Fi sabîlillâh (di jalan Allâh) adalah satu diantara delapan pihak atau golongan atau pos yang berhak menerima zakat mal kaum Muslimin, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allâh dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allâh, dan Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [At-Taubah/9:60]
Para fuqaha` (Ulama ahli fikih) sepakat bahwa orang-orang yang sedang berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla masuk dalam kategori fi sabîlillâh, sedangkan selain orang-orang yang sedang berperang masih diperselisihkan oleh para Ulama, apakah mereka masuk dalam fi sabîlillâh ataukah tidak? Kemudian perbedaan pendapat ini semakin melebar di zaman-zaman ini dan terbagi menjadi lima pendapat:
Maksud dari fi sabîlillâh adalah perang saja. Ini adalah pendapat Abu Yûsuf rahimahullah dari kalangan Hanafiyah, juga pendapat madzhab Mâlikiyah, Syâfi’iyah dan salah satu riwayat dari Hanâbilah yang dirajihkan oleh Ibnu Qudâmah rahimahullah.
Dalil pendapat ini adalah:
Yang dimaksud dengan fi sabîlillâh secara mutlak adalah perang dan kebanyakaan penggunaan kalimat ini dalam al-Qur`ân adalah dalam arti berperang.
Dalil ini tidak bisa diterima, karena seharusnya pada saat tidak ada nukilan dari syari’at tentang pengertiannya, maka kita harus mengambil maknanya secara bahasa. Dan kalimat fi sabîlillâh dalam konteks ini menunjukkan makna umum.
Hadits Abu Said al-Khudriy Radhiyallahu anhu yang marfu’:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ : لِغَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتَصَدَّقَ عَلىَ المِسْكِيْنِ فَأَهْدَاهَا المِسْكِيْنُ لِلْغَنِي
Zakat itu tidak halal untuk orang kaya kecuali lima orang (kaya-red) : orang yang berperang di jalan Allâh atau amil zakat atau gharim atau orang yang membelinya dengan hartanya atau orang yang memiliki tetangga miskin, dia memberikan zakat kepada tetangga tersebut lalu tetangga yang miskin tersebut menghadiahkannya kepada orang kaya.
Sisi pengambilan dalil dari hadits ini yaitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ghâzi (orang yang sedang berperang) diantara lima orang yang disebutkan dalam hadits di atas, padahal diantara delapan golongan orang penerima zakat yang disebutkan dalam ayat di atas tidak ada yang bisa diberikan kepada orang yang berperang kecuali bagian fi sabîlillâh.
Namun sisi pendalilan ini juga terbantah, karena dalil di atas paling maksimal menunjukkan bahwa seorang yang sedang berjihad diberi bagian zakat dari pos fi sabîlillâh sekalipun dia orang yang kaya, sementara jalan-jalan Allâh banyak, tidak hanya terbatas pada arti perang di jalan Allâh Azza wa Jalla .
Maksud dari fi sabîlillâh adalah berperang, haji dan umrah. Ini adalah pendapat Muhammad bin al-Hasan dari Hanafiyah dan sebuah madzhab di kalangan Hanâbilah.
Dalil dari pendapat kedua ini adalah:
Hadits Ummu Ma’qil Radhiyallahu anha mengatakan bahwa Abu Ma’qil Radhiyallahu anhu berangkat haji bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dia pulang, Ummu Ma’qil Radhiyallahu anhaberkata, “Saya tahu bahwa saya wajib haji.” Lalu keduanya berangkat menuju Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat sampai di depan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Ummu Ma’qil Radhiyallahu anhaberkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya saya wajib haji sementara Abu Ma’qil Radhiyallahu anhu sendiri memiliki unta muda.” Abu Ma’qil Radhiyallahu anhu menjawab, “Kamu benar, tetapi aku telah menjadikannya untuk di jalan Allâh.” Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَعْطِهَا فَلتَحُجَّ عَلَيْهِ فَإِنّهُ فِي سَبِيلِ اللهِ
Berikanlah kepadanya agar dia bisa haji, karena itu termasuk fi sabîlillâh
Namun dalil ini pun dibantah dengan beberapa hal berikut:
Pertama, hadits ini dhaif.
Kedua, zakat hanya diberikan kepada satu di antara dua orang :
Orang yang membutuhkannya seperti orang fakir, miskin, hamba sahaya dan orang yang berhutang untuk membayar hutangnyaOrang yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin seperti amil zakat, orang yang berperang, mu`allaf (orang yang baru masuk Islam), gharîm (orang yang menanggung hutang) demi mendamaikan dua pihak yang bertikai.
Sementara haji untuk orang miskin tidak mendatangkan manfaat bagi kaum Muslimin secara umum. Kaum Muslimin tidak membutuhkan ibadah haji orang miskin tersebut dan orang fakir sendiri juga tidak membutuhkan ibadah haji itu, karena orang fakir tidak ada kewajiban ibadah haji. Juga tidak ada kemaslahatan bagi orang fakir jika diwajibkan melaksanakan ibadah haji, atau dibebani dengan kesulitan yang telah Allâh angkat darinya dan kewajiban yang telah diringankan. Sementara memberikan senilai biaya haji untuk orang fakir tersebut kepada golongan-golongan lain yang membutuhkan atau memberikannya demi kemaslahatan kaum Muslimin itu lebih patut dan lebih utama.
Atsar-atsar mauqûf yang menunjukkan bahwa haji termasuk fi sabîlillâh, seperti atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan Abu Ubaid Radhiyallahu anhu dengan sanadnya dari jalan Abu Mu’âwiyah dari al-A’masy dari Hasan bin al-Asyras dari Mujâhid rahimahullah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwa dia membolehkan seseorang memberikan zakatnya untuk menunaikan haji dan memerdekakan budak. Demikian juga atsar dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma ketika ditanya tentang seorang wanita yang mewasiatkan tiga puluh dirham di jalan Allâh, maka Ibnu Umar Radhiyallah anhuma ditanya, “Bolehkan ia dipakai untuk haji?” Dia menjawab, “Ia termasuk fi sabîlillâh.” Abu Ubaid dalam al-Amwâl, 1/723 berkata, “Aku mendengar Ismâ’il bin Ibrâhim dan Muâdz menyampaikannya dari Ibnu Aun dari Anas bin Sîrin dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma.
Dalil ini pun dibantah dengan menyatakan bahwa atsar Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu tidak shahih, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri, 3/389, “Al-Khallâl rahimahullah berkata, ‘Ahmad bin Hâsyim rahimahullah mengabarkan kepada kami, dia berkata bahwa Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, ‘Aku pernah berpendapat boleh memerdekakan budak dari harta zakat, tetapi setelah itu aku menahan diri darinya, karena aku melihatnya tidak shahih.” Harb rahimahullah berkata, lalu seseorang menyebutkan hujjah atasnya dengan hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , maka Ahmad rahimahullah berkata, ‘Ia goncang (Sanadnya kacau).’ Ahmad menyatakan atsar ini goncang karena perbedaan pada sanadnya dari al-A’masy sebagaimana yang engkau lihat, oleh karena itu al-Bukhâri tidak menyampaikannya dengan lafazh pasti (al-jazm).”
Adapun atsar Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, sekalipun menunjukkan haji itu termasuk fi sabîlillâh, hanya saja kalimat sabîlullâh yang ada dalam ayat di atas bukan maksudnya haji, namun jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla , karena makna ini adalah makna umum secara mutlak.
Maksud dari fi sabîlillâh adalah segala perkara kebaikan dan ketaatan. Ini adalah pendapat yang dinisbatkan oleh al-Qaffâl kepada sebagian fuqaha` tanpa menyebut nama mereka, sebagaimana yang dinukil oleh ar-Râzi dalam tafsirnya 16/90 dari beliau. Al-Kasani memilih pendapat ini, sekalipun dia membatasinya pada orang-orang yang membutuhkan. Pendapat ini diterima oleh banyak Ulama di zaman ini.
Dalil dari pendapat ini adalah kata fi sabîlillâh bersifat umum, tidak boleh dibatasi pada sebagian maknanya kecuali dengan berdasarkan dalil yang shahih, padahal tidak ada dalil shahih yang membatasi maknanya.
Dalil ini tidak bisa diterima, karena keumuman tersebut dibatasi dengan konteks penggunaannya. Jika pendapat ini diterima, maka konsekuensinya adalah semua orang yang melakukan kebaikan dan ketaatan seperti shalat, puasa, sedekah dan lain sebagainya berhak menerima zakat, karena mereka telah melakukan kebaikan dan masuk dalam kategori fi sabîlillâh. Inilah konsekuensi hukumnya, padahal tidak seorang pun Ulama yang terkenal keulamaannya berpendapat seperti itu.
Maksud dari fi sabîlillâh adalah kemaslahatan umum. Ini adalah pendapat sebagian Ulama zaman ini.
Dalil pendapat ini adalah:
Tidak dikenal dalam al-Qur`an kalimat sabîlillâh kecuali bermakna kebaikan umum yang menyeluruh.
Dalil ini juga tidak bisa diterima, karena kalimat fi sabîlillâh disebutkan dengan beberapa makna, sekalipun banyak digunakan untuk kalimat yang bermakna jihad di jalan Allâh.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar diyat seorang Sahabat yang tidak diketahui pembunuhnya dari unta zakat. Ini tercantum dalam hadits Sahal bin Abu Hatsmah al-Anshari Radhiyallahu anhu bahwa dia berkata:
فَكَرِهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْطِلَ دَمَهُ، فَوَدَاهُ مِائَةً مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ
Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin darahnya sia-sia, maka Beliau membayar diyatnya seratus unta dari unta zakat. (Muttafaq alaihi)
Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri, 12/244 berkata, “Sebagian Ulama memahaminya sesuai dengan zhahirnya. Qâdhi Iyâdh rahimahullah menyampaikan dari sebagian Ulama tentang dibolehkan membayar zakat untuk kepentingan umum.”
Sisi pengambilan dalil dari hadits ini: Bila membayar diyat korban pembunuhan dari zakat dibolehkan demi meredam pertikaian dan demi menjaga ketertiban umum, maka lebih utama lagi untuk dibolehkan menggunakan zakat demi menjaga keamanan masyarakat dan kehidupan mereka di negeri Islam serta menjaga kemaslahatan umum mereka.
Dalil di atas dibantah dengan bantahan berikut:
Hadits ini disebutkan dalam shahih al-Bukhâri dengan lafazh yang berbeda. Dalam lafazh itu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar diyat dari dirinya.
Mayoritas Ulama telah mengkompromikan antara dua riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta-unta zakat dari para penerima zakat setelah mereka memilikinya, kemudian menyerahkannya kepada keluarga korban.
Kalau pun bisa diterima bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar diyatnya dari harta zakat, tetap saja bukan termasuk kemaslahatan umum.Maksud dari pembayaran diyat bukan hanya meredam pertikaian semata, sebaliknya ia hanyalah bagian dari illat (sebab hukum). Mendamaikan di antara dua pihak yang bertikai dan membuat jiwa keluarga korban mau menerima juga termasuk tujuan-tujuan syari’at di balik pembayaran diyat.
Kemudian alasan menjaga keamanan masyarakat tidak terwujud pada seluruh kemaslahatan umum.
Maksud dari kalimat fi sabîlillâh adalah jihad dalam arti umum, baik jihad dengan tangan, harta maupun lisan. Dengan demikian, ini mencakup perang di jalan Allâh dan dakwah kepada Allâh. Ini adalah keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami dan an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Mu’âshirah yang pertama.
Dalil pendapat ini adalah:
Yang diinginkan dari penyebutan kalimat fi sabilillah dalam ayat tentang zakat adalah maknanya yang khusus yaitu jihad atau yang semakna dengannya. Inilah yang terfahami dari gaya bahasa penyampaiannya yang diawali dengan pembatasan. Jika pengertian kalimat fi sabîlillâh dibawa kepada pengertian umum, maka cakupannya sangat banyak dan ini bertentangan dengan gayabahasa pembatasan yang hanya membatasi pembagian zakat pada delapan golongan saja. Jihad dalam Islam tidak terbatas pada perang militer dengan senjata semata. Dalam sebuah riwayat shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau ditanya, “Jihad apakah yang paling utama?” Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Kalimat haq di depan pemimpin zhalim.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
جَاهِدُوا المُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lisan kalian
Kalaupun dakwah kepada Allâh tidak termasuk dalam jihad di jalan Allah berdasarkan dalil itu, namun dakwah tetap bisa masuk ke dalam jihad melalui jalur atau metode qiyas, karena keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu mendukung agama Allâh dan menjunjung tinggi kalimat-Nya.
Pendapat yang kelima inilah pendapat yang rajih. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari fi sabîlillâh adalah maknanya yang khusus yaitu jihad dalam pengertian luas, mencakup semua aktifitas dalam rangka menolong agama Allah Azza wa Jalla. Pendapat ini yang rajih karena dalil-dalilnya yang kuat dan beberapa hal berikut ini:
Kata fi sabîlillâh banyak digunakan dengan makna jihad. Fakta ini membuat makna ini lebih dekat dari makna lainnya. Kata fi sabîlillâh disebutkan lima puluh kali; Tiga puluh delapan kali disebutkan beriringan dengan jihad dan perang; Di delapan tempat disebutkan bersama infak, tujuh dari delapan ini disebutkan bersama infak dan perang sementara yang kedelapan disebutkan pada ayat zakat; Dan empat yang tersisa sehingga genap lima puluh disebutkan bersama kalimat hijrah yang berarti pergi ke negeri Islam demi menjunjung tinggi kehormatan agama. Dari sini diketahui bahwa kalimat fi sabîlillâh disebutkan dikebanyakan tempat dengan makna jihad. Penafsiran golongan fi sabîlillâh dengan jihad merupakan pendapat mayoritas Ulama salaf dan jumhur Fuqaha` (mayoritas Ulama ahli fikih-red) zaman dulu dan zaman sekarang.Seluruh ayat yang disebut kalimat fi sabîlillâh yang terkait jihad dengan jiwa juga disebutkan di tempat yang sama tentang jihad dengan menggunakan harta. Ini menunjukkan adanya perluasan makna jihad fi sabîlillâh kepada makna yang lebih umum, artinya jihad fi sabîlillâh tidak hanya bermakna perang,sebagaimana penggunaan kalimat jihad pada beberapa nash dengan makna yang lebih luas, tidak hanya bermakna perang, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar [Al-Furqân/25: 52]
Dan sebagian hadits yang menetapkan hal ini telah dijelaskan pada dalil-dalil pendapat kelima.
Tujuan dari peperangan itu adalah menolong agama dan mengusir orang-orang kafir yang berlaku zhalim. Tujuan ini juga bisa terwujud melalui jihad dengan harta dan lisan dengan cara menjelaskan kebenaran, mendakwahnya, membantah dan menolak kebatilan. Terutama di zaman-zaman ini, di mana media informasi telah menyebar luas hingga menjangkau seluruh pelosok bumi dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk pola pikir masyarakat dan merubah pemahaman mereka. Bahkan perang informasi melalui media massa lebih besar dampaknya daripada perang militer. Fakta ini semakin menegaskan pentingnya sikap yang tidak memilah-milah antara satu bentuk jihad dengan bentuk jihad lainnya dalam masalah penyaluran zakat kaum Muslimin kepada mereka yang berjihad, selama tujuannya adalah menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan.Pendapat ini mewujudkan sinkronisasi antara gaya bahasa pembatasan dalam ayat zakat dengan adanya perluasan makna fi sabîlillâh yang terdapat dalam al-Qur`ân dan Sunnah. Yaitu dengan memahaminya tidak sebagai sebuah pengkhususan yang sempit tapi juga tidak melebar ke makna yang terlalu umum. Jadi sebuah pengkhususan makna fi sabîlillâh disertai perluasan makna namun tidak keluar dari makna fi sabîlillâh yang sering dipergunakan dan tidak hanya sebatas makna secara bahasa semata.
Pendapat ini didukung oleh keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islâmi di Makkah, teks keputusan tersebut adalah:
Setelah terjadi tukar pendapat dan kajian terhadap dalil kedua pendapat, maka majlis menetapkan berdasarkan suara mayoritas sebagai berikut:
Mempertimbangkan bahwa pendapat kedua telah diucapkan oleh beberapa Ulama kaum Muslimin dan memiliki sisi pertimbangan dukungan dari sebagian ayat-ayat yang mulia seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allâh, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah/2:262), dan dari hadits-hadits yang mulai. Salah satu dari hadits-hadits itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawûd bahwa seorang laki-laki telah menjadikan untanya di jalan Allâh, lalu istrinya ingin haji, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
اِرْكَبِيْهَا فَإِنَّ الحَجَّ فِي سَبِيلِ اللهِ
Naikilah unta itu, karena haji termasuk fi sabîlillâh.
Mempertimbangkan bahwa tujuan dari jihad dengan senjata adalah meninggikan kalimat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sementara meninggikan kalimat Allâh Azza wa Jalla sebagaimana bisa dengan perang, bisa juga dengan dakwah ke jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala serta menyebarkan agamanya dengan menyiapkan para da’i dan mendukung mereka serta membantu mereka dalam menunaikan tugas. Oleh karena itu, kedua perkara tersebut adalah jihad, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa`i dan dishahihkan oleh al-Hâkim dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جَاهِدُوا المُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian.
Mempertimbangkan bahwa agama Islam ini diperangi dengan perang pemikiran dan akidah oleh orang-orang menyimpang, Yahûdi, Nasrani dan musuh-musuh agama yang lain. Para musuh tersebut mendapatkan dukungan moril dan meteriil, maka kaum Muslimin harus menghadapi mereka dengan senjata yang sama dengan mereka atau bahkan kalau bisa dengan senjata yang lebih kuat dari itu.Mempertimbangkan bahwa peperangan di negeri-negeri Islam telah memiliki kementerian khusus dan mempunyai anggaran finansial di setiap Negara. Lain halnya, dengan jihad melalui dakwah, ia tidak memiliki anggaran secara khusus yang menopang dan mendukungnya di kebanyakan negara Islam.
Dari sini maka majlis menetapkan dengan suara mayoritas bahwa dakwah kepada Allâh Azza wa Jalla, perkara yang mendukung dan menunjang prosesnya termasuk dalam makna fi sabîlillâh dalam ayat zakat yang mulia.
Keputusan yang terkait dengan masalah ini secara khusus juga ada dalam keputusan an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Mu’âshirah yang pertama tentang golongan fi sabîlillâh, sebagai berikut:
Maksud dari golongan fi sabîlillâh (yang berhak menerima zakat-red) adalah jihad dengan maknanya yang luas yang ditetapkan oleh para fuqaha` di mana tujuannya adalah melindungi agama dan meninggikan kalimat Allâh. Disamping bermakna perang, dakwah kepada Islam, upaya menjadikan syariat Allâh sebagai undang-undang hukum, menepis syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh musuh Islam, menghadang arus-arus yang berlawanan dengannya juga masuk dalam kategori fi sabîlillâh. Dengan ini jihad tidak sebatas gerakan militer semata, hal-hal berikut juga termasuk ke dalam jihad dengan maknanya yang umum:
Mendukung secara finansial gerakan-gerakan jihad militer yang menjunjung panji Islam dan menghadang permusuhan terhadap kaum Muslimin di berbagai negeri mereka.Mendukung secara finansial pusat-pusat dakwah kepada Islam yang dikelola oleh kaum Muslimin yang jujur lagi amanah di negeri-negeri kafir dengan tujuan menyebarkan Islam melalui segala cara yang shahih yang sejalan dengan zaman, termasuk dalam hal ini adalah setiap masjid yang didirikan di negeri kafir untuk dijadikan sebagai pusat dakwah Islam.Mendukung secara finansial upaya-upaya peneguhan Islam di antara minoritas kaum Muslimin di negeri-negeri di mana kaum kafir berkuasa atas kaum Muslimin, di mana kaum Muslimin yang minoritas tersebut menghadapi upaya-upaya penghapusan identitas mereka di negeri-negeri tersebut.”
PENERAPAN KONTEMPORER DARI POS “FI SABILILLAH”
Dari keterangan di atas diketahui bahwa yang dimaksud dengan fi sabîlillâh adalah menolong agama melalui jihad dengan jiwa, harta dan lisan. Tentu ini mencakup semua urusan dakwah dan sekaligus menjelaskan bahwa di antara lahan yang patut untuk didanai melalui jalur fi sabîlillâh adalah :
Pertama, segala aktifitas untuk mewujudkan persiapan jihad yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allâh dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allâh mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allâh niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” [Al-Anfâl/8:60].
Diantara wujudnya:
Mendirikan dan mendanai pabrik-pabrik militer yang memproduksi alat-alat militer, berat maupun ringan dan membeli persenjataan bila diperlukan.Mendirian akademi-akademi militer yang mendidik para pemuda kaum Muslimin untuk menggunakan senjata dan berperang demi membela negeri kaum Muslimin.Mencetak buku-buku dan majalah-majalah militer yang memberikan arahan dan informasi kepada kaum Muslimin terkait dengan perkara-perkara yang mereka butuhkan dalam jihad.Mendirian pusat-pusat riset dan penelitian yang mengkaji langkah-langkah musuh.
Lahan-lahan di atas bisa didanai dari zakat melalui pos fi sabîlillâh bila Ulama umat menetapkan bahwa itu telah memenuhi kriteria syar’i.
Kedua, perkara yang mewujudkan jihad dan menolong agama Allah melalui jalan dakwah. Ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
Mendirikan kantor-kantor (pusat-pusat) dakwah dan bimbingan dan memenuhi kebutuhannya seperti sarana prasarana, gaji para pegawainya dan biaya operasional lainnya.Mencetak buku-buku dan buletin-buletin yang bertujuan menyebarkan ilmu syar’i dan dakwah kepada Allâh serta mengedarkan kaset-kaset Islam yang membawa misi dakwah.Mendukung halaqah-halaqah hafalan al-Qur`ân dan mendanai biaya operasionalnya. Dengan ini sebuah tujuan mulia akan terwujudkan yaitu mengajarkan kitabullah lalu mengamalkannya. Ini termasuk pintu jihad yang paling besar, karena ayat tentang jihad yang pertama kali turun adalah jihad dengan al-Qur`ân, sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar. [Al-Furqân/25:52].
Membuat dan mendanai website di dunia internet yang menjelaskan kebenaran, membimbing manusia dan berdakwah kepada Allâh dengan hikmah dan nasehat yang baik. Terutama di zaman ini di mana teknologi telah menjadi sarana komunikasi paling efektif antara satu orang dengan lainnya.Mendirikan jaringan TV Islam yang mengajak kepada Allâh dan mendukungnya demi mewujudkan visi dan misinya. Ini termasuk sarana jihad dengan menggunakan lisan yang paling agung, karena dia memiliki pengaruh yang besar. Karena sarana ini memiliki daya tarik dan pengaruh yang tinggi. Perang di jalur ini lebih besar dampaknya daripada perang militer, karena berdampak secara khusus terhadap akal manusia. Berbeda dengan perang militer, ia hanya mengusai hal-hal riil dan terkadang tidak menyentuh akal dan akidah.Mendirikan yayasan-yayasan dakwah yang memperhatikan dakwah Islam, baik dakwah kepada orang-orang kafir agar masuk Islam atau dakwah kepada kaum Muslimin dengan memahamkan mereka terhadap agamanya dan memperteguh keyakinan mereka, terutama yang baru masuk Islam.Mendirikan dan membuat radio-radio Islam serta mendanainya, agar suara kebenaran menjangkau seluruh penjuru bumi. Jangkauan radio itu melebihi jangkauan televisi, karena lebih mudah diakses. Ini memungkinkan seluruh lapisan masyarakat untuk menyimaknya, sebagaimana membawa radio dan mendengarkannya relatif mudah di berbagai tempat, berbeda dengan jaringan TV, mobilitasnya terbatas.Mendirikan majalah-majalah dan koran-koran Islam yang bertunjuan dakwah yang benar kepada kitab Allâh dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menjelaskan kebenaran dan menumpas kebatilan.
Sarana-sarana modern lainnya yang bisa membantu mewujudkan tujuan dakwah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjelaskan hidayah dan agama yang benar, karena hal itu termasuk jihad dengan lisan dan termasuk sarana mendukung agama dan membimbing manusia yang menjadi tujuan disyariatkanya jihad. Oleh karena itu ada perintah berjihad dalam artianyang luas, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جَاهِدُوا المُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian”.
Dan yang lebih utama dari itu adalah mendahulukan dakwah kepada selain kaum muslimin, karena lebih dekat kepada makna jihad di samping dampaknya yang besar.
Wallahu a’lam.
Dikutip dari https://almanhaj.or.id
EmoticonEmoticon