Rabu, 06 Februari 2019

Hukum ziarah kubur

Disunnahkan bagi laki-laki untuk ziarah kubur sebagaimana yang Allah Ta’ala syariatkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

زوروا القبور فإنها تذكركم الآخرة

“Berziarah kuburlah, sesungguhnya hal itu akan mengingatkan kalian terhadap akhira.” (HR. Muslim).

Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, dari Buraidah bin Al-Khushaib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan para sahabatnya ketika berziarah kubur untuk mengucapkan,

السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين وإنا إن شاء الله بكم لاحقون، نسأل الله لنا ولكم العافية

“Semoga keselamatan tercurahkan untukmu, wahai para penghuni kubur, dari (golonagn) orang-orang beriman dan orang-orang Islam. Kami insyaaallah akan menyusul kalian. Kami meminta keselamatan kepada Allah untuk kami dan juga untuk kalian.“

Terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa sesungguhnya jika beliau ziarah kubur, beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

السلام عليكم دار قوم مؤمنين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون، يرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين، اللهم اغفر لأهل بقيع الغرقد

“Semoga keselamatan tercurahkan atas kalian wahai para penghuni kubur orang-orang yang beriman. Kami insyaaallah akan menyusul kalian. Semoga Allah merahmati orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang datang belakangan. Ya Allah, ampunilah para penghuni kubur Baqi’ (pemakaman penduduk Madinah, pen.)”

Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya dari Al-Qur’an ketika berziarah kubur. Oleh karena itu, membaca surat Al-Fatihah ketika ziarah kubur termasuk bid’ah, demikian pula membaca surat Al-Qur’an yang lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa yang membuat-buat suatu perkara di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amal tersebut tertolak.“

Dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata ketika khutbah Jum’at,

أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”

Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dengan tambahan,

وكل ضلالة في النار

“Dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.”

Menjadi kewajiban atas setiap muslim untuk berpegang dengan syariat dan waspada terhadap bid’ah dalam berziarah kubur dan yang lainnya. Ziarah kubur yang disyariatkan bagi kubur kaum muslimin semuanya itu sama, baik kubur itu milik mereka yang disebut sebagai wali ataukah bukan. Setiap mukmin laki-laki dan perempuan, semuanya adalah wali Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan (tidak pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” (QS. Yunus [10]: 62-63).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا كَانُوا أَوْلِيَاءَهُ إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلا الْمُتَّقُونَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ

“Dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya. Orang-orang yang berhak menguasainya hanyalah orang-orang yang bertakwa, akan tetapi kebanyakan mereka tidaklah mengetahui” (QS. Al-Anfal [8]: 34).

Tidak boleh bagi peziarah kubur dan yang lainnya untuk berdoa (meminta) kepada orang mati, memohon perlindungan (istighatsah) kepadanya, bernadzar kepadanya, menyembelih untuknya di sisi kubur mereka, atau di tempat mana pun untuk mendekatkan diri dengannya dalam rangka meminta syafaat kepada mereka, atau mengaharap kesembuhan, atau membantu mereka dalam melawan musuh-musuhnya, atau kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Karena semua perkara ini termasuk ibadah, sedangkan ibadah semuanya itu hanya untuk Allah Ta’ala semata.

Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah (mentauhidkan) Aku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56).

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah” (QS. Al-Jin [72]: 18).

وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia” (QS. Al-Isra’ [17]: 23).

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafur tidak menyukainya” (QS. Ghaafir [40]: 14).

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’” (QS. Al-An’am [6]: 162-163).

Ayat-ayat semacam ini banyak sekali.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma,

حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا

“Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hal ini mencakup seluruh ibadah, berupa shalat, puasa, ruku’, sujud, haji, doa, menyembelih, nadzar, dan jenis-jenis ibadah lainnya. Sebagaimana ayat-ayat sebelumnya juga mencakup semua jenis ibadah.

Diriwayatkan dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لعن الله من ذبح لغير الله

“Allah melaknat orang-orang yang menyembelih kepada selain Allah” (HR. Muslim).

Dalam Shahih Bukhari dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم إنما أنا عبد فقولوا عبد الله ورسوله

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nasrani berlebih-lebihan terhadap Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.’”

Hadits-hadits tentang perintah beribadah hanya kepada Allah Ta’ala semata dan larangan berbuat syirik serta sarana-sarana menuju kesyirikan sangat banyak dan telah kita ketahui.

Adapun perempuan, maka tidak ada anjuran ziarah kubur bagi mereka. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لعن زائرات القبور

“Allah melaknat para wanita yang berziarah kubur.”

Adapun hikmah hal ini –Wallahu a’lam- karena terkadang muncul fitnah atas mereka dan bagi kaum lelaki ketika mereka ziarah kubur. Pada awal-awal Islam, ziarah kubur dilarang untuk mencegah kesyirikan. Ketika Islam berkembang dan tersebarlah ajaran tauhid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengijinkan untuk semunya (baik laki-laki dan perempuan). Setelah itu, wanita dikhusukan (dikecualikan) sehingga mereka dilarang ziarah kubur dalam rangka mencegah fitnah yang ditimbulkan darinya.

Adapun kubur orang kafir, maka tidak ada larangan untuk berziarah ke sana dalam rangka mengingat (kematian) dan mengambil pelajaran. Akan tetapi, tidak boleh mendoakan atau memohon ampun untuk mereka. Hal ini berdasarkan hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau meinta ijin kepada Allah Ta’ala untuk memohonkan ampun atas ibundanya, namun tidak Allah Ta’ala ijinkan. Kemudian beliau meminta ijin untuk menziarahi kubur ibundanya, dan Allah Ta’ala ijinkan. Karena ibunda beliau meninggal dunia di masa jahiliyah dan masih berada di atas agama kaumnya ketika itu (agama kesyirikan).

Aku meminta kepada Allah untuk memberikan taufik kepada kaum muslimin, baik laki-laki dan perempuan, agar mereka dapat memahami agamanya dan konsisten di atasnya, baik dalam hal akidah, perkataan dan amal perbuatan. Dan lindungilah mereka dari semua hal yang bertentangan dengan syariat. Sesungguhnya Engkau Maha penolong dan berkuasa atas hal itu. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.


Dikutip dari:  https://muslim.or.id

Tidur siang menurut Islam

Bagi seorang muslim, amalan sekecil apapun sudah pasti harus berbuah pahala. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa tidak ada satupun amalan-amalan yang dilakukan bernilai sia-sia. Semua hal yang dilakukan tentunya harus diniatkan karena Allah Ta’alaa, utnuk ibadah kepada-Nya.

Termasuk salah satunya amalan di siang hari yang tak banyak orang mengetahuinya padahal sangat bermanfaat bagi kesehatan juga berpenaruh terhadap ibadahnya. Inilah yang dimaksud dengan qailullah atau tidur sejenak di siang hari. Berikut ini penjelasan dari Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal.

Allah Ta’alaa berfitman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur: 58)

Ayat yang mulia ini kata Ibnu Katsir mengandung pelajaran bahwa hendaklah keluarga dekat meminta izin terlebih dahulu pada sesama kerabatnya. Hendaklah hamba sahayanya dan anak-anaknya yang belum baligh meminta izin pada tiga waktu:

Sebelum shalat Shubuh karena ketika itu masih tidur di atas ranjang.Waktu qailulah yaitu di siang hari karena waktu tersebut biasanya pakaian dicopot untuk rehat.Setelah shalat Isya’ karena pada saat itu adalah waktu tidur (beristirahat).

Di tiga waktu tersebut, anak-anak dan hamba sahaya tidak boleh masuk tanpa izin. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 565)

Apa itu tidur qailulah?

Pengertian qailulah adalah tidur di siang hari. Imam Al-‘Aini mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tidur di tengah siang. Sedangkan Al-Munawi mengatakan bahwa qoilulah adalah tidur di tengah siang ketika zawal (matahari tergelincir ke barat), mendekati waktu zawal atau bisa jadi sesudahnya. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34: 130)

Dalil yang menganjurkan tidur qailulah(tidur siang) adalah hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قِيْلُوْا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ

“Tidurlah qailulah (tidur siang) karena setan tidaklah mengambil tidur siang.” (HR. Abu Nu’aim dalam Ath-Thibb 1: 12; Akhbar Ashbahan, 1: 195, 353; 2: 69. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1647)

Dalam ‘Umdah Al-Qari sebagaimana disebutkan dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34: 130, hukum tidur qailulah adalah sunnah.

Menurut penilaian ulama berarti tidur siang itu tidak wajib. Artinya tidak sampai berdosa kalau ditinggalkan, tinggal siapa yang mampu dan punya kesempatan menunaikannya.

Apa manfaat tidur qailulah?

Imam Asy-Syirbini Al-Khatib menyatakan bahwa tidur qailulah adalah tidur sebelum zawal (matahari tergelincir ke barat). Ibaratnya itu seperti sahur bagi orang yang berpuasa. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34: 130). Berarti tidur siang ini akan semakin menguatkan aktivitas ibadah.

Wallahu a’lam bish shawab.

Adakah doa khusus menyambut Ramadhan?

Setiap menjelang bulan Ramadhan, ramai dibicarakan sebuah lafal yang popular di masyarakat Muslim Indonesia sebagai doa menyambut Ramadhan, Sya’ban, dan Rajab.

Doa tersebut adalah:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَب، وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban. Dan jumpakanlah kami kepada bulan Ramadhan.”

Doa tersebut banyak beredar di sosial media seperti Whatsapp, Channel Telegram, Facebook, Twitter, Line, dan sebagainya dalam bentuk teks update status, broadcast, dan  gambar-gambar Meme. Bahkan, banyak pula para ustadz yang mengutip doa tersebut dalam ceramah-ceramah mereka. Akhirnya, sebagian masyarakat menganggap bahwa lafal itu memang benar-benar doa yang semestinya diucapkan sebagai doa menyambut Ramadhan layaknya doa-doa sunnah lainnya.

Pertanyaannya, apakah lafal yang diyakini oleh sebagian masyarakat sebagai doa menyambut Ramadhan tersebut bersumber dari hadits yang shahih?

Jika ditelusuri dalam beberapa kitab hadits, ditemukan lafal yang diyakini sebagai doa menyambut Ramadhan di atas dalam beberapa kitab. Abdullah, putera dari Imam Ahmad meriwayatkan hadits tersebut dalam kitab Zawa-id al-Musnad (no. hadits: 2346), diriwayatkan pula oleh ath-Thabarani dalam kitab Al-Ausath (no. 3939), al-Baihaqi dalam kitab Asy-Sya’bu (no. 3534), dan Abu Nu’aim dalam kitab ­Al-Hilyah (6/269). (islamqa.info)

Baca juga: Hukum Berciuman dengan Istri di Siang Hari Bulan Ramadhan

Seluruh riwayatnya bersumber dari jalur Zaidah bin Abi Ruqad, ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Ziyad an-Numairi, dari Anas bin Malik, ia berkata, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki bulan Rajab beliau berdoa,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ، وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban. Dan jumpakanlah kami kepada bulan Ramadhan.”

Nah, tentang status kekuatan riwayatnya, disebutkan dalam kitab Mizanul I’tidal bahwa sanad hadits tersebut lemah. Sebab, perawi yang bernama Ziyad an-Numairi adalah perawi yang lemah. Ibnu Ma’in juga melemahkannya. Abu Hatim mengatakan, “Dia tidak bisa dijadikan hujjah.” (Mizanul I’tidal, 2/19)

Bahkan, dalam kitab Tahdzibut Tahdzib, perawi bernama Zaidah bin Abi Ruqad dinilai oleh para ulama hadits seperti Al-Bukhari dan an-Nasa’i, sebagai perawi yang lebih lemah (dha’if) dari Ziyad an-Numairi. (Tahdzibut Tahdzib, 3/305-306)

Berarti, Doa Menyambut Ramadhan Secara Khusus itu Tidak Ada?

Ya, tidak dijumpai doa secara khusus sebagai doa menyambut Ramadhan. Yang ada hanyalah doa untuk menyambut hilal awal. Namun doa tersebut berlaku umum ketika melihat hilal sebagai pertanda masuknya awal seluruh bulan hijriyah, tidak khusus pada hilal awal bulan Ramadhan.

Namun, yang perlu dicatat adalah, setiap Muslim sah-sah saja jika mengekspresikan keinginannya untuk berjumpa kembali dengan bulan Ramadhan dengan doa. Dengan doa umum sebisanya, tanpa harus mengkhususkan lafal doa tertentu, apalagi sampai meyakininya bahwa lafal tersebut adalah sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebab, berdoanya seorang Muslim agar dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan bisa jadi itu menunjukkan kesungguhan dan hausnya seorang Muslim terhadap pahala dan ampunan Allah ‘Azza wa Jalla, mengingat bulan Ramadhan adalah bulan kesempatan untuk memenuhi pundi-pundi amal ibadah dan mengapus sebanyak-banyaknya dosa dengan taubat nasuha.

Para ulama salaf pun demikian. Bahkan, karena kerinduan terhadap perjuampaan dengan bulan Ramadhan, para ulama salaf sudah mulai berharap dengan doa untuk dipertemukan dengan bulan mulia itu sejak tiga bulan sebelumnya. Dan berdoa selama enam bulan berikutnya agar amalan mereka di bulan Ramadhan diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Di antara doa yang mereka lantunkan adalah,

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً

“Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.” (Latha-if al-Ma’arif, 148)

Pada intinya, boleh berdoa memohon agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan, memohon agar diberi kesehatan jasmani agar bisa melaksanakan seluruh amalan-amalan utama saat bulan Ramadhan, dan semisalnya, tanpa harus meyakini adanya lafal tertentu secara khusus sebagai doa menyambut Ramadhan yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam

Menyambut Bulan Ramadhan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

“Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad), dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa mereka yang kumpulkan (dari harta benda). (Yunus: 58)

Yang dimaksud dengan “karunia Allah” pada ayat di atas adalah Al-Qur’anul Karim (Lihat Tafsir As Sa’di).

Bulan Ramadhan dinamakan juga dengan Syahrul Qur’an (Bulan Al Qur’an). Karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut dan pada setiap malamnya Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam untuk mengajari Al-Qur’an kepada beliau. Bulan Ramadhan dengan segala keberkahannya merupakan rahmat dari Allah. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dan lebih berharga dari segala perhiasan dunia.

‘Ulama Ahli Tafsir terkemuka Al-Imam As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Bahwasannya Allah memerintahkan untuk bergembira atas karunia Allah dan rahmat-Nya karena itu akan melapangkan jiwa, menumbuhkan semangat, mewujudkan rasa syukur kepada Allah, dan akan mengokohkan jiwa, serta menguatkan keinginan dalam berilmu dan beriman, yang mendorang semakin bertambahnya karunia dan rahmat (dari Allah). Ini adalah kegembiraan yang terpuji. Berbeda halnya dengan gembira karena syahwat duniawi dan kelezatannya atau gembira diatas kebatilan, maka itu adalah kegimbiraan yang tercela. Sebagaimana Allah berfirman tentang Qarun,

لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ

“Janganlah kamu terlalu bangga, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri.” (Al Qashash: 76)

Karunia dan rahmat Allah berupa bulan Ramadhan juga patut untuk kita sampaikan dan kita sebarkan kepada saudara-saudara kita kaum muslimin. Agar mereka menyadarinya dan turut bergembira atas limpahan karunia dan rahmat dari Allah. Allah berfirman :

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat dari Rabb-Mu hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.” Adh-Dhuha: 11)

Dengan menyebut-nyebut nikmat Allah akan mendorong untuk mensyukurinya dan menumbuhkan kecintaan kepada Dzat yang melimpahkan nikmat atasnya. Karena hati itu selalu condong untuk mencintai siapa yang telah berbuat baik kepadanya.

Para pembaca yang mulia, ….

Maka sudah sepantasnya seorang muslim benar-benar menyiapkan diri untuk menyambut bulan yang penuh barakah itu, yaitu menyiapkan iman, niat ikhlash, dan hati yang bersih, di samping persiapan fisik.

Ramadhan adalan bulan suci yang penuh rahmat dan barakah. Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka pintu-pintu Al-Jannah (surga), menutup pintu-pintu neraka, dan membelenggu syaithan. Allah ‘Azza wa Jalla melipat gandakan amalan shalih yang tidak diketahui kecuali oleh Dia sendiri. Barangsiapa yang menyambutnya dengan sungguh-sungguh, bershaum degan penuh keimanan dan memperbanyak amalan shalih, serta menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang bisa merusak ibadah shaumnya, niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan mengampuni dosa-dosanya dan akan melipatkan gandakan pahalanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berabda:

“Barang siapa yang bershaum dengan penuh keimanan dan harapan (pahala dari Allah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosa yang telah lampau.” (Muttafaqun ‘alahi)

“Setiap amalan bani Adam akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, Allah I berfirman: “kecuali ibadah shaum, shaum itu ibadah untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.” (HR. Muslim)

Masih banyak lagi keutamaan dan keberkahan bulan Ramadhan yang belum disebutkan dan tidak cukup untuk disebutkan di sini.

Namun yang terpenting bagi saudara-saudaraku seiman, adalah mensyukuri atas limpahan karunia Allah dan rahmat-Nya. Janganlah nikmat yang besar ini kita nodai dan kita kotori dengan berbagai penyimpangan dan kemaksiatan. Nikmat itu akan semakin bertambah bila kita pandai mensyukurinya dan nikmat itu akan semakin berkurang bahkan bisa sirna bila kita mengkufurinya.

Termasuk sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah, pada bulan yang penuh barakah ini kita ciptakan suasa yang penuh kondusif. Jangan kita nodai dengan perpecahan. Kewajiban kita seorang muslim mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada para ulama bukan berdasarkan pendapat pribadi atau golongan.

Permasalah yang sering terjadi adalah perbedaan dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan. Wahai saudara-saudaraku, ingatlah sikap seorang muslim adalah mengembalikan kepada Kitabullah (Al-Qur’an) dan As Sunnah dengan bimbingan para ulama yang terpercaya.

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah menetukan pelaksanaan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilal. Beliau bersabda :

“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila (hilal) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” HR. Al-Bukhari dan Muslim

Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan secara kebersamaan. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:

“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka/beriedul Fitri adalah pada saat kalian berbuka/beriedul Fitri, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah)

Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas

dengan perkataan (mereka), ‘sesungguhnya shaum dan ber’Idul Fitri itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah (Pemerintah Muslimin) dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama pemerintah dan jama’ah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa 25/117)

Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha –pen) keputusannya bukanlah di tangan individu, dan tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemerintah dan mayoritas umat Islam, dan dalam hal ini setiap individu pun wajib untuk mengikuti pemerintah dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun pemerintah menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Ash-Shahihah 2/443)

Menaati pemerintah merupakan prinsip yang harus dijaga oleh umat Islam. Terlebih pemerintah kita telah berupaya menempatkan utusan-utusan pada pos-pos ru’yatul hilal di d berbagai daerah di segenap nusantara ini. Rasulullah e bersabda :

“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para pemerintah dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, 13/120).

Sebagai rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pula hendaklah kita hidupkan bulan yang penuh barakah itu dengan amalan-amalan shalih, amalan-amalan yang ikhlash dan mencocoki sunnah Rasulullah. Kita menjauhkan dari amalan-amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah berwasiat :

“Barangsiapa yang membuat-buat amalan baru dalam agama kami yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka amalannya tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Para ‘ulama berkata : “Bahwa hadits merupakan kaidah agung di antara kaidah-kaidah Islam. Ini merupakan salah satu bentuk jawami’ kalim (kalimat singkat namun bermakna luas) yang dimikili oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini sangat jelas dalam membatalkan semua bentuk bid’ah dan hal-hal baru yang dibuat dalam agama. Lafazh kedua lebih bersifat umum, karena mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah, walaupun pembuatnya orang lain.”

Termasuk perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah perbuatan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin dalam menyambut bulan Ramadhan dengan amalan atau ritual tertentu, di antaranya :

1. Apa yang dikenal dengan acara Padusan. Yaitu mandi bersama-sama dengan masih mengenakan busana, terkadang ada yang memimpin di suatu sungai, atau sumber air, atau telaga. Dengan niat mandi besar, dalam rangka membersihkan jiwa dan raga sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Sampai-sampai ada di antara muslimin yang berkeyakinan Kalau sekali saja terlewat dari ritual ini, rasanya ada yang kurang meski sudah menjalankan puasa. Jelas perbuatan ini tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Demikian juga para shahabat, para salafus shalih, dan para ‘ulama yang mulia tidak ada yang mengamalkan atau menganjurkan amaliah tersebut. Sehingga kaum muslimin tidak boleh melakukan ritual ini.

Belum lagi, dalam ritual Padusan ini, banyak terjadi kemungkaran. Ya, jelas-jelas mandi bersama antara laki-laki dan perempuan. Jelas ini merupakan kemungkaran yang sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam.

2. Nyekar di kuburan leluhur.

Tak jarang dari kaum muslimin, menjelang Ramadhan tiba datang ke pemakaman. Dalam Islam ada tuntunan ziarah kubur, yang disyari’atkan agar kaum muslimin ingat bahwa dirinya juga akan mati menyusul saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia lebih dahulu, sehingga dia pun harus mempersiapkan dirinya dengan iman dan amal shalih. Namun ziarah kubur, yang diistilahkan oleh orang jawa dengan nyekar, yang dikhususkan untuk menyambut Ramadhan tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam. Apalagi mengkhusukan nyekar di kuburan leluhur. Ini adalah perkara baru dalam agama. Tak jarang dalam ziarah kubur tercampur dengan kemungkaran. Yaitu sang peziarah malah berdoa kepada penghuni kubur, meminta-minta pada orang yang sudah mati, atau ngalap berkah dari tanah kuburan! Ini merupakan perbuatan syirik!

3. Minta ma’af kepada sesama menjelang datangnya Ramadhan.

Dengan alasan agar menghadapi bulan Ramadhan dengan hati yang bersih, sudah terhapus beban dosa terhadap sesama. Bahkan di sebagian kalangan diyakini sebagai syarat agar puasanya sempurna.

Tidak diragukan, bahwa meminta ma’af kepada sesama adalah sesuatu yang dituntunkan dalam agama, meningat manusia adalah tempat salah dan lupa. Meminta ma’af di sini umum sifatnya, bahkan setiap saat harus kita lakukan jika kita berbuat salah kepada sesama, tidak terkait dengan waktu atau acara tertentu. Mengkaitkan permintaan ma’af dengan Ramadhan, atau dijadikan termasuk cara untuk menyambut Ramadhan, maka jelas ini membuat hal baru dalam agama. Amaliah ini bukan bagian dari tuntunan syari’at Islam.

Itulah beberapa contoh amalan yang tidak ada tuntunan dalam syari’at yang dijadikan acara dalam menyambut bulan Ramadhan. Sayangnya, amaliah tersebut banyak tersebar di kalangan kaum muslimin.

Semestinya dalam menyambut Ramadhan Mubarak ini kita mempersiapkan iman dan niat ikhlash kita. Hendaknya kita berniat untuk benar-benar mengisi Ramadhan ini dengan meningkatkan ibadah dan amal shalih. Baik puasa itu sendiri, memperbaiki kualitas ibadah shalat kita, berjama’ah di masjid, qiyamul lail (shalat tarawih), tilawatul qur’an, memperbanyak dzikir, shadaqah, dan berbagai amal shalih lainnya.

Tentunya itu semua butuh iman dan niat yang ikhlash, disamping butuh ilmu tentang bagaimana tuntunan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam melaksanakan berbagai amal shalih tersebut. agar amal kita menjadi amal yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Juga perlu adanya kesiapan fisik, agar tubuh kita benar-benar sehat sehingga bisa menjalankan berbagai ibadah dan amal shalih pada bulan Ramadhan dengan lancar.

Puncak dari itu semua adalah semoga puasa dan semua amal ibadah kita pada bulan Ramadhan ini benar-benar bisa mengantarkan kita pada derajat taqwa di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.

Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang gagal dalam Ramadhan ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak ada yang ia dapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar saja. Dan berapa banyak orang menegakkan ibadah malam hari, namun tidak ada yang ia dapatkan kecuali hanya begadang saja.” (HR. Ibu Majah)

Juga beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam mendatangiku, dia berkata : ‘Barangsiap yang mendapati bulan Ramadhan namun tidak menyebakan dosanya diampuni dia akan masuk neraka dan Allah jauhkan dia. Katakan amin (wahai Muhammad). Maka aku pun berkata : Amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ahmad)

Semoga kita termasuk orang yang mendapat keutamaan dan fadhilah dalam bulan Ramadhan ini. Semoga Allah menyatukan hati-hati kita di atas Islam dan Iman. Dan semoga Allah menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai jembatan menuju keridhaan Allah ‘Azza wa Jallah dan meraih ketaqwaan kepada-Nya.

Wallähu a’lam..

(Sumber artikel //dakwahhikmah.wordpress.com/2009/08/20/menyambut-ramadhan-mubarak/ atau //www.assalafy.org/mahad/?p=340#more-340)

Berbagi :

Cetak

Terkait

Menyambut Kemenangan di Bulan Ramadhandalam "Aqidah"

Menyambut Bulan Ramadhan, Hati-hati Ritual Anehnyadalam "Aqidah"

Hukum Mengucapkan Selamat dengan Datangnya Bulan Ramadhandalam "Fiqih"

Baca Juga:

Hikmah Ilahi di Balik Musibah yang MelandaPerkataan Asy Syaukani Dalam Nailul Authar Tentang KesyirikanIringi Keburukan Dengan Kebaikan

Artikel sebelumyaRangkuman artikel menyambut bulan suci Ramadhan 1430

Artikel berikutnyaHukum Menunda Pembayaran Hutang Puasa

webadmin

ARTIKEL TERKAITLEBIH DARI PENULIS



JANGAN MENCELA SAHABAT NABI



HAKIKAT NIAT DALAM IBADAH



Contoh Pembandingan Nukilan dengan Sumber Riwayat



Artikel yang sering di baca



BACAAN KETIKA MENYEMBELIH HEWAN AQIQAH

webadmin - 14 Januari 2015

0

Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman Pertanyaan: Afwan ustadz, apa doa ketika kita menyembelih hewan aqiqah ? Jawab: Disunnahkan saat menyembelih binatang untuk ‘aqiqoh dengan membaca: بِسْمِ اللهِ...



Penjelasan Ayat – Ayat Tentang Puasa Dalam Al Quran ( Bag.1)

5 Juli 2013



Kisah-kisah Teladan Menakjubkan Tentang Semangat Menuntut Ilmu

20 April 2012



Perintah Taat kepada Allah, Rasul dan Pemerintah

13 Desember 2005



Siapakah Yazid bin Abdul Qadir Jawwas ?

3 April 2006

Baca Juga:

Hikmah Ilahi di Balik Musibah yang MelandaPerkataan Asy Syaukani Dalam Nailul Authar Tentang KesyirikanIringi Keburukan Dengan Kebaikan



Salaf secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang mendahului kita. Sedangkan secara istilah adalah 3 generasi terbaik yang telah dijamin kebaikannya oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam, yaitu para Sahabat Nabi, Tabiin, dan atbaaut Tabiin

Seseorang yang mengikuti manhaj Salaf adalah orang yang berusaha memahami al-Quran dan Sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam dengan pemahaman para Ulama Salaf. Mereka mengikuti bimbingan para Ulama Salaf dalam menjalani ajaran Dien ini.
Bukan artinya mereka fanatik pada individu-individu Ulama Salaf tersebut, karena secara person tiap mereka (selain Nabi) tidaklah maksum (terjaga dari kesalahan). Namun, jika Ulama Salaf telah sepakat (ijma’) tentang suatu permasalahan Dien, maka ijma’ mereka itu tidak akan pernah salah. Karena umat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam tidak akan pernah bersepakat dalam sebuah kesalahan/ kesesatan. Para Ulama Salafus Sholih adalah ‘al-Jamaah’ yang harus diikuti.

Sitemap

Desain Website oleh DakwahStudio

Salafy.or.id tidak memilik

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

“Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad), dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa mereka yang kumpulkan (dari harta benda). (Yunus: 58)

Yang dimaksud dengan “karunia Allah” pada ayat di atas adalah Al-Qur’anul Karim (Lihat Tafsir As Sa’di).

Bulan Ramadhan dinamakan juga dengan Syahrul Qur’an (Bulan Al Qur’an). Karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut dan pada setiap malamnya Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam untuk mengajari Al-Qur’an kepada beliau. Bulan Ramadhan dengan segala keberkahannya merupakan rahmat dari Allah. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dan lebih berharga dari segala perhiasan dunia.

‘Ulama Ahli Tafsir terkemuka Al-Imam As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Bahwasannya Allah memerintahkan untuk bergembira atas karunia Allah dan rahmat-Nya karena itu akan melapangkan jiwa, menumbuhkan semangat, mewujudkan rasa syukur kepada Allah, dan akan mengokohkan jiwa, serta menguatkan keinginan dalam berilmu dan beriman, yang mendorang semakin bertambahnya karunia dan rahmat (dari Allah). Ini adalah kegembiraan yang terpuji. Berbeda halnya dengan gembira karena syahwat duniawi dan kelezatannya atau gembira diatas kebatilan, maka itu adalah kegimbiraan yang tercela. Sebagaimana Allah berfirman tentang Qarun,

لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ

“Janganlah kamu terlalu bangga, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri.” (Al Qashash: 76)

Karunia dan rahmat Allah berupa bulan Ramadhan juga patut untuk kita sampaikan dan kita sebarkan kepada saudara-saudara kita kaum muslimin. Agar mereka menyadarinya dan turut bergembira atas limpahan karunia dan rahmat dari Allah. Allah berfirman :

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat dari Rabb-Mu hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.” Adh-Dhuha: 11)

Dengan menyebut-nyebut nikmat Allah akan mendorong untuk mensyukurinya dan menumbuhkan kecintaan kepada Dzat yang melimpahkan nikmat atasnya. Karena hati itu selalu condong untuk mencintai siapa yang telah berbuat baik kepadanya.

Para pembaca yang mulia, ….

Maka sudah sepantasnya seorang muslim benar-benar menyiapkan diri untuk menyambut bulan yang penuh barakah itu, yaitu menyiapkan iman, niat ikhlash, dan hati yang bersih, di samping persiapan fisik.

Ramadhan adalan bulan suci yang penuh rahmat dan barakah. Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka pintu-pintu Al-Jannah (surga), menutup pintu-pintu neraka, dan membelenggu syaithan. Allah ‘Azza wa Jalla melipat gandakan amalan shalih yang tidak diketahui kecuali oleh Dia sendiri. Barangsiapa yang menyambutnya dengan sungguh-sungguh, bershaum degan penuh keimanan dan memperbanyak amalan shalih, serta menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang bisa merusak ibadah shaumnya, niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan mengampuni dosa-dosanya dan akan melipatkan gandakan pahalanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berabda:

“Barang siapa yang bershaum dengan penuh keimanan dan harapan (pahala dari Allah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosa yang telah lampau.” (Muttafaqun ‘alahi)

“Setiap amalan bani Adam akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, Allah I berfirman: “kecuali ibadah shaum, shaum itu ibadah untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.” (HR. Muslim)

Masih banyak lagi keutamaan dan keberkahan bulan Ramadhan yang belum disebutkan dan tidak cukup untuk disebutkan di sini.

Namun yang terpenting bagi saudara-saudaraku seiman, adalah mensyukuri atas limpahan karunia Allah dan rahmat-Nya. Janganlah nikmat yang besar ini kita nodai dan kita kotori dengan berbagai penyimpangan dan kemaksiatan. Nikmat itu akan semakin bertambah bila kita pandai mensyukurinya dan nikmat itu akan semakin berkurang bahkan bisa sirna bila kita mengkufurinya.

Termasuk sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah, pada bulan yang penuh barakah ini kita ciptakan suasa yang penuh kondusif. Jangan kita nodai dengan perpecahan. Kewajiban kita seorang muslim mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada para ulama bukan berdasarkan pendapat pribadi atau golongan.

Permasalah yang sering terjadi adalah perbedaan dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan. Wahai saudara-saudaraku, ingatlah sikap seorang muslim adalah mengembalikan kepada Kitabullah (Al-Qur’an) dan As Sunnah dengan bimbingan para ulama yang terpercaya.

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah menetukan pelaksanaan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilal. Beliau bersabda :

“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila (hilal) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” HR. Al-Bukhari dan Muslim

Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan secara kebersamaan. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:

“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka/beriedul Fitri adalah pada saat kalian berbuka/beriedul Fitri, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah)

Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas

dengan perkataan (mereka), ‘sesungguhnya shaum dan ber’Idul Fitri itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah (Pemerintah Muslimin) dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama pemerintah dan jama’ah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa 25/117)

Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha –pen) keputusannya bukanlah di tangan individu, dan tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemerintah dan mayoritas umat Islam, dan dalam hal ini setiap individu pun wajib untuk mengikuti pemerintah dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun pemerintah menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Ash-Shahihah 2/443)

Menaati pemerintah merupakan prinsip yang harus dijaga oleh umat Islam. Terlebih pemerintah kita telah berupaya menempatkan utusan-utusan pada pos-pos ru’yatul hilal di d berbagai daerah di segenap nusantara ini. Rasulullah e bersabda :

“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para pemerintah dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, 13/120).

Sebagai rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pula hendaklah kita hidupkan bulan yang penuh barakah itu dengan amalan-amalan shalih, amalan-amalan yang ikhlash dan mencocoki sunnah Rasulullah. Kita menjauhkan dari amalan-amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah berwasiat :

“Barangsiapa yang membuat-buat amalan baru dalam agama kami yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka amalannya tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Para ‘ulama berkata : “Bahwa hadits merupakan kaidah agung di antara kaidah-kaidah Islam. Ini merupakan salah satu bentuk jawami’ kalim (kalimat singkat namun bermakna luas) yang dimikili oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini sangat jelas dalam membatalkan semua bentuk bid’ah dan hal-hal baru yang dibuat dalam agama. Lafazh kedua lebih bersifat umum, karena mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah, walaupun pembuatnya orang lain.”

Termasuk perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah perbuatan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin dalam menyambut bulan Ramadhan dengan amalan atau ritual tertentu, di antaranya :

1. Apa yang dikenal dengan acara Padusan. Yaitu mandi bersama-sama dengan masih mengenakan busana, terkadang ada yang memimpin di suatu sungai, atau sumber air, atau telaga. Dengan niat mandi besar, dalam rangka membersihkan jiwa dan raga sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Sampai-sampai ada di antara muslimin yang berkeyakinan Kalau sekali saja terlewat dari ritual ini, rasanya ada yang kurang meski sudah menjalankan puasa. Jelas perbuatan ini tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Demikian juga para shahabat, para salafus shalih, dan para ‘ulama yang mulia tidak ada yang mengamalkan atau menganjurkan amaliah tersebut. Sehingga kaum muslimin tidak boleh melakukan ritual ini.

Belum lagi, dalam ritual Padusan ini, banyak terjadi kemungkaran. Ya, jelas-jelas mandi bersama antara laki-laki dan perempuan. Jelas ini merupakan kemungkaran yang sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam.

2. Nyekar di kuburan leluhur.

Tak jarang dari kaum muslimin, menjelang Ramadhan tiba datang ke pemakaman. Dalam Islam ada tuntunan ziarah kubur, yang disyari’atkan agar kaum muslimin ingat bahwa dirinya juga akan mati menyusul saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia lebih dahulu, sehingga dia pun harus mempersiapkan dirinya dengan iman dan amal shalih. Namun ziarah kubur, yang diistilahkan oleh orang jawa dengan nyekar, yang dikhususkan untuk menyambut Ramadhan tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam. Apalagi mengkhusukan nyekar di kuburan leluhur. Ini adalah perkara baru dalam agama. Tak jarang dalam ziarah kubur tercampur dengan kemungkaran. Yaitu sang peziarah malah berdoa kepada penghuni kubur, meminta-minta pada orang yang sudah mati, atau ngalap berkah dari tanah kuburan! Ini merupakan perbuatan syirik!

3. Minta ma’af kepada sesama menjelang datangnya Ramadhan.

Dengan alasan agar menghadapi bulan Ramadhan dengan hati yang bersih, sudah terhapus beban dosa terhadap sesama. Bahkan di sebagian kalangan diyakini sebagai syarat agar puasanya sempurna.

Tidak diragukan, bahwa meminta ma’af kepada sesama adalah sesuatu yang dituntunkan dalam agama, meningat manusia adalah tempat salah dan lupa. Meminta ma’af di sini umum sifatnya, bahkan setiap saat harus kita lakukan jika kita berbuat salah kepada sesama, tidak terkait dengan waktu atau acara tertentu. Mengkaitkan permintaan ma’af dengan Ramadhan, atau dijadikan termasuk cara untuk menyambut Ramadhan, maka jelas ini membuat hal baru dalam agama. Amaliah ini bukan bagian dari tuntunan syari’at Islam.

Itulah beberapa contoh amalan yang tidak ada tuntunan dalam syari’at yang dijadikan acara dalam menyambut bulan Ramadhan. Sayangnya, amaliah tersebut banyak tersebar di kalangan kaum muslimin.

Semestinya dalam menyambut Ramadhan Mubarak ini kita mempersiapkan iman dan niat ikhlash kita. Hendaknya kita berniat untuk benar-benar mengisi Ramadhan ini dengan meningkatkan ibadah dan amal shalih. Baik puasa itu sendiri, memperbaiki kualitas ibadah shalat kita, berjama’ah di masjid, qiyamul lail (shalat tarawih), tilawatul qur’an, memperbanyak dzikir, shadaqah, dan berbagai amal shalih lainnya.

Tentunya itu semua butuh iman dan niat yang ikhlash, disamping butuh ilmu tentang bagaimana tuntunan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam melaksanakan berbagai amal shalih tersebut. agar amal kita menjadi amal yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Juga perlu adanya kesiapan fisik, agar tubuh kita benar-benar sehat sehingga bisa menjalankan berbagai ibadah dan amal shalih pada bulan Ramadhan dengan lancar.

Puncak dari itu semua adalah semoga puasa dan semua amal ibadah kita pada bulan Ramadhan ini benar-benar bisa mengantarkan kita pada derajat taqwa di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.

Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang gagal dalam Ramadhan ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak ada yang ia dapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar saja. Dan berapa banyak orang menegakkan ibadah malam hari, namun tidak ada yang ia dapatkan kecuali hanya begadang saja.” (HR. Ibu Majah)

Juga beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam mendatangiku, dia berkata : ‘Barangsiap yang mendapati bulan Ramadhan namun tidak menyebakan dosanya diampuni dia akan masuk neraka dan Allah jauhkan dia. Katakan amin (wahai Muhammad). Maka aku pun berkata : Amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ahmad)

Semoga kita termasuk orang yang mendapat keutamaan dan fadhilah dalam bulan Ramadhan ini. Semoga Allah menyatukan hati-hati kita di atas Islam dan Iman. Dan semoga Allah menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai jembatan menuju keridhaan Allah ‘Azza wa Jallah dan meraih ketaqwaan kepada-Nya.

Wallähu a’lam..

Dikutip dari Salafy.or.id

Setan Mendatangi Manusia Ketika Sakaratul Maut

Ketika diusir oleh Allah, dan dicap sebagai pembangkang, dia bersumpah di hadapan Allah – dengan semangat hasad kepada Adam dan keturunannya –,

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ، ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ ، وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ ، وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (QS. al-A’raf: 16 – 17)

Dalam hadis dari Abu Said al-Khuri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَالَ: وَعِزَّتِكَ يَا رَبِّ، لَا أَبْرَحُ أُغْوِي عِبَادَكَ مَا دَامَتْ أَرْوَاحُهُمْ فِي أَجْسَادِهِمْ، قَالَ الرَّبُّ: وَعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَزَالُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِي

Iblis bersumpah, demi keagungan-Mu ya Rab, aku tidak akan pernah berhenti untuk menyesatkan hamba-hamba-Mu, selama ruh mereka masih dikandung jasad. Allah berfirman, “Demi keagungan dan kumuliaan-Ku, Aku akan senantiasa memberikan ampunan untuk mereka, selama mereka memohon ampun kepada-Ku.” (HR. Ahmad 11237 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Atas sumpah ini, iblis dan bala tentaranya sangat antusias untuk menyesatkan manusia. Terutama di suasana-suasana genting, ketika manusia di posisi sangat labil.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَىْءٍ مِنْ شَأْنِهِ

Sesungguhnya setan mendatangi kalian dalam segala urusan kalian. (HR. Muslim 5423).

Setan Mendatangi Manusia Ketika Sakaratul Maut

Itulah detik-detik yang paling menentukan nasib manusia di akhirat. Karena semua amal dinilai berdasarkan ujungnya. Di saat itulah, setan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Bisa jadi, dia akan mendatangi manusia ketika kematian. Karena itu, salah satu doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memohon perlindungan kepada Allah, agar tidak disesatkan setan ketika kematian.

Dalam salah satu doanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,

وَأَعُوذُ بِكَ أَن يَتَخَبَّطَنِي الشَّيطَانُ عِندَ المَوتِ

Aku berlindung kepada-Mu agar tidak disesatkan setan ketika kematian. (HR. Ahmad 8667, Abu Daud 1554 dan dishahihkan al-Albani)

Al-Khathabi menjelaskan hadis di atas, dengan menyebutkan beberapa bentuk gangguan setan ketika mendekati kematian,

استعاذته عليه الصلاة والسلام من تخبط الشيطان عند الموت ، هو أن يستولي عليه الشيطان عند مفارقته الدنيا ، فيضله ويحول بينه وبين التوبة ، أو يعوقه عن إصلاح شأنه والخروج من مظلمة تكون قِبَله ، أو يؤيسه من رحمة الله تعالى ، أو يكره الموت ويتأسف على حياة الدنيا ، فلا يرضى بما قضاه الله من الفناء ، والنقلة إلى دار الآخرة ، فيختم له بسوء ، ويلقى الله وهو ساخط عليه .

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari disesatkan setan ketika kematian, bentuknya adalah setan mengganggunya ketika dia hendak meninggal dunia. Lalu setan menyesatkannya, sehingga menghalangi dia untuk bertaubat, atau menutupi dirinya sehingga tidak mau memperbaiki urusannya atau memohon maaf dari kedzaliman yang pernah dia lakukan. Atau membuat dia merasa putus asa dari rahmat Allah. atau membuat dia benci dengan kematian dan merasa sedih meninggalkan hartanya, sehingga dia tidak ridha dengan keputusan Allah berupa kematian, dan menuju akhirat. Sehingga dia akhiri hidupnya dengan keburukan, lalu dia bertemu Allah dalam kondisi Dia murka kepada-Nya

Kemudian, al-Khithabi menegaskan,

وقد روي أن الشيطان لا يكون في حال أشد على ابن ادم منه في حال الموت ، يقول لأعوانه : دونكم هذا ، فإنه إن فاتكم اليوم لم تلحقوه بعد اليوم .

Diriwayatkan bahwa tidak ada kesempatan yang lebih diperhatikan setan untuk menyesatkan manusia, selain ketika kematiannya. Dia akan mengundang rekan-rekannya, “Kumpul di sini, jika kalian tidak bisa menyesatkannya pada hari ini, kalian tidak lagi bisa menggodanya selamanya.” (Aunul Ma’bud, 4/287).

Di sana ada beberapa kejadian yang dialami para ulama, ketika proses kematiannya, setan berusaha untuk menggodanya.

Diantaranya Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah

Diceritakan oleh Abdullah putra Imam Ahmad,

Aku menghadiri proses meninggalnya bapakku, Ahmad. Aku membawa selembar kain untuk mengikat jenggot beliau. Beliau kadang pingsan dan sadar lagi. Lalu beliau berisyarat dengan tangannya, sambil berkata, “Tidak, menjauh…. Tidak, menjauh…” beliau lakukan hal itu berulang kali. Maka aku tanyakan ke beliau, “Wahai ayahanda, apa yang Anda lihat? Beliau menjawab,

إن الشيطان قائم بحذائي عاض على أنامله يقول: يا أحمد فُتَّنِي، وَأَنـاَ أَقُولُ: لَا بُعْدٌ لَا بُعْدٌ

“Sesungguhnya setan berdiri di sampingku sambil menggingit jarinya, dia mengatakan, ‘Wahai Ahmad, aku kehilangan dirimu (tidak sanggup menyesatkanmu).  Aku katakan: “Tidak, masih jauh…. Tidak, masih jauh….” (Tadzkirah Al-Qurthubi, Hal. 186)

Maksud cerita ini, setan hendak menyesatkan Imam Ahmad dengan cara memuji Imam Ahmad. Setan mengaku menyerah di hadapan Imam Ahmad, agar beliau menjadi ujub terhadap diri sendiri dan bangga terhadap kehebatannya. Tapi beliau sadar, ini adalah tipuan. Beliau tolak dengan tegas: “Tidak, saya masih jauh, tidak seperti yang kamu sampaikan….” tidak bisa kita bayangkan, andaikan ujian semacam ini menimpa tokoh agama atau orang awam di sekitar kita…

Termasuk juga, kejadian yang pernah dialami salah satu ulama Kordoba. Seperti yang diceritakan Imam al-Qurthubi,

“Saya mendengar guru kami, Abu Abbas Ahmad bin Umar di daerah perbatasan Iskandariyah bercerita: ‘Saya menjenguk saudara guruku, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad di daerah Kordoba. Ketika itu beliau sedang sekarat. Ada yang mentalqin beliau: ucapkan: Laa ilaaha illallaah…

Tapi orang ini malah menjawab: Tidak… Tidak… Setelah beliau sadar, beliau bercerita: ‘Ada dua setan mendatangiku, satu di sebelah kanan dan satunya di sebelah kiri. Yang satu menyarankan: Matilah dengan memeluk Yahudi, karena itu adalah agama terbaik. Satunya berkata: Matilah memeluk Nasrani, karena itu adalah agama terbaik’. Lalu aku jawab: Tidak… Tidak…” (Tadzkirah al-Qurthubi, Hal. 187)

Memang tidak semua orang mengalaminya. Ada yang mengalami kejadian demikian dan ada yang tidak mengalami.  Namun setidaknya ini menjadi peringatan bagi kita akan betapa mencekamnya sakaratul maut. Karena yang menentukan status manusia adalah ujung hidupnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا

“Nilai amal, dintentukan keadaan akhirnya.” (HR. Bukhari 6493, Ibn Hibban 339 dan yang lainnya)

Semoga Allah menyelamatkan kita dari semua tipu daya setan.

اللَّهُمَّ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.

Allahu a’lam.

Dikutip dari https://konsultasisyariah.com