Sabtu, 01 Februari 2020

Istinja' dan Adabnya


A Pengertian
Istinja' adalah membersihkan diri dari segala kotoran yang keluar dari qubul dan dubur manusia yaitu air kecil dan air besar dengan menggunakan air atau batu .
- Di utamakan ketika beristinjak yaitu dengan menggunakan batu dan kemudian menggunakan air sebanyak tiga kali siraman.
- Dan diperbolehkan orang yang beristinja' meringkas denagn menggunakan air atau beberapa batu atau disunahkan menigakalikan ketika beristinja'.
- Orang yang beristinjak itu lebih utama menggunakan air dari pada menggunakan batu karena air bisa menghilangkan keadaan najis (warna, bau dan rasa) sehingga menjadi suci.

* Syarat beristinjak menggunakan batu
1. Barang atau najis yang keluar belum kering
2. Belum pindah dari tempatnya
3. Tidak bersifat baru


B. Adab Dalam Membuang Hajat

1. Tidak boleh menghadap kiblat dan membelakang kiblat ketika buang hajad di tanah lapang
2. Dan di perbolehkan ketika buang hajat di tempat yang sudah di sediakan (wc)
3. Hukumnya sunah ketika menjauhkan diri dari buang hajat di air yang diam atau tenang
4. Dan dimakruhkan buang hajat di tempat atau air yang sedikit
5. Di larang duang hajat di bawah pohon yang berbuah
6. Di larang buang hajat di jalan yang sering di lewati manusia
7. Di larang buang hajat di tempat istirahat manusia
8. Di larang buang hajat menghadap matahari dan di lubang dalam bumi (leng)
9. Tidak boleh berbicara ketika buang hajat kecuali dzorurot seperti melihat ular dan ular tersebut mendekati .

Imam nawawi (kitab roudzoh)

- Dimakruhkan ketika buang hajat menghadap matahari dan rembulan
- Dalam kitab washit tidak di makruhkan
- Di kitab tahqiq dimakruhkan

Rujukan Kitab Fathul Qorib

(فَصْلٌ)

فِي الْاِسْتِنْجَاءِ وِآدَابِ قَاضِي الْحَاجَةِ
(وَالْاِسْتِنْجَاءُ) وَهُوَ مِنْ نَجَوْتُ الشَّيِئَ أَيْ قَطَعْتُهُ فَكَأَنَّ الْمُسْتَنْجِيَ يَقْطَعُ بِهِ الْآذَى عَنْ نَفْسِهِ (وَاجِبٌ مِنْ) خُرُوْجِ (الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ) بِالْمَاءِ أَوِ الْحَجَرِ وَمَا فِيْ مَعْنَاهُ مِنْ كُلِّ جَامِدٍ طَاهِرٍ قَالِعٍ غَيْرِ مُحْتَرَمٍ
(وَ) لَكِنِ (الْأَفْضَلُ أَنْ يَسْتَنْجِيَ) أَوَّلًا (بِالْأَحْجَارِ ثُمَّ يُتْبِعُهَا) ثَانِيًا (بِالْمَاءِ)
وَالْوَاجِبُ ثَلَاثُ مَسَحَاتٍ وَلَوْ بِثَلَاثَةِ أَطْرَافِ حَجَرٍ وَاحِدٍ
(وَيَجُوْزُ أَنْ يَقْتَصِرَ) الْمُسْتَنْجِي (عَلَى الْمَاءِ أَوْ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ يُنْقَى بِهِنَّ الْمَحَلُّ) إِنْ حَصَلَ الْإِنْقَاءُ بِهَا
وَإِلَّا زَادَ عَلَيْهَا حَتَّى يُنْقَى
وَيُسَنُّ بَعْدَ ذَلِكَ التَّثْلِيْثُ
(فَإِذَا أَرَادَ الْاِقْتِصَارَ عَلَى أَحَدِهِمَا فَالْمَاءُ أَفْضَلُ) لِأَنَّهُ يُزِيْلُ عَيْنَ النَّجَاسَةِ وَأَثَرَهَا
وَشَرْطُ إِجْزَاءِ الْاِسْتِنْجَاءِ بِالْحَجَرِ أَنْ لَايَجِفَّ الْخَارِجُ النَّجَسُ وَلَا يَنْتَقِلَ عَنْ مَحَلِّ خُرُوْجِهِ وَلَايَطْرَأَ عَلَيْهِ نَجَسٌ آخَرُ أَجْنَبِىيٌّ عَنْهُ
فَإِنِ انْتَفَى شَرْطٌ مِنْ ذَلِكَ تَعَيَّنَ الْمَاءُ
(وَيَجْتَنِبُ) وُجُوْبًا قَاضِي الْحَاجَةِ (اسْتِقْبِالَ الْقِبْلَةِ) الْآنَ وَهِيَ الْكَعْبَةُ (وَاسْتِدْبَارَهَا فِي الصَّحْرَاءِ)
إِنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ سَاتِرٌ أَوْ كَانَ وَلَمْ يَبْلُغْ ثُلُثَيْ ذِرَاعٍ أَوْ بَلَغَهُمَا وَبَعُدَ عَنْهُ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ بِذِرِاعِ الْآدَمِيِّ كَمَا قَالَهُ بَعْضُهُمْ
وَالْبُنْيَانُ فِيْ هَذَا كَالصَّحْرَاءِ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُوْرِ إِلَّا الْبِنَاءَ الْمُعَدَّ لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ فَلَا حُرْمَةَ فِيْهِ مُطْلَقًا
وَخَرَجَ بِقَوْلِنَا الْآنَ مَا كَانَ قِبْلَةً أَوْلًّا كَبَيْتِ الْمَقْدِسِ فَاسْتِقْبَالُهُ وَاسْتِدْبَارُهُ مَكْرُوْهٌ
(وَيَجْتَنِبُ) نَدْبًا قَاضِي الْحَاجَةِ (الْبَوْلَ) وَالْغَائِطَ (فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ)
أَمَّا الْجَارِيْ فَيُكْرَهُ فِي الْقَلِيْلِ مِنْهُ دُوْنَ الْكَثِيْرِ لَكِنِ الْأَوْلَى اجْتِنَابُهُ
وَبَحَثَ النَّوَوِيُّ تَحْرِيْمَهُ فِي الْقَلِيْلِ جَارِيًا أَوْ رَاكِدًا
(وَ) يَجْتَنِبُ أَيْضًا الْبَوْلَ وَالْغَائِطَ (تَحْتَ الشَّجَرَةِ الْمُثْمِرَةِ) وَقْتَ الثَّمْرَةِ وَغَيْرِهِ
(وَ) يَجْتَنِبُ مَا ذُكِرَ (فِي الطَّرِيْقِ) الْمَسْلُوْكِ لِلنَّاسِ
(وَ) فِيْ مَوْضِعِ (الظِّلِّ) صَيْفًا وَفِيْ مَوْضِعِ الشَّمْسِ شِتَاءً
(وَ) فِي (الثَّقْبِ) فِي الْأَرْضِ وَهُوَ النَّازِلُ الْمُسْتَدِيْرُ وَلَفْظُ الثَّقْبِ سَاقِطٌ فِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ
(وَلَايَتَكَلَّمُ) أَدَبًا لِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ قَاضِي الْحَاجَةِ (عَلَى الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ)
فَإِنْ دَعَتْ ضَرُوْرَةٌ إِلَى الْكَلَامِ كَمَنْ رَأَى حَيَةً تَقْصِدُ إِنْسَانًا لَمْ يُكْرَهِ الْكَلَامُ حِيْنَئِذٍ
(وَلَا يَسْتَقْبِلُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَلَا يَسْتَدْبِرُهُمَا) أَيْ يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ حَالَ قَضَاءِ حَاجَتِهِ
لَكِنِ النَّوَوِيُّ فِي الرَّوْضَةِ وَشَرْحِ الْمُهَذَّبِ قَالَ أَنَّ اسْتِدْبَارَهُمَا لَيْسَ بِمَكْرُوْهٍ
وَقَالَ فِيْ شَرْحِ الْوَسِيْطِ أَنَّ تَرْكَ اسْتِقَبَالِهِمَا وَاسْتِدْبَارِهِمَا سَوَاءٌ أَيْ فَيَكُوْنُ مُبَاحًا
وَقَالَ فِي التَّحْقِيْقِ أَنَّ كَرَاهَةَ اسْتِقْبَالِهِمَا لَا أَصْلَ لَهَا
وَقَوْلُهُ وَلَا يَسْتَقْبِلُ إِلَخْ سَاقِطٌ فِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ

Jumat, 31 Januari 2020

Najis dan cara membersihkannya



1. Pengertian Najis

Di dalam kitab Fathul Qorib ada dijelaskan:

Najis menurut bahasa adalah sesuatu yang menjijikkan, sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang haram seperti perkara yang berwujud cair (darah, muntah muntahan dan nanah), setiap perkara yang keluar dari dubur dan qubul kecuali mani. Bangkai dan semua bagian dari bangkai itu seperti kulit, rambut, serta tulang kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang. Termasuk najis juga bagian dari hewan yang hidup yang terpisah atau terpotong kecuali yang asal dari manusia, ikan dan belalang.

Jadi dapat disimpulkan yang termasuk najis yaitu:

1.Bangkai, kecualimanusia,ikan dan belalang.
2.Darah.
3.Nanah.
4.Segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur.
5.Anjing dan babi.
6.Minuman keras seperti arak dan sebagainya.
7.Bagian anggota badan binatang yang terpisah karena dipotong dan sebagainya selagi masih hidup.

2. Macam-macam Najis

Najis dibedakan menjadi tiga menurut tingkatannya yaitu: najis mugolazoh, najis mutawasitah, dan najis mukhafafah. Kemudian ketiga macam najis ini pun di bagi-bagi lagi. Untuk lebih jelasnya lihat rinciannya berikut ini.

1. Najis Mugollazoh

Najis mugolazoh (najis berat), yaitu najis anjing, babi dan keturunannya.

Cara menyucikan najis ini harus diulang tujuh kali dengan air dan salah satunya harus dicampur dengan debu atau tanah. Tidak penting apakah air campuran tanah itu dibasuhan pertama atau terakhir sama saja.

7 x basuh = 6 x digosok dengan air + 1 x digosok dengan air yang dicampur debu atau tanah.

Kalau cara itu tidak dilakukan maka belum dianggap suci dari najis mugolazoh walaupun kelihatan sudah bersih/hilang kotornya.

Lagi pula najis dan kotor itu beda. Sesuatu yang najis pasti kotor adanya, tetapi sesuatu yang kotor belum tentu najis.

Contoh najis mugolazoh adalah jilatan anjing baik yang mengenai tempat, pakaian, badan atau benda-benda lain.

Sabda Rasulullah saw,

“Cara menyucikan bejana salah seorang di antara kamu bila dijilat anjing, yaitu membasuhnya (dengan air) sebanyak tujuh kali, yang salah satu basuhannya dicampur dengan debu”. Hadis riwayat Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi.

Seandainya air yang digunakan membasuh itu air mengalir dan keruh, maka itu sudah mencukupi dan tidak perlu menggunakan debu lagi.

2. Najis Mutawassitah

Najis Mutawasitah yaitu najis yang kadar najisnya sedang, artinya tidak berat dan tidak ringan. Seperti air kencing, tinja, kotoran binatang, bangkai (selain bangkai anjing dan babi), darah, muntah, khamer (semua minuman yang memabukkan), wadi, dan mazi.

Najis Mutawassitah dibedakan menjadi 2, yakni:

a. Najis Ainiyah

Artinya najis yang zat, warna, bau, dan rasanya, atau salah satu dari keempat sifat tersebut terlihat nyata, maka cara menyucikannya dengan menghilangkan najisnya lebih dahulu, baru setelah itu disiram dengan air.

Dalil sabda Rasulullah waktu menjawab pertanyaan seorang wanita yang kainnya kena darah,

“Apabila kena darah haid pada kain seseorang kamu, maka hendaklah dikikisnya dengan kuku, kemudian dipercikkan dengan air, kemudian ia mengerjakan shalat dengan kain itu!” (Hadis terdapat dalam Al Umm Imam Syafi’i ra)

Tetapi seandainya warna atau baunya sulit dihilangkan, maka kesulitan tersebut termasuk perkara yang ma’fu (yang dimaafkan).

b. Najis Hukmiah

Artinya najis yang zat, warna, bau, dan rasanya tidak dapat dilihat, seperti air kencing yang sudah mengering, cara menyucikannya cukup mengalirkan air di atas benda yang terkena najis tersebut.

3. Najis Mukhaffafah

Najis mukhaffafah yaitu najis yang tingkat kenajisannya tergolong ringan, seperti air kencing bayi laki-laki yang belum makan kecuali air susu ibunya (ASI).

Cara menyucikan najis ini cukup dengan memercikkan atau mengusapnya dengan air pada tempat atau benda yang terkena air kencing.

Sedangkan untuk air kencing bayi perempuan tingkatan najisnya setingkat najis air kencing seorang dewasa, termasuk cara menyucikannya juga seperti air kencing orang dewasa.

Artinya mencucinya (kencing anak-anak perempuan) hendaklah dibasuh sampai air mengalir di atas benda yang kena najis itu, dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya.

Sabda Rasulullah saw.:

“Kencing anak-anak perempuan dibasuh, dan kencing anak-anak laki-laki diperciki.” (Riwayat Tirmizi)

Tambahan:

Semua macam darah adalah najis kecuali darah yang tertinggal di dalam daging binatang yang sudah disembelih, begitu juga darah ikan.

Kedua macam darah ini suci atau dimaafkan, artinya diperbolehkan atau dihalalkan.

Kulit bangkai binatang menjadi suci dengan disamak, kecuali kulit anjing dan kulit babi tetap najisnya walaupun disamak.

Arak akan menjadi suci jika arak itu berubah menjadi cuka dengan syarat perubahan itu terjadi dengan sendirinya tanpa diberi sesuatu dalam arak itu. Otomatis wadah dari arak itu ikut suci pula.

Hewan yang tidak mempunyai darah yang menalir di dalam tubuhnya seperti lalat yag mati tercebur ke dalam air maka air tersebut tidak najis ,akan tetapi apabila bangkai lalat itu banyak dan hingga dapat merubah warna air maka air tersebut akan menjadi najis,dan apabila air muncul hewan seperti uget-uget maka air tersebut tidak najis

Semua hewan itu pada dasarnya itu suci kecuali anjing dan babi dan segala sesuatu yang di keluarkan dari anjing dan babi itu hukumnya najis mughaladhah

Semua mayat itu najis kecuali mayat manusia, ikan, dan belalang, ketiga mayat itu suci .

Perkara yang najis bisa menjadi suci yaitu dengan cara mendiamkan sesuatu hingga berubah wujud nya (membusuk)seperti arak ketika menjadi cukak dengan sendirinya tanpa diberi sesuatu di dalam arak tersebut ,dan ketika arak tersebut sudah menjadi suci maka wadah arak tersebut ikut menjadi suci.

Sumber Rujukan Kitab Fathul Qorib

(فَصْلٌ)

فِيْ بَيَانِ النَّجَاسَاتِ وَإِزَالَتِهَا وَهَذَا الْفَصْلُ مَذْكُوْرٌ فِيْ بَعْضِ النُّسَخِ قُبَيْلَ كِتَابِ الصَّلَاةِ
وَالنَّجَاسَةُ لُغَةً الشَّيْئُ الْمُسْتَقْذَرُ وَشَرْعًا كُلُّ عَيْنٍ حَرُمَ تَنَاوُلُهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ حَالَةَ الْإِخْتِيَارٍ مَعَ سُهُوْلَةِ التَّمْيِيِزِ لَا لِحُرْمَتِهَا وَلَا لِإسْتِقْذَارِهَا وَلَا لِضَرَرِهَا فِيْ بَدَنٍ أَوْ عَقْلٍ
وَدَخَلَ فِي الْإِطْلَاقِ قَلِيْلُ النَّجَاسَةِ وَكَثِيْرُهَا
وَخَرَجَ بِالْاِخْتِيَارِ الضَّرُوْرَةُ فَإِنَّهَا تُبِيْحُ تَنَاوُلَ النَّجَاسَةِ
وَبِسُهُوْلَةِ التَّمْيِيْزِ أَكْلُ الدُّوْدِ الْمَيِّتِ فِيْ جُبْنٍ وَ فَاكِهَةٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ
وَخَرَجَ بِقَوْلِهِ لَا لِحُرْمَتِهَا مَيْتَةُ الْآدَمِيِّ
وَبِعَدَمِ الْإِسْتِقْذَارِ الْمَنِيُّ وَنَحْوُهُ
وَبِنَفْيِ الضَّرَرِ الْحَجَرُ وَالنَّبَاتُ الْمُضِرُّ بِبِدَنٍ أَوْ عَقْلٍ
ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ ضَابِطًا لِلنَّجَسِ الْخَارِجِ مِنَ الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ بِقَوْلِهِ
(وَكُلُّ مَائِعٍ خَرَجَ مِنَ السَّبِيْلَيْنِ نَجَسٌ) هُوَ صَادِقٌ بِالْخَارِجِ الْمُعْتَادِ كَالْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَبِالنَّادِرِ كَالدَّمِّ وَالْقَيْحِ
(إَلَّا الْمَنِيَّ) مِنْ آدَمِيٍّ أَوْ حَيَوَانٍ غَيْرِ كَلْبٍ وَخِنْزِيْرٍ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا مَعَ حَيَوَانٍ طَاهِرٍ
وَخَرَجَ بِمَائِعٍ الدُّوْدُ وَكُلُّ مُتَصَلِّبٍ لَا تُحِيْلُهُ الْمَعِدَّةُ فَلَيْسَ بِنَجَسٍ بَلْ هُوَ مُتَنَجِسٌ يَطْهُرُ بِالْغَسْلِ
وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَكُلُّ مَا يَخْرُجُ بِلَفْظِ الْمُضَارِعِ وَإِسْقَاطُ مَائِعٍ.
(وَغَسْلُ جَمِيْعِ الْأَبْوَالِ وَالْأَرْوَاثِ) وَلَوْ كَانَا مِنْ مَأْكُوْلِ اللَّحْمِ (وَاجِبٌ)
وَكَيْفِيَّةُ غَسْلِ النَّجَاسَةِ إِنْ كَانَتْ مُشَاهَدَةً بِالْعَيْنِ وَهِيَ الْمُسَمَّاةُ بِالْعَيْنِيَّةِ تَكُوْنُ بِزَوَالِ عَيْنِهَا وَمُحَاوَلَةِ زَوَالِ أَوْصَافِهَا مِنْ طُعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِيْحٍ
فَإِنْ بَقِيَ طُعْمُ النَّجَاسَةِ ضَرَّ أَوْ لَوْنٌ أَوْ رِيْحٌ عَسُرَ زَوَالُهُ لَمْ يَضُرَّ
وَإِنْ كَانَتِ النَّجَاسَةُ غَيْرَ مُشَاهَدَةٍ وَهِيَ الْمُسَمَّاةُ بِالْحُكْمِيَّةِ فَيَكْفِيْ جَرْيُ الْمَاءِ عَلَى الْمُتَنَجِّسِ بِهَا وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً
ثُمَّ اسْتَثْنَى الْمُصَنِّفُ مِنَ الْأَبْوَالِ قَوْلَهُ (إِلَّا بَوْلَ الصَّبِيِّ الَّذِيْ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ) أَيْ لَمْ يَتَنَاوَلْ مَأْكُوْلًا وَلَا مَشْرُوْبًا عَلَى جِهَّةِ التَّغَذِّيِ (فَإِنَّهُ) أَيْ بَوْلَ الصَّبِيِّ (يَطْهُرُ بِرَشِّ الْمَاءِ عَلَيْهِ)
وَلَا يُشْتَرَطُ فِي الرَّشِّ سَيَلَانُ الْمَاءِ
فَإِنْ أَكَلَ الصَّبِيُّ الطَّعَامَ عَلَى جِهَّةِ التَّغَذِّيِ غُسِلَ بَوْلُهُ قَطْعًا
وَخَرَجَ بِالْصَبِيِّ الصَّبِيَّةُ وَالْخُنْثَى فَتُغْسَلُ مِنْ بَوْلِهِمَا.
وَيُشْتَرَطُ فِيْ غَسْلِ الْمُتَنَجِّسِ وُرُوْدُ الْمَاءِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ قَلِيْلًا فَإِنْ عَكَسَ لَمْ يَطْهُرْ
أَمَّا الْمَاءُ الْكَثِيْرُ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ كَوْنِ الْمُتَنَجِّسِ وَارِدًا أَوْ مَوْرُوْدًا
(وَلَا يُعْفَى عَنْ شَيْئٍ مِنَ النَّجَاسَاتِ إِلَّا الْيَسِيْرُ مِنَ الدَّمِّ وَالْقَيْحِ) فَيُعْفَى عَنْهُمَا فِيْ ثَوْبٍ أَوْ بَدَنٍ وَتَصِحُّ الصَّلَاةُ مَعَهُمَا
(وَ) إِلَّا (مَا) أَيْ شَيْئٌ (لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ) كَذُبَابٍ وَنَمْلٍ (إِذَا وَقَعَ فِيْ الْإِنَاءِ وَمَاتَ فِيْهِ فَإِنَّهُ لَا يُنَجِّسُهُ)
وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ إِذَا مَاتَ فِي الْإِنَاءِ
وَأَفْهَمَ قَوْلُهُ وَقَعَ أَيْ بِنَفْسِهِ أَنَّهُ لَوْ طُرِحَ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ فِيْ الْمَائِعِ ضَرَّ وَهُوَ مَاجَزَمَ بِهِ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيْرِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي الْكَبِيْرِ
وَإِذَا كَثُرَتْ مَيْتَةُ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ وَغَيَّرَتْ مَا وَقَعَتْ فِيْهِ نَجَّسَتْهُ
وَإِذَا نَشَأَتْ هَذِهُ الْمَيْتَةُ مِنَ الْمَائِعِ كَدُوْدِ خَلٍّ وَفَاكِهَةٍ لَمْ تُنَجِّسْهُ قَطْعًا
وَيُسْتَثْنَى مَعَ مَا ذَكَرَهَا مَسَائِلُ مَذْكُوْرَةٌ فِي الْمَبْسُوْطَاتِ سَبَقَ بَعْضُهَا فِيْ كِتَابِ الطَّهَارَةِ
(وَالْحَيَّوَانُ كُلُّهُ طَاهِرٌ إِلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيْرَ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا) مَعَ حَيَّوَانٍ طَاهِرٍ
وَعِبَارَتُهُ تَصْدُقُ بِطَهَارَةِ الدُّوْدِ الْمُتَوَلِّدِ مِنَ النَّجَاسَةِ وَهُوَ كَذَلِكَ
(وَالْمَيْتَةُ كُلُّهَا نَجَسَةٌ إِلَّا السَّمَكَ وَالْجَرَادَ وَالْآدَمِيَّ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ ابْنُ آدَمَ أَيْ مَيْتَةَ كُلٍّ مِنْهَا فَإِنَّهَا طَاهِرَةٌ
(وَيَغْسِلُ الْإِنَاءَ مِنْ وُلُوْغِ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيْرِ سَبْعَ مَرَّاتٍ) بِمَاءٍ طَهُوْرٍ (إِحَدَاهُنَّ) مَصْحُوْبَةٌ (بِالتُّرَابِ) الطَّهُوْرِ يَعُمُّ الْمَحَلَّ الْمُتَنَجِّسَ
فَإِنْ كَانَ الْمُتَنَجِّسُ بِمَا ذُكِرَ فِيْ مَاءٍ جَارٍ كَدَرٍ كَفَى مُرُوْرُ سَبْعِ جَرَيَاتٍ عَلَيْهِ بِلَا تَعْفِيْرٍ
وَإِذَا لَمْ تَزُلْ عَيْنُ النَّجَاسَةِ الْكَلْبِيَّةِ إِلَّا بِسِتِّ غَسَلَاتٍ مَثَلًا حُسِبَتْ كُلُّهَا غَسْلَةً وَاحِدَةً
وَالْأَرْضُ التُّرَابِيَّةُ لَا يَجِبُ التُّرَابُ فِيْهَا عَلَى الْأَصَحِّ.
(وِيُغْسَلُ مِنْ سَائِرِ) أَيْ بَاقِي (النَّجَاسَاتِ مَرَّةً وَاحِدَةً) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ مَرَّةً (تَأْتِيْ عَلَيْهِ وَالثَّلَاثُ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَالثَّلَاثَةُ بِالتَّاءِ (أَفْضَلُ)
وَاعْلَمْ أَنَّ غَسَالَةَ النَّجَاسَةِ بَعْدَ طَهَارَةِ الْمَحَلِّ الْمَغْسُوْلِ طَاهِرَةٌ إِنِ انْفَصَلَتْ غَيْرَ مُتَغَيِّرَةٍ وَلَمْ يَزِدْ وَزْنُهَا بَعْدَ انْفِصَالِهَا عَمَّا كَانَ بَعْدَ اعْتِبَارِ مِقْدَارِ مَا يَتَشَرَّبُهُ الْمَغْسُوْلُ مِنَ الْمَاءِ
هَذَا إِنْ لَمْ تَبْلُغْ قُلَّتَيْنِ فَإِنَّ بَلَغَتْهُمَا فَالشَّرْطُ عَدَمُ التَّغَيُّرِ
وَلَمَّا فَرَغَ الْمُصَنِّفُ مِمَّا يَطْهُرُ بِالْغَسْلِ شَرَعَ فِيْمَا يَطْهُرُ بِالْاِسْتِحَالَةِ وَهِىَ انْقِلَابُ الشَّيْئِ مِنْ صِفَةٍ إِلَى صِفَةٍ أُخْرَى فَقَالَ.
(إِذَا تَخَلَّلَتِ الْخَمْرَةُ) وَهِيَ الْمُتَّخَذَةُ مِنْ مَاءِ الْعِنَبِ مُحْتَرَمَةً كَانَتِ الْخَمْرَةُ أَمْ لَا وَمَعْنَى تَخَلَّلَتْ صَارَتْ خَلًّا وَكَانَتْ صَيْرُوْرَتُهَا خَلًّا (بِنَفْسِهَا طَهُرَتْ)
وَكَذَا لَوْ تَخَلَّلَتْ بِنَقْلِهَا مِنْ شَمْسٍ إِلَى ظِلٍّ وَ عَكْسِهِ
(وَإِنْ) لَمْ تَتَخَلَّلِ الْخَمْرَةُ بِنَفْسِهَا بَلْ (تَخَلَّلَتْ بِطَرْحِ شَيْئٍ فِيْهَا لَمْ تَطْهُرْ)
وَإِذَا طَهُرَتِ الْخَمْرَةُ طَهُرَ دُنُّهَا تَبْعًا لَهَا.


Selasa, 28 Januari 2020

IKHTIAR KESEHATAN YANG TERLUPAKAN


Hampir tidak ada orang yang ingin menderita sakit. Semua berharap selalu sehat. Walaupun realitanya setiap manusia pasti mengalami dua kondisi tersebut; sehat dan sakit. Namun kita tetap berusaha untuk menggapai kesehatan. Segala upaya dikerahkan untuk hal itu. Rajin berolahraga, mengonsumsi buah dan sayur, juga rutin memeriksakan kesehatan.

Tidak ada yang keliru dengan berbagai ikhtiar tersebut di atas. Namun sayangnya ada ikhtiar lain yang sangat urgen, justru malah kerap dilupakan. Yakni berdzikir.

Kesehatan Sempurna

Islam memberikan sebuah pemahaman yang lebih holistik mengenai kesehatan. Sehat itu mencakup kesehatan tubuh, kesehatan otak dan kesehatan hati. Itulah konsep kesehatan yang sempurna.

Banyak orang gila sehat tubuhnya, tapi sakit otaknya.

Sebaliknya tidak sedikit orang sehat otaknya, namun sakit tubuhnya.

Yang lebih parah adalah orang yang sehat tubuh dan otaknya, tapi sakit hatinya. Alias tidak patuh beribadah kepada Allah ta’ala. Sejatinya kesehatan tubuh dan otak adalah sarana untuk mencapai tujuan mulia. Yaitu mengabdi sebaik mungkin kepada Allah ‘azza wa jalla.

Kekuatan Dzikir

Setiap pagi dan petang kita diajarkan untuk meminta kesehatan kepada Allah. Redaksi doa yang dicontohkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sangat istimewa. Mari kita renungi susunan kalimatnya berikut kandungan maknanya.

"اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَدَنِي، اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي سَمْعِي، اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَصَرِي، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ"

Allohumma ‘âfinî fî badanî. Allôhumma ‘âfinî fî sam’î. Allôhumma ‘âfinî fî bashorî. Lâ ilâha illa Anta.

“Ya Allah afiatkanlah tubuhku. Ya Allah afiatkanlah pendengaranku. Ya Allah afiatkanlah penglihatanku. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Engkau”.

Doa ini dibaca tiga kali di pagi dan sore hari. (HR. Abu Dawud dan sanad_nya dinilai _hasan oleh al-Albaniy).

Dalam doa di atas kita diajari untuk minta afiat. Dalam bahasa Arab, afiat itu berarti kesehatan yang sempurna.  Bukan sehat ala kadarnya. Sehingga para ulama kita menjelaskan bahwa makna yang dikandung doa ini adalah permohonan agar tubuh kita dihindarkan dari segala jenis penyakit.  Bukan hanya penyakit fisik dan psikis, namun juga penyakit rohani. Sehingga tubuh bisa digunakan untuk beribadah dengan baik kepada Allah.

Setelah memohon afiat untuk tubuh, kita juga diperintahkan untuk memohon afiat bagi pendengaran telinga dan penglihatan mata. Mengapa kedua panca indra itu disebutkan secara khusus? Padahal sebenarnya telinga dan badan adalah bagian dari tubuh.

Sebab keduanya sangat spesial. Dengan telinga kita bisa mendengarkan ayat-ayat Allah yang tertulis dalam al-Qur’an. Adapun mata, dengannya kita bisa melihat ayat-ayat Allah dalam makhluk ciptaan-Nya di alam semesta.

Lalu doa tersebut ditutup dengan mengucapkan tahlil. Kalimat thayyibah yang mengandung penegasan bahwa satu-satunya yang berhak disembah adalah Allah ta’ala. Seakan mengingatkan kembali pada kita bahwa kesehatan itu hanya sarana bukan tujuan. Sarana untuk mencapai tujuan mulia. Yaitu beribadah dengan baik hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.

Ayo rutinkan doa dan dzikir di atas! InsyaAllah kita dikaruniai kesehatan jasmani dan rohani.

Wallohua'lam

Thoharoh

1. Pengertian Thoharoh

Thoharoh dengan harokat fathah pada huruf tho’ menurut bahasa adalah bersih. Sedangkan  menurut syara’, maka didalamnya terdapat banyak penafsiran. Diantaranya adalah ungkapan ulama’ “Melakukan sesuatu yang dengannya sholat diperbolehkan” yaitu berupa wudlu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis. Sedangkan “thuharoh” dengan harokat dlomah (pada huruf tho’) adalah sebutan bagi sisa air.

2. Macam Macam Air

Air-air yang boleh, maksudnya sah digunakan bersuci dengannya ada tujuh macam air.

1. Air langit maksudnya yang turun dari langit, yaitu hujan,

2. Air laut maksudnya air asin

3. Air sungai yaitu air tawar

4. Air sumur,

5. Air sumber air,

6. Air tsalju dan

7. Air dingin (air embun).

3. Pembagian Air

Air dibagi menjadi 4 bagian, yaitu :

Pertama ; air suci dan mensucikan atau air mutlaq, Air yang suci dzatnya menyucikan terhadap selainnya dan tidak makruh digunakan. Yaitu Air yang terbebas dari identitas yang mengikat. Maka keberadaan identitas yang tidak mengikat itu tidak membahayakan terhadap kemutlakan air.

Kedua adalah air suci menyucikan namun makruh  digunakan pada tubuh, tidak makruh pada pakaian, yaitu air Musyammas. Ialah air yang dipanaskan dengan mengandalkan pengaruh sengatan matahari padanya. Air tersebut secara  syara’ dimakruhkan penggunaanya hanya di daerah yang bercuaca panas dan air berada di wadah yang terbuat dari logam selain wadah dari dua logam mulia /emas dan perak,  sebab kejernihan elemen keduanya. Jika air tersebut telah dingin maka hilanglah hukum makruh menggunakannya. Tetapi imam An-Nawawi memilih pendapat yang menyatakan tidak makruh secara mutlak. (Selain makuh menggunakan air musyammas) dimakruhkan juga menggunakan air yang sangat panas dan sangat dingin.

Syarat dimakruhkannya air musyammas sebagai berikut:
1.Berada di daerah bercuaca panas seperti Mekah dsb. Sehingga tidak makruh jika digunakan dalam daerah yang bercuaca sedang seperti negara Mesir atau daerah Jawa dan daerah dingin seperti Syiria dsb.
2.Sengatan matahari merubah kondisi air sekira pada air muncul zat yang berasal dari karat logam.
3.Air berada pada wadah yang terbuat dari logam selain emas perak. Seperti wadah yang terbuat dari logam besi, tembaga dsb.
4.Digunakan saat suhu air sedang panas.
5.Digunakan pada kulit badan. Meskipun pada badan orang yang terkena penyakit kusta, orang mati dan hewan.
6.Dipanaskan saat cuaca panas.
7.Masih ada air selain musyammas yang dapat dipergunakan.
8.Waktu sholat masih longgar sehingga masih ada waktu untuk mencari air yang lain.
9.Tidak mendapat bahaya secara nyata atau dalam dugaan kuatnya. Jika meyakini atau menduga akan muncul bahaya maka haram hukumnya.
Bila tidak memenuhi sembilan syarat ini maka hukum menggunakannya tidak lagi makruh. Nihayat az-Zain, Darul Kutub Al-Ilmiyah, hal. 17

Ketiga adalah:
1. Air suci dalam dzatnya tidak menyucikan terhadap selainnya. Ialah air musta’mal / yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats atau najis. (Dihukumi musta’mal dengan syarat) air tidak berubah dan setelah terpisah (dari benda yang dibasuh) volume air tidak bertambah dari semula dengan mengira-ngirakan bagian air yang terserap oleh benda yang dibasuh.

2. Air yang berubah. Maksudnya yang termasuk dalam bagian ketiga ini adalah air yang berubah salah satu sifat-sifatnya disebabkan oleh sesuatu; yaitu salah satu dari benda-benda suci yang bercampur dengan air, dengan taraf perubahan yang dapat menghalangi sebutan nama air (murni) padanya*. Maka air yang seperti ini hukumnya adalah suci dalam dirinya namun tidak menyucikan. Baik perubahan itu nampak oleh panca indra atau hanya dalam perkiraan, seperti ketika air tercampur oleh benda yang sesuai (dengan air) dalam sifat-sifatnya, misal air bunga mawar yang telah hilang baunya (dicampur dengan air mutlak) dan seperti air musta’mal (dicampur dengan air mutlak).

Sehingga bila saja perubahan itu tidak mencegah penisbatan nama air mutlak padanya, dengan sekira perubahan air yang disebabkan oleh benda suci itu hanya sedikit, atau dengan sesuatu yang cocok terhadap air dalam sifatnya dan dianggap berbeda dengan air namun tidak sampai membuatnya berubah (dari kemurnian air) maka perubahan itu tidak menghilangkan sifat suci mensucikannya air. Sehingga air (yang dijelaskan terakhir ini) masih dapat mensucikan terhadap selainnya.

Al-Syaikh Al-Imam Al-’Alim Al-’Allamah Syams Ad-Din Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Qosim As-Syafi’I dalam kitab fathul qorib mengungkapkan mushonif kitab Taqrib mengecualikan dengan ungkapannya “خَالَطَهُ” dari benda yang suci yang hanya mukholith/ tidak larut pada air maka air tersebut masih berada pada status suci mensucikan meskipun perubahan air sangat nampak. Begitu pula (seperti air yang bersinggungan dengan benda suci yang dihukumi masih mensucikan) air yang berubah sebab tercampur dengan benda yang larut namun air tidak terlepas dari persinggungan dengannya. Seperti lumpur, lumut, benda-benda yang berada di tempat berdiamnya air atau di tempat mengalirnya air, dan air yang berubah disebabkan lamanya diam (tanpa gerak). Maka air-air ini (secara hukum) adalah suci mensucikan.

Keempat adalah air najis, maksudnya mutanajis. Air ini ada dua bagian:
Yang pertama adalah yang volumenya sedikit; yaitu air yang didalamnya terdapat najis baik air mengalami perubahan atau tidak dan air tersebut; maksudnya kondisi air tersebut adalah air yang kurang dari dua qullah.

Dari bagian ini dikecualikan (air kemasukan) bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang dapat mengalir saat dibunuh atau dirobek bagian tubuhnya - seperti lalat- jika (masuknya bangkai tersebut ke dalam air itu ) tidak (ada kesengajaan) memasukkannya. Begitu juga najis yang tidak terlihat oleh mata. Maka kedua najis tersebut tidak menajiskan benda cair. Juga dikecualikan beberapa kasus yang disebutkan dalam kitab-kitab besar.

Kedua : air yang mencapai 2 Qullah atau lebih. Air ini tidak najis bila terkena sesuatu yang najis, selama ia tidak berubah warna, rasa, dan bau air tersebut. Apabila ia berubah, maka air tersebut berubah menjadi najis. Adapun dalilnya adalah ijma’ ulama atas hal ini. Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata : Ibn Mundzir berkata : para ulama bersepakat bahwa air sedikit atau pun air banyak bila terkena najis kemudian berubah warna, bau dan rasanya maka air tersebut najis.


Dua qullah adalah takaran 500 Rithl Baghdad dengan mengira-ngirakannya menurut pendapat Ashah (pendapat yang lebih shohih/benar dibanding pendapat yang lain) dalam dua kriteria tersebut; (yakni takaran 500 rithl dan dengan mengira-ngirakannya). Rithl Baghdad menurut An-Nawawy adalah 128 4/7 dirham.

Namun ada lagi bagian ke lima yaitu air yang menyucikan namun haram menggunakannya. Seperti wudlu menggunakan air ghosob atau menggunakaan air yang disediakan untuk minum



Kitab Rujukan Fathul Qorib Karya Al-Syaikh Al-Imam Al-’Alim Al-’Allamah Syams Ad-Din Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Qosim As-Syafi’I

كِتَابُ أَحْكَامِ الطَّهَارَةِ

وَالْكِتَابُ لُغَةً مَصْدَرٌ بِمَعْنَى الضَّمِّ وَالجَمْعِ. وَاصْطِلَاحاً اسْمٌ لِجِنْسٍ مِنَ الأَحْكَامِ. أَمَّا الْبَابُ فَاسْمٌ لِنَوْعٍ مِمَّا دَخَلَ تَحْتَ ذَلِكَ الْجِنْسِ.
وَالطَّهَارَةُ بِفَتْحِ الظَّاءِ لُغَةً النَّظَافَةُ. وَأَمَّا شَرْعاً فَفِيْهَا تَفَاسِيْرُ كَثِيْرَةٌ. مِنْهَا قَوْلُهُمْ فِعْلُ مَا تُسْتَبَاحُ بِهِ الصَّلَاة أَيْ مِنْ وُضُوْءٍ وَغَسْلٍ وَتَيَمُّمٍ وَإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ. أَمَّا الطُّهَارَةُ بِالضَّمِّ فَاسْمٌ لِبَقِيَّةِ المَاءِ.
وَلَمَّا كَانَ المَاءُ آلَةً لِلطَّهَارَةِ اسْتَطْرَدَ المُصَنِّفُ لِأَنْوَاعِ المِيَاهِ فَقَالَ:(المِيَاهُ الَّتِيْ يَجُوْزُ) أَيْ يَصِحُّ (التَّطْهِيْرُ بِهَا سَبْعُ مِيَاهٍ مَاءُ السَّمَاءِ) أي النَّازِلُ مِنْهَا وَهُوَ المَطَرُ (وَمَاءُ البَحْرِ) أيْ المِلْحِ (وَمَاءُ النَّهَرِ) أي الحُلْوِ (وَمَاءُ البِئْرِ وَمَاءُ العَيْنِ وَمَاء الثَّلْجِ وَمَاء البَرَدِ) وَيَجْمَعُ هَذِهِ السَّبْعَةِ قَوْلُكَ: مَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ أَوْ نَبَعَ مِنَ الأَرْضِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ مِنْ أَصْلِ الخِلْقَةِ(ثُمَّ المِيَاهُ) تَنْقَسِمُ (عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ) أَحَدُهَا (طَاهِرٌ) فِيْ نَفْسِهِ (مُطَهِّرٌ) لِغَيْرِهِ (غَيْرُ مَكْرُوْهٍ اسْتِعْمَالُهُ. وَهُوَ المَاءُ المُطْلَقُ) عَنْ قَيِّدٍ لَازِمٍ فَلَا يَضُرُّ القَيِّدُ المُنْفَكُّ كَمَاءِ البِئْرِ فِي كَوْنِهِ مُطْلَقاً (وَ) الثَّانِي (طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ اسْتِعْمَالُهُ) فِي البَدَنِ لَا فِي الثَّوْبِ (وَهُوَ المَاءُ المُشَمَّسُ) أي المُسَخَّنُ بِتَأْثِيْرِ الشَّمْسِ فِيْهِ. وَإِنَّمَا يُكْرَهُ شَرْعاً بِقَطْرٍ حَارٍ فِي إِنَاءٍ مُنْطَبَعٍ إِلَّا إِنَاءَ النَّقْدَيْنِ لِصَفَاءِ جَوْهَرِهِمَا. وَإِذَا بَرَدَ زَالَتْ الكَرَاهَةُ. وَاخْتَارَ النَّوَوِيُّ عَدَمَ الْكَرَاهَةِ مُطْلَقاً. وَيُكْرَهُ أَيْضاً شَدِيْدُ السُّخُوْنَةِ وَالبُرُوْدَةِ (وَ) القِسْمُ الثَّالِثُ (طَاهِرٌ) فِي نَفْسِهِ (غَيْرُ مُطَهِّرٍ) لِغَيْرِهِ (وَهُوَ المَاءُ المُسْتَعْمَلُ) فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوْ إِزَالَة نَجْسٍ إِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ وَلَمْ يَزِدْ وَزْنُهُ بَعْدَ انْفِصَالِهِ عَمَّا كَانَ بَعْدَ اعْتِبَارِ مَا يَتَشَرَّبُهُ المَغْسُوْلُ مِنَ المَاءِ. (وَالمُتَغَيِّرُ) أَيْ وَمِنْ هَذَا القِسْمِ المَاءُ المُتَغَيِّرُ أَحَدُ أَوْصَافِهِ (بِمَا) أَيْ بِشَيْءٍ (خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ) تَغَيُّراً يَمْنَعُ إِطْلَاقَ اسْمِ المَاءِ عَلَيْهِ. فَإِنَّهُ طَاهِرٌ غَيْرُ طَهُوْرٍ حِسِّيًّا كَانَ التَّغَيُّرُ أَوْ تَقْدِيْرِيًّا. كَأَنْ اخْتَلَطَ بِالمَاءِ مَا يُوَافِقُهُ فِي صِفَاتِهِ كَمَاءِ الوَرْدِ المُنْقَطِعِ الرَّائِحَةِ وَالمَاءِ المُسْتَعْمَلِ فَإِنْ لَمْ يَمْنَعْ إِطْلَاقَ اسْمِ المَاءِ عَلَيْهِ بِأَنْ كَانَ تَغَيُّرُهُ بِالطَّاهِرِ يَسِيْراً أَوْ بِمَا يُوَافِقِ المَاءَ فِي صِفَاتِهِ وَقُدِّرَ مُخَالِفاً وَلَمْ يُغَيِّرْهُ فَلَا يَسْلُبُ طَهُوْرِيَّتَهُ. فَهُوَ مُطَهِّرٌ لِغَيْرِهِ.وَاحْتَرَزَ بِقَوْلِهِ خَالَطَهُ عَنِ الطَّاهِرِ المُجَاوِرِ لَهُ. فَإِنَّهُ بَاقٍ عَلَى طَهُوْرِيَّتِهِ. وَلَوْ كَانَ التَّغَيُّرُ كَثِيْراً وَكَذَا المُتَغَيِّرُ بِمُخَالِطٍ. لَا يَسْتَغْنِي المَاءُ عَنْهُ كَطِيْنٍ وَطُحْلَبٍ. وَمَا فِي مَقَرِّهِ وَمَمَرِّهِ. وَالمُتَغَيِّرُ بِطُوْلِ المُكْثِ فَإِنَّهُ طَهُوْرٌ. (و) القِسْمُ الرَّابِعُ (مَاءُ نَجْسٍ) أي مُتَنَجِّسٌ وَهُوَ قِسْمَانِ أَحَدُهُمَا قَلِيْلٌ (وَهُوَ الَّذِيْ حَلَّتْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ) تَغَيَّرَ أَمْ لَا (وَهُوَ) أَيْ وَالحَالُ أَنَّهُ مَاءٌ (دُوْنَ القُلَّتَيْنِ) وَيُسْتَثْنَى مِنْ هَذَا القِسْمُ المَيْتَةُ الَّتِيْ لَا دَمَ لَهَا سَائِلٌ عِنْدَ قَتْلِهَا أَوْ شَقِّ عُضْوٍ مِنْهَا كَالذُّبَابِ إِنْ لَمْ تُطْرَحْ فِيْهِ وَلَمْ تُغَيِّرْهُ. وَكَذَا النَّجَاسَةُ الَّتِيْ لَا يُدْرِكُهَا الطَّرْفُ. فَكُلٌّ مِنْهُمَا لَا يُنْجِسُ المَائِعَ وَيُسْتَثْنَى أَيْضاً صُوَرٌ مَذْكُوْرَةٌ فِي المَبْسُوْطَاتِ. وَأَشَارَ لِلْقِسْمِ الثَّانِي مِنَ القِسْمِ الرَّابِعِ بِقَوْلِهِ (أَوْ كَانَ) كَثِيْراً (قُلَّتَيْنِ) فَأَكْثَرَ (فَتَغَيَّرَ) يَسِيْراً أَوْ كَثِيْراً. (وَالْقُلَّتَانِ خَمْسُمِائَةِ رِطْلٍ بَغْدَادِيٍّ تَقْرِيْباً فِي الأَصَحِّ) فِيْهِمَا وَالرِّطْلُ البَغْدَادِيُّ عِنْدَ النَّوَوِيِّ مِائْةٌ وَثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُوْنَ دِرْهَماً وَأَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ. وَتَرَكَ المُصَ
نِّفُ قِسْماً خَامِساً وَهُوَ المَاءُ المُطَهِّرُ الحَرَامُ كَالوُضُوْءِ بِمَاءٍ مَغْصُوْبٍ أَوْ مُسَبَّلٍ لِلشُّرْبِ

Wallohu A'lam

Minggu, 19 Januari 2020

Rukun Islam

RUKUN ISLAM

Dalil rukun islam

عن أبي عـبد الرحمن عبد الله بن عـمر بـن الخطاب رضي الله عـنهما ، قـال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسـلم يقـول : بـني الإسـلام على خـمـس : شـهـادة أن لا إلـه إلا الله وأن محمد رسول الله ، وإقامة الصلاة ، وإيـتـاء الـزكـاة ، وحـج البيت ، وصـوم رمضان

Dari Abu Abdirrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khathab radhiallahu 'anhuma berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda: "Islam didirikan diatas lima perkara yaitu bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah secara benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke baitullah dan berpuasa pada bulan ramadhan".

[Bukhari no.8, Muslim no.16]

Rukun Islam ada lima yaitu:

1.Mengucapkan dua kalimat syahadat; artinya mengaku tidak ada Tuhan yang wajib disembah, melainkan Allah, dan mengakui bahwa Nabi Muhammad saw adalah Utusan Allah.
2.Mengerjakan shalat lima waktu sehari semalam .
3.Mengeluarkan zakat .
4.Berpuasa dalam bulan Ramadlan.
5.Menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.



1. Mengucap Dua Kalimat Syadahat

Syarat yang paling pertama seseorang untuk menjadi seorang muslim adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. makna Syahadat adalah mengucap dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mengamalkan melalui perbuatannya. Bunyi 2 kalimat syahadat yaitu:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Asyhadu an laa ilaaha illallāh wa asyhadu anna Muhammadarrasuulullāh.’

Artinya: ‘Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul (utusan) Allah.’



2. Melakukan Sholat Fardhu 5 Waktu

Rukun islam yang kedua adalah sholat. Sebagai seorang muslim maka ia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan sholat fardhu 5 waktu. (subuh, zuhur, ashar, magrib dan insya). Apabila dia tidak melaksanakan sholat berarti dirinya tidak disebut sebaagi islam. Karena sholat adalah tiangnya agama, dan yang paling utama dihisab diakhirat kelak.

Perintah sholat disebutkan dalam Al-quran surat Surat Al ankabut ayat 45:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Arti : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu daripada al-Kitab dan dirikanlah shalat; sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang keji dan yang munkar. Dan sesungguhnya ingat akan Allah itu adalah lebih besar. Dan Allah Mengetahui apa pun yang kamu perbuat.” (QS. Al-Ankabut : 45)



3. Berpuasa dibulan ramadhan

Rukun islam yang ketiga adalah berpuasa dibulan ramadhan. Puasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

4. Membayar Zakat fitrah

Rukun islam yang ke eempat adalah membayar zakat. Zakat adalah sesuatu yang harus dikeluarkan oleh seseorang kepada orang tertentu dengan qadar tertentu pula.

Zakat ada 2 yaitu :
pertama: zakat fitrah yaitu zakat yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim pada saat hari raya idul fitri ( akhir dari bulan ramadhan) berupa makanan pokok yang dimakannya sehari-hari.

Kedua : zakat mal yautu zakat zakat hasil perniagaan, yang wajib dikeluarkan seseorang apabila sudah sampai nisab.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ


Artinya:

"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'."


5. Melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu

Rukun islam yang terakhir adalah melaksanakan ibadah haji. Ini dikhususkan bagi orang-orang yang sudah mampu dari segi hartanya.



Perintah melaksanakan haji dalam Al-quran Surat Ali imran ayat 97:

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ


Artinya:

"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."