Minggu, 23 Februari 2020

Bacaan adzan



Berikut bacaan lafadz adzan yang ditulis dengan bentuk 2 versi dan terjemahnya.

Bacaan lafadz adzan versi arabic

(2x) اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر

(2x) أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّاللهُ

(2x) اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

(2x) حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ

(2x) حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ

(1x) اَللهُ اَكْبَر , اَللهُ اَكْبَر

(1x) لاَ إِلَهَ إِلاَّالله



Bacaan lafadz adzan versi latin (Tulisan indonesia)

Allaahu Akbar Allaahu Akbar. (2X)

Asyhadu an laa illaaha illallaah. (2X)

Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. (2X)

Hayya 'alas-shalaah (2X)

Hayya 'alal-falaah. (2X)

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar (1x)

Laa ilaaha illallaah (1x)


Artinya :

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.

Aku menyaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allah.

Aku menyaksikan bahwa nabi Muhammad itu adalah utusan Allah.

Marilah Sembahyang (sholat).

Marilah menuju kepada kejayaan.

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.

Tiada Tuhan selain Allah.


Jika untuk adzan yang dikumandangkan saat akan menunaikan ibadah sholat shubuh, maka tambahkan lafadz


اَلصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ ، اَلصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ


Latin ;

( Ash-shalaatu khairum minan-nauum )

yang artinya

“ Sholat itu lebih baik dari pada tidur ”


dan dibaca 2x setelah lafadz Hayya 'alal-falaah


( حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ )

Sabtu, 22 Februari 2020

Adzan & Iqomah


Bacaan lafadz adzan dan iqomah adalah bacaan yang harus diketahui. Sebelum kita sholat pasti kita melafalkannya sebagai tanda bahwa waktu sholat telah tiba.

Sebelum shalat kita disunatkan mengerjakan adzan dan iqamah. Adzan ialah kata - kata seruan yang tertentu untuk memberi tahukan akan masuknya waktu shalat fardlu. Adapun iqamah ialah kata - kata sebagai tanda bahwa shalat akan dimulai. Shalat - shalat sunat tidak disunatkan menggunakan adzan dan iqamah, kecuali shalat sunat yang disunatkan berjama'ah, seperti tarawih, shalat'ied dan sebagainya, cukup dengan memakai seruan:

ASH-SHALAATUL JAMIAH

Artinya:
"Marilah kita bersama-sama mengerjakan shalat berjama'ah".
Atau dengan seruan dalam shalat tarawih, misalnya:
mengucapkan:

ASH SHALAATUT TARAAWIIHI RAHIMAKUMULLAAHU

.
Artinya:
"Kerjakanlah shalat tarawih semoga Allah melimpahkan rahmat kepada kamu sekalian".

Adzan dan iqamah hukumnya sunnat mu'akkad bagi shalat fardlu, baik dikerjakan berjama'ah maupun sendirian(munfarid).Disunatkan dengan suara yang keras kecuali di mesjid yang sudah dilakukan (sedang dilakukan shalat berjama'ah). Dikerjakan dengan berdiri dan menghadap kiblat.

Begitupun membaca do'a sesudah adzan adalah suatu hal yang baik dan usahakan jangan pernah ditinggal untuk dilafalkan supaya pahala kita terus bertambah dan kita mendapatkan faedah lain dari do'a itu.

Jika kita mau membaca do'a setelah adzan secara rutin, besar kemungkinan nanti akhlak kita akan terbawa menjadi akhlak yang baik dengan sendirinya.

Namun apakah kalian sudah tau dan hafal bunyi bacaan adzan, iqomah serta do'a sesudah adzan?

Jika belum, mari simak bersama-sama ulasan dibawah ini. Ulasan ini mempermudah kita semua yang belum atau sudah bisa membaca Al-Qur'an. Karena bacaan Adzan dibawah ini ditulis dalam bentuk bahasa arab dan latin (dalam tulisan indonesia).

Penulis sangat berharap besar semoga para generasi kita menjadi lebih baik dan semakin mudah dalam belajar, khususnya dalam mempelajari hal ini.

SYARAT SYARAT MUADZ-DZIN .
1. Beragama Islam.
2. Tamyiz dan laki-laki.
Makruh bagi orang yang berhadas keci latau besar. Dan disunatkan menyerukan adzan dengan suara yang nyaring dan merdu.

Jumat, 21 Februari 2020

Membasuh Muzah



Muzah disini adalah sepatu dari kulit (tidak tembus air) yang sampai menutup mata kaki dan kuat untuk digunakan berjalan. Mengusap muzah adalah sebagai pengganti membasuh kaki ketika wudlu. Namun sebelum memakainya harus sudah wudlu, baru wudlu berikutnya bisa dengan mengusap muzah.

Mengusap khuf/muzah itu boleh dengan 3 (tiga) syarat:
1. Memakai khuf/muzah setelah suci dari hadats kecil dan hadats besar.
2. Khuf/muzah menutupi mata kaki .
3. Dapat dipakai untuk berjalan lama.
4. Jangan ada di dalam khuf/muzah itu najis atau kotoran

Orang mukim dapat memakai khuf selama satu hari satu malam (24 jam). Sedangkan musafir selama 3 (tiga) hari 3 malam.

Masanya dihitung dari saat hadats (kecil) setelah memakai khuf. Apabila memakai khuf di rumah kemudian bepergian atau mengusap khuf di perjalanan kemudian mukim maka dianggap mengusap khuf untuk mukim.

Mengusap khuf batal oleh 3 (tiga) hal:
1) Melapasnya,
2) Habisnya masa,
3) Hadats besar.

Tambahan :
Tata cara Mengusap Khuf
Mengusap khuf dilakukan sebagai ganti dari membasuh kaki saat berwudhu karena itu waktu pengusapan adalah saat giliran membasuh kaki saat wudhu.
Caranya adalah mengusapkan air (tanpa mengalirkan) ke bagian atas khuf atau punggung kaki (kebalikan telapak kaki).

Menyapu dua sepatu hanya boleh untuk berwudlu', tetapi tidak boleh untuk mandi, atau untuk menghilangkan najis. Menyapu dua sepatu tidak boleh bila salah satu syarat tidak cukup. Misalnya salah satu dua sepatu itu robek, atau salah satu kakinya tidak dapat menggunakan sepatu karena luka. Keringanan ini diberikan bagi yang musafir selama tiga hari tiga malam sedang yang bermukim boleh menyapu sepatunya hanya untuk sehari semalam.

Kamis, 20 Februari 2020

Cara Berwudlu Anggota Badan yang Diperban



Dalam aktivitas sehari-hari, seringkali kita menemui atau malah mengalami musibah-musibah yang tidak diinginkan. Musibah itu bisa berupa kecelakaan atau penyakit-penyakit yang menyulitkan. Tentu saja kita senantiasa berlindung dan berdoa kepada Allah agar diberikan keselamatan dalam setiap aktivitas kita.

Tapi jika memang kecelakaan atau penyakit tersebut tiba-tiba menimpa kita, selain tetap berikhtiar dan memohon kesembuhan, tentu ada hal-hal yang membuat kita berpikir, seperti “Bagaimana ya semisal kecelakaan atau penyakit ini menyebabkan luka yang tidak boleh terkena air sehingga menimbulkan halangan untuk wudlu?” Atau, misal pada suatu waktu, ada perawatan dan pengobatan oleh dokter yang tidak menyarankan terkena air. Bagaimana menindaklanjutinya untuk ibadah?

Fiqih Islam memberikan jalan keluar bagi yang memiliki uzur untuk melakukan wudlu, disebabkan oleh luka maupun penyakit yang menyebabkannya diperban, yang dilarang terkena air dulu agar segera sembuh.

Dalam kitab Fathul Qaribil Mujib yang merupakan syarah dari kitab Taqrib karangan Syekh Abu Syuja’ disebutkan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan saat berwudlu bagi shahibul jaba’ir, orang-orang yang diperban.

1. Bagian anggota wudlu yang masih sehat, dibasuh terlebih dahulu dengan wudlu sebagaimana biasanya. Semisal di bagian yang diperban itu tidak menutupi seluruh bagian anggota wudlu yang wajib dibasuh, maka ia sebisa mungkin dibasuh terlebih dahulu.

2. Mengusap di atas bagian anggota wudlu yang diperban. Mengusapnya tidak perlu sampai basah, hanya sekadar di atas perban tersebut. Jika luka itu tidak diperban, maka tidak perlu diusap.

3. Mengganti wudlu yang basuhannya tidak sempurna pada anggota wudlu yang diperban itu dengan melakukan tayamum. Tayamum yang dilakukan sama seperti tayamum biasanya, yaitu dengan debu mengusap wajah dan kedua tangan.

Bagaimana semisal hendak melakukan shalat lagi? Semisal seseorang belum batal wudlunya, tapi sudah masuk waktu shalat fardlu yang lain, maka ia hanya melakukan tayamum lagi. Patut diketahui bahwa tayamum itu diperbarui di setiap shalat fardlu. Sedangkan untuk shalat sunah, maka sekiranya belum batal wudlunya, ia tetap sah dilakukan tanpa memperbarui tayamum.

Selanjutnya, keringanan ini dilakukan tanpa ada batasan waktu tertentu. Seorang yang terkena uzur ini, baik dengan perban maupun tidak, tetap boleh melakukan tatacara di atas sampai sekiranya lukanya sembuh dan sudah diperkenankan terkena air lagi.

Rabu, 19 Februari 2020

Permasalahan dalam tayamum


Pembatal Tayamum

Setiap hadats yang membatalkan wudhu, maka itu juga yang menjadi pembatal tayamum. Hal ini tidak ada khilaf (perselisihan) di antara para ulama. (Al Muhalla, 2: 122)

Mendapati Air Sebelum Shalat

Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa siapa saja yang bertayamum setelah berusaha mencari air, namun tidak mendapatinya, kemudian ia mendapati air sebelum masuk waktu shalat, tayamumnya ketika itu menjadi batal. Ketika itu, tayamumnya tidak bisa mencukupi untuk shalat. Keadaannya menjadi kembali seperti keadaan sebelum tayamum. Dan para ulama berselisih pendapat jika ia mendapati air setelah masuk waktu shalat.” (Al Istidzkar, 1: 314)

Mengetahui Adanya Air di Tengah Shalat

Jika seseorang sudah bertayamum karena tidak mungkin menggunakan air, lalu ia shalat, kemudian ada info telah ada air sedangkan ketika itu ia berada dalam shalat, apakah shalatnya mesti diputus atau disempurnakan?

Dalam masalah ini ada perselisihan. Pendapat lebih tepat adalah ia tetap melanjutkan atau menyempurnakan shalatnya karena tidak adanya dalil yang mengharuskan shalatnya mesti diputus. Sebagaimana orang yang berpuasa dengan niatan menunaikan kafaroh, lalu ia temukan adanya budak di tengah ia berpuasa, puasanya tidak jadi sia-sia. (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 204-205)

Menemukan Air di Waktu Shalat Setelah Sebelumnya Shalat dengan Tayamum

Dalam kondisi seperti ini, apakah perlu shalat pertama yang dilakukan dengan tayamum diulang?

Pendapat yang tepat dalam masalah ini, shalatnya tidak perlu diulang. Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al Khudri berikut.

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ خَرَجَ رَجُلاَنِ فِى سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِى الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلاَةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِى لَمْ يُعِدْ « أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلاَتُكَ ». وَقَالَ لِلَّذِى تَوَضَّأَ وَأَعَادَ « لَكَ الأَجْرُ مَرَّتَيْنِ »

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata, “Ada dua orang pria keluar melakukan safar, lalu datang waktu shalat. Ketika itu keduanya tidak mendapati air. Akhirnya mereka bertayamum dengan tanah yang suci, kemudian mereka shalat. Masih di waktu shalat, mereka pun mendapati air. Salah satu dari mereka mengulangi shalat dengan berwudhu. Yang lainnya tidak mengulangi shalatnya. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian mereka pada beliau. Lantas beliau bersabda pada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah menjalani sunnah dan shalatmu sah.” Lalu beliau bersabda pula pada orang yang mengulangi shalatnya, “Engkau mendapatkan dua pahala.” (HR. Abu Daud no. 338 dan An Nasai no. 433. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits tersebut) (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 205-206)

Apa maksud mencari air?

Seseorang yang ingin bertayammum kerana ketiadaan air, wajib ia berusaha mencari air terlebih dahulu di kawasan sekitarnya. Jika air tiada di rumah, hendaklah ia pergi ke masjid umpamanya atau ke rumah berdekatan moga-moga menemui air. Jangan semata-mata tiada air di rumah, lalu ia pun bertayammum. Setelah pasti benar-benar tidak ada air, barulah bertayammum. Mencari air itu wajib diulangi setiap kali hendak bertayammum.[6] Tidak cukup dengan pencarian ketika kali pertama bertayammum saja.

Bagaimana jika ada air, namun tidak mencukupi untuk bersuci, adakah digunakan air baru tayammum atau terus tayammum?

Ada dua pandangan ulama bagi masalah ini;

Pandangan pertama;
wajib digunakan air yang ada itu, kemudian barulah bertayammum bagi anggota yang tidak dapat dicuci dengan air. Pandangan ini merupakan mazhab Imam Ahmad dan Imam Syafi’ie (dalam qaul jadidnya).

Pandangan kedua;
hendaklah terus bertayammum dan tinggalkan air itu. Pandanagn ini adalah pandangan jumhur ulamak yang terdiri dari al-Hasan, az-Zuhri, Hammad, Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’ie (dalam qaul qadimnya), Ibnu al-Munzir dan al-Muzanie (murid Imam Syafi’ie).

Kalau seseorang itu lupa bahawa dalam kenderaannya ada air atau ia lupa ada menyimpan air di satu tempat, lalu ia pun bertayammum dan mengerjakan solat; bagaimana hukumnya?

Ada dua pandangan ulamak bagi masalah ini;

Pertama;
menurut Imam Syafi’ie dan Imam Ahmad; tidak dipakai tayammum itu, yakni solatnya wajib diulangi semua setelah mengambil wudhuk dengan air tersebut. Hujjah mereka ialah; thoharah dengan air adalah perintah yang wajib. Ia tidak gugur semata-mata kerana lupa.

Kedua;
menurut Imam Abu Hanifah; dipakai tayammum itu, yakni solatnya sah kerana lupa adanya air membawa ia kepada tidak dapat menggunakan air, maka halnya sama seperti orang yang ketiadaan air.

Adakah tayammum hanya harus dengan tanah saja? Bolehkah bertayammum dengan selain tanah?

Ada beberapa pandangan ulamak dalam masalah bahan yang harus digunakan untuk bertayammum;

Pertama; jumhur ulamak (mazhab Imam Syafi’ie, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf dan Daud az-Dzahiri) mensyaratkan tayammum hendaklah dengan tanah, tidak harus dengan pasir, batu, kapur dan sebagainya yang tidak dikategorikan sebagai tanah. Dan disyaratkan tanah itu pula hendaklah berdebu (yakni dapat melekat pada tangan bila ditepuk) dan bersih.

Kedua; Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pula berpendapat; tidak khusus kepada tanah sahaja. Harus tayammum dengan segala yang ada di atas permukaan bumi; tidak hanya tanah, tetapi juga pasir, kapur, batu dan seumpamanya. Malah menurut Imam Malik; harus tayammum dengan salji dan setiap yang melapisi permukaan bumi. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan bahan-bahan untuk bertayammum itu berdebu. Oleh itu, pada pandangan mereka; harus bertayammum di atas batu yang tidak ada debu atau di atas tanah licin yang tidak ada debu yang melekat di tangan apabila ditepuk di atasnya.

Adakah harus bertayammum dengan menepuk di dinding, di atas permaidani, di pakaian, di belakang binatang kendaraan atau sebagainya?

Ada dua pandangan ulama;

Pertama; mengikut pandangan mazhab Syafi’ie dan Ahmad; harus jika di atas tempat-tempat yang ditepuk itu ada terdapat debu yang dapat melekat di tangan sebagaimana yang disyaratkan tadi. Jika tidak terdapat debu padanya, tidak harus tayammum.

Kedua; mengikut Imam Malik; tidak harus melakukan tayammum dengan menepuk ke atas debu yang terdapat di atas pakaian, permaidani dan sebagainya itu. Menurut beliau, tayammum hendaklah dengan menepuk terus ke atas bumi.

Adakah disyaratkan masuk waktu sahnya tayammum?

Ada dua pandangan ulama;

Pertama;
jumhur ulamak (terdiri dari mazhab Imam Malik, Syafi’ie, Ahmad dan lain-lain) berpandangan; tidak sah tayammum melainkan setelah masuk waktu solat sama ada tayammum kerana keputusan air atau kerana tidak mampu menggunakan air. Maksud ‘masuk waktu’ ialah tiba waktu yang mengharuskan suatu solat itu dilakukan. Disyaratkan masuk waktu kerana tayammum adalah toharah darurat seperti mana toharah wanita yang istihadhah di mana kedua-duanya tidak menghilangkan hadas, akan tetapi dilakukan hanya untuk mengharuskan solat sahaja. Maka sebagaimana wanita yang istihadhah tidak harus mengambil wudhuk melainkan setelah masuk waktu, begitu juga orang yang ingin melakukan tayammum juga tidak harus melakukannya melainkan setelah masuk waktu solat.

Kedua;
Imam Abu Hanifah berpandangan; tayammum tidak terikat dengan waktu, yakni harus melakukan tayammum sekalipun belum masuk waktu. Beliau mengkiaskannya dengan wudhuk dan toharah-toharah yang lain (mandi, menyapu khuf, menghilangkan najis). Sebagaimana wudhuk harus dilakukan sebelum masuk waktu solat, maka tayammum juga sedemikian kerana ia disyariatkan sebagai ganti kepada kedua-duanya.[10]

Apakah syarat tayammum bagi orang sakit atau luka?

Tidak semua jenis sakit atau luka mengharuskan tayammum. Sakit atau luka yang mengharuskan tayammum ialah sakit atau luka yang penggunaan air ditakuti akan menyebabkan at-talaf (kematian atau kemusnahan anggota) atau mendatangkan mudarat pada badan. Ia merangkumi;

Akan menyebabkan kematian atau kerosakan pada aggota (التلف); lumpuh dan sebagainya.

Penggunaan air menimbulkan penyakit yang membawa kematian atau kerosakan anggota.

Menyebabkan sakit bertambah teruk atau penyakit semakin melarat.

Menyebabkan lambat sembuh

Menyebabkan kesakitan yang tidak tertanggung.

Menimbulkan kecacatan dan kejelikan yang ketara pada badan; seperti kulit menjadi hitam atau sebagainya.

Kesan-kesan yang dibimbangi tersebut dari penggunaan air hendaklah disahkan oleh pengalaman sendiri atau berdasarkan makluman dari doktor yang mahir. Menurut mazhab Syafi’ie; doctor itu hendaklah muslim dan adil (tidak fasiq). Tidak diterima pengakuan atau pengesahan dari doctor kafir atau fasiq. Namun menurut mazhab Imam Malik; harus memakai pandangan atau makluman dari doktor kafir jika tidak ada doktor muslim.

Sejauh manakah ibadah yang harus dilakukan dengan tayammum?

Tayammum mengharuskan apa yang diharuskan dengan wudhuk dan mandi. Seorang yang bertayammum harus mengerjakan solat fardhu, solat sunat, sujud tilawah, sujud syukur, membawa mushaf, membaca al-Quran dan beriktikaf. Hukum ini telah disepakati oleh ulamak.

Namun para Fuqahak berikhtilaf dalam menentukan bilangan solat fardhu yang harus dikerjakan dinisbahkan kepada satu tayammum yang dilakukan. Di sana ada tiga pandangan;

Pandangan pertama; tayammum sama seperti wudhuk iaitu tidak terikat dengan bilangan solat. Selagi tayammum tidak batal –iaitu dengan menjumpai air atau dengan berlakunya hadas-, maka harus untuk melakukan dengan tayammum itu seberapa banyak solat yang dikehendaki sama ada fardhu atau sunat dan tanpa mengira waktu. Pandangan ini merupakan pendapat Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan, az-Zuhri, as-Tsauri, Imam Abu Hanifah, al-Muzani dan ar-Ruyani.

Pandangan kedua; Jumhur ulamak yang terdiri dari Saidina ‘Ali, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas, as-Sya’bi, an-Nakha’ie, Qatadah, Yahya al-Ansari, Rabi’ah, Malik, Syafi’ie, al-Laits, Ishaq dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat; satu tayammum hanya untuk satu solat fardhu atau satu ibadah wajib sahaja. Oleh demikian, tidak harus menjamakkan dua solat dengan satu tayammum atau melakukan dua tawaf atau melakukan satu solat fardhu dengan satu tawaf fardhu, menghimpunkan dua solat nazar atau antara satu solat fardhu dengan satu solat nazar. Hendaklah diperbaharui tayammum untuk setiap solat fardhu yang hendak dilakukan setelah dipastikan tidak air terlebih dahulu. Adapun solat sunat, harus dilakukan seberapa banyak yang dikehendaki.

Pandangan ketiga; Imam Abu Tsur dan fuqahak mazhab Hanbali. Mereka berpandangan; Tayammum terikat dengan waktu di mana satu tayammum hanya bagi satu waktu solat fardhu sahaja. Seorang yang bertayammum boleh melakukan apa sahaja solat yang dikehendaki sama ada solat fardhu dalam waktu, solat fardhu yang luput, menjamakkan dua solat dan seberapa banyak solat sunat yang diingini selama belum masuk waktu lain. Apabila masuk waktu lain, batallah tayammum dan wajib diulangi semula tayammum bagi mengharuskan solat kembali. Kedaaannya menyamai seorang wanita istihadhah atau orang-orang lainnya yang melakukan toharah darurat.

Apakah anggota-anggota tayammum?

Berdasarkan ayat al-Quran tadi dan hadis-hadis Nabi s.a.w. (sebahagiannya telah kita sebutkan tadi), anggota tayammum hanya dua sahaja (sama ada tayammum bagi menggantikan wudhuk atau bagi menggantikan mandi) yaitu;

Muka

Dua tangan

Mengenai muka tidak ada khilaf di kalangan ulamak bahawa keseluruhan kawasan muka yang wajib dibasuh ketika mengambil wudhuk, maka ketika tayammum kawasan muka tersebut wajib diratai dengan debu. Adapun tangan, maka para ulamak berbeza pandangan tentang kawasan yang wajib disapui debu;

Pertama; mengikut jumhur atau majoriti ulamak iaitu Saidina ‘Ali, Ibnu ‘Umar, al-Hasan al-Basri, as-Sya’bi, Salim bin Abdullah, Imam Malik, al-Laits, Imam Abu Hanifah dan Syafi’ie; kawasan tangan yang wajib disapui debu adalah sama sebagaimana yang wajib dibasuh ketika mengambil wudhuk iaitu bermula dari hujung jari hinggalah ke siku.[20] Mereka berdalilkan –antaranya- sabda Nabi s.a.w.; “Tayammum itu dua kali tepukan, sekali untuk disapu ke muka dan sekali untuk di sapu ke kedua tangan hingga ke siku”.[21]

Kedua; sekumpulan ulamak yang terdiri dari ‘Atho, Makhul, al-Auza’ie, Imam Ahmad, Ishaq, Imam Syafi’ie (mengikut qaul qadimnya sebagaimana diceritakan oleh Abu Tsur)[22] dan disokong oleh Ibnu al-Munzir berpandangan; kawasan tangan yang wajib disapui debu ketika tayammum hanyalah sampai ke pergelangan tangan sahaja.[23] Mereka berdalilkan hadis kisah ‘Ammar (yang telah kita kemukakan tadi) di mana Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya; “Sesungguhnya memadai kamu menepuk dua tapak tangan kamu ke tanah, kemudian kamu hembusnya (untuk menipiskan sedikit debu di tapak tangan itu) dan seterusnya kamu sapukan debu ke muka dan ke dua tangan kamu (hingga pergelangannya)”.[24] Adapun hadis yang dijadikan hujjah oleh jumhur tadi ia adalah dhaif. Sebenarnya ia hanyalah pandangan Ibnu Umar, bukan sabda Nabi s.a.w..

Menurut Imam Nawawi; pandangan kedua di atas adalah kuat dari segi dalilnya dan lebih hampir kepada kehendak as-Sunnah.[25]

Berapakah bilangan tepukan yang wajib semasa melakukan tayammum?

Rentetan dari khilaf di atas, berlaku pula khilaf dalam menentukan berapakah bilangan tepukan ke tanah yang mesti dilakukan oleh orang yang melakukan tayammum? Mengikut jumhur ulamak tadi; tayammum wajib dengan sekurang-kurangnya dua kali tepukan ke tanah; satu tepukan untuk disapu ke muka dan satu tepukan lagi untuk disapu kepada dua tangan hingga ke siku. Jika dua kali tepukan itu mencukupi untuk menyapu keseluruhan kawasan muka dan tangan (hingga ke siku), tidak perlu lagi ditambah. Jika tidak, wajiblah tepukan itu ditambah hingga debu meratai seluruh kawasan yang wajib disapu itu.[26]

Adapun pandangan kedua di atas (‘Atho, Makhul, al-Auza’ie, Imam Ahmad, Ishaq dan disokong oleh Ibnu al-Munzir), mereka menegaskan; yang wajib ialah sekali tepukan sahaja untuk kedua-dua anggota tayammum iaitu muka dan dua tangan hingga pergelangannya.

Bilakah batalnya tayammum?

Tayammum adalah bersuci gantian bagi wudhuk. Apabila berlaku kepada orang yang bertayammum perkara-perkara yang boleh membatalkan wudhuk sebagaimana yang telah kita jelaskan dalam tajuk yang lalu (contohnya, ia telah terkentut atau tersentuh kemaluan atau sebagainya), maka batallah tayammumnya. Kesimpulannya, perkara-perkara yang membatalkan wudhuk juga akan membawa kepada batalnya tayammum.

Bagi orang yang bertayammum kerana ketiadaan air, tayammumnya batal apabila telah bertemu air. Sebaik bertemu air, dengan sendiri tayammumnya terbatal. Apabila hendak solat semula, wajib ia mengambil wudhuk, yakni tidak cukup dengan tayammumnya tadi sekalipun ia tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan tayammumnya. Jika ia bertayammum tadi kerana ganti mandi wajib, hendaklah ia mandi wajib sebelum mengerjakan solat berikutnya.

Jika seorang bertayammum, kemudian belum sempat mengerjakan solat ia telah menemui air, tidak harus ia menunaikan solat dengan tayammum itu, akan tetapi hendaklah mengambil wudhuk, kemudian baru tunaikan solat. Ini kerana tayammumnya dengan sendiri terbatal dengan kerana bertemu air sekalipun belum sempat mengerjakan solat. Jika air ditemui semasa sedang solat (seperti ada orang memberitahunya semasa sedang solat itu), jika ia ingin meneruskan solatnya diharuskan dan solatnya sah. Namun sebaik-baiknya ialah ia menghentikan solatnya, kemudian mengambil wudhuk dan melakukan semula solat. Jika air ditemui setelah selesai solat, sah lah solat yang ditunaikan sebelum bertemu air itu dan tidak perlu diulangi semula sekalipun waktu masih ada.

Jika bertayammum kerana keuzuran (seperti sakit, sejuk keterlaluan dan sebagainya), tayammum dikira terbatal sebaik sahaja hilang keuzuran. Contohnya; jika seseorang bertayammum kerana sakit, maka sebaik ia sembuh dari sakit, batallah tayammumnya.