Selasa, 28 Januari 2020

Thoharoh

1. Pengertian Thoharoh

Thoharoh dengan harokat fathah pada huruf tho’ menurut bahasa adalah bersih. Sedangkan  menurut syara’, maka didalamnya terdapat banyak penafsiran. Diantaranya adalah ungkapan ulama’ “Melakukan sesuatu yang dengannya sholat diperbolehkan” yaitu berupa wudlu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis. Sedangkan “thuharoh” dengan harokat dlomah (pada huruf tho’) adalah sebutan bagi sisa air.

2. Macam Macam Air

Air-air yang boleh, maksudnya sah digunakan bersuci dengannya ada tujuh macam air.

1. Air langit maksudnya yang turun dari langit, yaitu hujan,

2. Air laut maksudnya air asin

3. Air sungai yaitu air tawar

4. Air sumur,

5. Air sumber air,

6. Air tsalju dan

7. Air dingin (air embun).

3. Pembagian Air

Air dibagi menjadi 4 bagian, yaitu :

Pertama ; air suci dan mensucikan atau air mutlaq, Air yang suci dzatnya menyucikan terhadap selainnya dan tidak makruh digunakan. Yaitu Air yang terbebas dari identitas yang mengikat. Maka keberadaan identitas yang tidak mengikat itu tidak membahayakan terhadap kemutlakan air.

Kedua adalah air suci menyucikan namun makruh  digunakan pada tubuh, tidak makruh pada pakaian, yaitu air Musyammas. Ialah air yang dipanaskan dengan mengandalkan pengaruh sengatan matahari padanya. Air tersebut secara  syara’ dimakruhkan penggunaanya hanya di daerah yang bercuaca panas dan air berada di wadah yang terbuat dari logam selain wadah dari dua logam mulia /emas dan perak,  sebab kejernihan elemen keduanya. Jika air tersebut telah dingin maka hilanglah hukum makruh menggunakannya. Tetapi imam An-Nawawi memilih pendapat yang menyatakan tidak makruh secara mutlak. (Selain makuh menggunakan air musyammas) dimakruhkan juga menggunakan air yang sangat panas dan sangat dingin.

Syarat dimakruhkannya air musyammas sebagai berikut:
1.Berada di daerah bercuaca panas seperti Mekah dsb. Sehingga tidak makruh jika digunakan dalam daerah yang bercuaca sedang seperti negara Mesir atau daerah Jawa dan daerah dingin seperti Syiria dsb.
2.Sengatan matahari merubah kondisi air sekira pada air muncul zat yang berasal dari karat logam.
3.Air berada pada wadah yang terbuat dari logam selain emas perak. Seperti wadah yang terbuat dari logam besi, tembaga dsb.
4.Digunakan saat suhu air sedang panas.
5.Digunakan pada kulit badan. Meskipun pada badan orang yang terkena penyakit kusta, orang mati dan hewan.
6.Dipanaskan saat cuaca panas.
7.Masih ada air selain musyammas yang dapat dipergunakan.
8.Waktu sholat masih longgar sehingga masih ada waktu untuk mencari air yang lain.
9.Tidak mendapat bahaya secara nyata atau dalam dugaan kuatnya. Jika meyakini atau menduga akan muncul bahaya maka haram hukumnya.
Bila tidak memenuhi sembilan syarat ini maka hukum menggunakannya tidak lagi makruh. Nihayat az-Zain, Darul Kutub Al-Ilmiyah, hal. 17

Ketiga adalah:
1. Air suci dalam dzatnya tidak menyucikan terhadap selainnya. Ialah air musta’mal / yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats atau najis. (Dihukumi musta’mal dengan syarat) air tidak berubah dan setelah terpisah (dari benda yang dibasuh) volume air tidak bertambah dari semula dengan mengira-ngirakan bagian air yang terserap oleh benda yang dibasuh.

2. Air yang berubah. Maksudnya yang termasuk dalam bagian ketiga ini adalah air yang berubah salah satu sifat-sifatnya disebabkan oleh sesuatu; yaitu salah satu dari benda-benda suci yang bercampur dengan air, dengan taraf perubahan yang dapat menghalangi sebutan nama air (murni) padanya*. Maka air yang seperti ini hukumnya adalah suci dalam dirinya namun tidak menyucikan. Baik perubahan itu nampak oleh panca indra atau hanya dalam perkiraan, seperti ketika air tercampur oleh benda yang sesuai (dengan air) dalam sifat-sifatnya, misal air bunga mawar yang telah hilang baunya (dicampur dengan air mutlak) dan seperti air musta’mal (dicampur dengan air mutlak).

Sehingga bila saja perubahan itu tidak mencegah penisbatan nama air mutlak padanya, dengan sekira perubahan air yang disebabkan oleh benda suci itu hanya sedikit, atau dengan sesuatu yang cocok terhadap air dalam sifatnya dan dianggap berbeda dengan air namun tidak sampai membuatnya berubah (dari kemurnian air) maka perubahan itu tidak menghilangkan sifat suci mensucikannya air. Sehingga air (yang dijelaskan terakhir ini) masih dapat mensucikan terhadap selainnya.

Al-Syaikh Al-Imam Al-’Alim Al-’Allamah Syams Ad-Din Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Qosim As-Syafi’I dalam kitab fathul qorib mengungkapkan mushonif kitab Taqrib mengecualikan dengan ungkapannya “خَالَطَهُ” dari benda yang suci yang hanya mukholith/ tidak larut pada air maka air tersebut masih berada pada status suci mensucikan meskipun perubahan air sangat nampak. Begitu pula (seperti air yang bersinggungan dengan benda suci yang dihukumi masih mensucikan) air yang berubah sebab tercampur dengan benda yang larut namun air tidak terlepas dari persinggungan dengannya. Seperti lumpur, lumut, benda-benda yang berada di tempat berdiamnya air atau di tempat mengalirnya air, dan air yang berubah disebabkan lamanya diam (tanpa gerak). Maka air-air ini (secara hukum) adalah suci mensucikan.

Keempat adalah air najis, maksudnya mutanajis. Air ini ada dua bagian:
Yang pertama adalah yang volumenya sedikit; yaitu air yang didalamnya terdapat najis baik air mengalami perubahan atau tidak dan air tersebut; maksudnya kondisi air tersebut adalah air yang kurang dari dua qullah.

Dari bagian ini dikecualikan (air kemasukan) bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang dapat mengalir saat dibunuh atau dirobek bagian tubuhnya - seperti lalat- jika (masuknya bangkai tersebut ke dalam air itu ) tidak (ada kesengajaan) memasukkannya. Begitu juga najis yang tidak terlihat oleh mata. Maka kedua najis tersebut tidak menajiskan benda cair. Juga dikecualikan beberapa kasus yang disebutkan dalam kitab-kitab besar.

Kedua : air yang mencapai 2 Qullah atau lebih. Air ini tidak najis bila terkena sesuatu yang najis, selama ia tidak berubah warna, rasa, dan bau air tersebut. Apabila ia berubah, maka air tersebut berubah menjadi najis. Adapun dalilnya adalah ijma’ ulama atas hal ini. Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata : Ibn Mundzir berkata : para ulama bersepakat bahwa air sedikit atau pun air banyak bila terkena najis kemudian berubah warna, bau dan rasanya maka air tersebut najis.


Dua qullah adalah takaran 500 Rithl Baghdad dengan mengira-ngirakannya menurut pendapat Ashah (pendapat yang lebih shohih/benar dibanding pendapat yang lain) dalam dua kriteria tersebut; (yakni takaran 500 rithl dan dengan mengira-ngirakannya). Rithl Baghdad menurut An-Nawawy adalah 128 4/7 dirham.

Namun ada lagi bagian ke lima yaitu air yang menyucikan namun haram menggunakannya. Seperti wudlu menggunakan air ghosob atau menggunakaan air yang disediakan untuk minum



Kitab Rujukan Fathul Qorib Karya Al-Syaikh Al-Imam Al-’Alim Al-’Allamah Syams Ad-Din Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Qosim As-Syafi’I

كِتَابُ أَحْكَامِ الطَّهَارَةِ

وَالْكِتَابُ لُغَةً مَصْدَرٌ بِمَعْنَى الضَّمِّ وَالجَمْعِ. وَاصْطِلَاحاً اسْمٌ لِجِنْسٍ مِنَ الأَحْكَامِ. أَمَّا الْبَابُ فَاسْمٌ لِنَوْعٍ مِمَّا دَخَلَ تَحْتَ ذَلِكَ الْجِنْسِ.
وَالطَّهَارَةُ بِفَتْحِ الظَّاءِ لُغَةً النَّظَافَةُ. وَأَمَّا شَرْعاً فَفِيْهَا تَفَاسِيْرُ كَثِيْرَةٌ. مِنْهَا قَوْلُهُمْ فِعْلُ مَا تُسْتَبَاحُ بِهِ الصَّلَاة أَيْ مِنْ وُضُوْءٍ وَغَسْلٍ وَتَيَمُّمٍ وَإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ. أَمَّا الطُّهَارَةُ بِالضَّمِّ فَاسْمٌ لِبَقِيَّةِ المَاءِ.
وَلَمَّا كَانَ المَاءُ آلَةً لِلطَّهَارَةِ اسْتَطْرَدَ المُصَنِّفُ لِأَنْوَاعِ المِيَاهِ فَقَالَ:(المِيَاهُ الَّتِيْ يَجُوْزُ) أَيْ يَصِحُّ (التَّطْهِيْرُ بِهَا سَبْعُ مِيَاهٍ مَاءُ السَّمَاءِ) أي النَّازِلُ مِنْهَا وَهُوَ المَطَرُ (وَمَاءُ البَحْرِ) أيْ المِلْحِ (وَمَاءُ النَّهَرِ) أي الحُلْوِ (وَمَاءُ البِئْرِ وَمَاءُ العَيْنِ وَمَاء الثَّلْجِ وَمَاء البَرَدِ) وَيَجْمَعُ هَذِهِ السَّبْعَةِ قَوْلُكَ: مَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ أَوْ نَبَعَ مِنَ الأَرْضِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ مِنْ أَصْلِ الخِلْقَةِ(ثُمَّ المِيَاهُ) تَنْقَسِمُ (عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ) أَحَدُهَا (طَاهِرٌ) فِيْ نَفْسِهِ (مُطَهِّرٌ) لِغَيْرِهِ (غَيْرُ مَكْرُوْهٍ اسْتِعْمَالُهُ. وَهُوَ المَاءُ المُطْلَقُ) عَنْ قَيِّدٍ لَازِمٍ فَلَا يَضُرُّ القَيِّدُ المُنْفَكُّ كَمَاءِ البِئْرِ فِي كَوْنِهِ مُطْلَقاً (وَ) الثَّانِي (طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ اسْتِعْمَالُهُ) فِي البَدَنِ لَا فِي الثَّوْبِ (وَهُوَ المَاءُ المُشَمَّسُ) أي المُسَخَّنُ بِتَأْثِيْرِ الشَّمْسِ فِيْهِ. وَإِنَّمَا يُكْرَهُ شَرْعاً بِقَطْرٍ حَارٍ فِي إِنَاءٍ مُنْطَبَعٍ إِلَّا إِنَاءَ النَّقْدَيْنِ لِصَفَاءِ جَوْهَرِهِمَا. وَإِذَا بَرَدَ زَالَتْ الكَرَاهَةُ. وَاخْتَارَ النَّوَوِيُّ عَدَمَ الْكَرَاهَةِ مُطْلَقاً. وَيُكْرَهُ أَيْضاً شَدِيْدُ السُّخُوْنَةِ وَالبُرُوْدَةِ (وَ) القِسْمُ الثَّالِثُ (طَاهِرٌ) فِي نَفْسِهِ (غَيْرُ مُطَهِّرٍ) لِغَيْرِهِ (وَهُوَ المَاءُ المُسْتَعْمَلُ) فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوْ إِزَالَة نَجْسٍ إِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ وَلَمْ يَزِدْ وَزْنُهُ بَعْدَ انْفِصَالِهِ عَمَّا كَانَ بَعْدَ اعْتِبَارِ مَا يَتَشَرَّبُهُ المَغْسُوْلُ مِنَ المَاءِ. (وَالمُتَغَيِّرُ) أَيْ وَمِنْ هَذَا القِسْمِ المَاءُ المُتَغَيِّرُ أَحَدُ أَوْصَافِهِ (بِمَا) أَيْ بِشَيْءٍ (خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ) تَغَيُّراً يَمْنَعُ إِطْلَاقَ اسْمِ المَاءِ عَلَيْهِ. فَإِنَّهُ طَاهِرٌ غَيْرُ طَهُوْرٍ حِسِّيًّا كَانَ التَّغَيُّرُ أَوْ تَقْدِيْرِيًّا. كَأَنْ اخْتَلَطَ بِالمَاءِ مَا يُوَافِقُهُ فِي صِفَاتِهِ كَمَاءِ الوَرْدِ المُنْقَطِعِ الرَّائِحَةِ وَالمَاءِ المُسْتَعْمَلِ فَإِنْ لَمْ يَمْنَعْ إِطْلَاقَ اسْمِ المَاءِ عَلَيْهِ بِأَنْ كَانَ تَغَيُّرُهُ بِالطَّاهِرِ يَسِيْراً أَوْ بِمَا يُوَافِقِ المَاءَ فِي صِفَاتِهِ وَقُدِّرَ مُخَالِفاً وَلَمْ يُغَيِّرْهُ فَلَا يَسْلُبُ طَهُوْرِيَّتَهُ. فَهُوَ مُطَهِّرٌ لِغَيْرِهِ.وَاحْتَرَزَ بِقَوْلِهِ خَالَطَهُ عَنِ الطَّاهِرِ المُجَاوِرِ لَهُ. فَإِنَّهُ بَاقٍ عَلَى طَهُوْرِيَّتِهِ. وَلَوْ كَانَ التَّغَيُّرُ كَثِيْراً وَكَذَا المُتَغَيِّرُ بِمُخَالِطٍ. لَا يَسْتَغْنِي المَاءُ عَنْهُ كَطِيْنٍ وَطُحْلَبٍ. وَمَا فِي مَقَرِّهِ وَمَمَرِّهِ. وَالمُتَغَيِّرُ بِطُوْلِ المُكْثِ فَإِنَّهُ طَهُوْرٌ. (و) القِسْمُ الرَّابِعُ (مَاءُ نَجْسٍ) أي مُتَنَجِّسٌ وَهُوَ قِسْمَانِ أَحَدُهُمَا قَلِيْلٌ (وَهُوَ الَّذِيْ حَلَّتْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ) تَغَيَّرَ أَمْ لَا (وَهُوَ) أَيْ وَالحَالُ أَنَّهُ مَاءٌ (دُوْنَ القُلَّتَيْنِ) وَيُسْتَثْنَى مِنْ هَذَا القِسْمُ المَيْتَةُ الَّتِيْ لَا دَمَ لَهَا سَائِلٌ عِنْدَ قَتْلِهَا أَوْ شَقِّ عُضْوٍ مِنْهَا كَالذُّبَابِ إِنْ لَمْ تُطْرَحْ فِيْهِ وَلَمْ تُغَيِّرْهُ. وَكَذَا النَّجَاسَةُ الَّتِيْ لَا يُدْرِكُهَا الطَّرْفُ. فَكُلٌّ مِنْهُمَا لَا يُنْجِسُ المَائِعَ وَيُسْتَثْنَى أَيْضاً صُوَرٌ مَذْكُوْرَةٌ فِي المَبْسُوْطَاتِ. وَأَشَارَ لِلْقِسْمِ الثَّانِي مِنَ القِسْمِ الرَّابِعِ بِقَوْلِهِ (أَوْ كَانَ) كَثِيْراً (قُلَّتَيْنِ) فَأَكْثَرَ (فَتَغَيَّرَ) يَسِيْراً أَوْ كَثِيْراً. (وَالْقُلَّتَانِ خَمْسُمِائَةِ رِطْلٍ بَغْدَادِيٍّ تَقْرِيْباً فِي الأَصَحِّ) فِيْهِمَا وَالرِّطْلُ البَغْدَادِيُّ عِنْدَ النَّوَوِيِّ مِائْةٌ وَثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُوْنَ دِرْهَماً وَأَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ. وَتَرَكَ المُصَ
نِّفُ قِسْماً خَامِساً وَهُوَ المَاءُ المُطَهِّرُ الحَرَامُ كَالوُضُوْءِ بِمَاءٍ مَغْصُوْبٍ أَوْ مُسَبَّلٍ لِلشُّرْبِ

Wallohu A'lam

Minggu, 19 Januari 2020

Rukun Islam

RUKUN ISLAM

Dalil rukun islam

عن أبي عـبد الرحمن عبد الله بن عـمر بـن الخطاب رضي الله عـنهما ، قـال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسـلم يقـول : بـني الإسـلام على خـمـس : شـهـادة أن لا إلـه إلا الله وأن محمد رسول الله ، وإقامة الصلاة ، وإيـتـاء الـزكـاة ، وحـج البيت ، وصـوم رمضان

Dari Abu Abdirrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khathab radhiallahu 'anhuma berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda: "Islam didirikan diatas lima perkara yaitu bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah secara benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke baitullah dan berpuasa pada bulan ramadhan".

[Bukhari no.8, Muslim no.16]

Rukun Islam ada lima yaitu:

1.Mengucapkan dua kalimat syahadat; artinya mengaku tidak ada Tuhan yang wajib disembah, melainkan Allah, dan mengakui bahwa Nabi Muhammad saw adalah Utusan Allah.
2.Mengerjakan shalat lima waktu sehari semalam .
3.Mengeluarkan zakat .
4.Berpuasa dalam bulan Ramadlan.
5.Menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.



1. Mengucap Dua Kalimat Syadahat

Syarat yang paling pertama seseorang untuk menjadi seorang muslim adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. makna Syahadat adalah mengucap dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mengamalkan melalui perbuatannya. Bunyi 2 kalimat syahadat yaitu:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Asyhadu an laa ilaaha illallāh wa asyhadu anna Muhammadarrasuulullāh.’

Artinya: ‘Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul (utusan) Allah.’



2. Melakukan Sholat Fardhu 5 Waktu

Rukun islam yang kedua adalah sholat. Sebagai seorang muslim maka ia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan sholat fardhu 5 waktu. (subuh, zuhur, ashar, magrib dan insya). Apabila dia tidak melaksanakan sholat berarti dirinya tidak disebut sebaagi islam. Karena sholat adalah tiangnya agama, dan yang paling utama dihisab diakhirat kelak.

Perintah sholat disebutkan dalam Al-quran surat Surat Al ankabut ayat 45:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Arti : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu daripada al-Kitab dan dirikanlah shalat; sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang keji dan yang munkar. Dan sesungguhnya ingat akan Allah itu adalah lebih besar. Dan Allah Mengetahui apa pun yang kamu perbuat.” (QS. Al-Ankabut : 45)



3. Berpuasa dibulan ramadhan

Rukun islam yang ketiga adalah berpuasa dibulan ramadhan. Puasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

4. Membayar Zakat fitrah

Rukun islam yang ke eempat adalah membayar zakat. Zakat adalah sesuatu yang harus dikeluarkan oleh seseorang kepada orang tertentu dengan qadar tertentu pula.

Zakat ada 2 yaitu :
pertama: zakat fitrah yaitu zakat yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim pada saat hari raya idul fitri ( akhir dari bulan ramadhan) berupa makanan pokok yang dimakannya sehari-hari.

Kedua : zakat mal yautu zakat zakat hasil perniagaan, yang wajib dikeluarkan seseorang apabila sudah sampai nisab.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ


Artinya:

"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'."


5. Melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu

Rukun islam yang terakhir adalah melaksanakan ibadah haji. Ini dikhususkan bagi orang-orang yang sudah mampu dari segi hartanya.



Perintah melaksanakan haji dalam Al-quran Surat Ali imran ayat 97:

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ


Artinya:

"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."

Sabtu, 18 Januari 2020

Hukum Islam

HUKUM ISLAM

Hukum Islam adalah suatu aturan yang ditetapkan dan berkaitan dengan amal perbuatan seorang mukallaf, baik perintah itu mengandung sebuah tuntutan, larangan, ataupun perbolehan terhadap suatu hal. Hukum Islam ini berlaku untuk seorang yang telah baligh.

Ukuran baligh bagi seorang perempuan adalah berumur 9 tahun, sudah menstruasi (haid), mulai muncul tanda pubertas seperti membesarnya payudara dll. Bila bagi seorang laki-laki adalah berumur 15 tahun dan dia sudah mulai bisa mengeluarkan sperma, mimpi basah, keluar tanda kedewasaan seperti tumbuhnya rambut pada ketiak, alat kelamin dll.

Tiga Tanda Seorang Anak Dikatakan Baligh

Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Najah menyebutkan ada 3 (tiga) hal yang menandai bahwa seorang anak telah menginjak akil baligh.

تمام خمس عشرة سنة في الذكر والأنثى والاحتلام في الذكر والأنثى لتسع سنين والحيض في الأنثى لتسع سنين



“Ketiga tanda baligh tersebut adalah sempurnanya umur lima belas tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, keluarnya sperma setelah berumur sembilan tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, dan menstruasi atau haid setelah berumur sembilan tahun bagi anak perempuan”.(lihat Salim bin Sumair Al-Hadlrami, Safiinatun Najah, (Beirut: Darul Minhaj: 2009), hal. 17).

Dalam kitab Kasyifatus Saja, Syaikh Nawawi Al-Bantani secara singkat padat memaparkan penjelasan ketiga tanda tersebut sebagai berikut:

1. Sempurnanya umur lima belas tahun berlaku bagi anak laki-laki dan perempuan dengan menggunakan perhitungan kalender hijriah atau qamariyah. Seorang anak—baik laki-laki maupun perempuan—yang telah mencapai umur lima belas tahun ia telah dianggap baligh meskipun sebelumnya tidak mengalami tanda-tanda baligh yang lain.

2. Tanda baligh kedua adalah keluarnya sperma (ihtilaam) setelah usia sembilan tahun secara pasti menurut kalender hijriyah meskipun tidak benar-benar mengeluarkan sperma, seperti merasa akan keluar sperma namun kemudian ia tahan sehingga tidak jadi keluar. Keluarnya sperma ini menjadi tanda baligh baik bagi seorang anak laki-laki maupun perempuan, baik keluar pada waktu tidur ataupun terjaga, keluar dengan cara bersetubuh (jima’) atau lainnya, melalui jalannya yang biasa ataupun jalan lainnya karena tersumbatnya jalan yang biasa.

3. Adapun haid atau menstruasi menjadi tanda baligh hanya bagi seorang perempuan, tidak bagi seorang laki-laki. Ini terjadi bila umur anak perempuan tersebut telah mencapai usia sembilan tahun secara perkiraan, bukan secara pasti, dimana kekurangan umur sembilan tahunnya kurang dari enam belas hari menurut kalender hijriyah. Bila ada seorang anak yang hamil pada usia tersebut, maka tanda balighnya bukan dari kehamilannya tetapi dari keluarnya sperma sebelum hamil (lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kaasyifatus Sajaa, (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2008), hal. 31).

Artinya, anak laki-laki maupun perempuan secara otomatis dikatakan baligh tanpa syarat setelah memasuki umur 15 tahun.

Sedangkan yang disebut mukallaf adalah orang muslim yang sudah dewasa dan sehat, tidak gangguan jiwa atau akal (akal sehat) yang mana diberi sebuah kewajiban atau perintah dan sebuah larangan oleh Agama Islam, serta mendapat seruan agama.

Pengertian Mumayyiz,Sebenarnya, selain akil baligh dan mukallaf, ada istilah lain yang biasa digunakan dalam pembahasan fiqih, yaitu tamyiz atau mumayyiz..

Mumayyiz adalah istilah yang digunakan untuk seorang anak yang telah mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Dalam artian membedakan sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya dan sesuatu yang membahayakan untuk dirinya. Dengan kata lain, mumayyiz artinya seorang anak yang telah mampu melakukan beberapa hal secara mandiri seperti makan, minum, mandi atau yang lainnya.

Fase mumayyiz ini dimulai pada usia kra-kira tujuh tahun sampai memasuki masa baligh. Pada fase mumayyiz ini seorang anak diperbolehkan melakukan suatu tindakan yang berhubungan dengan orang lain, misalnya jual beli.

Meskipun begitu, segala tindakan yang dilakukannya masih tetap membutuhkan pengawasan dari orang tua. Sebab yang dilakukan anak usia mumayyiz ini adalah masih dalam masa perkembangan, yang mana perkembangan fisik dan otaknya belum sempurna.

Dari keterangan diatas, arti mumayyiz dapat disimpulkan sebagai berikut:

Mumayyiz adalah seorang anak yang telah memasuki perkembangan otak dan fisik dalam tahap sempurna, namun belum dalam keadaan yang benar-benar sempurna.
Seoarang anak yang telah mumayyiz belum mengalami perubahan fisik seperti halnya ihtilam (mimpi basah) atau haid.
Batas perkiraan usia mumayyiz adalah tujuh tahun hingga menjelang baligh.
Segala tindakan yang menyangkut dengan orang lain masih tetap dalam pengawasan orang tua.
Seorang anak yang telah memasuki usia mumayyiz belum dibebani dengan hukum syariat, namun orang tua berkewajiban mulai mengajarkan dan menganjurkannya.

HUKUM HUKUM ISLAM



1. Wajib, kadang disebut Fardlu. Keduanya sinonim. Yakni sebuah tuntutan yang pasti (thalab jazm) untuk mengerjakan perbutan, apabila dikerjakan mendapatkan pahala, sedangkan bila ditinggalkan maka berdosa (mendapatkan siksa). Contohnya, shalat fardlu, bila mengerjakannya maka mendapatkan pahala, bila ditinggalkan akan diadzab di neraka, demikian juga dengan kewajiban-kewajiban yang lainnya.

Wajib terbagi menjadi dua yakni :

Pertama, wajib ‘Ainiy : kewajiban bagi setiap individu.

Kedua, wajib Kifayah : kewajiban yang apabila sudah ada yang mengerjakannya maka yang lainnya gugur (tidak mendapatkan dosa), contohnya seperti shalat jenazah, tajhiz jenazah (mengurus jenazah), menjawab salam dan sebagainya.

Istilah Wajib juga ada yang mensinonimkan dengan Lazim. Sebagian ulama ada yang membedakan antara Fardlu dan Wajib hanya pada beberapa permasalahan di Bab Haji.

Ada juga yang membedakan antara Fardlu dan Wajib, seperti Hanafiyah. Menurut mereka, Fardlu adalah sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil syar’i (maqthu’ bih) dan tidak ada keraguan didalamnya, seperti shalat 5 waktu, zakat, puasa, haji, iman kepada Allah. Hukum Fardlu adalah lazim (wajib) baik secara keyakinan maupun perbuatan sehingga apabila mengingkari (secara keyakinan) pada salah satu kefardluan itu maka kafir, namun bila meninggalkan saja (tidak mengerjakannya, seperti shalat 5 waktu dan semacamnya) maka fasiq. Sedangkan Wajib adalah kewajiban yang ghairul fardl (selain fardlu), sesuatu yang ditetapkan dengan dalil namun masih ada kemungkinan ketidak pastian (hasil ijtihad), hukumnya lazim secara perbuatan saja, tidak secara keyakinan. Apabila mengingkarinya, tidak sampai kafir namun terjatuh dalam syubhat. Sedangkan bila meninggalkannya maka berdosa dengan dosa yang kadarnya lebih sedikit daripada meninggalkan perbuatan yang sifatnya Fardlu, sebab kalau meninggalkan yang bersifat Fardlu maka disiksa dineraka, sedangkan meninggalkan yang sifatnya Wajib, tidak disiksa di neraka, namun ia terhalang dari syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam.

Jumhur ulama tidak membedakan antara Fardlu dan Wajib, bahkan ada yang menyatakan bahwa pembedaan seperti itu tidak tepat dan tidak berarti apa-apa.

2. Sunnah, disebut juga Mandub, Mustahabb, Tathawwu, Al-Nafl, Hasan dan Muragghab fih. Semuanya bersinonim. Yakni sebuah anjuran mengerjakan yang sifatnya tidak jazm (pasti), apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak berdosa.

Sunnah dari sisi tuntutannya, terbagi menjadi 2 yakni :

sunnah Muakkad (sunnah yang sangat ditekankan) dan,

sunnah ghairu Muakkad (anjuran tidak terlalu ditekankan).

Sedangkan menurut Hanafiyah, ada perbedaan terkait sunnah Muakkad. Menurut mereka, sunnah Muakkad, bentuknya kewajiban yang sempurna, jika meninggalkannya maka tetap berdosa, namun dosanya lebih sedikit daripada meninggalkan Fardlu (dibawah tingkatan Fardlu). Sedangkan sunnah ghairu Muakkad, menurut mereka adalah sejajar dengan Mandub dan Mustahab.

Sunnah juga terbagi menjadi 2, yaitu : Pertama, sunnah ‘Ain : sesuatu yang disunnahkan pada setiap orang (individu) yang mukallaf, seperti shalat-shalat sunnah ratibah dan lainnya. Kedua, sunnah Kifayah : sesuatu yang disunnahkan, apabila ada sebagian yang telah mengerjakannya, maka yang lain gugur, seperti seseorang memulai salam ketika bersama jama’ah (memulai bukan menjawab, penj), dan lain sebagainya. Sehingga bila sudah ada yang mengerjakannya, maka hilang (gugur) tuntutan terhadap yang lainnya, namun pahalanya bagi yang mengerjakan saja.

Sebagian ulama seperti Malikiyah membedakan antara istilah sunnah dan mandub. Sunnah menurut mereka adalah sebuah tuntutan syara’, bentuk perintahnya sangat ditekankan, namun tidak ada dalil yang mewajibkannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak disiksa, seperti shalat witir dan shalat hari raya. Sedangkan mandub adalah sebuah tuntutan syara’ yang tidak jazm (tidak pasti), bentuk perintahnya tidak terlalu ditekankan, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun bila tidak dikerjakan tidak disiksa, contohnya didalam Malikiyah adalah shalat sunnah 4 raka’at sebelum dzuhur.

3. Mubah, bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa, tidak mendapatkan pahala atau pun disiksa (sebuah pilihan antara mengerjakan atau tidak). Misalnya, memilih menu makanan dan sebagainya.

4. Makruh, yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti (tidak jazm) untuk meninggalkan perbuatan tertentu (larangan mengerjakan yang sifatnya tidak pasti), apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun bila ditinggalkan akan mendapatkan pahala dan dipuji.

Menurut sebagian ulama, istilah Makruh ini ada yang menyatakan dengan Khilaful Aula (menyelisihi yang lebih utama).

5. Haram, yakni tututan yang pasti untuk meninggalkan sesuatu, apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka mendapatkan dosa, namun bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Contohnya seperti minum khamr, berzina dan lain sebagainya. Istilah haram juga kadang menggunakan istilah Mahdzur (terlarang), Maksiat dan al-danb (berdosa).

Menurut Hanafiyah, istilah Haram adalah antonim dari Fardlu (mereka membedakan antara Fardlu dan Wajib). Ada juga istilah makruh Tahrim dan makruh Tanzih. Makruh Tahrim adalah sebuah istilah yang lebih dekat dengan Haram, serta merupakan kebalikan dari Wajib dan Sunnah Mu’akkad. Sedangkan istilah makruh Tanzih, tidak disiksa bila mengerjakannya dan mendapatkan pahala bila meninggalkannya. Istilah makruh Tanzih menurut Hanafiyah adalah kebalikan dari sunnah ghairu Muakkad.

Ulama juga ada yang kadang menyatakan dengan istilah Halal, itu adalah kebalikan dari Haram, namun masih ambigu, yaitu bisa hukum wajib, hukum mandub dan makruh. Bila meninggalkan perbuatan yang hukum wajib, maka berdosa. Adapun yang lainnya (mandub dan makruh) bila ditinggalkan ataupun dikerjakan tidaklah berdosa.



Pengertian Syarat, Rukun, Sah dan Batal



Dalam mengerjakan suatu amal ibadah yang baik dan benar, tentunya dibutuhkan aturan yang mengatur bagaimana amalan tersebut dilakukan sehingga didapatkan ibadah yang baik dan benar. Dalam Islam terdapat beberapa istilah dalam meberikan aturan yang jelas tentang bagaimana amal ibadah seseorang dikatakan baik dan benar.

Syarat
Adalah ketentuan atau perbuatan yang harus dipenuhi sebelum melakukan suatu pekerjaan atau ibadah. Tanpa memenuhi ketentuan/perbuatan tersebut, suatu pekerjaan dianggap tidak sah. Misal menutup aurat sebelum dan selama mengerjakan shalat, dsb.

Rukun
Adalah ketentuan yang harus dipenuhi, dalam melakukan suatu pekerjaan/ibadah. Bila tidak terpenuhi maka ibadah/pekerjaan tersebut tidak sah. Misalkan membaca surah Al-Fatihah dalam shalat, dsb.

Sah
Sah artinya syarat dan rukunnya telah terpenuhi secara benar dalam melakukan suatu ibadah/pekerjaan.

Batal
Artinya syarat dan rukunnya belum terpenuhi seluruhnya, atau terpenuhi namun tidak dilakukan secara benar.

Selasa, 31 Desember 2019

Hukum Baca Ikhfa Haqiqi

Hukum Ikhfa Haqiqi

Ikhfa’ secara harfiah berarti menyamarkan atau menyembunyikan.
Di dalam ilmu tajwid, Ikhfa Haqiqi adalah menyamarkan huruf Nun Sukun ( نْ ) atau  tanwin ( ــًــ, ــٍــ, ــٌــ ) ke dalam huruf sesudahnya – ada 15 huruf – yaitu:  ت – ث – د – ذ – ز – س – ش – ص– ض – ط – ظ – ف – ق – ك. Ke-15 huruf tersebut tidak bertasydid dan harus dibaca dengung (ghunnah).

Cara membacanya adalah dengan mengeluarkan suara نْ atau  ــًــ, ــٍــ,ــٌــ  dari rongga hidung sehingga terlihat samar atau menjadi suara “N” atau “NG” , kemudian disambut dengan dengung 1 – 1 1/2 Alif atau sekitar 2 – 3 harakat, setelah itu baru masuk ke huruf sesudahnya.

Misalnya:  مِنْكُمْ

Minnnn . .  kum atau Minnnngkum.

Bukan Mingkum

Kunci menghapal 15 huruf Ikhfa Haqiqi

Untuk mengingat 15 huruf Ikhfa Haqiqi kuncinya adalah cukup dengan menghapal huruf-huruf di Hukum Idgham Biggunnal (Ma’al Ghunnah), Idgham Bilaghunnah, Iqlab, dan Izhar Halqi,

Kamis, 19 Desember 2019

Jangan kau sakiti aku



Durhaka pada orangtua merupakan dosa besar yang selalu tidak pernah lepas dalam pembahasan khotbah, kultum dan sebagainya. Namun kenyataan yang miris saat ini, banyak orang tua khususnya ibu yang menyakiti hati orang lain dalam hal ini anak anak mereka.
“Ridha Allah pada ridha orangtua dan murka Allah pada murka orangtua.” (HR. Al Baihaqi)
Dalam hadits Rasulullah SAW diatas memang sudah sering di dengar kaum muslim yang isinya menjelaskan keagungan kedudukan orang tua dalam Islam. Akan tetapi, banyak orangtua yang sering berlebihan dalam mengartikan hadits tersebut. Semua hal yang terjadi mengharuskan anak anak tetap taat pada ibu mereka termasuk jika anak sedang berusaha melakukan syariat sedangkan orang tua sedang berlaku salah, anak tetap wajib untuk taat pada orang tua. Pemahaman ini tentunya adalah pemahaman yang salah besar.
Islam merupakan jalan hidup syumul dan menyeluruh yang tidak menghendaki umat muslim hanya menuruti haknya saja, namun kewajiban juga harus dijalani. Dalam masalah ini, orang tua punya kewajiban besar dalam mendidik, membesarkan dan mengayomi sesuai dengan syariat Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungan jawab atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya dan dia akan diminta pertanggungan jawab atas mereka.” [HR. Bukhari].
Ayat Al Quran Tentang Kasih Sayang
Dalam Al Quran sendiri juga sudah menjelaskan tentang perlunya kasih sayang diantara orang tua pada anaknya. Rasulullah SAW bersabda, “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Aban, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail dari Muhammad bin Ishaq dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata; bersabda: “Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak mengasihi anak-anak kecil dan tidak pula menghormati para orang tua kami.” Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Abdah dari Muhammad bin Ishaq semisalnya. Hanya saja, ia menyebutkan; “Dan (tidak pula) mengetahui hak para orang tua kami.” [Sunan Tirmidzi 1843].
“Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad Telah menceritakan kepada kami Sulaiman yakni Ibnu Qaum, dari Ziyad bin Ilaqah ia berkata; Saya mendengar Jarir berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi. Dan siapa yang tidak mau memaafkan, maka ia tidak akan dimaafkan (diampuni).” [Musnad Ahmad 18447].
Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amru, dari Abu Qabus, dari Abdullah bin Amru bin al Ash dan sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda, “Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh ar Rahman, oleh karena itu kasihilah penduduk bumi maka niscaya penduduk langit akan mengasihi kalian. Dan rasa kasihan adalah sebuah jalan dari ar Rahman, barangsiapa yang menyambungnya maka ia akan tersambung untuknya, dan barangsiapa memutuskannya maka ia akan terputus untuknya.” [Musnad Ahmad 6206].
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amr bin Dinar dari Abu Qabus dari Abdullah bin Amr ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh Ar Rahman, berkasih sayanglah kepada siapapun yang ada dibumi, niscaya Yang ada di langit akan mengasihi kalian. Lafazh Ar Rahim (rahim atau kasih sayang) itu diambil dari lafazh Ar Rahman, maka barang siapa yang menyambung tali silaturrahmi niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barang siapa yang memutus tali silaturrahmi maka Allah akan memutusnya (dari rahmat-Nya).” Berkata Abu ‘Isa: Ini merupakan hadits hasan shahih. [Sunan Tirmidzi 1847].
Orang Tua Bisa Durhaka
Seorang laki laki yang menemui Umar bin Khathab untuk menceritakan sikap anak durhaka dalam Islam yang dilakukan anaknya dan kemudian Umar memanggil anak tersebut kemudian menegur apa yang sudah dilakukan anak tersebut. Anak itu kemudian bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah  anak memiliki hak atas orangtuanya?” dan Umar membenarkan perkataan anak tersebut sembari menjelaskan jika haknya adlaah memilihkan calon ibu yang baik untuknya, memberi nama baik dan mengajari tentang Al Quran.
Anak tersebut kemudian berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang tuan sebutkan itu. Ibuku wanita berkulit hitam bekas budak beragama Majusi. Ia menamakanku Ju’lan (tikus atau curut), dan dia tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an.
Umar lalu memandangi orang tua tersebut sembari berkata, “Engkau datang mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Orang Tua Bisa Berdosa Pada Anak
Salah satu tujuan pernikahan dalam Islam adalah memperoleh keturuan. Orang tua yang menyakiti hati anak ditambah dengan menelantarkan anaknya tersebut mengartikan jika orang tua baik ayah atau ibu sudah berdosa pada anak anaknya. Rasulullah SAW bersabda, “seseorang dikatakan telah cukup berbuat dosa bilamana menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungannya. [H.R. Abu Daud dan Nasa’i]. Sebagai seorang ibu, kita tidak boleh beranggapan jika sebagai orang tua bisa memperlakukan anak seenaknya sebab orang tua memiliki tanggung jawab tidak hanya dalam urusan melahirkan, namun berbagai penyebab lainnya di dunia. Segala kebutuhan mulai dari kasih sayang, makanan, pakaian, tempat bernaung dan juga pendidikan anak dalam Islam menjadi kewajiban orang tua terhadap anaknya.
Memberikan Pernyataan Negatif Tentang Anak
Perkataan yang menyinggung hati anak bahkan yang menurut orang tua adalah hal sepele akan membuat anak menjadi seperti orang yang anda katakan tersebut. Ini merupakan hal berbahaya dan bisa menjadi doa dari ibu untuk anaknya. Perkataan positif sebaiknya lebih diperbanyak agar membuat anak bisa lebih percaya diri dan senang.
Islam sangat menentang kekerasan anak dan bahkan sampai tidak memperlihatkan kasih sayang juga dilarang dalam Islam. Saat Rasulullah SAW mencium Hasan bin Ali dan duduk bersama Aqra bin habis, Al Aqra kemudian berkata, ”Saya mempunyai sepuluh anak, tidak seorangpun di antara mereka yang pernah saya cium”. Rasulullah memandang kepadanya, kemudian berkata: ”Siapa yang tidak mengasihi tidak akan di kasihi”. [Shahih Bukhari jilid IV, hadis ke 1696].
Islam Dari Segi Kehidupan
Perbuatan memisahkan agama dari kehidupan keluarga, masyarakat dan juga negara akan menyebabkan terbentuknya individu yang tidak memiliki perasaan. Kekerasan yang di terima anak anak dalam bentuk fisik dan juga psikis menjadi bukti jauhnya orang tua khususnya ibu dari hati nurani dan perlu diketahui jika nurani dan perasaan hanya bisa diasah dengan jalan cara meningkatkan iman dan taqwa.
Seorang ibu yang mempunyai iman tidak akan pernah tega untuk menyakit hati anak hanya untuk melampiaskan rasa amarhnya, menghancurkan karakter anak lewat perkataan negatif dan bahkan sampai membunuh perasaan mereka. Islam selalu menyuarakan perlindungan dan juga kasih sayang untuk anak anak seperti yang sudah diperlihatkan Rasulullah SAW terhadap anak anak-Nya dan juga cucu bahkan sampai anak dari para sahabat. Rasulullah SAW bersabda, “Man laa yarham laa  yurham” siapa yang tidak mencintai maka dia tidak dicintai. [HR. Muslim].
Dalam Al Quran, Allah juga sudah memberi landasan serta metode universal dalam urusan mendidik anak perempuan dan laki laki. Menyampaikan aqidah untuk awal pendidikan yang dilakukan Luqman pada anaknya dan juga kasih sayang Rasulullah SAW pada anaknya sudah tertulis dalam Al Quran. Allah SWT sangat menekankan pada pentingnya ketaatan seorang anak pada orang tua dan berbuat baik untuk ibu dan ayahnya, akan tetapi semua ini juga berkaitan dengan hubungan timbal balik.
Orang tua yang hanya mendidik anak sekedarnya tanpa memperhatikan nilai dari kasih sayang moral dan juga keimanan, maka balasan yang akan diterima orang tua juga hanya sekedarnya saja.
Merancang Rumah Tangga Islami
Ibnul Qoyyim berkata, “Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orangtuanya.”
Bekal nilai Islam yang sudah ditanamkan sejak awal pada anak akan menjadi mebatas baginya untuk tidak melakukan kezaliman dan melindungi anak tersebut dari perbuatan tidak baik yang dilakukan orang lain. Sebuah keluarga yang terus menerus merapkan nila agama Islam akan menjadi pemutus kezaliman dalam diri anak tersebut. Amirul Mukminin Ali ra juga memberikan teladan, “Ajarilah diri-diri kalian dan keluarga-keluarga kalian kebaikan dan bimbinglah mereka.”
Oleh karena itu, menghadirkan kepribadian yang kuat dan sanggup memberikan kekuatan pada orang lain harus dilakukan sejak awal dimulai dari merancang atau membangun rumah tangga menurut Islam. Cara mendapatkan jodoh menurut Islam akan menjadi hal terpenting yang harus diperhatikan sebab akan menentukan kualitas dari keturunan. Inilah yang membuat Islam mengajarkan untuk tidak memulai rumah tangga dengan zina karena hamil di luar nikah bukan cara baik untuk mendapatkan anak yang baik juga.
Saat sedang mengandung, ibu juga dianjurkan untuk memperbanyak hukum bacaan Al Quran, berdzikir dan juga menyanyikan atau bersenandung lagu Islami dan semua hal yang bisa mendekatkan diri pada Allah SWT. Janin yang mendengar segala hal baik, maka Insya Allah juga akan terlahir bersih.
“Janganlah kalian menyumpahi diri kalian, dan jangan pula menyumpahi anak-anak kalian dan harta kalian, kalian tidak mengetahui saat permintaan (do’a) dikabulkan sehingga Allah akan mengabulkan sumpah itu” [HR.Muslim].
Dalam hadits diatas dikatakan jika ada waktu baik yang akan mengabulkaun doa dan dalam hadits diatas sudah tertera larangan untuk menyumpahi diri, anak anak dan juga harta karena sumpah tersebut tidak bertepatan dengan waktu dari pengabulan doa sehingga bisa selamat dari ancaman bahaya.
Namun pada kenyataannya, banyak ibu yang melaknat dan menyumpahi anak mereka meskipun dengan alasan tidak memiliki maksud seperti itu.