Senin, 18 Februari 2019

Makna Sabar

Salah satu tanda kehidupan manusia adalah dengan adanya ujian yang diberikan oleh Allah Subhana hua ta’ala untuk menguji seberapa besar keimanan dan ketakwaan kita dalam menghadapi ujian tersebut. Selain itu,  ujian-ujian yang kita hadapi juga akan menambah kedewasaan cara pikir dan cara bersikap kita dalam kehidupan sehari-hari sehingga dari tiap-tiap tingkatan ujian yang kita hadapi tersebut akan membentuk diri kita menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. (Baca juga: Cinta Sejati Dalam Islam; Keutamaan Menjaga Lisan dalam Islam)

Semua orang mengetahui hal tersebut dan semua orang juga menyadari bahwa ujian dan masalah dalam hidup harus kita hadapi dengan bijak dan penuh dengan kesabaran, supaya dapat merasakan dan memetik hikmah serta menjadi pribadi yang lebih dewasa juga lebih beriman. Namun tidak semua orang mampu menerapkan kesabaran dalam setiap ujian dan masalah yang dihadapainya. Banyak orang yang justru lepas kendali saat menghadapi ujian dan malah kehilangan kesabaran bahkan mengambil solusi yang tidak diridhai oleh Allah. (Baca juga: Ciri-Ciri Wanita Penghuni Neraka; Doa Ketika Rindu Seseorang)

Karena sabar bukanlah perkara yang mudah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih dalam masalah dan ujian yang harus kita hadapi. Karena sabar adalah mengenai bagaimana kita menahan atau bertahan, yakni menahan diri dari rasa gelisah, cemas, amarah, menahan lidah dari keluh kesah, dan menahan anggota tubuh dari kekacauan yang mungkin terjadi dari berbagai sebab baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain.

Kemudian jika kita tidak dapat bersabar dalam menghadapi setiap masalah dalam kehidupan, maka hal buruknya tidak akan menimpa diri kita tapi juga banyak orang d sekitar kita yang mungkin tidak tahu-menahu tentang apa yang tengah kita hadapi. Seperti ketika kita kehilangan sabar saat sedang berkendara dan menunggu lampu merah, kemudian kita langsung menerobos lampu merah tersebut sedangkan dari arah lain ada kendaraan yang akan melintas maka hal tersebut bisa jadi kecelakaan dan membahayakan banyak nyawa di sekitar lampu merah tersebut. Hanya karena ketidak sabaran, hanya karena ketidak mampuan kita dalam menahan diri dari rasa serba ingin cepat.

Sabar dalam agama Islam memiliki keutamaan dan manfaat yang sangat besar. Karena sabar adalah termasuk perilaku mulia yang sangat perlu untuk di lakukan oleh seluruh umat. Dengan sabar maslah yang kita hadapi jadi terasa lebih ringan, dengan sabar masalah yang kita hadapi bisa diselesaikan dengan lebih efektif, dengan sabar masalah yang kita hadapi dapat diselesaikan tanpa menyisakan rasa sakit hati atau menimbulkan rasa sakit hati lainnya, dengan sabar pula kita akan senantiasa menjalani kehidupan dengan lebih tenang dan tentram tanpa merasa gelisah apalagi bermuram hati.

Sabar sendiri terbagi dalam tiga perkara di kehidupan sehari-hari, yang pertama adalah sabar dalam ketaatan kepada Allah; kemudian yang kedua adalah sabar dalam menjauhi kemaksiatan; dan yang terakhir adalah sabar dalam menghadapi takdir Allah.

Yang dimaksud dengan sabar dalam ketaatan kepada Allah adalah bagaimana kita tetap menjaga kesabaran dalam menjalani kehidupan dan mengamalkan perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan dengan ikhlas dan secara kontinu kemudian di niatkannya hanya untuk mendapatkan ridha Allah subhana hua ta’ala.

Dalam surat Yusuf ayat 53 Allah berfirman:

۞وَمَآ أُبَرِّئُ نَفۡسِيٓۚ إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيٓۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٥٣

Artinya:

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS Yusuf : 53).

Kemudian dalam hadis juga dijelaskan bahwa:

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR. Muslim)

Kemudian yang dimaksud dengan sabar dalam menjauhi kemaksiatan adalah bagaimana kita diharuskan untuk menjaga kesabaran dan hawa nafsu untuk menghindari kemaksiatan.  Abdullah bin Mas’ud radhiAllahu anhu berkata bahwa:

”Orang beriman melihat dosa-dosanya seolah-olah ia duduk di bawah gunung, ia takut gunung tersebut menimpanya. Sementara orang yang fajir (suka berbuat dosa) melihat dosanya seperti lalat yang lewat di atas hidungnya.” (HR. Bukhari).

Sedangkan maksud dari sabar dalam menghadapi takdir Allah adalah bagaimana kita menghadapi takdir Allah dengan sabar dan bijak. Takdir yang menimpa manusia bisa merupakan takdir yang menyenangkan dan takdir yang menyedihkan atau berupa musibah. Kedua perkara takdir tersebut harus hadapi dengan penuh rasa syukur dan rasa sabar.

Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Semua perkara (yang menimpanya) adalah kebaikan baginya dan tidaklah hal ini terjadi kecuali hanya pada diri seorang mukmin. Jika dia mendapat kebahagiaan dia bersyukur maka hal ini adalah baik baginya. Dan jika tertimpa musibah dia bersabar maka itu juga baik baginya.” (HR. Muslim).

Begitu pentingnya sabar dalam untuk diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari, Bahkan kata sabar ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an hingga mencapai sebanyak 74 kali. (Baca juga: Cara Menghilangkan Dendam dalam Islam; Ghibah yang Diperbolehkan dalam Islam)

Salah satunya adalah seperti dalam surat al-baqarah ayat 45, sebuah firman Allah mengenai perintah untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong utama bagi setiap masalah ataupun ujian yang tengah kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Ayat ini berbunyi:

وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَٰشِعِينَ ٤٥

Artinya:

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu´. (Al-Baqarah : 45)

Kemudian dalam surat Thaahaa ayat 132 juga menjelaskan tentang perintah Allah subhana hua ta’ala akan kewajiban manusia untuk mendirikan shalat serta menerapkan kesabaran dalam mengerjakannya dan Allah akan memberi rezeki bahkan pertolongan kepada orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman:

وَأۡمُرۡ أَهۡلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَاۖ لَا نَسۡ‍َٔلُكَ رِزۡقٗاۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكَۗ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلتَّقۡوَىٰ ١٣٢

Artinya:

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (Thaahaa:132).

Keutamaan Sabar Dalam Islam

Selain telah tertuang dalam banyak surat-surat al-Qur’an yang secara khusus, dimana Allah memerintahkan langsung kepada umat untuk menerapkan sabar dalam setiap masalah yang dihadapi, perkara sabar juga memiliki banyak keutamaan dalam Islam baik keutamaan duniawi maupun keutamaan ukhrowi. Berikut ini adalah keutamaan-keutamaan dari sifat sabar dalam agama Islam:

Orang yang sabar akan senatiasa bersama-sama Allah

Sabar adalah suatu tindakan mulia yang disukai oleh Allah, oleh karena itu siapapun orang yang selalu menerapkan dan mengusahakan kesabaran dalam menjalani kehidupannya akan lebih dicintai dan dekat dengan Allah Subhana hua ta’ala. Allah akan senantiasa memelihara kesabaran, menjaga, melindungi, dan menolong mereka dari setiap hal apapun yang menimpa mereka. (Baca juga: Adab Bertamu dalam Islam; Cara Mendidik Anak Perempuan Menurut Islam)

Apresiasi berupa predikat taqwa kepada orang-orang yang bersabar dalam menghadapi ujian Allah

Selain senantisa melindungi dan meridhai orang-orang yang bersabar, Allah juga akan memberikan sebuah apresiasi yang luar biasa berupa predikat taqwa dari Allah subhana hua ta’ala.

Hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah dari surat al-Qur’an  Al-Baqarah ayat 177 yang berbunyi:

۞لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ ١٧٧

Artinya:

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah : 177)

Kemudian dalam surat Ali Imran ayat 125 yang berbunyi:

بَلَىٰٓۚ إِن تَصۡبِرُواْ وَتَتَّقُواْ وَيَأۡتُوكُم مِّن فَوۡرِهِمۡ هَٰذَا يُمۡدِدۡكُمۡ رَبُّكُم بِخَمۡسَةِ ءَالَٰفٖ مِّنَ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ مُسَوِّمِينَ ١٢٥

Artinya:

Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. (Ali Imran : 125)

Bersabar adalah ladang pahala tanpa batas

Dalam surat az Zummar ayat 10 dijelaskan bahwa Allah subhana hua ta’ala senantiasa akan memberikan balasan luar biasa kepada mereka berupa pahala yang lebih baik dan tanpa batas, dimana pahala tersebut hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bersabar dalam menghadapi ujiannya.

قُلۡ يَٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمۡۚ لِلَّذِينَ أَحۡسَنُواْ فِي هَٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٞۗ وَأَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٌۗ إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٖ ١٠

Artinya:

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Az Zummar:10)

Kemudian dalam surat al Qashash ayat 80 juga menjelaskan hal serupa, yang berbunyi:

وَقَالَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ وَيۡلَكُمۡ ثَوَابُ ٱللَّهِ خَيۡرٞ لِّمَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗاۚ وَلَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلصَّٰبِرُونَ ٨٠

artinya:

Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar”. (QS Al Qashash:80)

Serta dalam surat an-Nahl ayat 96 yang berbunyi:

مَا عِندَكُمۡ يَنفَدُ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٖۗ وَلَنَجۡزِيَنَّ ٱلَّذِينَ صَبَرُوٓاْ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٦

Artinya:

Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (Q.S. an-Nahl : 96).

Allah menjanjikan kabar gembira bagi Orang-orang yang sabar

وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥

Artinya:

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS Al Baqoroh:155).

Orang-orang yang sabar adalah orang-orang yang mulia

Kemuliaan bagi orang-orang sabar ini dituangkan dalam surat Asy Syura ayat 43

وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ ٤٣

Artinya:

Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan (QS Asy Syura:43).

Orang-orang yang bersabar akan dapat mengambil hikmah

Dalam surat Ibrahim ayat 5 dijelaskan bahwa hanya orang-orang yang mampu menerapkan kesabaranlah yang nantinya akan mampu memetik nikmat hikmat atau pelajaran yang bermanfaat dari masalah-masalah dan ujian hidup yang dihadapinya. Ayat ini berbunyi:

وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا مُوسَىٰ بِ‍َٔايَٰتِنَآ أَنۡ أَخۡرِجۡ قَوۡمَكَ مِنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ وَذَكِّرۡهُم بِأَيَّىٰمِ ٱللَّهِۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّكُلِّ صَبَّارٖ شَكُورٖ ٥

Artinya:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): “Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah”. Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyuku. (QS Ibrahim:5).

Orang sabar akan memperoleh keberuntungan, keselamatan

Sesungguhnya kesabaran itu akan mendatangkan keberuntungan dan meminimalisir rasa takut dari ketakutan apapun serta sangat berpeluang untuk masuk surganya Allah bagi siapapun yang menerapkannya.

Sabar mewariskan derajat kepeloporan dan kepemimpinan

Sifat sabar adalah salah satu kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin terlebih dalam hal agama. Hal ini dijelaskan dalam surat as-Sajdah ayat 24 yang berbunyi:

وَجَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَئِمَّةٗ يَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَمَّا صَبَرُواْۖ وَكَانُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَا يُوقِنُونَ ٢٤

Artinya:

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS As-Sajdah:24)

Sabar merupakan bagian dari iman

Kesabaran sangat berhubungan dengan keimanan dan amal shalih seseorang, jika diibaratkan Kedudukannya kepala yang merupakan bagian terpenting untuk dimiliki oleh tubuh kita, maka tiada artinya jika keimanan kita tanpa adanya kesabaran dalam diri kita.

Sabar membuat kita lebih peka terhadap kekuasaan Allah subhana hua ta’ala

Dengan menerapkan kesabaran dalam setiap ujian hidup maka akan menjadikan kita manusia yang lebih peka terhadap apa-apa yang menjadi kekuasaan dan keagungan Allah sang pencipta seluruh alam ini. Hal ini dijelaskan dalam surat Asy-Syura ayat 32-33 yang berbunyi:

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِ ٱلۡجَوَارِ فِي ٱلۡبَحۡرِ كَٱلۡأَعۡلَٰمِ ٣٢ إِن يَشَأۡ يُسۡكِنِ ٱلرِّيحَ فَيَظۡلَلۡنَ رَوَاكِدَ عَلَىٰ ظَهۡرِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّكُلِّ صَبَّارٖ شَكُورٍ ٣٣

Artinya:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal di tengah (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung; Jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaannya) bagi setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur. (Asy-Syura : 32-33)

Sabar selalu mendatangkan hal-hal baik dlam kehidupan, bahkan meskipun kita tengah menghadapi masalah maupun ujian dalam kehidupan. Karena setiap masalah dan ujian yang kita hadapi pasti akan mendatangkan hikmah dan kebaikan dalam diri dan kehidupan kita. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis:

Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mu’min: Yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim)

Sabar sebagai cobaan bagi manusia

Seperti yang tertuang dalam pembahasan awal bahwa Allah menilai keimanan kita dari ujian-ujian yang diberikan kepada kita, apakah kita menghadapinya dengan sabar dan selalu melibatkan Allah atau bahkan sebaliknya, kehilangan kesabaran dan mengambil jalan yang salah.

Keimanan yang tinggi di hadapan Allah adalah ia yang mampu menghadapi ujian dengan sabar sehingga Allah memberikan ia cobaan yang lebih keras, sedangkan jika keimanannya lemah maka Allah akan memberikan cobaan yang lebih ringan.

Hal ini dijelaskan dalam hadis, bahwa:

“Dari Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, dia berkata. ‘Aku pernah bertanya : Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras cobaannya ?. Beliau menjawab. Para nabi, kemudian orang pilihan dan orang pilihan lagi. Maka seseorang akan diuji menurut agamanya.

Apabila agamanya merupakan (agama) yang kuat, maka cobaannya juga berat. Dan, apabila di dalam agamanya ada kelemahan, maka dia akan diuji menurut agamanya. Tidaklah cobaan menyusahkan seorang hamba sehingga ia meninggalkannya berjalan di atas bumi dan tidak ada satu kesalahan pun pada dirinya”. (hadis Ibnu Majah)


Kemudian dalam surat Muhammad ayat 31 juga dijelaskan tentang bagaimana Allah akan menguji manusia-manusia yang berjihad dan bersabar. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَنَبۡلُوَنَّكُمۡ حَتَّىٰ نَعۡلَمَ ٱلۡمُجَٰهِدِينَ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَنَبۡلُوَاْ أَخۡبَارَكُمۡ ٣١

Artinya:

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu (Q.S. Muhammad : 31)


Demikianlah artikel mengenai keutamaan sabar dalam islam kali ini. Kesabaran adalah perkara yang tidak mudah namun menjanjikan kejayaan dan ketenteraman hati di dunia bahkan hingga di akhirat nanti. Oleh karena itu sabar sangat perlu untuk diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.


Semoga dengan membaca artikel ini dapat menambah khazanah keilmuan serta ketakwaan maupun keimanan kita semua khususnya dalam hal kesabaran karena sabar tidak hanya suatu perkara untuk menerima masalah maupun menahan di dari emosi yang kita rasakan saat menghadapi suatu masalah tapi juga perkara untuk lebih meningkatkan kualitas diri dalam berbagai aspek baik dari segi keimanan, ketaqwaan, kedewasaan, dan lainnya.

Meneladani Sifat Rosul

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 21).

Salah satu nikmat besar Allah kepada manusia adalah diutusnya Muhammad s.a.w. sebagai nabi dan rasul-Nya. Hal mana peringatan hari kelahiran (maulid) beliau akan diperingati oleh ummat Islam beberapa hari yang akan datang. Siapakah Muhammad s.a.w. itu? Allah memperkenalkan beliau kepada kita dengan firman-Nya:

“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (Q.S. At-Taubah [9]: 128).

Dengan ungkapan lain, beliau adalah sosok pribadi yang santun, peduli (caredan concern) terhadap permasalahan ummatnya, ber-empati, dan lemah lembut). Beruntunglah kita memiliki panutan sejati yang mempunyai perfect personality. Untuk itu, masih adakah orang mukmin yang berpaling dari beliau dan (justru) mencari idola palsu dan tokoh ikutan lain bagi kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat? Sungguh, hal itu adalah kebodohan yang nyata.

Pertanyaan kedua adalah: apa misi diutusnya Muhammad s.a.w. kepada segenap manusia? Allah menjelaskannya sebagai berikut:

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi; pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan; untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya; dan untuk jadi cahaya yang menerangi”. (Q.S. Al-Ahzab [9]: 45-46).

Di surat yang lain Allah berfirman (yang artinya):

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama, meskipun orang musyrik membenci”. (Q.S. Ash-Shaf [61]: 9).

Beliau juga diutus untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.

Kemudian, mengapa kita mesti meneladani pribadi Rasulullah s.a.w.? Beliau adalah sosok pribadi paripurna. Allah s.w.t. memuji beliau:

“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Q.S. Al-Qalam [68]: 4).

Apa sifat-sifat utama Muhammad s.a.w. yang harus kita teladani?

Sifat pertama, shidq (benar/jujur, dalam perkataan maupun perbuatan). Allah s.w.t. menyandingkan perintah bertakwa dengan perintah mengikuti orang-orang yang bersifat shidq.

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. (Q.S. At-Taubah [9]: 119).

Mengapa kita sebagai ummat Muhammad harus meneladani sifat shidq beliau? Pertama, sebagai mukmin, kita berkewajiban berdakwah (mengajak manusia kepada jalan Allah) sesuai dengan peran dan kapabilitas masing-masing. Dan untuk itu tidak mungkin kita menyampaikan sesuatu yang dusta (tidak sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya). Kedua, kebenaran dan kejujuran adalah pilar utama kehidupan bermasyarakat. Untuk itu, janganlah sekali-kali berbohong, meski dengan maksud iseng, apalagi berbohong/berdusta terhadap (ajaran) Allah dan Rasul-Nya.

Nabi s.a.w. memperingatkan kita: jujur mengantarkan (pelakunya) kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan kepada surga. Sebaliknya, dusta mengantarkan kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan kepada neraka.

Cara untuk mencegah dan menghindarkan diri dari dusta antara lain dengan berbicara seperlunya, tidak berlebihan dalam mengobrol dan melucu. Orang beriman memang mestinya berkata benar, atau (jika tidak dapat) lebih baik diam. Begitu nasihat Rasul. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).

Sifat kedua, amanah (amanat, dapat dipercaya). Allah s.w.t. berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 58).

Ingatlah misalnya ketika Muhammad s.a.w. ikut menyelesaikan permusuhan di antara kaum Quraisy pada masa jahiliyah, yang membuahkan kesepakatan Hilf al-Fudhul. Perhatikan juga contoh teladan beliau ketika menjalankan bisnis Siti Khadijah (sebelum beliau menikah); juga ketika beliau mendamaikan para pemuka Quraisy yang bertikai tentang masalah siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad di bangunan Ka’bah yang baru direnovasi. Semua itu menjadikan beliau dijuluki Al-Amien (yang dapat dipercaya) oleh kaumnya.

Shidq dan amanah adalah ciri utama orang beriman. Sebaliknya, dusta dan khianat adalah sifat orang munafik. Sifat amanah niscaya penting dan menjadi tuntutan utama setiap profesi.

Rasulullah s.a.w. bersabda: “Seorang pedagang yang amanah dan jujur (kelak di akhirat) berada bersama dengan para nabi, ash-shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shalih.” (H.R. At-Tirmidzi)[4]

Sifat ketiga, tabligh (menyampaikan hal yang diperintahkan untuk disampaikan, tidak menyembunyikannya).

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.(Q.S. Al-Maidah [5]: 67).

“Dan janganlah kamu (Bani Israil) campuradukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu[5], sedang kamu mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 42).

Allah s.w.t. mengancam orang-orang yang menyembunyikan kebenaran dengan hukuman dan siksa: [1] dilaknat oleh Allah dan semua makhluk (Q.S. Al-Baqarah [2]: 159); [2] masuk neraka (Q.S. Al-Baqarah [2]: 174).

Dalam bidang pendidikan dan/atau keilmuan, Nabi s.a.w. bersabda (yang artinya): “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lalu dia tidak mau menjawab (menyembunyikannya), niscaya dia di hari kiamat akan dikekang dengan tali kekang dari api neraka”.

Keempat, fathanah (cerdas, cerdik, dan pandai). Kecerdasan dan kepadaian (pencapaian derajat ilmiah) itu niscaya perlu, bahkan terpuji.

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (Q.S. Al-Mujadilah [58]: 11).

Telah maklum dan diakui bahwa setiap bidang kehidupan memerlukan ilmunya yang tersendiri. Ilmu dibutuhkan oleh manusia sebagai individu maupun sebagai komunitas masyarakat. Ilmu juga dibutuhkan dalam rangka beribadah dan memahami petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Hanya saja, ilmu itu haruslah bermanfaat (dalam pengertian produktif dan konstruktif), terutama untuk membangun bangsa dan negara yang aman, damai, sejahtera, adil, dan beradab (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Sebutan negara dan bangsa maju (developed countries, super power, dan lain-lain) selalu merujuk kepada tingginya pencapaian ilmu pengetahuan dan tekonologi.

Untuk itu kita, bangsa Indonesia, mestilah segera dan senantiasa meneladani sifat fathanah Rasul itu, dan mengabdikannya bagi kejayaan ummat dan bangsa. Tinggalkan dan jauhkan sikap yang kontra ilmiah, seperti: takhayul (mistik), percaya kepada dukun atau tukang ramal, dan sebagainya. Jadilah pribadi dan bangsa yang rasional di bawah sinar iman dan bimbingan wahyu.

Sekalipun begitu jelas sifat-sifat pribadi Rasul s.a.w. yang amat mulia itu, kaum kafir Quraisy, yang di hati mereka ada penyakit dengki, justru melakukan character assasination dan black campaign dengan melontarkan tuduhan bahwa beliau s.a.w.: (1) gila (majnun); (2) tukang sihir (sahir); (3) dukun atau tukang tenung (kahin); dan (4) penyair (sya’ir). Kaum Yahudi Madinah juga berbuat hal serupa terhadap pribadi Nabi s.a.w. Perlakuan keji serupa juga pernah diterima oleh hampir setiap nabi dan rasul, sebagaimana Allah informasikan di dalam Al-Qur’an.

Oleh karena itu jika sekarang (masih) ada orang yang menghina Rasul, hal itu tidak lain adalah repetisi (pengulangan) dari apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Hanya saja bentuknya sekarang (sekilas) tampak ilmiah, dibungkus dengan dalih kebebasan berekspresi. Oknum yang melakukannya pun tak jarang bergelar profesor dan doktor. Mereka ini terhalang dari kebenaran karena kekafiran dan hamiyyat al-jahiliyyah mereka sendiri.

Kita, kaum muslimin, kini menghadapi al-ghazw al-fikry (perang pemikiran). Tantangan ini harus dihadapi dengan pikiran jernih dan hati tenang. Sikap emosional dan fanatik buta justru hanya akan membentuk stigma dan citra buruk terhadap Islam dan ummatnya.

Akhirnya, dengan spirit meneladani sifat-sifat mulia itu marilah kita peringati maulid Rasulullah Muhammad s.a.w., agar kita benar-benar memperoleh manfaat darinya.

Sebagai penutup khutbah, marilah kita renungkan firman Allah s.w.t. berikut ini:

Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjadikan jengkel hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Q.S. Al-Fath [48]: 29).

Wallahu a’lam bish-shawab

Minggu, 17 Februari 2019

Tawakal

Sebagian orang menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Contohnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, “Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban.”

Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakal?! Semoga pembahasan kali ini dapat menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakal yang sebenarnya dan apa saja faedah dari tawakal tersebut.

Tawakal yang Sebenarnya

Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49 mengatakan, “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata‘.”

Tawakal Bukan Hanya Pasrah

Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha.

Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.” (QS. An Nisa [4]: 71). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal [8]: 60). Juga firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.

Sahl At Tusturi mengatakan, “Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan -pen). Barang siapa mencela tawakal (tidak mau bersandar pada Allah, pen) maka dia telah meninggalkan keimanan. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam)

Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang

Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)

Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)

Al Munawi juga mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rezeki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah)

Tawakal yang Termasuk Syirik

Setelah kita mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap hamba tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi Allah ta’ala semata.

Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakal adalah amalan hati yaitu ibadah hati semata (Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 2/96). Sedangkan setiap ibadah wajib ditujukan kepada Allah semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada selain Allah maka berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga apabila seseorang bertawakal dengan menyandarkan hati kepada selain Allah -yaitu sebab yang dilakukan-, maka hal ini juga termasuk kesyirikan.

Tawakal semacam ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam), apabila dia bertawakal (bersandar) pada makhluk pada suatu perkara yang tidak mampu untuk melakukannya kecuali Allah ta’ala. Seperti bersandar pada makhluk agar dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan di akhirat, atau untuk segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah kubur dan wali. Mereka menyandarkan hal semacam ini dengan hati mereka, padahal tidak ada siapapun yang mampu mengabulkan hajat mereka kecuali Allah ta’ala. Apa yang mereka lakukan termasuk tawakal kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada seorang makhluk pun memenuhinya. Perbuatan semacam ini termasuk syirik akbar. Na’udzu billah min dzalik.

Sedangkan apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah ditakdirkan (ditentukan) oleh Allah, namun dia menganggap bahwa sebab itu bukan hanya sekedar sebab (lebih dari sebab semata), seperti seseorang yang sangat bergantung pada majikannya dalam keberlangsungan hidupnya atau masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik ashgor (syirik kecil) karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab tersebut.

Tetapi apabila dia bersandar pada sebab dan dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal ini tidaklah mengapa.



Dikutip dari https://muslim.or.id

Zakat Profesi

Zakat merupakan sebagian harta yang wajib dikeluarkan kepada orang yang berhak menerimanya. Zakat termasuk rukun Islam yang menjadi salah satu unsur penting untuk menegakkan syariat Islam. Oleh karenanya, wajib bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk mengeluarkan zakat dari sebagian hartanya. Nah, selain zakat fitrah dan zakat mal, ada satu lagi zakat yang juga wajib dikeluarkan oleh umat Muslim, yaitu zakat profesi.

Sekilas Tentang Zakat Profesi

Zakat profesi atau zakat pendapatan merupakan sebagian harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim dari gaji atau penghasilannya. Zakat ini dikenakan untuk setiap pekerjaan yang mendatangkan penghasilan halal dan sudah memenuhi nisab, baik itu dilakukan sendiri, kelompok, atau bersama lembaga.

Dasar Hukum Zakat Profesi

Ada sebagian kalangan yang menganggap zakat profesi tidak ada dalam Islam, yang ada adalah zakat mal. Namun, hakikat dari kedua jenis zakat ini sebenarnya tidak jauh berbeda. Sebab, setiap Muslim yang memiliki harta dan sudah memenuhi syarat-syaratnya, maka wajib baginya untuk berzakat. Adapun dasar hukum zakat profesi ini terdapat dalam firman Allah SWT dalam surat Adz Dzariyat ayat 19, yang artinya:

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang – orang yang meminta dan orang-orang miskin yang tidak mendapatkan bagian . “ (QS. Adz-Dzariyat: 19)

Ayat tersebut juga dikuatkan lagi oleh firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 267, yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.” (QS. Al-Baqarah: 267)

Ketentuan Zakat Profesi

Zakat profesi memang diwajibkan bagi setiap Muslim yang memiliki penghasilan. Namun apabila penghasilan yang didapatkan habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka gugur kewajibannya untuk mengeluarkan zakat.

Zakat ini dapat dikeluarkan sebanyak 2,5% setiap bulan atau setiap tahun ketika pendapatan tersebut mencapai nisab dan haul. Nisab zakat profesi ini mengambil rujukan dari nizab hasil perkebunan atau pertanian, yakni sebesar 5 wassaq atau setara 652 kilogram beras atau bahan makanan pokok yang dimakan sehari-hari. Jadi apabila harga 1 kilogram beras saat ini Rp7.000, maka syarat wajib untuk mengeluarkan zakat profesi adalah ketika penghasilan Anda lebih dari Rp 4.564.000.

Sementara, haul merupakan lama pengendapan harta yang dihitung selama satu tahun. Namun, ada beberapa ulama yang tidak mensyaratkan haul dalam mengeluarkan zakat profesi, tetapi dikeluarkan langsung setiap bulan setelah mendapat harta karena menqiyaskannya dengan zakat pertanian yang wajib dibayarkan setiap waktu panen.

Berikut adalah contoh cara menghitung zakat profesi dari penghasilan yang Anda dapatkan.

Cara Menghitung Zakat Profesi yang dikeluarkan Sebulan Sekali

Zakat profesi yang dibayarkan setiap bulan secara langsung adalah sebesar 2,5 persen dari penghasilan kotor (bruto). Metode ini lebih tepat bagi mereka yang dilapangkan rezekinya oleh Allah SWT. Semisal, Anda memiliki pendapatan sebesar Rp5.000.000 per bulan, maka;

Pendapatan per bulan ⇾ Rp 5.000.000Rumus zakat ⇾ 2,5% x besar pendapatan per bulanZakat yang harus ditunaikan ⇾ 2,5% x Rp 5.000.000 = Rp 125.000

Cara Menghitung Zakat Profesi yang dikeluarkan Setahun Sekali

Selain membayarkan zakat profesi setiap bulan, Anda juga bisa membayarkan zakat profesi setiap satu tahun sekali. Untuk besarnya, zakat bisa dihitung 2,5% dari penghasilan yang sudah dipotong dengan kebutuhan pokok. Cara ini lebih adil bagi orang-orang yang penghasilannya pas-pasan.
Sebagai contoh;

Penghasilan per bulan ⇾ Rp 3.000.000
Pengeluaran sehari-hari dalam satu bulan ⇾ Rp 2.500.000
Jumlah zakat yang wajib dibayarkan dalam setahun ⇾ 2,5% x (Rp3.000.000 – Rp2.500.000) = Rp12.500 per bulan atau Rp 150.000 per tahun

Sabtu, 16 Februari 2019

Zakat Mal

Syarat seseorang wajib mengeluarkan zakat adalah sebagai berikut:
  1. Islam
  2. Merdeka
  3. Berakal dan baligh
  4. Memiliki nishab
Makna nishab di sini adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah,
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Qs. Al Baqarah: 219)
Makna al afwu (dalam ayat tersebut-red), adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang.
Syarat-syarat nishab adalah sebagai berikut:
1. Harta tersebut di luar kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.
2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab dengan dalil hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al AlBani)
Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun (rikaz) yang diambil ketika menemukannya.
Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan zakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab tersebut.
Nishab, Ukuran dan Cara Mengeluarkan Zakatnya
1. Nishab emas
Nishab emas sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud adalah dinar Islam.
1 dinar = 4,25 gr emas
Jadi, 20 dinar = 85gr emas murni.

Dalil nishab ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun – yaitu dalam emas – sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya zakat ½ dinar. Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada zakat pada harta, kecuali setelah satu haul.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi)
Dari nishab tersebut, diambil 2,5% atau 1/40. Dan jika lebih dari nishab dan belum sampai pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab awal. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.
Contoh:
Seseorang memiliki 87 gr emas yang disimpan. Maka, jika telah sampai haulnya, wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 x 87gr = 2,175 gr atau uang seharga tersebut.

2. Nishab perak
Nishab perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gr, sebagaimana hitungan Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/104 dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas.
3. Nishab binatang ternak
Syarat wajib zakat binatang ternak sama dengan di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu binatanngya lebih sering digembalakan di padang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.
“Dan dalam zakat kambing yang digembalakan di luar, kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor…” (HR. Bukhari)
Sedangkan ukuran nishab dan yang dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut:
a. Onta
Nishab onta adalah 5 ekor.
Dengan pertimbangan di negara kita tidak ada yang memiliki ternak onta, maka nishab onta tidak kami jabarkan secara rinci -red.

b. Sapi
Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.

Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Sapi
Jumlah yang dikeluarkan
30-39 ekor
1 ekor tabi’ atau tabi’ah
40-59 ekor
1 ekor musinah
60 ekor
2 ekor tabi’ atau 2 ekor tabi’ah
70 ekor
1 ekor tabi dan 1 ekor musinnah
80 ekor
2 ekor musinnah
90 ekor
3 ekor tabi’
100 ekor
2 ekor tabi’ dan 1 ekor musinnah
Keterangan:
  1. Tabi’ dan tabi’ah adalah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
  2. Musinnah adalah sapi betina yang berusia 2 tahun.
  3. Setiap 30 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor tabi’ dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor musinnah.
c. Kambing
Nishab kambing adalah 40 ekor. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Kambing
Jumlah yang dikeluarkan
40 ekor
1 ekor kambing
120 ekor
2 ekor kambing
201 – 300 ekor
3 ekor kambing
> 300 ekor
setiap 100, 1 ekor kambing
4. Nishab hasil pertanian
Zakat hasil pertanian dan buah-buahan disyari’atkan dalam Islam dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-An’am: 141)
Adapun nishabnya ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Zakat itu tidak ada yang kurang dari 5 wasaq.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Satu wasaq setara dengan 60 sha’ (menurut kesepakatan ulama, silakan lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/364). Sedangkan 1 sha’ setara dengan 2,175 kg atau 3 kg. Demikian menurut takaaran Lajnah Daimah li Al Fatwa wa Al Buhuts Al Islamiyah (Komite Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia). Berdasarkan fatwa dan ketentuan resmi yang berlaku di Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian adalah 300 sha’ x 3 kg = 900 kg. Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (atau menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20).” (HR. Muslim 2/673)
Misalnya: Seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran zakat yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) adalah 1000 x 1/20 = 50 kg. Bila tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg
5. Nishab barang dagangan
Pensyariatan zakat barang dagangan masih diperselisihkan para ulama. Menurut pendapat yang mewajibkan zakat perdagangan, nishab dan ukuran zakatnya sama dengan nishab dan ukuran zakat emas.
Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan sama dengan syarat-syarat yang ada pada zakat yang lain, dan ditambah dengan 3 syarat lainnya:
1) Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah, dan yang sejenisnya.
2) Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
3) Nilainya telah sampai nishab.

Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli), lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.
Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah total sebesar Rp. 200.000.000 dan laba bersih sebesar Rp. 50.000.000. Sementara itu, ia memiliki hutang sebanyak Rp. 100.000.000. Maka perhitungannya sebagai berikut:
Modal – Hutang:
Rp. 200.000.000 – Rp. 100.000.000 = Rp. 100.000.000
Jadi jumlah harta zakat adalah:
Rp. 100.000.000 + Rp. 50.000.000 = Rp. 150.000.000
Zakat yang harus dibayarkan:
Rp. 150.000.000 x 2,5 % = Rp. 3.750.000
6. Nishab harta karun
Harta karun yang ditemukan, wajib dizakati secara langsung tanpa mensyaratkan nishab dan haul, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dalam harta temuan terdapat seperlima (1/5) zakatnya.” (HR. Muttafaqun alaihi)
Cara Menghitung Nishab
Dalam menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?
Imam Nawawi berkata, “Menurut mazhab kami (Syafi’i), mazhab Malik, Ahmad, dan jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya – dan (dalam mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak, dan binatang ternak- keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah hitungan haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut.” (Dinukil dari Sayyid Sabiq dari ucapannya dalam Fiqh as-Sunnah 1/468). Inilah pendapat yang rajih (paling kuat -ed) insya Allah. Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423 H, lalu bulan Rajab pada tahun itu ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya. Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga) hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkannya zakatnya.


Dikutip dari https://muslim.or.id