Minggu, 24 Februari 2019

Tawkal

Sebagian orang menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Contohnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, “Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban.”

Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakal?! Semoga pembahasan kali ini dapat menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakal yang sebenarnya dan apa saja faedah dari tawakal tersebut.

Tawakal yang Sebenarnya

Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49 mengatakan, “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata‘.”

Tawakal Bukan Hanya Pasrah

Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha.

Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.” (QS. An Nisa [4]: 71). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal [8]: 60). Juga firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.

Sahl At Tusturi mengatakan, “Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan -pen). Barang siapa mencela tawakal (tidak mau bersandar pada Allah, pen) maka dia telah meninggalkan keimanan. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam)

Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang

Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)

Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)

Al Munawi juga mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rezeki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah)

Tawakal yang Termasuk Syirik

Setelah kita mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap hamba tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi Allah ta’ala semata.

Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakal adalah amalan hati yaitu ibadah hati semata (Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 2/96). Sedangkan setiap ibadah wajib ditujukan kepada Allah semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada selain Allah maka berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga apabila seseorang bertawakal dengan menyandarkan hati kepada selain Allah -yaitu sebab yang dilakukan-, maka hal ini juga termasuk kesyirikan.

Tawakal semacam ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam), apabila dia bertawakal (bersandar) pada makhluk pada suatu perkara yang tidak mampu untuk melakukannya kecuali Allah ta’ala. Seperti bersandar pada makhluk agar dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan di akhirat, atau untuk segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah kubur dan wali. Mereka menyandarkan hal semacam ini dengan hati mereka, padahal tidak ada siapapun yang mampu mengabulkan hajat mereka kecuali Allah ta’ala. Apa yang mereka lakukan termasuk tawakal kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada seorang makhluk pun memenuhinya. Perbuatan semacam ini termasuk syirik akbar. Na’udzu billah min dzalik.

Sedangkan apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah ditakdirkan (ditentukan) oleh Allah, namun dia menganggap bahwa sebab itu bukan hanya sekedar sebab (lebih dari sebab semata), seperti seseorang yang sangat bergantung pada majikannya dalam keberlangsungan hidupnya atau masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik ashgor (syirik kecil) karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab tersebut.

Tetapi apabila dia bersandar pada sebab dan dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal ini tidaklah mengapa. (Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh Tsalatsatil Ushul, 38; Al Qoulul Mufid, 2/29)

Penutup

Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja. Tawakal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakal dalam urusan akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah ridhai dan cintai. Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal untuk mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berjihad melawan ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.

Kami tutup pembahasan kali ini dengan menyampaikan salah satu faedah tawakal. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3). Al Qurtubi dalam Al Jami’ Liahkamil Qur’an mengatakan, “Barang siapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Seandainya semua manusia mengambil nasihat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.” Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka. (Jami’ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49). Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakal dan Dia-lah Rabb ‘Arsy yang agung.



Dikutip dari https://muslim.or.id

Kandungan surat ibrahim

Surat Ibrahim ini terdiri atas 52 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah karena diturunkan di Mekah sebelum Hijrah. Dinamakan Ibrahim, karena surat ini mengandung doa Nabi Ibrahim a.s. yaitu ayat 35 sampai dengan 41. Do’a ini isinya antara lain: permohonan agar keturunannya mendirikan shalat, dijauhkan dari menyembah berhala-berhala dan agar Mekah dan daerah sekitarnya menjadi daerah yang aman dan makmur. Doa Nabi Ibrahim a.s. ini telah diperkenankan oleh Allah s.w.t. sebagaimana telah terbukti keamanannya sejak dahulu sampai sekarang. Do’a tersebut dipanjatkan beliau ke hadirat Allah s.w.t. sesudah selesai membina Ka’bah bersama puteranya Ismail a.s., di dataran tanah Mekah yang tandus.

Pokok-pokok isinya:

1. Keimanan:
Al Quran adalah pembimbing manusia ke jalan Allah; segala sesuatu dalam alam ini kepunyaan Allah; keingkaran manusia terhadap Allah tidaklah mengurangi kesempurnaan-Nya; nabi-nabi membawa mukjizat atas izin Allah semata-mata; Allah kuasa mematikan manusia dan membangkitkannya kembali dalam bentuk baru; ilmu Allah meliputi yang lahir dan yang bathin.

2. Hukum-hukum:
Perintah mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian harta baik secara rahasia maupun secara terang-terangan.

3. Kisah-kisah:
Kisah Nabi Musa a.s. dengan kaumnya, serta kisah para rasul zaman dahulu.

4. Dan lain-lain:
Sebabnya rasul-rasul diutus dengan bahasa kaumnya sendiri; perumpamaan tentang perbuatan dan perkataan yang hak dengan yang bathil; kejadian langit dan bumi mengandung hikmah-hikmah; macam-macam nikmat Allah kepada manusia dan janji Allah kepada hamba-hamba yang mensyukuriNya.



Surat Ibrahim mengandung petunjuk-petunjuk bagi manusia untuk mengenal Tuhan mereka dan janji Allah menyediakan syurga kepada orang-orang yang beriman. Dalam surat ini Allah menjelaskan bahwa rasul-rasul itu diutus dengan mempergunakan bahasa kaumnya agar mudah bagi kaum itu memahami perintah dan larangan Allah. Kemudian Allah menjelaskan pula apa yang terjadi antara rasul-rasul itu dengan kaumnya.

HUBUNGAN SURAT IBRAHIM DENGAN SURAT AL HIJR

1. Kedua-duanya sama-sama dimulai dengan Alief laam Raa dan menerangkan sifat Al Quranul Karim.

2. Dalam surat Ibrahim Allah menjelaskan bahwa Al Quran itu pembimbing manusia ke jalan Allah, kemudian dalam surat Al Hijr Allah menambahkan lagi bahwa Al Quran itu akan tetap dijaga kemurniannya sepanjang masa.

3. Masing-masing surat ini melukiskan keadaan langit dan bumi dan sama-sama menjelaskan bahwa kejadian-kejadian alam ini mengandung hikmah, sebagai tanda keesaan dan kebesaran Allah s.w.t.

4. Keduanya mengandung kisah Nabi Ibrahim a.s. dengan terperinci.

5. Keduanya sama-sama menerangkan keadaan orang-orang kafir di hari kiamat dan penyesalan mereka, mengapa mereka sewaktu hidup di dunia tidak jadi orang mukmin.

6. Kedua surat ini sama-sama menceritakan kisah-kisah nabi zaman dahulu dengan kaumnya serta menerangkan keadaan orang-orang yang ingkar kepada nabi-nabi itu pada hari kiamat. Kisah-kisah itu disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. untuk menghibur hati beliau di waktu menghadapi berbagai kesulitan yang beliau temui dalam menyiarkan agama Islam.

Jumat, 22 Februari 2019

Politik dalam Islam

Islam sebagai sistem nilai mencakup segala aspek kehidupan manusia, ia tidak hanya mengatur hubungan vartikal manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan horizontal manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya. Al-Qur’an juga memerintahkan agar umat Islam melaksanakan ajaran-ajaran Islam seutuhnya dan melarang mereka mengikuti kehendak dan ajakan setan. Diantara ajaran Islam terdapat pula ajaran yang berkenaan dengan kehidupan politik.

Kajian terhadap kitab-kitab Tafsir al-Qur’an menunjukan adanya gagasan yang berkenaan dengan kekuasaan politik dalam al-Qur’an. Implikasinya  kemudian menyebabkan adanya kecenderungan perkembangan pemikiran politik diantara para mufasir ataupun para pemikir Islam. Hal ini terlihat dalam perbedaan pendapat mereka sebagai akibat perbedaan metode tafsir mereka.

Sebagai  sebuah teori pemikiran, teori kekuasaan politik yang mereka kemukakan telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan umat Islam dan mewarnai sikap antar generasi. Sebagai implikasinya, tak dapat dihindari kemunculan teori-teori tersebut telah menimbulkan pihak-pihak yang pro dan kontra.

Namun, kendati demikian,  pemikir Islam terkemuka Imam Al Ghazali menegaskan, bahwa agama dan politik (kekuasaan) adalah dua hal saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap.

Pengertian Politik

Politik secara umum diartikan dengan cara atau taktik untuk mencapai satu tujuan. Politik secara umum berhubungan dengan berbagai cara dalam pencapaian tujuan hidup manusia. Sedangkan secara khusus penekanannya kepada kekuasaan dan pemerintahan.

Istilah kekuasaan politik sering digunakan untuk menunjukan kewenangan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pengertian ini merujuk kepada pengertian politik sebagai aktifitas mengatur masyarakat, dalam pengertian ini terkandung unsur kewenangan membuat aturan-aturan hukum (kekuasaan legislatif), kewenangan melaksanakan hukum ( eksekutif) dan kekuasaan melaksanakan peradilan untuk mempertahankan hukum (yudikatif), demikian pula kewenangan menyelenggarakan aktifitas politik lainnya.

Dalam khazanah pemikiran Islam,  politik yang disebut dengan siyasah. Kata ini diambil dari akar kata “sasa-yasusu”,yang berarti mengemudikan, mengendalikan mengatur dan sebagainya. Secara teknis permasalah politik di dalam Al-Qur’an ditunjukkan kepada semua umat manusia yang lintas ras, etnik, waktu dan tempat. Sehingga dengan hanya mengemukakan prinsip dan norma-norma politik umat Islam mampu menterjemahkannya disetiap waktu.

Sedangkan Istilah AlQur’an adalah merujuk pada kitab suci umat Islam yaitu firman Allah SWT yang diturunkan dengan perantaraan malaikat jibrl kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai peringatan, tuntunan dan hukum bagi umat manusia. Karena ummat Islam harus bisa memahami konsepsi kekuasaan politik yang dapat digali dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan objek ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kekuasaan politik di harapkan dapat mengetahui konsep dan pemikiran politik yang Qurani, yang bisa dijadikan rujukan bagi umat Islam.

Bila kita eksplorasi, ada beberapa kata dalam Al-Qur’an yang dapat dijadikan kata kunci (key word) yang relevan dengan konsep kekuasaan, yakni al-hukm, as-sulthan, dan al-mulk.

Pertama, konsep al-Hukm, Secara estimologi al-hukm artinya membuat keputusan, berasal dari kata dengan huruf-huruf ha, kaf dan mim. Istilah hukm bereferensi konsep politik sebagai aktifitas yang bertumpu pada hukum-hukum Tuhan dengan tujuan memelihara eksistensi manusia sebagai khalifah.

Namun apabila makna hukm tersebut di kaitkan dengan kehidupan masyarakat, maka kata tersebut mengandung makna pembuatan kebijakan atau melaksanakannya sebagai pengaturan masyarakat, pengertian ini dapat dilihat dalam Q.S  Al-Qalam (36-39) dan Q.S Al-Maidah (50 dan 95). Dari penjalasan ayat tersebut maka dapat dipahami kata al hukm tidak hanya disandarkan pada hukum Tuhan semata, tetapi juga disandarkan kepada hukum manusia. Ini berarti adanya dua hukum, yakni hukum Tuhan dan hukum manusia. Dari pengertian diatas kiranya ditemukan hubungan kata hukm dengan konsep politik seperti telah dikemukakan dan dengan demikian kata tersebut relevan pula dengan kekuasaan politik.

Kedua, as-Sulthan, kata ini mempunyai akar kata yang berasal dari huruf sin, lam dan tha dan mempunya makna pokok ”kekuatan dan paksaan”. Kata sulthan yang bermakna kekuasaan di temukan dalam Q.S. Al Isra’ : 80 yaitu : ”Dan barang siapa yang terbunuh secara aniaya, maka sungguh kami telah memberikan kepada walinya kekuasaan…”(Q.S Al-Isra : 33).

Dari penggunaan kata sulthan di atas maka dapat diketahui bahwa kata tersebut berkonotasi sosiologis, karena ia berkenaan dengan kemampuan untuk mengatasi orang lain, sehingga kalau dikaitkan dengan konsep kekuasaan politik, jelas istilah tersebut relevan dengan konsep kemampuan dari pada konsep kewenangan (otoritas).

Ketiga, al Mulk, kata ini berakar pada huruf huruf; mim, lam dan kaf, yang mengandung makna pokok keabsahan dan kemampuan. Dari makna pertama terbentuk kata kerja malaka-yamliku-milkan yang artinya memiliki, dan dari makna kedua terbentuk kata kerja malaka-yamliku-mulkan yang artinya menguasai, dari sinidiperoleh kata malik ”raja” dan mulk ”kekuasaan” hal ini dapat dilihat dalam Q.S. Al Baqarah (247).

Dalam istilah politik al-mulk adalah seseorang kepala negara yang memperoleh kekuasaan dengan jalan mewarisi dari kepala negara sebelumnya, maksud dari penjelasan diatas adalah bahwa konsep yang terkandung dalam kata al-mulk adalah konsep dengan sifat yang umum dan berdimensi kepemilikan. Dengan demikian Kesimpulannya adalah kekuasaan politik merupakan kekuasaan yang dimiliki manusia disamping kekuasaan lainya sebagai pemberian Tuhan kepadanya.

Eksistensi manusia sebagai khalifatul fil ardhi sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an mengandung konsekuensi bahwa manusia merupakan pemegang otoritas kekuasaan baik kekuasaan politik maupun kekuasaan sosial di dunia dengan memegang kewajiban menegakan dan melaksanakan hukum-hukum Tuhan  yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah,  demi untuk mencapai keridhaan-Nya. Namun persoalannya adalah pada tataran implementasinya, konsep tersebut sering tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penggunakan kekuasaan sering disalah gunakan (abuse of power), hukum-hukum Tuhan tidak sedikit yang disalahgunakan, bahkan otoritas kekuasaan yang di miliki seringkali di gunakan untuk membuat hukum-hukum yang sama sekali bertentangan dengan hukum Tuhan. Lantas, untuk apa kekuasaan politik itu dan bagaimana idealnya pengamalan kekuasaan menurut al Qur’an?.

Terkait hal tersebut, Al-Quran sebenarnya sudah menjelaskan mengenai prinsip penggunaan kekuasaan politik, yaitu dalam Qur’an surat An Nissa ayat 58 dan 59, walaupun ajaran politik Al Qur’an sesungguhnya tidak terbatas pada kedua ayat ini, tetapi ayat ini secara langsung relevan dengan masalah tersebut. Dalam kedua ayat diatas menurut sebagian ulama memandang bahwa ayat-ayat diatas sebagai pokok hukum yang menghimpun segala ajaran agama, dengan kata lain kedua ayat diatas memegang peranan yang sangat penting sebagaia ayat sentral mengenai kekuasaan politik

Setidaknya ada tiga prinsip yang terkandung dalam kedua ayat ini yaitu : Pertama, penunaian amanat. Kata amanah mengandung pengertian segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman, sebagai mana yang tercantum dalam Q.S An Nisa : 58 sebagai berikut : ”Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu agar kamu menunaikan amanat-amanat itu kepada pemiliknya”(Q.S.An Nissa : 58).

Dari ayat diatas bisa diketahui bahwa dalam konsep amanat mengandung arti umum bahwa setiap orang yang beriman berkewajiban untuk menunaikan amanat yang menjadi tanggung jawabnya, baik itu amanat dari Allah maupun amanat dari sesama manusia.

Kedua, menegakkan hukum dengan adil. Allah SWT berfirman; ”…dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah kamu menetapkan hukum dengan adil…” (Q.S.An Nissa : 58).

Dalam ayat diatas jelas bahwa Allah memerintahkan kita menetapkan hukum dengan adil jika menetapkan hukum diantara manusia.  Ungkapan ”menentukan hukum” yang ada dalam ayat diatas mencakup pengertian membuat dan menerapkan hukum, secara kontekstual ayat tersebut tidak hanya ditunjukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat muslim, tetapi di tunjukan kepada setiap orang yang mempunyai kekuasaan memimpin orang lain dalam hal ini kekuasaan politik.

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut mengandung prinsip penggunaan kekuasaan politik dalam pembuatan hukum dan aturan lainnya yang harus berdasarkan keadilan, adapun dasar hukum dari kekuasaan politik tersebut adalah Al-Qur’an.

Bila dicermati, Al Qur’an memang tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana sistem politik terwujud. Tetapi di dalamnya di jelaskan bahwa kekuasaan politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal saleh.

Di sisi lain kenyataan sejarah mencatat bahwa kekuasaan politik telah menyebabkan diferensiasi pemikiran yang berkembang dalam umat, yang berakibat pada terpecah belahnya umat kedalam beberapa aliran politik yang kemudian sangat rentan terhadap terjadinya pertentangan satu sama lain.

Maka dari itu al-Qur’an telah menjelaskan bahwa perselisihan yang terjadi diantara umat harus diselesaikan dengan kembali berpedoman kepada al-Qur’an dan sunnah seperti yang di jelaskan dalam Q.S. An Nissa : 59 sebagai berikut :” jika kamu berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Itu adalah pilihan yang

Kamis, 21 Februari 2019

Sumber hukum islam

Islam sebagai agama yang diturun akan Allah SWT, telah mengatur hidup umatnya dengan dasar hukum yang jelas, yaitu Alquran dan Sunah Rasulullah SAW. Ini lah cara Allah menjadikan agama Islam sebagai pegangan manusia untuk mencapai tujuan hidup menurut islam. Agar manusia yang ditugaskan sebagai khalifah di muka bumi bisa menjaga dan merawat kehidupan yang selamat dunia dan akirat serta tercapai tujuan penciptaan manusia dalam islam.

Alquran dan Sunnah adalah 2 dasar utama dari sumber syariat Islam itu sendiri. Sesuai berkembangnya zaman, waktu pun berlalu, maka permasalahan umat pun semakin complicated. makanan halal, minuman halal dalam islam, makanan haram menurut islam, hukum pernikahan, dan fiqih muamalah jual beli dalam islam sudah berkembang dan semakin komplit. Hal tersebut tidak dijelaskan dalam kedua sumber tersebut secara jelas dan gamblang. Melihat kasus ini maka perlu adanya peranan para ulama untuk mengkaji lebih dalam makna yang tersimpan dalam Alquran sebagai cara mencari jalan keluar dari hukum Islam.

Selain dua dasar utama dari hukum Islam tadi ( Alquran dan Sunah,) maka ada cara lain yang bisa menjadi sumber hukum dalam Islam yaitu Ijtihad. Ijtihad ini mencakup beberapa macam cara yaitu : ijtima’, qiyas, istihsan, isthshab, istidlal, maslahatul murshalah, urf, dan zara’i. Baca juga : sumber pokok ajaran islam

Al-qur’an

Secara bahasa Alquran berasal dari Bahasa  Arab dengan asal kata qara a– yaqri u- quranan, yang artinya bacaan. Sedangkan secara istilah Alquran adalah: perkataan Allah yang tertulis di Lahul Mahfuz diturunkan melalui Malaikat Jibril pada Nabi Muhammad SAW secara mutawatir, yang ditulis dalam bentuk mushaf, diawali oleh surat Al Fatihah dan diakiri dengan Surat An Nass dan merupakan pahala membacannya. Baca juga: manfaat membaca alquran setiap hari dan hukum membaca alquran saat haid

Sebagaimana Allah berfirman “Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Rab semesta alam. Ia dibawa turun oleh Ar Ruh Al Amin (Malaikat Jibril )kedalam hati mu ( Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang dari orang-orang yang memberi  peringatan dengan bahasa arab yang jelas”. (QS. Asy Syu’ara ayat 192-195 )

Alquran adalah dasar utama dari hukum Islam, karena memang segala sesuatu dalam Islam atas izin dan ketetapan Allah. Alquran adalah mushaf yang dijamin kebenarannya oleh Allah, yang tidak mungkin dibuat oleh manusia manapun. Hal ini tersirat dalam tantangan Allah terhadap kaum Kafir Quraisy untuk membuat perumpamaan Alquran sebagaimana Allah berfirman:

“ Dengan demikian hendaklah mereka mengatakan kalimat yang semisal dengan Alquran itu jika memang mereka adalah orang-orang yang benar”. (QS. At Thur ayat 33-34)

Dalam hadist Rasulullah SAW bersabda :

“ Dari Ali Bin Abi Thalib RA berkata, Rasulullah SAW bersabda : Aku telah meninggalkan ditengah kalian dua perkara. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya niscaya kalian tidak akan pernah tersesat.kedua perkara itu adalah kitab Allah dan juga Sunnah Nabi-Nya”. (HR. Malik, dalam Almuwatta’  no 3338 dan Al Hakim dalam Mustadra’ no 319 dengan sanad hasan)

Dengan demikian tidak ada keraguan lagi pada Alquran sebagai mukjizat dari Allah sebagai petunjuk yang benar pada manusia. Baca juga: hukum bacaan alquran dan keajaiban alquran di dunia

As-sunah

Sunah aadalah dasar dari hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Kebenaran sunah sama dengan Alquran, karena setiap apa yang berasal dari Nabi juga merupakan wahyu dari Allah SWT.

Secara pengertian sunah menurut bahasa adalah kebiasaan yang diikuti. Sedangkan pengertian secara istilah Sunnah adalah: perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi SAW yang berupa ketetapan, persetujuan dan diamnya Nabi  Muhammad SAW terhadap sesuatu hal atau perbuatan sahabat yang diketahuinya.

Ada beberapa fungsi sunah terhadap Alquran sebagai dasar dari hukum Islam yaitu :

Sunah sebagai penjelas AlquranPengkususan ayat yang umumMembatasi makna Alquran yang bersifat mutlakMemperkuat hukum yang ditentukan AlquranMenetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam Alquran

Kelima fungsi tersebut berkaitan dengan sifat Alquran yang diturunkan pada Nabi SAW, ada yang bersifat mutashabihat dan ada yang bersifat muhkamat. Artinya ayat-ayat Alquran ada yang masih butuh penjelasn dan perincian lebih lanjut tentang hukum dan perintah-Nya. Sebagai contoh, perintah sholat, zakat, puasa dan haji, dalam Alquran hanya menjelaskan secara umum saja, namun bagaimana cara dan pelaksanaannya diterangkan dan dicontohkan dalam sunah rasulullah SAW. Baca juga: fungsi hadist dalam islam

Ijtihad

Selain dari dua sumber hukum tersebut di atas. Maka dasar hukum Islam juga Bisa diambil dengan cara ijtihad. Pengertian ijtihad secara bahasa adalah: bersungguh-sungguh, atau mencurahkan seluruh kemampuan. Ijtihad dalam hukum islam dilakukan terhadap hukum-hukum syara’ yang belum ada dalil qath’I serta hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nashnya serta ijma’ para ulama.

Ijtihad adalah suatu jalan yang ditempuh untuk menentukan hukum Islam. Untuk melakukan ijtihad ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para mujtahid (orang yang berijtihad), agar bisa menetapkan hukum tersebut. Diantara syarat berijtihad adalah:

Baligh, berakal sehat dan beriman kepada AllahKuat ingatanya (dhabit)Memahami AlquranMengetahui tujuan hukum Islam dan kaidah hukum IslamMenguasai Bahasa Arab, Ilmu Ushul Fiqhi, Ilmu Mantiq dan LogikaMengetahui asal perkaraTidak terdapat dalil qath’i bagi kasus yang diijtihadkanMemelihara kesholehan dan ketakwaan pada Allah SWTMengetahui tempat kilafiyah

Setelah semua kriteria di atas terpenuhi, maka barulah seorang ulama boleh dan layak menentukan hukum suatu perkara.

Berdasarkan dari pengertian ijtihad itu sendiri adalah pengerahan usaha untuk menentukan hukum dari perkara yang tidak ada dalil qath’i nya, maka ada beberapa bentuk dari ijtihad tersebut. Bentuk ijtihad ini adalah cara yang bisa dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum yaitu:

Ijtima’– Ijtima’ ulama adalah kesepakatan para ulama dalam menentukan sebuah hukum dari suatu perkara yang diterangkan oleh Alquran dan Hadist setelah wafatnya Rasulullah SAW dengan cara musyawarah.Qiyas  – Adalah menetapkan suatu hukum atas suatu perkara yang belum ada dalilnya berdasarkan persamaan ilat atau sama permasalahannya.Ishtihsan – Adalah penetapan hukum suatu perkara yang tidak dijelaskan dalam Alquran dan sunah berdasarkan pada kebaikan bersama demi keadilan.Istishab – Menetapkan hukum terhadap suatu perkara dengan cara melanjutkan hukum yang telah ada, sampai ditetapkannya dalil lain yang dapat mengubah kedudukan hukum tersebut.Istidhlal – Menetapkan suatu hukum terhadap suatu permasalahan yang tidak ada dalilnya dalam Alquran dan Hadist, namun perkara tersebut sudah menjadi adat ( kebiasaan ) masyarakat.Mashlahatur Murshalah – Menetapkan hukum terhadap suatu perkara berdasarkan kemashlahatan atau kebaikan umat dengan maksud menghindari mudharat.U’rf– Dalam bahasa artinya adat. Secara istilah adalah penetapan hukum berdasarkan adat istiadat yang dianggap baik dan tidak menentang sumber hukum yang lebih tinggi.Zara’I – Pekerjaan yang dilakukan untuk medapatkan kemashlahatan, dengan kata lain menghilangkan kemudharatan.

Itulah dasar-dasar hukum Islam yang bisa menjadi acuan dalam menetapkan kedudukan suatu permasalahan umat. Dasar tersebut tetap bersumber dari Alquran dan Hadist serta pertimbangan lain yang tidak melanggar aturan Allah SWT.

Kandungan surat Ar Ra'd

Surat Ar Ra’d ini terdiri atas 43 ayat termasuk golongan surat-surat Makkiyyah. Surat ini dinamakan Ar Ra’dyang berarti guruh karena dalam ayat 13 Allah berfirman yang artinya Dan guruh itu bertasbih sambil memuji-Nya, menunjukkan sifat kesucian dan kesempurnaan Allah s.w.t. Dan lagi sesuai dengan sifat Al Quran yang mengandung ancaman dan harapan, maka demikian pulalah halnya bunyi guruh itu menimbulkan kecemasan dan harapan kepada manusia. Isi yang terpenting dari surat ini ialah bahwa bimbingan Allah kepada makhluk-Nya bertalian erat dengan hukum sebab dan akibat. Bagi Allah s.w.t. tidak ada pilih kasih dalam menetapkan hukuman. Balasan atau hukuman adalah akibat dan ketaatan atau keingkaran terhadap hukum Allah.

Pokok-pokok isinya:

1. Keimanan:
Allah-lah yang menciptakan alam semesta serta mengaturnya; ilmu Allah meliputi segala sesuatu; adanya malaikat yang selalu memelihara manusia yang datang silih berganti, yaitu malaikat Hafazhah; hanya Allah yang menerima doa dari hamba-Nya; memberi taufiq hanya hak Allah, sedang tugas rasul menyampaikan agama Allah.

2. Hukum-hukum:
Manusia dilarang mendoakan yang jelek-jelek untuk dirinya; kewajiban mencegah perbuatan-perbuatan yang mungkar.

3. Kisah-kisah:
Kisah pengalaman nabi-nabi zaman dahulu.

4. Dan lain-lain:
Beberapa sifat yang terpuji; perumpamaan bagi orang-orang yang menyembah berhala dan orang-orang yang menyembah Allah; Allah tidak merobah nasib sesuatu bangsa sehingga mereka merobah keadaan mereka sendiri.



Surat Ar-Ra’d lebih banyak menitik beratkan pada pembuktian kebenaran keesaan Allah, kepastian akan terjadinya hari berbangkit. Dijelaskan pula tugas-tugas para rasul dan kebenaran dari kitab-kitab suci yang dibawa mereka. Terhadap mereka yang ingkar dan memusuhi para nabi-nabi itu, diterangkan bahwa mereka pasti mengalami kegagalan dan kehancuran.

HUBUNGAN SURAT AR RA’D DENGAN SURAT IBRAHIM

1. Dalam surat Ar Ra’d disebutkan bahwa Al Quran itu diturunkan dalam bahasa Arab, sebagai pemisah antara yang baik dengan yang bathil, sedangkan hikmah menurunkan dalam bahasa Arab itu belum dijelaskan. Dalam surat Ibrahim hikmah itu dijelaskan.

2. Dalam surat Ar Ra’d Allah mengatakan bahwa seorang rasul tak akan dapat melakukan suatu mukjizat tanpa izin dari Allah, maka dalam surat Ibrahim para rasul menegaskan bahwa beliau-beliau adalah manusia biasa, tak dapat mendatangkan suatu mukjizat tanpa izin Allah.

3. Dalam surat Ar Ra’d disebutkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. menyerukan agar manusia bertawakkal kepada Allah, dan dalam surat Ibrahim, Nabi Muhammad s.a.w. menerangkan bahwa para rasul bertawakkal hanya kepada Allah.

4. Dalam surat Ar Ra’d Allah menyebutkan perbuatan-perbuatan makar orang-orang kafir, maka di surat Ibrahim diulangi lagi, dan disebutkan pula sifat-sifat mereka yang tidak tersebut dalam surat Ar Ra’d itu.