibunya sampai berusia 6 tahun.

Pembelahan dada Nabi Muhammad ﷺ adalah salah satu mu’jizat Nabi ﷺ. Para ulama menyebutkan banyak hikmah dari pembelahan dada ini, yaitu:

⑴ Nabi ﷺ sejak kecil sudah ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa). Oleh karena itu, beliau tumbuh tidak seperti anak-anak kecil yang lain.

Ibnu Hajar berkata :

وَكَانَ هَذَا فِي زَمَنِ الطُّفُولِيَّةِ فَنَشَأَ عَلَى أَكْمَلِ الْأَحْوَالِ مِنَ الْعِصْمَةِ مِنَ الشَّيْطَانِ


“Pembelahan dada ini terjadi tatkala Nabi masih kecil, sehingga beliau tumbuh dalam kondisi yang paling sempurna dengan terjaganya beliau dari syaitan” (Fathul Bari 7/205)

Saat beranjak dewasa (remaja), beliau tidak pernah melakukan kemaksiatan atau kelalaian, berhura-hura seperti yang dilakukan para pemuda lain di kota Mekkah. Hal ini karena hati beliau sudah disucikan oleh Allāh.

Bagian yang mungkin untuk diganggu oleh syaithan telah diambil oleh malaikat. Bahkan disebutkan dalam suatu hadits, Rasūlullāh ﷺ mengatakan:

“Tidak pernah terbetik dalam hatiku untuk mengikuti acara-acara kaum jahiliyah kecuali hanya dua kali, dan itupun Allah menjagaku pada dua kemungkinan tersebut. Suatu malam aku bersama seorang pemuda Quraisy yang berada di pinggiran kota Mekah sedang menggembalakan kambing keluarganya.

Aku berkata kepadanya, “Tolong jaga kambingku, aku ingin begadang malam ini di Mekah sebagaimana para pemuda lainnya begadang.” Ia berkata, “Baik”. Akupun pergi, dan tatkala aku tiba di rumah pertama dari rumah-rumah penduduk Mekah, aku mendengar nyanyian dan suara rebana serta seruling, aku berkata, “Acara apa ini?”.

Mereka berkata kepadaku, “Si fulan telah menikah dengan si fulanah putrinya si Fulan dari Quraisy”. Akupun terlena dengan nyanyian tersebut dan suara (alat musik) tersebut hingga akhirnya aku tertidur (dalam riwayat yang lain : Maka Allah pun menutup kedua telingaku). Dan tidak ada yang membangunkanku kecuali terik sinar matahari.

Lalu aku kembali (pada malam yang lain-pen) kemudian aku kembali mendengar seperti yang pernah aku dengar, dan dikatakan kepadaku seperti pada malam yang lalu, akupun terlena dengan apa yang aku dengar, hingga akhirnya aku tertidur. Dan tidak ada yang membangunkanku kecuali terik sinar matahari.

Lalu aku kembali kepada sahabatku (penggembala kambing). Sahabatku bertanya,“Apa yang telah kau lakukan?”. Aku berkata, “Aku tidak melakukan apapun”.

Maka demi Allah aku tidak pernah lagi berkeinginan untuk melakukan keburukan apapun yang dilakukan oleh kaum jahiliyah hingga Allah memberi kemuliaan kenabian kepadaku.” (HR Al-Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwwah 1/413, Al-Hakim no 7619, dan Ibnu Ishaq dalam sirohnya. Hadits ini diperselisihkan akan keshahihannya, Al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Akan tetapi hadits ini dinyatakan lemah oleh Al-Albani)

Perhatikan bahwasanya beliau dibuat tertidur (tidak sadar) oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla sehingga tidak jadi mengikuti acara-acara kemaksiatan tersebut. Ini merupakan bentuk penjagaan Allah kepada beliau bahkan sebelum menjadi Nabi.

Karena itu, sebelum menjadi Nabi beliau dikenal oleh orang-orang Quraisy dengan “ Al-Amīn” (orang yang terpercaya) yang akhlaknya paling mulia.

Sejumlah orang Nasrani berusaha mengingkari kejadian pembelahan dada Nabi ﷺ. Mereka membawakan 2 hujjah:

⑴ Kejadian ini tidak sesuai dengan tabiat manusia.

⑵ Kejadian ini tidak masuk akal (di luar sunnatullāh, karena apabila jantung dikeluarkan seharusnya menyebabkan kematian).

Tetapi hujjah mereka ini rapuh dan bisa dijawab dengan perkataan bahwasanya justru inilah mu’jizat, yaitu kejadian-kejadian luar biasa yang dimiliki oleh para Nabi.
Arti mu’jizat adalah sesuatu yang keluar dari kebiasaan walaupun di luar nalar dan logika, karena Allāhlah yang mengatur sunnatullāh maka Allāh pula yang bisa merubah sunnah tersebut.

Contohnya, Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām memiliki mu’jizat, yaitu beliau dibakar namun malah merasa sejuk.
Padahal api secara sunnatullāh bersifat membakar, namun karena Allāh yang menciptakan api tersebut sehingga apabila Dia memerintahkan agar api dingin, maka apa tersebut akan dingin.

قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ


_“Kami (Allah) berfirman, ‘Wahai api jadilah engkau dingin dan penyelamat bagi Nabi Ibrāhīm.”_ (QS Al-Anbiyā : 69)


Senin, 18 Maret 2019

Fiqih mendidik anak

Tags


Saat anak nakal dan sulit diatur, tidak sedikit orang tua yang berusaha mencari kambing hitam. Teman, lingkungan, sekolah dan lain sebagainya. Padahal yang paling bertanggungjawab atas segala perubahan anak adalah orang tua. Rasulullah _shallallahu ’alaihi wasallam_ mengingatkan,

"مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه"

_"Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi"._ HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah _radhiyallahu ‘anhu._

Banyak permasalahan anak justru penyebabnya adalah dari orang tua anak itu sendiri.

Ada orang tua yang terlalu keras pada anak. Sehingga anak menjadi keras dan memberontak. Menerapkan pendidikan disiplin pada anak, tidaklah sama dengan sikap otoriter pada anak.

Tapi ada juga yang terlalu memanjakan, sehingga anak menyepelekan orang tuanya. Lembut kepada anak itu wajib. Tapi lembek tidak boleh. Menuruti apapun yang diminta anak itu sikap lembek.

Sebagian orang tua juga kurang peduli, atau terlalu sibuk dengan urusannya. Sehingga anak merasa tidak diperhatikan. Pagi buta saat anaknya masih tertidur, mereka telah berangkat meninggalkan rumah. Setelah larut malam mereka baru tiba di rumah. Para orang tua ini jauh lebih sering bertemu dengan rekan kerjanya, ketimbang dengan anaknya sendiri.

Ada juga yang hubungan kedua orang tuanya kurang harmonis, bahkan hingga berpisah. Sehingga anak pun menjadi korban.

Dari sini kita bisa memahami betapa vitalnya peran orang tua dalam pendidikan anak. Mereka tidak boleh menumpukan semua beban pendidikan anak pada sekolah saja. Melainkan mereka juga harus terlibat aktif di dalamnya.

Tugas Orang Tua

Di dunia ini, satu-satunya pekerjaan paling menantang dan tidak dibayar, bahkan jarang mendapatkan penghargaan, adalah menjadi orang tua.

Tugas orang tua tidak berhenti setelah menyediakan sandang, pangan dan papan. Justru anak-anak membutuhkan kehadiran orang tua seutuhnya, lahir dan batin. Mereka dituntut 24 jam sehari dalam seminggu untuk menjadi pencari nafkah, guru, juru masak, _baby siter,_ juru damai, perawat, motivator, _bodyguard,_ dan profesi-profesi lainnya.

Kalaupun di dunia orang tua tidak menerima imbalan apa pun, di akhirat beda cerita. Anak salih akan menjadi sebuah investasi yang sangat berharga. Dengan doa-doa tulusnya, bisa mengangkat derajat orang tua di surga, _insyaAllah._

Sekolah Orang Tua

Menjadi orang tua memang tidak ada sekolah formalnya. Padahal, menjadi orang tua ibarat mengarungi samudra yang sangat luas. Betapa tidak, mulai dari proses kehamilan, melahirkan dan tumbuh kembang anak, orang tua terlibat langsung. Kompleksnya permasalahan menjadi orang tua, ternyata tidak diimbangi dengan banyaknya ilmu pengetahuan yang dimiliki orang tua.

Maka, para orang tua berkewajiban untuk terus belajar. Baik dengan menghadiri kajian atau pelatihan tentang pendidikan anak. Serta membaca buku-buku bermutu bertemakan hal tersebut.

Setelah itu, bertahaplah untuk menerapkan ilmu yang didapatkan secara konsisten.

Bila menghadapi kendala, jangan segan untuk berkonsultasi dengan para ahli di bidangnya.

Berbagai upaya pendidikan yang dilakukan adakalanya belum membuahkan hasil yang diharapkan. Karena itu jangan lelah menengadahkan tangan seraya memanjatkan doa ke hadirat Allah Yang membolak-balikkan hati anak-anak kita. Kepada-Nya lah kita menggantungkan segala harapan.

Kamis, 14 Maret 2019

Larangan meniup makanan

Tags


Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan larangan meniup makanan atau minuman. Diantaranya,

1. Hadis dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ، وَإِذَا أَتَى الخَلاَءَ فَلاَ يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ…

Apabila kalian minum, janganlah bernafas di dalam gelas, dan ketika buang hajat, janganlah menyentuh kemaluan dengan tangan kanan… (HR. Bukhari 153).

2. Hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي الإِنَاءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bernafas di dalam gelas atau meniup isi gelas. (HR. Ahmad 1907, Turmudzi 1888, dan dishahihkan Syuaib Al-Arnauth).

Mengapa dilarang ditiup?

An-Nawawi mengatakan,

والنهي عن التنفس في الإناء هو من طريق الأدب مخافة من تقذيره ونتنه وسقوط شئ من الفم والأنف فيه ونحو ذلك

Larangan bernafas di dalam gelas ketika minum termasuk adab. Karena dikhawatirkan akan mengotori air minum atau ada sesuatu yang jatuh dari mulut atau dari hidung atau semacamnya. (Syarh Shahih Muslim, 3/160)

Hal yang sama juga disampaikan Ibnul Qoyim,

وأما النفخ في الشراب فإنه يكسبه من فم النافخ رائحة كريهة يعاف لأجلها ولا سيما إن كان متغير الفم وبالجملة : فأنفاس النافخ تخالطه ولهذا جمع رسول الله صلى الله عليه و سلم بين النهي عن التنفس في الإناء والنفخ فيه

Meniup minuman bisa menyebabkan air itu terkena bau yang tidak sedap dari mulup orang yang meniup. Sehingga membuat air itu menjijikkan untuk diminum. Terutama ketika terjadi bau mulut. Kesimpulannya, nafas orang yang meniup akan bercampur dengan minuman itu. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan larangan bernafas di dalam gelas dengan meniup isi gelas. (Zadul Ma’ad, 4/215).

Bolehkah Menggunakan Kipas Angin?

Memperhatikan alasan yang disampaikan oleh An-Nawawi dan Ibnul Qoyim tentang mengapa kita dilarang meniup makanan, bisa kita simpulkan bahwa menggunakan kipas dalam hal ini dibolehkan. Dengan syarat, kipas yang digunakan bukan kipas yang berdebu, yang kotor, sehingga justru menyebarkan penyakit pada makanan atau minuman.

Allahu a’lam



Dikutip dari https://konsultasisyariah.com

Rabu, 13 Maret 2019

Adab Makan menurut Islam

Tags
Menyoal etika makan, dapat dipastikan banyak dari kaum muslimin belum mempraktekkannya. Bukti konkrit, kerap kali kita saksikan di berbagai lokasi dan kesempatan. Misal, seorang muslim makan sambil berjalan, atau makan dengan tangan kirinya tanpa ada beban kekeliruan. Beragam jamuan makan ala barat, semisal standing party banyak digandrungi orang. Banyak faktor yang menjadi latar belakang. Ketidaktahuan, mungkin satu sebab diantaranya. Ironisnya, mereka yang telah mengetahui etika Islam justru meremehkan dan menganggapnya bukanlah satu hal urgent dan mendasar. Celaka lagi bila mereka meninggalkannya karena tertarik etika barat, dengan asumsi etika mereka lebih beradab dan lebih moderen. Wal ‘iyadzu billah.

Padahal, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama, salah satu pembatal keislaman seseorang, ialah apabila ia meyakini ada petunjuk yang lebih baik dan lebih sempurna dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Seyogyanya setiap muslim senantiasa berupaya mengejewantahkan nilai-nilai islami, termasuk adab makan ini. Karena adab-adab tersebut merupakan bagian dari risalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berikut ini kami kemukakan point-point yang berkaitan dengan adab makan:

• Membaca basmalah, demi mengharap keberkahan dan mencegah syaithan ikut makan bersama kita.

Abu Hafs Umar bin Abi Salamah Radhiyallahu ‘anhu menuturkan,

كُنْتُ غُلَامًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ

Ketika aku berada dalam bimbingan Rasulullah, pernah suatu kali tanganku bergerak di atas piring ke segala arah, hingga Rasulullah pun berkata kepadaku,”Wahai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah dari apa yang dekat denganmu.” Maka demikianlah cara makanku sejak saat itu.

Dari Ummul mu’minin A’isyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

Jika salah seorang kalian makan, maka sebutlah nama Allah. Jika ia lupa untuk menyebutnya di awal, hendaklah ia membaca : بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ (dengan menyebut nama Allah pada awal dan akhirnya).

Berkenaan dengan hadits di atas, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali mengemukakan, tasmiyyah ialah membaca lafadz bismillah. Adapun pendapat yang mengatakan tasmiyyah dengan membaca bismillahir rahman nir rahim, merupakan pendapat yang tidak memiliki hujjah. Demikian juga pendapat yang mengatakan tasmiyyah dibaca pada setiap suapan, adalah pendapat yang batil. Karena tasmiyyah ini hanya dibaca pada awal makan.

Adapun doa yang disunnahkan setelah selesai makan, ialah sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits berikut.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَعَ مَائِدَتَهُ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًافِيهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مُوَدَّعٍ وَلَا مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبَّنَا

Dari Abu Umamah, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika Beliau selesai makan Beliau berdoa,“Segala puji bagi Allah (aku memujinya) dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah, yang senantiasa dibutuhkan, diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, ya Rabb kami.

عَنْ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَكَلَ طَعَامًا ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ

Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa makan kemudian ia berdoa,’Segala puji bagi Allah Yang telah memberi makanan ini kepadaku dan memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku,’ niscaya diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.

• Wajib makan dengan tangan kanan, berdasarkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عن سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِينِكَ قَالَ لَا أَسْتَطِيعُ قَالَ لَا اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ

Dari Salamah bin Al Akwa’, bahwa pernah seorang laki-laki makan dengan tangan kirinya di sisi Rasulullah, maka Beliau berkata,”Makanlah dengan tangan kananmu.” Laki-laki itu menjawab,”Aku tidak bisa.” Beliau pun berkata,”Engkau tidak bisa, tidak ada yang mencegahmu melakukannya melainkan kesombonganmu.” Akhirnya ia benar-benar tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya.

Ucapan Rasulullah pada hadits di atas (لَا اسْتَطَعْتَ ) merupakan doa Beliau atas laki-laki tadi, karena kesombongannya enggan mengukuti sunnah.

• Disunnahkan makan dengan tiga jari dan menjilatinya selesai makan serta mengambil suapan yang jatuh

عَنْ كَعْب قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ فَإِذَا فَرَغَ لَعِقَهَا

Dari Ka’ab bin Malik ia berkata,”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan tiga jarinya dan setelah selesai Beliau menjilatinya.”

عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ وَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ

Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Jika jatuh suapan salah seorang diantara kalian, hendaklah ia mengambilnya. Kemudian membersihkan kotoron yang mungkin menempel dan memakannya. Janganlah ia tinggalkan suapan itu untuk syaithan, dan janganlah ia mengusap tangannya dengan sapu tangan sampai ia menjilatinya. Karena ia tidak tahu, di bagian mana berkah dari makannya.”

• Tidak boleh makan dengan bersandar

عَنْ أبي جُحَيْفَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا آكُلُ مُتَّكِئًا

Dari Abu Juhaifah, ia berkata, Rasulullah bersabda,”Tidaklah aku makan dengan bersandar.”

• Tidak boleh mencela makanan halal

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

Dari Abi Hurairah, ia berkata,”Nabi tidak pernah mencela makanan sedikitpun. Jika Beliau suka, Beliau memakannya. Dan bila tidak suka, Beliau meninggalkannya.”

• Disunnahkan untuk bercakap-cakap ketika makan dan memuji makanan meskipun sedikit.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ

Dari Jabir bin Abdillah, bahwasanya Nabi bertanya kepada keluarganya tentang lauk. Mereka menjawab,”Kita tidak memiliki lauk, kecuali cuka.” Maka Beliaupun minta untuk dibawakan. Kemudian Beliau makan dengan cuka tadi dan berkata,”Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.”

• Mendahulukan orang tua ketika makan

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ كُنَّا إِذَا حَضَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا لَمْ نَضَعْ أَيْدِيَنَا حَتَّى يَبْدَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعَ يَدَهُ

Dari Hudzaifah ia berkata,” Jika kami menghadiri jamuan makan bersama Rasulullah, tidaklah kami menjulurkan tangan kami ke makanan sampai Rasulullah n memulainya”

• Kita boleh makan dengan sendiri ataupun dengan berjamaah, berdasarkan firmanNya Subhanahu wa Ta’ala :

لَّيْسَ عَلَى اْلأَعْمَى حَرَجٌ وَلاَعَلَى اْلأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى أَنفُسِكُمْ أَن تَأْكُلُوا مِن بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ ءَابَآئِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالاَتِكُمْ أَوْ مَامَلَكْتُم مَّفَاتِيحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُم بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu.Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkati lagi baik.Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. [An-Nuur/24:61]

Namun ada anjuran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk makan berjamaah seperti yang diriwayatkan dalam satu hadits, para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” Wahai Rasulullah sesungguhnya kami sudah makan namun mengapakah kami tidak merasa kenyang? Beliau berkata,” Mungkin kalian makan dengan terpisah” Mereka menjawab,”Ya” Maka beliau pun bersabda,

فَجْتَمِعُوا على طَعَامٍكُم واذّْكُرُوا اسْمَ اللهِ يُبَرِكْ لَكُمْ

“Berkumpullah kalian ketika makan serta sebutlah nama Allah niscaya Allah akan memberikan keberkahan kepada kalian “

• Jika diundang dalam jamuan makan, selayaknya kita memperhatikan adab-adab berikut:

1. Wajib memenuhi undangan sekalipun sedang berpuasa. Bagi yang berpuasa sunnah ia boleh berbuka dan tidak wajib mengqadhanya, berdasarkan hadis Nabi berikut:

الصَائِمُ المُتَطَوعُ أَمِرُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ وَ إِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Orang berpuasa sunnah adalah amir bagi dirinya sendiri, jika mau ia boleh berpuasa dan jika mau ia boleh berbuka”

2. Disunnahkan untuk mendoakan yang mengundang.
Abdullah bin Bisr mengisahkan, ayahnya pernah membuat makanan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengundang beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang. Selesai makan beliau berdoa:

اللهم بَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُم واغْفِرْ لَهُمْ وارْحَمْهُم

“Ya Allah berikanlah mereka keberkahan pada apa yang Kau rizqikan kepada mereka, ampunillah mereka serta sayangilah mereka”

Kemudian sabda beliau yang lain:

أَكَلَ طَعَامَكُم الأبْرَار و صَلَّتْ عَلَيْكُم الملائكةُ و أَفْطَرَ عِنْدَكُم الصَائِمُون

“Semoga orang-orang baik memakan makanan kalian, para malaikat mendoakan kalian dan orang-orang yang berpuasa berbuka di rumah kalian”

3. Tidak wajib menghadiri undangan yang di dalamnya terdapat maksiat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله و اليَوْمِ الآخِرِ قَلاَ يَقْعُدَنَّ على مَائِدَةٍ تُدَارُ عَلَيْهَا بِالخَمْرِ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah ia sekali-kali duduk di meja hidangan yang di situ dihidangkan minuman keras”

4. Disunnahkan untuk memulai makan dari tepi wadah dan bukan dari tengah
Dari Abdullah bin Bisr ia berkata,”Nabi memiliki mangkuk besar yang dinamai Al Gharra’ yang diangkat oleh empat orang lelaki, tatkala para sahabat selesai shalat duha, mangkuk tersebut dihidangkan penuh berisi kuah dan roti, para sahabat berkerumun mengelilinginya. Ketika jumlah sahabat yang datang semakin banyak, Nabi duduk berlutut dengan menduduki punggung telapak kaki beliau. Seorang lelaki badui bertanya,”Duduk macam apakah ini? Rasulullah menjawab,”Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai hamba yang mulia dan tidaklah Ia menjadikanku seorang yang sombong lagi durhaka”Kemudian beliau bersabda,”Makanlah dari sisi-sisinya dan tinggalkanah puncaknya niscaya Allah memberikan berkah pada makanan ini

5. Tidak boleh bagi orang yang tidak diundang untuk ikut makn kecuali dengan seizin tuan rumah.
Abu Mas’ud Al Badri bercerita,”Seorang laki-laki mengundang Nabi ke rumahnya untuk mencicipi makanan buatannya. Lalu ada seorang lelaki yang mengikuti beliau. Ketika sampai beliau berkata,”Lelaki ini mengikuti saya, engkau boleh mengizinkannya masuk atau jika tidak ia akan pulang” Pemilik rumah menjawab,”Saya mengizinkannya wahai Rasulullah”

6. Tidak seyogyanya bagi tuan rumah mengkhususkan hanya mengundang orang-orang kaya dan terpandang saja tanpa menyertakan orang-orang miskin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

شَرُّ الطَّعَامُ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى إِلَيْهِ الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِينُ فَمَنْ لَمْ يَأْتِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang diundang untuk menghadirinya hanya golongan kaya saja sedangkan orang-orang miskin dilarang”

Wallahu a’lamu bish shawab



Dikutip dari https://almanhaj.or.id

Selasa, 12 Maret 2019

Penghalang terkabulnya doa

Tags
Banyak orang yang berdoa melakukan perbuatan yang menyebabkan doa mereka ditolak dan tidak dikabulkan, karena kebodohan mereka tentang syarat-syarat doa, padahal apabila tidak terpenuhi salah satu syarat tersebut, maka doa tersebut tidak dikabulkan.

Adapun syarat-syarat yang terpenting antara lain.

[1]. Ikhlas

Sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya”. [Ghafir : 14]

Ibnu Katsir mengatakan bahwa setiap orang yang beribadah dan berdoa hendaknya dengan ikhlas serta menyelisihi orang-orang musyrik dalam cara dan madzhab mereka.[Tafsir Ibnu Katsir 4/73]

Dari Abdurrahman bin Yazid bahwa dia berkata bahwasanya Ar-Rabii’ datang kepada ‘Alqamah pada hari Jum’at dan jika saya tidak ada dia memberikan kabar kepada saya, lalu ‘Alqamah bertemu dengan saya dan berkata : Bagaimana pendapatmu tentang apa yang dibawa oleh Rabii’.? Dia menjawab : “Berapa banyak orang yang berdoa tetapi tidak dikabulkan ? Karena Allah tidak menerima doa kecuali yang ikhlas”. Saya berkata : Bukankah itu telah dikatakannya ? Dia berkata : Abdullah mengatakan bahwa Allah tidak mendengar doa seseorang yang berdoa karena sum’ah, riya’ dan main-main tetapi Allah menerima orang yang berdoa dengan ikhlas dari lubuk hatinya”. [Imam Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 2/65 No. 606. Dishahihkan sanadnya oleh Al-Albani dalam Shahih Adabul Mufrad No. 473. Nakhilah maksudnya adalah iikhlas, Masma’ adalah orang yang beramal untuk dipuji atau tenar].

Termasuk syarat terkabulnya doa adalah tidak beribadah dan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Jika seseorang menujukan sebagian ibadah kepada selain Allah baik kepada para Nabi atau para wali seperti mengajukan permohonan kepada mereka, maka doanya tidak terkabulkan dan nanti di akhirat termasuk orang-orang yang merugi serta kekal di dalam Neraka Jahim bila dia meninggal sebelum bertaubat.

[2] & [3]. Tidak Berdoa Untuk Sesuatu Dosa Atau Memutuskan Silaturrahmi

Dari Abu Said bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila seorang muslim berdoa dan tidak memohon suatu yang berdosa atau pemutusan kerabat kecuali akan diakabulkan oleh Allah salah satu dari tiga ; Akan dikabulkan doanya atau ditunda untuk simpanan di akhirat atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya”.[Musnad Ahmad 3/18. Imam Al-Mundziri mengatakannya Jayyid (bagus) Targhib 2/478].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud “tidak berdoa untuk suatu yang berdosa” artinya berdoa untuk kemaksiatan suatu contoh : “Ya Allah takdirkan aku untuk bisa membunuh si fulan”, sementara si fulan itu tidak berhak dibunuh atau “Ya Allah berilah aku rizki untuk bisa minum khamer” atau “Ya Allah pertemukanlah aku dengan seorang wanita untuk berzina”. Atau berdoa untuk memutuskan silaturrahmi suatu contoh : “Ya Allah jauhkanlah aku dari bapak dan ibuku serta saudaraku” atau doa semisalnya. Doa tersebut pengkhususan terhadap yang umum. Imam Al-Jazri berkata bahwa memutuskan silaturahmi bisa berupa tidak saling menyapa, saling menghalangi dan tidak berbuat baik dengan semua kerabat dan keluarga.

[4]. Hendaknya Makanan Dan Pakaian Dari Yang Halal Dan Bagus

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan :

“Artinya : Seorang laki-laki yang lusuh lagi kumal karena lama bepergian mengangkat kedua tanganya ke langit tinggi-tinggi dan berdoa : Ya Rabbi, ya Rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dagingnya tumbuh dari yang haram, maka bagaimana doanya bisa terkabulkan.?” [Shahih Muslim, kitab Zakat bab Qabulus Sadaqah 3/85-86].

Imam An-Nawawi berkata bahwa yang dimaksud lama bepergian dalam rangka beribadah kepada Allah seperti haji, ziarah, bersilaturrahmi dan yang lainnya.

Pada zaman sekarang ini berapa banyak orang yang mengkonsumsi makanan, minuman dan pakaian yang haram baik dari harta riba, perjudian atau harta suap yang yang lainnya. [Syarh Shahih Muslim 7/100].

Ahli Syair berkata.

“Kita berdoa dan menyangka doa terangkat padahal dosa menghadangnya lalu doa tersebut kembali. Bagaimana doa kita bisa sampai sementara dosa kita menghadang di jalannya”. [Al-Azhiyah dalam Ahkamil Ad’iyah hal. 141].

[5]. Tidak Tergesa-gesa Dalam Menunggu Terkabulnya Doa

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda.

“Artinya : Akan dikabulkan permintaan seseorang di antara kamu, selagi tidak tergesa-gesa, yaitu mengatakan : Saya telah berdoa tetapi belum dikabulkan”. [Shahih Al-Bukhari, kitab Da’awaat 7/153. Shahih Muslim, kitab Do’a wa Dzikir
8/87]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : Yang dimaksud dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Saya berdoa tetapi tidak dikabulkan”, Ibnu Baththaal berkata bahwa seseorang bosan berdoa lalu meninggalkannya, seakan-akan mengungkit-ungkit dalam doanya atau mungkin dia berdoa dengan baik sesuai dengan syaratnya, tetapi bersikap bakhil dalam doanya dan menyangka Alllah tidak mampu mengabulkan doanya, padahal Dia dzat Yang Maha Mengabulkan doa dan tidak pernah habis pemberian-Nya. [Fathul Bari 11/145].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa Imam Al-Madzhari berkata : Barangsiapa yang bosan dalam berdoa, maka doanya tidak terkabulkan sebab doa adalah ibadah baik dikabulkan atau tidak, seharusnya seseorang tidak boleh bosan beribadah. Tertundanya permohonan boleh jadi belum waktunya doa tersebut dikabulkan karena segala sesuatu telah ditetapkan waktu terjadinya, sehingga segala sesuatu yang belum waktunya tidak akan mungkin terjadi, atau boleh jadi permohonan tersebut tidak terkabulkan dengan tujuan Allah mengganti doa tersebut dengan pahala, atau boleh jadi doa tersebut tertunda pengabulannya agar orang tersebut rajin berdoa sebab Allah sangat senang terhadap orang yang rajin berdoa karena doa memperlihatkan sikap rendah diri, menyerah dan merasa membutuhkan Allah. Orang sering mengetuk pintu akan segera dibukakan pintu dan begitu pula orang yang sering berdoa akan segera dikabulkan doanya. Maka seharusnya setiap kaum Muslimin tidak boleh meninggalkan berdoa. [Mir’atul Mafatih 7/349].

Syubhat.

Allah berfirman.

“Artinya : Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. (Ghafir : 60).

Banyak orang yang berdoa tetapi tidak dikabulkan, kalau seandainya ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya pasti tidak mungkin doa tersebut ditolak.

Hafizh Ibnu Hajar menjawab bahwa setiap orang yang berdoa pasti terkabulkan tetapi dengan bentuk pengkabulan yang berbeda-beda, terkadang apa yang diminta terkabulkan, atau terkadang diganti dengan sesuatu pemberian lain, sebagaimana hadits dari ‘Ubadah bin Shamit bahwasanya NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidak ada seorang muslim di dunia berdoa memohon suatu permohonan melainkan Allah pasti mengabulkannya atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya”. [Fathul Bari 11/98].

[6] &[ 7] Hendaknya Berdoa Dengan Hati Yang Khusyu’ Dan Yakin Bahwa Doanya Pasti Akan Dikabulkan

Dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Hati itu laksana wadah dan sebahagian wadah ada yang lebih besar dari yang lainnya, maka apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah kepada-Nya sedangkan kamu merasa yakin akan dikabulkan karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai”. [Musnad Ahmad 2/177, Mundziri dalam kitab Targhib 2/478, Al-Haitsami dalam Majma Zawaid 10/148]

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi : ” dan kalian yakin akan dikabulkan”, adalah pengharusan artinya berdoalah sementara kalian bersikap dengan sifat yang menjadi penyebab terkabulnya doa. Imam Al-Madzhari berkata bahwa hendaknya orang yang bedoa merasa yakin bahwa Allah akan mengabulkan doanya sebab sebuah doa tertolak mungkin disebabkan yang diminta tidak mampu mengabulkan atau tidak ada sifat dermawan atau tidak mendengar terhadap doa tersebut, sementara kesemuanya sangat tidak layak menjadi sifat Allah. Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah, Maha Tahu dan Maha Kuasa yang tidak menghalangi doa hamba-Nya. Jika seorang hamba tahu bahwa Allah tidak mungkin menghalangi doa hamba-Nya, maka seharusnya kita berdoa kepada Allah dan merasa yakin bahwa doanya akan dikabulkan oleh Allah.

Seandainya ada orang yang mengatakan bahwa kita dianjurkan agar kita selalu yakin bahwa doa kita akan terkabulkan dan keyakinan itu akan muncul jika doa pasti dikabulkan, sementara kita melihat sebagian orang terkabul doanya dan sebagian yang lainnya tidak terkabulkan, bagaimana kita bisa yakin ?

Orang yang berdoa pasti terkabulkan dan pemintaannya pasti diberikan kecuali bila dalam catatan azali Allah doa tersebut tidak mungkin dikabulkan akan tetapi dia akan dihindarkan oleh Allah dari musibah semisalnya dengan permohonan yang dia minta sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits. Atau diberi ganti yang berupa pahala dan derajat di akhirat. Karena doa adalah ibadah dan barangsiapa yang beribadah dengan baik, maka tidak mungkin akan dihalangi dari pahala.

Yang dimaksud dengan sabda Nabi : “dari hati yang lalai” adalah hati yang berpaling dari Allah atau berpaling dari yang dimintanya. [Mir’atul Mafatih 7/360-361].



Dikutip dari https://almanhaj.or.id

Senin, 11 Maret 2019

Harapan dalam islam

Tags
Sering kita mendengar dari pembicaraan orang orang seperti ” Sandainya tidak ada saya pasti kamu sudah begini dan begitu…, atau “ Andaikata dulu saya begini pasti saya…., larangan mengucapkan “andaikata” maupun “seandainya” telah termaktub di Al qur’an dan Hadits, mari simak fatwa ulama berikut ini:

Firman Allah Subhanahu wata’ala :

يقولون لو كان لنا من الأمر شيء ما قتلنا ههنا قل لو كنتم في بيوتكم لبرز الذين كتب عليهم القتل إلى مضاجعهم وليبتلي الله ما في صدوركم وليمحص ما في قلوبكم والله عليم بذات الصدور

“Mereka (orang-orang munafik) mengatakan :seandainya kita memiliki sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya (kita tak akan terkalahkan) dan tidak ada yang terbunuh diantara kita di sini (perang uhud). Katakanlah : ‘Kalaupun kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji (keimanan) yang ada dalam dadamu, dan membuktikan (niat) yang ada dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui isi segala hati.” (QS. Ali Imran, 154).

الذين قالوا لإخوانهم وقعدوا لو أطاعونا ما قتلوا قل فادرءوا عن أنفسكم الموت إن كنتم صادقين

“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka takut pergi berperang :seandainya mereka mengikuti kita tentulah mereka sudah terbunuh. Katakanlah : Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Ali Imran, 168).

Diriwayatkan dalam shoheh Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجزن، وإن أصابك شيء فلا تقل : لو أني فعلت لكان كذا وكذا، ولكن قل : قدر الله وما شاء فعل، فإن ” لو ” تفتح عمل الشيطان

“Bersungguh-sungguhlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), dan janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah, dan jika kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu mengatakan : “seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’“, tetapi katakanlah : “ini telah ditentukan oleh Allah, dan Allah akan melakukan apa yang Ia kehendaki”, karena kata “seandainya” itu akan membuka pintu perbuatan syetan.”

Kandungan bab ini :

Penjelasan tentang ayat dalam surat Ali Imran ([1]).

Larangan mengucapkan kata “andaikata” atau “seandainya” apabila mendapat suatu musibah atau kegagalan.

Alasannya, karena kata tersebut (seandainya/andaikata) akan membuka pintu perbuatan syetan.

Petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam [ketika menjumpai suatu kegagalan atau mendapat suatu musibah] supaya mengucapkan ucapan ucapan yang baik [dan bersabar serta mengimani bahwa apa yang terjadi adalah takdir Allah].

Perintah untuk bersungguh-sungguh dalam mencari segala yang bermanfaat [untuk di dunia dan di akhirat] dengan senantiasa memohon pertolongan Allah.

Larangan bersikap sebaliknya, yaitu bersikap lemah.

(1)Kedua ayat di atas menunjukkan adanya larangan untuk mengucapkan kata “seandainya” atau “andaikata” dalam hal-hal yang telah ditakdirkan oleh Allah terjadi, dan ucapan demikian termasuk sifat-sifat orang munafik, juga menunjukkan bahwa konsekwensi iman ialah pasrah dan ridho kepada takdir Allah, serta rasa khawatir seseorang tidak akan dapat menyelamatkan dirinya dari takdir tersebut.

Minggu, 10 Maret 2019

Adzan dan iqomah

Tags
Di dalam Islam, shalat merupakan ibadah badaniyah yang penting dan telah ditetapkan waktu pelaksanaannya. Allah berfirman, artinya : Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). (An Nisa`:103). Sesungguhnya kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman … [An Nisa` : 104].

Untuk mengetahui waktu shalat, Allah telah mensyariatkan adzan sebagai tanda masuk waktu shalat, berikut tata cara adzan dan hukum Islam berkenaan dengan adzan tersebut. Yang semuai ini, sangat penting untuk diketahui oleh kaum muslimin.

PENGERTIAN ADZAN DAN IQAMAH
Kata Adzan berasal dari bahasa Arab yang bermakna pemberitahuan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al Baqarah:279].

وَأَذَانٌ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الحَجِّ اْلأَكْبَرِ أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {3}

Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan RasulNya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakan kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat ) siksa yang pedih. [At Taubah : 3].

Adapun menurut syariat, adzan adalah beribadah kepada Allah dengan pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan dzikir tertentu. Inilah yang dirajihkan Ibnu ‘Utsaimin, sebagaimana pernyataan beliau: “Ini lebih tepat dari hanya (sekedar) pengertian bahwa adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat, sebab adzan itu ikut shalat. Oleh karena itu, jika diysariatkan ibrad dalam shalat Dhuhur (memperlambat shalat Dhuhur sampai agak dingin), maka disyariatkan mengakhirkan adzan”.

Adapun iqamah, menurut kaidah bahasa Arab berasal dari kata aqama yang maknanya, menjadikannya lurus atau menegakkan. Sedangkan menurut istilah syariat, iqamah ialah, ibadah kepada Allah untuk menegakkan shalat dengan dzikir tertentu.

PERBEDAAN ADZAN DAN IQAMAH
Dari pengertian adzan dan iqamah di atas, maka dapat diketahui perbedaan antara adzan dan iqamah ialah:

1. Adzan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat agar bersiap-siap menunaikannya, dan iqamah untuk masuk dan memulai shalat.
2. Lafadz (dzikir) yang dikumandangkan, dan masing-masing (antara adzan dan iqamah) juga berbeda, sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.

SIFAT DAN LAFADZ ADZAN DAN IQAMAH
Lafadz adzan yang ada dan digunakan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkenal dalam madzhab para Ulama terdapat adalah tiga macam :

1. Lafadz adzan dengan 15 kalimat, yaitu : 4 takbir, 2 syahadat Lailaha illa Allah, 2 syahadat Rasulullah, 2 hayya ‘ala as shalat, 2 hayya ‘alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid.

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ . حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ . حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ .اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ”

Inilah yang dipakai madzhab Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah. Dasarnya ialah hadits Abdullah bin Zaid yang berbunyi:

لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاقُوسِ يُعْمَلُ لِيُضْرَبَ بِهِ لِلنَّاسِ لِجَمْعِ الصَّلَاةِ طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوسًا فِي يَدِهِ فَقُلْتُ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَتَبِيعُ النَّاقُوسَ قَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهِ فَقُلْتُ نَدْعُو بِهِ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ أَفَلَا أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ فَقُلْتُ لَهُ بَلَى قَالَ فَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
قَالَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّي غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ قَالَ وَتَقُولُ إِذَا أَقَمْتَ الصَّلَاةَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا رَأَيْتُ فَقَالَ إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ فَقُمْتُ مَعَ بِلَالٍ فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ وَيُؤَذِّنُ بِهِ قَالَ فَسَمِعَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ وَيَقُولُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ مَا رَأَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Ketika Rasulullah memerintahkan penggunaan lonceng untuk memanggil orang berkumpul untuk shalat, maka dalam tidurku, aku bermimpi ada seseorang yang mengelilingiku dengan memanggul lonceng di tangannya, lalu aku berkata kepadanya: “Wahai, hamba Allah. Apakah kamu menjual lonceng itu?” Maka ia menjawab: “Hendak engkau apakan ia?” Maka aku menjawb: “Memanggil orang shalat dengannya”. Lalu orang tersebut menyatakan: “Maukah engkau, aku tunjukkan yang lebih baik dari itu?” Aku menjawab: “Ya, mau”. Maka ia mengatakan : “Katakanlah:

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ”

Ia berkata: “Kemudian orang tersebut muncul tidak jauh dariku,” kemudian menyatakan: Dan jika engkau melakukan iqamah, (maka) katakanlah:

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ”

Ketika subuh, aku menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan mimpiku tersebut. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: “Sungguh, itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Maka pergilah ke Bilal dan ajarkanlah apa yang engkau lihat, lalu hendaklah Bilal mengumandangkan adzan dengannya, karena ia lebih keras suaranya darimu.” Lalu aku menemui Bilal dan mengajarkan kepadanya, dan iapun adzan dengannya. Lalu Umar bin Khaththab mendengar hal itu di dalam rumahnya, lalu ia keluar menyeret selendangnya dan menyatakan: “Demi Dzat yang mengutus engkau dengan benar, wahai Rasulullah, sungguh akupun melihat apa yang ia lihat dalam mimpi”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan : “Alhamdulillah”.

2. Lafadz adzan sejumlah 17 kalimat, yaitu 2 takbir, 2 syahadatain diulang dua kali = 8 kalimat, 2 hayya ‘ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid. Inilah adzan menurut Imam Malik, dan dasarnya ialah hadits Abu Mahdzurah:

عَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ عَلَّمَهُ هَذَا الْأَذَانَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ يَعُودُ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ مَرَّتَيْنِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ مَرَّتَيْنِ زَادَ إِسْحَقُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan dengan:

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ”

Kemudian mengulang, lalu membaca:

” أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ”
” حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ” (dua kali)

Dan (membaca) حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ dua kali.

Ishaq menambahkan bacaan:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

3. Lafadznya 19 kalimat, yaitu 4 takbir, 2 syahadatain dengan tarji’ (diulang dua kali = 8 kalimat), 2 hayya ‘ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid. Inilah yang dijadikan pedoman dalam madzhab Syafi’i. Dalilnya ialah hadits Abu Mahdzurah :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَهُ الْأَذَانَ تِسْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً وَالْإِقَامَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan 19 kalimat dan iqamah 17 kalimat.

Hal ini dijelaskan dalam riwayat lain dari Abu Mahdzurah, ia berkata:

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي سُنَّةَ الْأَذَانِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِي وَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ تَرْفَعُ بِهَا صَوْتَكَ ثُمَّ تَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ تَخْفِضُ بِهَا صَوْتَكَ ثُمَّ تَرْفَعُ صَوْتَكَ بِالشَّهَادَةِ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ فَإِنْ كَانَ صَلَاةُ الصُّبْحِ قُلْتَ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Aku berkata: “Wahai Rasulullah. Ajarilah aku sunnah adzan.” Lalu Beliau memegang bagian depan kepalaku dan berkata: “Ucapkanlah dengan suara perlahan

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ”

Kemudian keraskanlah suaramu dalam membaca syahadat:

” أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ .
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ .حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ. حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ”

Jika shalat Subuh, katakanlah :

” الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ ”

Lalu :

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّه ”

Ibnu Abdil Bar mengatakan: “Ahmad, Ishaq, Dawud dan Ibnu Jarir berpendapat, ini termasuk khilaf yang mubah, karena takbir yang empat pertama atau dibuat dua kali, atau dengan tarji’ dalam syahadat atau tidak, iqamah dibuat dua-dua atau satu-satu semuanya kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ . semuanya boleh.

Dalam permasalahan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memberikan tarjih sebagaimana pernyataan beliau: Semua yang ada dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari lafadz adzan, maka diperbolehkan, bahkan semestinya, terkadang menggunakan yang ini dan terkadang yang itu, jika tidak menimbulkan keresahan dan fitnah. Ada kaidah yang menyatakan, ibadah-ibadah yang diajarkan dalam sisi yang berbeda-beda, hendaknya dilakukan atas sisi-sisi tersebut semuanya. Hal ini memiliki beberapa faidah (manfaat):
a). Menjaga Sunnah dalam berbagai sisinya.
b). Mempermudah para mukallaf.
c). Kehadiran hati (membuat khusyu`) dan tidak bosan.
d). Menjaga dan memelihara syariat.

Kemudian ada riwayat lain yang menjelaskan bahwa adzan dilakukan dua-dua, dan iqamah satu-satu, sebagaimana disebtukan dalam hadits Ibnu Umar :

كَانَ الأّذَانُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيْ مَثْنَى مَثْنَى وَ الإِقَامَةُ وَاحِدَةٌ غَيْرُ أَنَّهُ إِذَا قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ ثَنَى بِهَا

Adzan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dua-dua, dan iqamah satu-satu, kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ dua kali.

Sedangkan lafadz iqamah ada tiga juga, yaitu:
a). Iqamah 11 kalimat, yaitu :

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Inilah iqamah menurut pendapat Syafi’i, Ahmad dan kebanyakan ulama, dengan dasar hadits Abdullah bin Zaid di atas.

b). Iqamah seperti di atas dengan dikurangi قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ menjadi satu sehingga jumlahnya 10 kalimat. Demikian ini iqamah menurut madzhab Malikiyah.

c). Iqamah berjumlah 17 kalimat, yaitu :

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Inilah iqamah menurut madzhab Abu Hanifah, dengan dasar hadits Abu Mahdzurah yang menyatakan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَهُ الْأَذَانَ تِسْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً وَالْإِقَامَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan 19 kalimat dan iqamah 17 kalimat.

Abu Isa Al Tirmidzi menyatakan : “Ini hadits hasan shahih”.

4). Iqamah dengan 9 kalimat, dengan satu-satu kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ dua kali, dasarnya ialah hadits Ibnu Umar di atas.

Imam Bukhari juga menulis masalah ini dalam bab Al Iqamatu Wahidah Illa Qaulahu قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ , yang didukung disepakati Al Hafizh Ibnu Hajar dalam pensyariatannya.

Semua lafadz adzan di atas boleh dipergunakan, dan lebih baik bila digunakan seluruhnya, kecuali jika menimbulkan fitnah di masyarakat, sebagaimana telah disampaikan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas.

KANDUNGAN LAFADZ ADZAN
Lafazd adzan dan iqamah mencakup kandungan aqidah seorang muslim, sehingga Imam Al Qadhi Iyadh berpendapat: “Ketahuilah, bahwa adzan adalah kalimat yang berisi aqidah iman yang mencakup jenis-jenisnya. Yang pertama, menetapkan Dzat dan yang seharusnya dimiliki Dzat Allah dari kesempurnaan dan pensucian dari lawan kesempurnaan. Dan itu terkandung pada ucapan “Allahu Akbar”. Lafadz ini, walaupun sangat ringkas, namun sudah menjelaskan apa yang telah kami sebutkan di atas. Kemudian (yang kedua), menegaskan keesaan Allah dan penolakan sekutu yang mustahil ada bagiNya. Ini merupakan dasar dan tonggak iman, dan tauhid yang didahulukan ada di atas segala tugas agama lainnya. Kemudian menegaskan penetapan kenabian dan persakisan akan kebenaran risalah (kerasulan) bagi Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini merupakan kaidah agung setelah syahadat tentang keesaaan Allah. Kemudian mengajak kepada ibadah yang diperintahkan. Mengajak untuk shalat dan menjadikannya setelah penetapan kenabian, karena kewajibannya diketahui melalui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan melalui akal. Kemudian mengajak kapada kemenangan, yaitu kekal di dalam kenikmatan yang abadi. Disini terdapat isyarat untuk perkara-perkara akhirat dalam hal kebangkitan dan pembalasan yang merupakan akhir masalah aqidah Islam. Lalu hal itu diulang-ulang dengan iqamat shalat untuk memberitahu mulainya. Hal ini mengandung penegasan iman dan pengulangan penjelasan iman ketika memulai suatu ibadah dengan hati dan lisan, dan agar orang yang shalat senantiasa berada di atas kejelasan amalannya dan ilmu tentang imannya, serta merasakan keagungan shalat dan keagungan Dzat yang disembah serta pahala yang besar”.

Imam Al Qurthubi juga menyatakan: “Adzan, walaupun lafadznya sangat ringkas, namun mengandung banyak masalah aqidah; karena adzan dimulai dengan takbir yang mengandung penetapan keberadaan dan kesempurnaan Allah. Kemudian diikuti dengan penetapan tauhid dan menafikan syirik. Lalu penetapan risalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ajakan untuk mentaati Beliau secara khusus setelah syahadat (persaksian) tentang risalah (kerasulan), karena tidak diketahui ibadah shalat tersebut kecuali dari jalan rasul. Kemudian ajakan kepada kemenangan, yaitu kekekalan dan berisi isyarat tentang hari pembalasan, lalu diulang-ulang sebagai penegasan. Sehingga dari adzan didapatkanlah pemberitahuan tentang masuk waktu shalat, ajakan berjamaah dan menampakkan syiar Islam”.



Dikutip dari https://almanhaj.or.id