Jumat, 01 Maret 2019

Kandungan surat Al Hajj

Surat Al Hajj, termasuk golongan surat-surat Madaniyyah, terdiri atas 78 ayat, sedang menurut pendapat sebahagian ahli tafsir termasuk golongan surat-surat Makkiyah. Sebab perbedaan ini ialah karena sebahagian ayat-ayat surat ini ada yang diturunkan di Mekah dan sebahagian lagi diturunkan di Madinah.

Dinamai surat ini Al Hajj, karena surat ini mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan ibadat haji, seperti ihram, thawaf, sa’i, wuquf di Arafah, mencukur rambut, syi’ar-syi’ar Allah, faedah-faedah dan hikmah-hikmah disyari’atkannya haji. Ditegaskan pula bahwa ibadat haji itu telah disyari’atkan di masa Nabi Ibrahim a.s., dan Ka’bah didirikan oleh Nabi Ibrahim a.s. bersama puteranya Ismail a.s.

Menurut Al Ghaznawi, surat Al Hajj termasuk di antara surat- surat yang ajaib, diturunkan di malam dan di siang hari, dalam musafir dan dalam keadaan tidak musafir, ada ayat-ayat yang diturunkan di Mekah dan ada pula yang diturunkan di Madinah, isinya ada yang berhubungan dengan peperangan dan ada pula yang berhubungan dengan perdamaian, ada ayat-ayatnya yang muhkam dan ada pula yang mutasyabihaat.

Pokok-pokok isinya:

1. Keimanan:
Keimanan tentang adanya kebangkitan dan huru-hara hari kiamat; dari susunan alam semesta dapat diambil bukti- bukti tentang adanya Allah Maha Pencipta.

2. Hukum-hukum:
Kewajiban berhaji bagi kaum muslimin dan haji telah disyari’atkan pada masa Ibrahim a.s.; hukum berkata dusta; larangan menyembah berhala; binatang-binatang yang halal dimakan; hukum menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil-haram; keizinan berperang untuk mempertahankan diri dan agama; hukum-hukum yang berhubungan dengan haji.

3. Dan lain-lain:
Membantah kebenaran tanpa pengetahuan adalah perbuatan yang tercela; tanda-tanda takwa yang sampai ke hati; tiap-tiap agama yang dibawa rasul-rasul sejak dahulu mempunyai syari’at tertentu dan cara melakukannya; pahala orang yang mati dalam berhijrah di jalan Allah; sikap orang-orang kafir bila mendengar ayat-ayat Al Quran; anjuran berjihad dengan sesungguhnya; celaan Islam terhadap orang-orang yang tidak tetap pendiriannya dan selalu mencari keuntungan untuk diri sendiri.



Surat Al Hajj mengingatkan manusia kepada adanya hari berbangkit dengan mengemukakan bukti-bukti tentang kejadian dan proses perkembangan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Oleh sebab itu sudah sewajarnya manusia bersyukur dan menyembah Allah Tuhan semesta alam. Juga mengemukakan tentang disyariatkannya haji, mengenai waktu-waktu yang boleh melakukan peperangan dan yang tidak boleh melakukannya berhubungan adanya bulan-bulan suci yang ditentukan Allah.

HUBUNGAN SURAT AL HAJJ DENGAN SURAT AL MU’MINUUN

1. Surat Al Hajj menyuruh orang-orang mukmin mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, mengerjakan aneka rupa kebaikan agar mendapat keberuntungan, sedang permulaan surat Al Mu’minuun menegaskan bahwa orang-orang mukmin bila mereka betul-betul mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya seperti zina, pasti mendapat keberuntungan.

2. Sama-sama mengemukakan tentang penciptaan manusia, perkembangan kejadian dan kehidupan, dan menjadikan hal yang demikian sebagai bukti adanya hari berbangkit.

3. Sama-sama menyinggung umat-umat yang dahulu yang tidak mengindahkan seruan nabi-nabi mereka, untuk menjadi i’tibar bagi orang-orang yang datang di belakang mereka.

4. Sama-sama mengemukakan bukti-bukti adanya Allah dan keesaan- Nya.

Kandungan surat Al Anbiyaa

Surat Al Anbiyaa’ yang terdiri atas 112 ayat, termasuk golongan surat Makkiyyah. Dinamai surat ini dengan al anbiyaa’(nabi-nabi), karena surat ini mengutarakan kisah beberapa orang nabi. Permulaan surat Al Anbiyaa’ menegaskan bahwa manusia lalai dalam menghadapi hari berhisab, kemudian berhubung adanya pengingkaran kaum musyrik Mekah terhadap wahyu yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. maka ditegaskan Allah, kendatipun nabi-nabi itu manusia biasa, akan tetapi masing-masing mereka adalah manusia yang membawa wahyu yang pokok ajarannya adalah tauhid, dan keharusan manusia menyembah Allah Tuhan Penciptanya. Orang yang tidak mau mengakui kekuasaan Allah dan mengingkari ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi itu, akan diazab Allah didunia dan di akhirat nanti. Kemudian dikemukakan kisah beberapa orang nabi dengan umatnya. Akhirnya surat itu ditutup dengan seruan agar kaum musyrik Mekah percaya kepada ajaran yang dibawa Muhammad s.a.w supaya tidak mengalami apa yang telah dialami oleh umat-umat yang dahulu. Selain yang tersebut diatas pokok-pokok isi surat ini ialah:

1. Keimanan:
Para nabi dan para rasul itu selamanya diangkat Allah dari jenis manusia; langit dan bumi akan binasa kalau ada Tuhan selain Allah; semua Rasul membawa ajaran tauhid dan keharusan manusia menyembah Allah; tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati; cobaaan Allah kepada manusia ada yang berupa kebaikan dan ada yang berupa keburukan; hari kiamat datangnya dengan tiba-tiba.

2. Kisah-kisah:
Kisah Ibrahim a.s (ajakan Ibrahim a.s kepada bapaknya untuk menyembah Allah, bantahan Ibrahim terhadap kaumnya yang menyembah berhala-berhala, bantahan lbrahim a.s. terhadap Namrudz yang bersimaharajalela dan menganggap dirinya Tuhan), kisah Nuh a.s., kisah Daud a.s., dan Sulaiman a.s; kisah Ayyub a.s.; kisah Yunus a.s.; kisah Zakaria a.s.

3. Dan lain-lain:
Karunia Al Quran; tuntutan kaum musyrikin kepada Nabi Muhammad saw untuk mendatangkan mukjizat yang lain dari Al Quran ; kehancuran suatu umat adalah karena kezalimannya; Allah menciptakan langit dan bumi beserta hikmatnya; soal jawab antara berhala dan penyembahnya dalam neraka; timbulnya Ya’juj dan Ma’juj sebagai tanda-tanda kedatangan hari kiamat; bumi akan diwariskan kepada hamba Allah yang dapat memakmurkannya; kejadian alam semesta; sesuatu yang hidup itu berasal dari air.



Surat Al Anbiyaa’ menerangkan bahwa sudah menjadi sunnah Allah bahwa para nabi atau rasul yang diutus-Nya adalah dari jenis manusia yang diberikan kepada mereka kitab dan mukjizat. Dasar agama (aqidah) yang dibawa oleh para nabi itu adalah sama, hanya berbeda dalam syariat (hukum furu’), karena ini disesuaikan dengan perkembangan masa dan keadaan.

HUBUNGAN SURAT AL ANBIYAA’ DENGAN SURAT AL HAJJ

1. Pada akhir surat Al Anbiyaa’ dikemukakan hal-hal yang berhubungan dengan hari kiamat, sedang pada bahagian permulaan surat Al Hajj mengemukakan bukti-bukti adanya hari berbangkit dengan dalil akal.

2. Surat Al Anbiyaa’ mengutarakan bahwa Allah tidak menjadikan manusia sebagai makhluk yang kekal hidupnya; semuanya akan merasai mati. Kemudian mereka dibangkitkan di hari kiamat untuk dihisab perbuatan-perbuatan yang teIah mereka lakukan di dunia. Pada surat Al Hajj diterangkan bahwa manusia dapat menjadikan dalil keadaan pertumbuhan yang terdapat di alam semesta, dari ada kepada tidak ada dan sebaliknya, sebagai bukti bahwa janji Allah tentang hari berbangkit pasti akan menjadi kenyataan.

3. Surat Al Anbiyaa’ menerangkan kisah nabi-nabi dan dalil-dalil yang dihadapkan kepada kaumnya tentang kebenaran agama yang dibawanya, sedang surat Al Hajj menuntut agar manusia memperhatikan aneka ragam ciptaan Allah dan pengaturannya, untuk memperkuat kepercayaan kepada kebenaran agama Allah.

Pesan Rasulullah SAW

Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Ibnu Majah dan yang lainnya, dari hadis Abu Ayub al Anshori- radhiyallahu’anhu– bahwa ada seorang laki-laki menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata, “Beri aku nasehat singkat”. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَاجْمَعْ الْإِيَاسَ مِمَّا فِي يَدَيْ النَّاسِ

“Jika kamu hendak melaksanakan shalat, shalatlah seperti shalat terakhir, jangan mengatakan sesuatu yang membuatmu minta maaf di kemudian hari dan kumpulkan keputus-asaan terhadap apa yang ada pada manusia”.

Nasehat pertama : menjaga sholat dan memperbaiki penunaiannya

Nasehat kedua : menjaga lisan

Nasehat ketiga : qona’ah serta menggantungkan hati hanya kepada Allah.

Pada wasiat pertama, Nabi menasehatkan kepada orang yang melakukan shalat untuk merasa bahwa shalatnya adalah sholat terakhir baginya. Karena sudah lumrah bahwa perpisahan akan membuat seseorang maksimal dalam berucap dan bertindak, totalitas yang tidak didapati pada keadaan lainnya. Seperti yang lumrah terjadi di saat berpergian, seorang yang pergi dari suatu daerah dengan rencana kembali ke daerah tersebut, berbeda dengan orang yang pergi tanpa ada rencana ingin kembali. Seorang yang berpisah, akan melakukan totalitas (meninggalkan jejak baik) yang tidak dilakukan oleh yang lainnya.

Bila seorang sholat dengan perasaan seakan sholat itu adalah sholat yang terakhir baginya; ia tidak akan bisa sholat lagi setelah ini, tentu ia akan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan sholat itu. Dia perindah penunaiannya, proposional dalam ruku’, sujud, menunaikan kewajiban-kwajiban serta sunah – sunah sholat dengan sebaik mungkin.

Maka selayaknya seorang mukmin mengingat pesan ini di setiap shalatnya. Lakukanlah sholat seakan sholat itu adalah sholat perpisahan, hadirkan perasaan bahwa itu adalah shalat yang terakhir. Apabila ia merasakan itu maka akan membawanya menunaikan sholat dengan sebaik mungkin.

Dan siapa yang sholatnya baik, maka ibadah sholatnya akan menghantarkan pada kebaikan-kebaikan dan menghalangi dari segala keburukan dan kerendahan. Ia akan merasakan manisnya iman. Sholat menjadi penyejuk pandangan dan penyebab kebahagiaan untuknya.

Kemudian wasiat kedua, tentang menjaga lisan. Karena lisan adalah hal yang paling berbahaya bagi manusia. Saat perkataan belum terucap ia masih dalam kendali pemilik ucapan. Adapun saat ucapan telah keluar dari lisan, ucapan itulah yang akan menguasainya dan ia menanggung resikonya. Oleh karena itu Nabi ‘alaihissholaatuwassalam berpesan, “Jangan mengatakan sesuatu yang membuatmu minta maaf di kemudian hari.” Atinya bersungguh-sungguhlah menahan lisanmu dari ucapan yang membuat dirimu harus meminta uzur di kemudian hari; setiap perkataan yang membuatmu meminta maaf. Karena sebelum perkataan itu terucap ia berada dalam kekuasaanmu, namun bila sudah terucap maka perkataan itulah yang akan menguasaimu.

Nabi ‘alaihissholaatuwassalam pernah berpesan kepada Mu’adz radhiyallahu’anhu,
“Maukah aku kabarkan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?”

“Mau ya Nabi Allah.” Jawab Mu’adz.

Kemudian Rasulullah memegang lisan beliau seraya bersabda, “Jagalah ini.”

Aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kita akan disiksa juga karena ucapan kita?”

Nabi menjawab,

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ! وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ ـ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ ـ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِم

“Ah kamu ini, bukankah yang menyebabkan seseorang terjungkal wajahnya di neraka –atau sabda beliau: di atas hidungnya- itu tidak lain karena buah dari ucapan lisan-lisan mereka?!”(HR. Tirmidzi no. 2616. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih).

Maka lisan ini sangat berbahaya.

Dalam hadis shahih lainnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga berpesan,

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

“Jika waktu pagi tiba seluruh anggota badan menyatakan ketundukannya terhadap lisan dengan mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah terkait dengan kami. Karena kami hanyalah mengikutimu. Jika engkau baik maka kami pun baik. Sebaliknya jika kamu melenceng maka kami pun ikut melenceng” (HR Tirmidzi no 2407 dan dinilai hasan oleh Al Albani).

Kemudian sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

“Janganlah mengatakan suatu ucapan yang membuatmu harus minta maaf di kemudian hari.”

Pada kalimat ini terdapat ajakan untuk memuhasabah ucapan yang hendak disampaikan, yakni memikirkannya terlebih dahulu. Jika ucapan itu baik maka silahkan sampaikan. Jika tidak, maka tahanlah lisan anda. Atau jika ragu baik atau buruknya ucapan, tahanlah lisan dalam rangka menghindari perkara syubhat, sampai tampak perkara tersebut di hadapan anda. Oleh karenanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله واليَوْمِ الآخِرِ؛ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim).

Betapa banyak orang yang menjatuhkan diri mereka pada kesalahan yang fatal, disebabkan ucapan yang tidak mereka pertimbangkan. Kemudian berakibat musibah baginya di dunia dan di akhirat, suatu akibat yang tak terpuji. Orang yang berakal adalah yang menimbang ucapannya dan ia tidak berbicara kecuali seperti yang dinasehatkan Nabi kita alaihissholaatuwassalam; perkataan yang tidak membuatnya harus meminta maaf di kemudian hari.

Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “…dengan perkataan yang membuatmu minta maaf di kemudian hari.” bisa bermakna saat anda berdiri di hadapan Allah atau membuatmu meminta di kemudian hari maksudnya di hadapan manusia, saat mereka menuntut ucapan anda. Bila kita mengambil makna pertama maka pesan ini ada kaitannya dengan sholat. Karena alasan apa yang akan diucapkan orang-orang yang menyia-nyiakan sholat di hari kiamat nanti?! Padahal sholat adalah amalan yang paling pertama ditanyakan.

Wasiat ketiga berisi ajakan untuk qona’ah, serta menggantungkan hati hanya kepada Allah, dan memupuskan harapan terhadap harta-harta yang di tangan manusia. Beliau bersabda,

وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاس

“Kumpulkan keputusasaan terhadap apa yang ada pada manusia”.

Maksudnya bertekatlah dalam hatimu untuk memutuskan asa terhadap apa saja yang di tangan manusia. Jangan gantungkan harapan pada mereka. Jadikanlah pengharapanmu sepenuhnya hanya kepada Allah Jalla wa ‘ala. Sebagaimana dengan lisan anda tidak pernah berdoa kecuali kepada Allah, maka demikian juga sepatutnya dengan sikap anda jangan gantungkan harapanmu kecuali kepada Allah. Pupuskanlah segala pengharapan kepada siapapun kecuali kepada Allah, sehingga pengharapanmu hanya tertuju kepada Allah semata.

Dan sholat adalah penghubung antara dirimu dan tuhanmu. Dalam sholat terdapat pertolongan terbesar untukmu dalam merealisakan sikap ini.

Siapa yang memutus pengharapan terhadap apa yang di tangan manusia, maka hidupnya mulia. Siapa yang hatinya bergantung pada kepada kekayaan manusia, maka hidupnya hina. Dan barangsiapa yang menggantungkan hatinya hanya kepada Allah, tidak mengharap kecuali kepada Allah, tidak meminta hajatnya kecuali kepada Allah, tidak bertawakkal kecuali hanya kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan segala kebutuhan dunia dan akhiratnya. Allah ‘azzawajalla berfirman,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya” (QS. Az Zumar 36).

Allah juga berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. At Tholaq : 3).



Dikutip dari https://muslim.or.id

Cara menghindari ghibah

Ghibah merupakan sebuah tindakan mengunjingkan orang lain atas perbuatan tercela yang dilakukannya. Ghibah sendiri merupakan hal buruk yang dapat memberi banyak sekali dampak negatif bagi para pelakunya. Banyak sekali orang yang terkadang tidak sadar ketika ia tengah melakukan ghibah dan terus menerus melakukannya.

Hal ini dikarenakan perbuatan yang satu ini dianggap sebagai hal yang biasa sehingga menjadi barang konsumsi sehari-hari. Maraknya perbuatan ghibah juga didukung oleh program televisi yang banyak membicarakan aib dari tokoh masyarakat seperti halnya selebritis dan tokoh lainnya yang terkenal.

Tidak hanya itu, namun banyaknya media massa yang ada seperti internet serta koran dan majalah juga mendukung penyebarluasan perbuatan ghibah. Ada banyak sekali contoh perbuatan ghibah yang terjadi sehari-hari di sekitar kita mulai dari:

Membicarakan keburukan-keburukan orang lain melalui ucapanMembicarakan keburukan orang lain dengan gerakan tubuhMembicarakan keburukan orang lain lewat media massa seperti koran, internet ataupun majalah. Beragamnya jenis media online mmebuat seseorang dapat mengekspresikan diri dengan mudah namun terkadang membuat seseorang berekspresi secara berlebihan tanpa tahu batas-batasnya.Membicarakan beragam keburukan orang lain lewat bahasa isyarat

Hal-hal diatas merupakan contoh ghibah yang banyak terjadi di lingkungan kita sehari-hari yang terkadang dilakukan secara tidak sadar.

Ghibah merupakan sebuah perbuatan tercela dimana pelaku dapat membuat persatuan dan kesatuan yang awalnya telah terbentuk hilang seketika. Bahkan tidak jarang pula ada yang awalnya berteman lalu menjadi bermusuhan akibat perbuatan ini. Bagi anda yang ingin menghindari ghibah, ada beberapa tips yang dapat anda lakukan seperti di bawah ini:

Bergaul dengan orang yang baik

Tidak dapat dipungkiri lagi jika nyatanya pergaulan merupakan hal yang dapat membawa dampak besar pada kehidupan sehari-hari kita. Ketika anda bergaul dengan orang-orang dengan kelakuan baik, maka anda dengan sendirinya akan ikut terpengaruh dan melakukan hal-hal yang baik pula.

Kebalikannya, ketika anda bergaul dengan orang yang berperilaku buruk, maka hal ini juga akan memberntuk kepribadian anda juga. Jika anda ingin menghindari perilaku ghibah tentu anda harus menghindari orang yang gemar melakukan ghibah itu sendiri.

Dalam hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjelaskan tentang peran seorang teman :

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة

Artinya:

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

Saat anda berada di antara para pelaku ghibah anda akan terbawa perkataan mereka dan mulai merespon setiap kata sehingga terbentuklah ghibah.

Jaga lidah anda

Berhati-hati dalam bicara merupakan sifat yang harus kita tanamkan sejak kecil. Berhati-hati ketika ingin mengatakan sesuatu membantu anda dalam menghindari ghibah. Ketika tahu apa yang akan dibicarakan merupakan hal yang buruk, lebih baik tidak usah dikatakan.

Katakan saja yang baik-baik sehingga anda terhindar dari bahaya lisan. Pepatah mengenai mulutmu adalah harimaumu merupakan sebuah pepatah yang benar adanya. untuk itu, jaga dengan baik lisan anda supaya tidak

Dari Sahl bin Sa’ad ra., Rosululloh Muhammad saw bersabda:

“Barangsiapa yang dapat memberikan jaminan kepadaku tentang kebaikannya apa yang ada di antara kedua tulang rahangnya – yakni mulut atau lidah – serta antara kedua kakinya – yakni kemaluannya, maka saya memberikan jaminan syurga untuknya.” (Muttafaq ‘alaih)

Intropeksi diri

Intropeksi diri merupakan hal yang cukup sulit dilakukan. Ada banyak orang yang dapat memilah-milah kesalahan orang lain, ini benar dan yang itu salah namun terkadang kesalahan sendiri tidak tampak olehnya. Intropeksi diri merupakan hal yang baik terlebih untuk mencari kejelekan diri sendiri. Ketika kita menemukan bahwa ternyata diri kita jauh lebih buruk dibandingkan orang lain, maka akan menimbulkan rasa malu yang pastinya menghindarkan anda untuk membicarakan keburukan yang lain.

Intropeksi diri akan membuat anda merasa malu jika harus membicarakan keburukan orang lain sedangkan anda sendiri masih memiliki banyak kesalahan dan harus dibenahi. Intropeksi membuat anda sadar dengan kesalahan yang ada sehingga dapat dijadikan sebagai ajang untuk membenahi diri supaya dapat berperilaku lebih baik.Ingat kebaikan orang tersebut

Tidak semua orang yang dibicarakan memiliki kelakuan yang buruk sehingga tidak ada satupun ada kebaikan dari dirinya. Setiap orang tentu memiliki sisi baik dan sisi buruk. Ketika ingin membicarakan kejelekan tentangnya, sebaiknya anda ingat-ingat pula kebaikannya. Dengan mengingat sisi baik orang tersebut terlebih jika orang tersebut sering membantu anda ketika ada masalah, maka rasa keinginan untuk membicarakan hal buruk darinya akan hilang.

Hilangkan kebiasaan buruk untuk membicarakan orang ketika orang tersebut melakukan sedikit kesalahan karena bisa anda dia jauh lebih baik jika dibandingkan dengan anda.

Ghibah merupakan hal yang buruk

Cara menghindari ghibah juga dapat anda lakukan dengan cara mengingatkan diri sendiri jika ghibah merupakan hal yang buruk. Tanamkan pada diri sendiri jika pelaku ghibah tidak ada manfaatnya dan hanya akan membawa keburukan. Keburukan yang didapat tidak hanya pada orang yang menjadi bahan pembicaraan melainkan juga pada si pelaku ghibah. Anda akan dicap orang sebagai tukang gosip yang gemar menggosip kesana sini.

Ghibah merupakan sifat buruk yang dilarang oleh Allah SWT. Hal ini tertuang dalam firmannya:

“…dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat 49 : 12).

Banyak berpikir positif

Berpikir positif menyelamatkan anda dari pikiran-pikiran buruk yang merusak. Berpikir positif tentu lebih baik dan pastinya memberi pengaruh yang baik pula pada kehidupan anda. Berbeda dengan berpikir positif, maka gemar berpikir buruk merupakan kebalikannya.

Pikiran buruk dapat membuat anda tenggelam dalam beragam hal yang tidak bermanfaat sehingga perilaku anda juga dapat menyimpang. Selain itu pikiran buruk terhadap orang lain membuat kita dengan mudah membicarakan keburukannya.

Saling mengingatkan

Anda tidak perlu merasa sungkan ataupun ragu untuk mengingatkan terhadap sesama. Namun dalam mengingatkan tentu anda sendiri juga harus mencerminkan perbuatan yang baik. jangan sampai anda hanya sekedar mengingatkan namun kelakuan anda juga tidak jauh beda dengan yang diingatkan.

Bagi anda yang beragama Islam, tentu tahu jika ghibah merupakan perbuatan yang berdosa dan dimurkai Allah. Perbuatan ini membuat timbangan kejahatan orang yang digunjingkan berpindah pada si pelaku ghibah. Sehingga ada baiknya jika anda berpikir seribu kali sebelum melakukan perbuatan satu ini.

Dalam Al-quran di jelaskan;

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, dan mereka yang saling mengingatkan tentang kebenaran dan saling mengingatkan tentang kesabaran.” (QS Al-Ashr : 1-3)

Dampak Ghibah Dalam Kehidupan

Ada beberapa dampak negatif dari ghibah seperti hal- hal yang berikut ini:

Ghibah mengurangi amal perbuatan

Bagi anda yang beragama Islam, tentu tahu betul jika ghibah dapat mengurangi amal timbangan kebaikan anda selama di dunia. Hal ini dikarenakan pahala dari pelaku ghibah akan dialihkan pada orang yang digunjingkan

Timbulnya permusuhan

Ketika orang yang digunjingkan tahu jika dia tengah dijadikan bahan gunjingan, tentu dia akan merasa tidak suka terlebih pada pelaku ghibah itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan putusnya persatuan dan keinginan balik untuk menyebar aib orang yang bersangkutan.

Putusnya hubungan

Ghibah bukan hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki hubungan jauh ataupun hubungan buruk namun dapat pula dilakukan oleh teman dekat. Ketika yang mengunjingkan teman dekat, tentu hubungan tidak akan lagi sama bahkan timbul rasa permusuhan.

Perbuatan yang baik membuahkan hal yang juga baik dan begitupun sebaliknya. Ketika diberi kesempurnaan dalam hidup berupa lisan, tentu anda harus menggunakannya sebaik mungkin dan bukannya untuk menggunjingkan orang lain. Ghibah merupakan perbuatan yang dilarang namun ada beberapa jenis perbuatan ghibah yang diperbolehkan seperti saat meminta nasehat atau ketika mengadukan kejahatan seseorang agar diadili pada pengadilan.

Ghibah dalam meminta nasehat dibenarkan untuk menghindari sesuatu yang buruk terjadi lagi sementara ghibah dalam bentuk pengaduan kepada hakim dibenarkan supaya orang yang telah melakukan kejahatan mendapatkan ganjaran yang pantas atas kejahatan yang telah diperbuatnya.

Sifat terpuji

Keimanan merupakan kunci kebaikan dan keberuntungan seseorang di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla sering sekali menyebutkan kata ‘iman’ ini dalam al-Qur’ân, baik dalam konteks perintah, larangan, anjuran, pujian dan lain sebagainya. Jika penyebutan lafazh ‘iman’ itu dalam konteks perintah, larangan atau penetapan hukum di dunia, maka itu berarti, ucapan itu diarahkan kepada seluruh kaum Mukminin, baik yang imannya sempurna ataupun kurang . Sedangkan, jika penyebutan kata ‘iman’ itu dalam konteks pujian kepada orang-orangnya dan penjelasan balasannya, maka itu berarti, ucapan itu diarahkan untuk orang-orang yang imannya sempurna. Kelompok yang kedua inilah yang hendak dijelaskan di sini.

Dalam al-Qur’ân, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa orang Mukmin yaitu orang yang mengakui dan mengimani semua pokok akidah, menginginkan dan melakukan apa Allâh Azza wa Jalla sukai dan ridhai, meninggalkan semua perbuatan maksiat dan bergegas untuk bertaubat dari perbuatan dosa yang dia lakukan. Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan bahwa keimanan mereka memberikan dampak positif pada akhlak, perkataan dan tindak-tanduk mereka.

Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan sifat kaum Mukminin itu yaitu yang beriman kepada semua rukun iman, mendengar dan taat serta patuh, baik secara lahir maupun batin. Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan sifat mereka yang lain dalam firman-Nya :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴿٢﴾الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ﴿٣﴾أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allâh , gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya keiman mereka bertambah, dan hanya kepada Rabblah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabb mereka dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia. [al-Anfâl/8:2-4]

Sifat-sifat lain yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan yaitu jika mendengar ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla dan mengingat Allâh Azza wa Jalla mereka gemetar, menangis namun hati mereka lembut dan tenang; mereka senantiasa takut kepada Rabb mereka; khusyu’ dalam shalat, menjauh dari perbuatan sia-sia, menunaikan zakat, menjaga kemaluan, memberikan persaksian yang benar dan menunaikan amanah.

Allâh Azza wa Jalla juga menyatakan bahwa diantara sifat kaum Mukminin adalah yakin dengan sepenuh hati tanpa ada ragu sedikitpun, berjihad di jalan Allâh Azza wa Jalla dengan harta dan jiwa raga mereka dan mereka ikhlas dalam semua perbuatan mereka, cinta kepada sesama kaum Mukminin, mendoakan kebaikan untuk kaum Mukminin di masa lalu dan yang akan datang, berusaha menghilangkan kebencian terhadap kaum Muslimin dari hati mereka, senantiasa loyal kepada Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya dan kaum Muslimin serta berlepas diri dari semua musuh Islam, menyuruh melakukan yang ma’ruf dan meninggalkan kemungkaran dan mereka senantiasa taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dalam segala kondisi.

Inilah di antara sifat Mukmin sejati. Dalam diri mereka berpadu antara akidah yang benar, keyakinan yang sempurna dan keinginan kuat untuk senantiasa bertaubat. Ini semua melahirkan sikap patuh untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan.

Semua sifat ini merupakan sifat Mukmin sejati yang akan terhindar dari siksa Allâh Azza wa Jalla , yang berhak mendapatkan pahala serta berhak meraih semua kebaikan yang merupakan buah dari keimanan.

Setelah mengetahui sifat-sifat ini, seyogyanya bagi seorang Mukmin mengintrospeksi dan melihat dirinya, sudahkah dia memiliki sifat ini? Jika sudah, sudahkah sifat-sifat terpuji ini sempurna ataukah masih banyak kekurangannya? Introspeksi seperti ini sangat urgens untuk memacu semangat memperbaiki diri. Kalau sebatas mengetahui sifat-sifat terpuji yang merupakan kunci kebahagiaan di dunia dan akhirat ini tanpa ada tindak-lanjut dengan menilai diri, maka alangkah ruginya. Sebab, dengan menilai diri, dia akan mengetahui kekurangan-kekurangannya sehingga terpacu untuk menyempurnakannya dengan bertaubat dan istighfâr. Inilah yang menyebabkan proses introspeksi ini menjadi penting. Karena semua yang dijanjikan untuk kaum Mukminin itu akan bisa diraih hanya dengan iman yang sempurna.

Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan lebih dari seratus kebaikan yang bisa diraih dengan iman. Nilai satu kebaikan melebihi nilai dunia dan seisinya. Diantara kebaikan yang bisa diraih dengan keimanan yaitu ridha Allâh Azza wa Jalla yang merupakan karunia tertinggi. Iman juga bisa menyebabkan seseorang masuk surga, selamat dari siksa neraka, terhindar dari siksa kubur, terhindar dari berbagai kesulitan pada hari Kiamat, gembira di dunia dan akhirat, teguh dalam keimanan di dunia dan istiqamah dalam ketaatan dan ketika meninggal dan dikubur tetap diatas iman, tauhid dan bisa menjawab dengan benar.

Dengan iman seseorang bisa meraih kehidupan yang baik di dunia, rizki, kebaikan, kemudahan, terhindar dari berbagai kesulitan, ketenangan hati dan jiwa, qana’ah, hidup nyaman, anak keturunan yang baik dan menjadikan mereka sebagai penghibur bagi seorang mukmin, sabar ketika mendapat ujian dan musibah.

Dengan sebab keimanan, Allâh Azza wa Jalla menghilangkan berbagai beban dari kaum Mukminin, melindungi mereka dari berbagai keburukan, menolong mereka dalam menghadapi musuh, tidak menyiksa kaum Mukminin yang lupa, yang tidak tahu dan yang keliru. Allâh tidak memberikan beban kepada mereka bahkan Allâh Azza wa Jalla menghilangkannya dan tidak membebankan kepada mereka sesuatu diluar batas kemampuan mereka.

Dengan sebab iman, Allâh mengampuni dosa-dosa kaum Mukminin dan memberikan taufik kepada mereka untuk segera bertaubat.

Jadi keimanan merupakan sarana terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , mendekat kepada rahmat Allâh Azza wa Jalla dan meraih pahala dari Allâh Azza wa Jalla . Iman juga merupakan sarana ampuh untuk meraih ampunan Allâh Azza wa Jalla dan menghilangkan atau meringankan semua kesulitan.

Secara rinci, manfaat yang bisa diraih dengan keimanan itu sangat banyak. Singkatnya, kebaikan dunia dan akhirat merupakan buah dari keimanan sebaliknya keburukan-keburukan itu ada akibat dari hilangnya keimanan. Wallâhu a’lam



Dikutip dari https://almanhaj.or.id