Sabtu, 02 Maret 2019

Makna kafir dalam islam

Kata kafir dan derivasinya terulang ratusan kali dalam al-Quran, Abu Hilal al-Askary dalam al–Wujuuh wa an Nadhaair fi al Quranmengatakan bahwa secara bahasa al-Kufrbermakna menutupi, orang Arab biasa mengatakan al-Lailu Kafir (Malam adalah Kafir) karena malam menutupi segala sesuatu dengan kegelapannya, atau Kafara al-Ghamamu an-Nujuma (mendung menutupi bintang). Orang yang menanam disebut Kafir, karena ia menyembunyikan/menutup benih di dalam tanah, Kufur nikmat disebut kufur karena menutupinya.

Diantara beberapa makna dari kata kafir dalam al-Quran, adalah:

1. Makna yang paling terkenal yaitu lawan dari keimanan, ini nampak dalam firman Allah Q.S. At-Taghobun: 2 berikut:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنكُمْ كَافِرٌ وَمِنكُم مُّؤْمِنٌ

“Dialah yang menciptakan kamu, lalu diantara kamu ada yang kafir dan ada yang mukmin”

atau dalam firman Allah berikut:

فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ

“Barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.”

2. Lawan dari ketaqwaan, hal ini bisa dilihat dalam firman Allah dalam QS az Zumar 71-73:

وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَىٰ جَهَنَّمَ زُمَرًا

“Orang-orang kafir digiring ke neraka jahannam secara berombongan”

Ayat di atas kemudian diikuti oleh firman Allah berikut:

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا

“Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan

Kekafiran dalam pembagian kedua ini bukan termasuk kafir aqidah, ia lebih dekat dengan makna “Pelanggaran/kejahatan”(al-Ijram), ini dikuatkan dengan ayat ayat yang senada seperti:

يَوْمَ نَحْشُرُ الْمُتَّقِينَ إِلَى الرَّحْمَنِ وَفْدًا * وَنَسُوقُ الْمُجْرِمِينَ إِلَى جَهَنَّمَ وِرْدًا

“Pada hari itu Kami mengumpulkan orang orang yang bertaqwa kepada Yang Maha Pengasih bagaikan kafilah yang terhormat. Dan Kami akan menggiring orang yang durhaka ke neraka jahannam dalam keadaan dahaga.” (Q.S. Maryam: 85-86)

Atau dalam Q.S. Shad: 28 berikut:

أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ

“Atau pantaskah Kami mengganggap orang orang yang bertaqwa sama dengan orang orang jahat.”

 3. Lawan dari syukur atau ingkar kenikmatan, ini bisa dilihat dalam ayat berikut:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari, maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Q.S. Ibrahim: 7)

Juga dalam firman Allah:

وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Dan barang siapa bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur kepada dirinya sendiri, dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (Q.S. Luqman: 12)

dan dalam ayat berikut:

إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

“Ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (Q.S. Al-Insan: 86)

Kafir dalam makna ini bukan termasuk kafir aqidah.

4. Lawan dari amal sholih, yakni berbuat kerusakan, ini bisa dilihat dari firman Allah dalam ayat berikut:

مَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْره وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ

“Barangsiapa kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya, dan barangsiapa beramal sholih maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan).” (Q.S. Ar-Rum: 44)

Kafir dalam ayat ini bukan bermakna kafir aqidah, melainkan bermakna berbuat kerusakan, karena lawan beramal sholih adalah merusak (al-fasad) sebagaimana dalam ayat berikut:

أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ .

“Pantaskah Kami memperlakukan orang-orang beriman dan beramal sholih sama dengan orang yang berbuat kerusakan di bumi?” (Q.S. Shad: 28)

5. Bebas atau tidak ada ikatan, ini bisa dilihat dalam firman Allah berikut:

كَفَرْنا بِكُمْ

“Kami mengingkarimu.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 4)

juga dalam ayat:

يكفُرُ بَعضُكم ببَعضٍ

“Sebagian kamu akan saling mengingkari” (Q.S. Al-Ankabaut: 25)

dan dalam ayat:

إنِّي كفَرْتُ بما أَشْركتُمُونِ

“Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah).” (Q.S. Ibrahim: 22)

Kesimpulan dari paparan singkat di atas adalah bahwa kata ‘kafir’ dalam al-Quran memiliki makna yang bermacam-macam, ia bisa berarti kafir dalam aqidah, berbuat pelanggaran, mengingkari kenikmatan Allah, berbuat kerusakan dan pengingkaran hubungan. Pemaknaan ini bisa diamati melalui konteks ayat dan kaitannya dengan ayat yang lain.

Wallahu A’lam.

Dikutip dari: islami.co

Tahapan penulisan Al Qur'an

Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.

Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak

Dalam kitab Shahih Bukhari dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.

Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.

Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.

Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.

Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.

Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.

Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.

Mush’ab Ibn Sa’ad mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakar mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.

Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.

Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.

Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.

Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.



Dikutip dari https://almanhaj.or.id

Tingkatan Hadist

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perilaku dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.
Secara umum pengertian Hadits Rasulullah SAW adalah catatan tentang:

1] Segala sesuatu yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW.
2] Segala sesutu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
3] Perkataan atau perilaku Sahabat yang disetujui atau didiamkan saja oleh Nabi Muhammad SAW.
4] Perkataan atau perilaku Sahabat yang dilarang atau dikomentari negatif oleh Nabi Muhammad SAW.

Keterangan: Ada juga catatan khusus mengenai perkataan atau perilaku beberapa Sahabat (secara pribadi dan independen tanpa melibatkan unsur Rasulullah SAW) yang juga dicatat didalam kitab-kitab hadits. Hal tersebut boleh dimanfaatkan sebagai petunjuk atau bimbingan, namun tidak bisa dikategorikan sebagai Hadits Rasulullah SAW.

Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an, Ijma Sahabat dan Qiyas Ulama, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.

Dari para Imam periwayat hadits HANYA Imam Bukhari dan Imam Muslim yang secara khusus hanya meriwayatkan hadits-hadits berderajat shohih saja. Sedangkan selain beliau berdua, para Imam periwayat hadits juga mencatat hadits-hadits yang derajatnya dibawah kriteria shohih, namun biasanya para Imam tersebut selalu menyebutkan derajat hadits yang ditulis dalam kitab sunannya apakah derajatnya shohih, atau dhoif, bahkan hadits palsu, dsb. Bahkan ada imam ahli hadits yang secara khusus menulis kitab yang hanya mengumpulkan dan membahas hadits-hadits palsu saja (dengan tujuan sebagai ‘peringatan’ bagi pembaca agar berhati-hati jangan sampai menggunakan hadits-hadits palsu tersebut).

SELAIN Hadits Qudsi (yang sengaja tidak dibahas secara khusus disini, – yaitu salah satu jenis hadits dimana perkataan Nabi Muhammad SAW disandarkan langsung kepada Allah atau dengan kata lain Nabi Muhammad SAW meriwayatkan perkataan Allah), maka ada bermacam-macam derajat hadits seperti yang diuraikan secara singkat di bawah ini.

I- HADITS YANG DILIHAT DARI BANYAK SEDIKITNYA PERAWI

I-1-Hadits Mutawatir

I-2- Hadits Ahad, terdiri dari:
I-2-a- Hadits Shahih
I-2-b- Hadits Hasan
I-2-c- Hadits Dha’if

II. MENURUT MACAM PERIWAYATANNYA

II-1 Hadits yang bersambung sanadnya:(yaitu disebut hadits Marfu’ atau hadits Maushul)

II-2- Hadits yang terputus sanadnya:
II-2-a- Hadits Mu’allaq
II-2-b- Hadits Mursal
II-2-c- Hadits Mudallas
II-2-d- Hadits Munqathi
II-2-e- Hadits Mu’dhol

III. HADITS-HADITS DHA’IF DISEBABKAN OLEH CACAT PERAWI

III-a- Hadits Maudhu’
III-b- Hadits Matruk
III-c- Hadits Munkar
III-d- Hadits Mu’allal
III-f- Hadits Mudhthorib
III-g- Hadits Maqlub
III-h- Hadits Munqalib
III-i- Hadits Mudraj
III-j- Hadits Syadz

BEBERAPA PENGERTIAN DALAM ILMU HADITS

I. HADITS YANG DILIHAT DARI BANYAK SEDIKITNYA PERAWI

I.A. Hadits Mutawatir
Yaitu hadits Rasulullah SAW (catatan tentang sesuatu hal yang dikatakan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, HANYA oleh dan dari Beliau SAW, dan TIDAK SELAIN Beliau SAW ) yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:

Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:

[1]. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan (menyampaikannya) dengan kalimat bernada pasti. [Sifat kalimatnya Qath’iy (pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan) ].

[2]. Sandaran penyampaiannya kepada sesuatu yang konkret, yaitu perawinya menyaksikan secara langsung dengan matanya sendiri bahwa hal itu dikatakan/dilakukan oleh Rasulullah SAW, atau mendengar secara langsung dengan telinganya sendiri bahwa hal itu dikatakan/dilakukan oleh Rasulullah SAW, seperti misalnya:

“sami’tu” = aku mendengar
“sami’na” = kami mendengar
“roaitu” = aku melihat
“roainaa” = kami melihat

[3]. Bilangan (jumlah) perawinya banyak, sehingga menurut adat kebiasaan mustahil mereka berdusta secara berjamaah dan bersama-sama. Dan kesemuanya menyampaikan dengan nada kalimat yang bersifat Qath’iy (pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan).

[4]. Bilangan Perawi yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad, pertengahan sampai akhir sanad. Rawi yang meriwayatkannya minimal 10 orang. Perawi2 tersebut terdapat pada semua generasi yang sama. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya, kalau ada suatu hadits yang diberi derajat mutawatir itu diriwayatkan oleh 5 orang sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 orang Tabi’in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.

Catatan:
Apabila satu saja dari syarat-syarat di atas tidak terpenuhi maka TIDAK BISA digolongkan sebagai hadts mutawatir.

I.B. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah “Dhonniy”. Sebelumnya para ulama ahli hadits membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha’if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:

I.B.1. Hadits Shahih
Menurut imam ahli hadits Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

I.B-1-a. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
I.B-1-b. Harus bersambung sanadnya
I.B-1-c Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
I.B-1-d Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
I.B-1-e Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
I.B-1-f Tidak cacat walaupun tersembunyi.

I.B.2. Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.

I.B.3. Hadits Dha’if
Ialah hadits yang tidak bersambung (terputus) sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.

II. HADITS MENURUT KUALITAS PERIWAYATANNYA

II.A. Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebuthadits Marfu’ atau Maushul.

II.B. Hadits yang terputus sanadnya

II.B.1. Hadits Mu’allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang “tergantung”, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha’if.

II.B.2. Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang ”dikirim”, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan Sahabat yang menerima hadits itu.

II.B.3. Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang ‘disembunyikan’ cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

II.B.4. Hadits Munqathi

Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain Sahabat dan Tabi’in.

II.B.5. Hadits Mu’dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan Tabi’in yang menjadi sanadnya.

Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas. Apabila BERTENTANGAN dengan ciri-ciri hadits Shahih maka bisa dikategorikan termasuk hadits-hadits dha’if.

III. HADITS-HADITS DHA’IF (Lemah) DISEBABKAN OLEH CACAT PERAWI

III.A. Hadits Maudhu’
Yang berarti ‘yang dilarang’, yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.

III.B. Hadits Matruk
Yang berarti ‘hadits yang ditinggalkan / diabaikan’, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan hanya oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.

III.C. Hadits Munkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh perawi yang dikenal terpercaya / jujur. Maka hadits semacam ini tidak boleh digunakan, dan sebagai gantinya harus menggunakan hadits dengan topik yang sama namun yang diriwayatkan oleh perawi lain yang dikenal terpercaya / jujur.

III.D. Hadits Mu’allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat, yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Al-Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma’lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).

III.E. Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) yang kacau atau tidak sama dan berkontradiksi dengan yang dikompromikan.

III.F. Hadits Maqlub
Artinya hadits yang ‘terbalik’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang didalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).

III.G. Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.

III.H. Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya, sehingga mengurangi kualitas keaslian hadits tersebut, atau bahkan merubah pengertian dari hadits tersebut.

III.I. Hadits Syadz
Hadits yang ‘jarang’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya), namun isinya bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut mayoritas ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.

Penerima zakat

Perintah membayar zakat diwajibkan kepada setiap umat Islam yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari secara layak. Bagi muslim yang tidak mampu mencukupi biaya hidup, mereka tidak wajib membayar zakat, sebaliknya, mereka malah harus diberikan zakat.

Siapa saja orang-orang yang berhak menerima zakat? Berikut ini 8 golongan orang yang berhak menerima zakat:

Fakir (orang yang tidak memiliki harta)
Miskin (orang yang penghasilannya tidak mencukupi)
Riqab (hamba sahaya atau budak)
Gharim (orang yang memiliki banyak hutang)
Mualaf (orang yang baru masuk Islam)
Fisabilillah (pejuang di jalan Allah)
Ibnu Sabil (musyafir dan para pelajar perantauan)
Amil zakat (panitia penerima dan pengelola dana zakat)

Fakir dan Miskin

Kelompok fakir dan miskin merupakan warga muslim yang harus diutamakan dalam penerimaan zakat. Penyaluran dana zakat kepada fakir miskin macamnya ada dua, yaitu untuk tujuan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk memberikan kemampuan berwirausaha.

Fisabilillah

Golongan fisabilillah adalah seseorang atau sebuah lembaga yang memiliki kegiatan utama berjuang di jalan Allah dalam rangka menegakkan agama Islam. Para fisabilillah penerima zakat saat ini dapat berupa organisasi penyiaran dakwah Islam di kota-kota besar, proyek pembangunan masjid, maupun syiar Islam di daerah terpencil.

Mualaf

Mualaf juga termasuk orang yang berhak menerima zakat untuk mendukung penguatan iman dan takwa mereka dalam memeluk agama Islam. Zakat yang diberikan kepada mualaf memiliki peran sosial sebagai alat mempererat persaudaraan sesama muslim. Sementara itu, amil zakat adalah kelompok terakhir yang berhak menerima zakat apabila 7 kelompok lainnya sudah mendapatkan zakat.

4 golongan haram tersentuh api neraka

Menurut Rasulullah SAW, setiap orang kelak akan ‘mampir’ di neraka. Sebagian yang mampir akan diangkat dan meneruskan ke surga dan ada pula yang selamanya di neraka.

Untuk menjadi penghuni neraka amat mudah, tidak sesulit menjadi penghuni surga. Untuk menjadi ahli neraka cukup sederhana: bermaksiatlah dan jangan pernah taubat. Namun, tentu saja orang beriman tak akan pernah mau meski hanya ‘mampir.’ Orang beriman akan senantiasa berdoa agar dijauhkan dari neraka dan berharap dimasukkan ke surga.

Menurut Rasulullah SAW, ada beberapa golongan yang tidak akan disentuh oleh api neraka. Seperti dalam hadits berikut.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan orang yang Haram baginya tersentuh api neraka?” Para sahabat berkata, “Mau, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab: “(Yang Haram tersentuh api neraka adalah) orang yang Hayyin, Layyin, Qarib, Sahl.” (HR. At-Tirmidzi & Ibnu Hibban, dishahihkan Al-Albani).

Lalu apa maksud dari keempat golongan yang disebutkan dalam hadits tersebut?

Pertama, Hayyin

Orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan lahir maupun batin. Tidak labil dan gampang marah, penuh pertimbangan. Tidak mudah memaki, melaknat serta teduh jiwanya.

Advertisement

Kedua, Layyin

Orang yang lembut dan santun, baik dalam bertutur-kata atau bersikap. Tidak kasar, tidak semaunya sendiri. Tidak galak, tidak suka memarahi orang yang berbeda pendapat dengannya. Tidak suka melakukan pemaksaan pendapat. Lemah lembut dan selalu menginginkan kebaikan untuk sesama manusia.

Ketiga, Qarib

Akrab, ramah diajak bicara, menyenangkan bagi orang yang diajak bicara. Wajah yang berseri-seri dan murah senyum jika bertemu serta selalu menebar salam.

Keempat, Sahl

Orang yang tidak mempersulit sesuatu. Selalu ada solusi bagi setiap permasalahan. Tidak suka berbelit-belit, tidak menyusahkan dan tidak membuat orang lain susah. Wallahualam.